"Mah, cela mau cekolah," rengek gadis kecil bertubuh kurus saat melewati gerbang taman kanak-kanak dan PAUD.
Sepasang mata kecilnya terus menatap ke arah taman, di mana ada beberapa anak yang sedang main perosotan dan ayunan dengan riangnya. Sementara langkah kakinya sedikit terseret karena harus mengimbangi langkah wanita yang tengah jalan bersamanya."Apa sih nyusahin aja! Boro-boro sekolah, udah bisa makan aja kamu tuh harusnya bersyukur!" sentak Dewi, wanita muda berusia 21 tahun sambil menepis kasar tangan mungil anaknya itu."Aw Maah, cakiit." Zehra meringis."Gak usah sok manja, awas!" sentak wanita bernama Dewi itu lagi.Zehra mundur selangkah, sementara Dewi gegas menggelarkan barang dagangannya di emperan jalan dekat pagar sekolah."Mau makan gak entar siang? Kalau mau makan cepet beresin nih mainan! Biar anak-anak yang mau sekolah pada beli.""Iya, Mah."Gadis kecil berusia tiga tahun yang enam bulan lagi akan berulang tahun ke empatnya itu mengangguk, lalu dengan cepat ia membereskan mainan untuk dijual di emperan jalan sekolah TK.Setelah selesai dengan tugasnya, Zehra lalu duduk sambil memeluk lututnya di samping Dewi.Setiap hari mereka berjualan di sana kecuali saat hari libur, barulah mereka akan menjajalkan mainannya di tempat lain. Tak menentu, kadang di emperan dekat jalan pasar, kadang di dekat lapangan bola, kadang dekat taman kota, di mana saja asal dagangannya itu ada yang laku terjual.Tiiit!Sebuah klakson motor bunyi nyaring, diikuti sebuah motor matic yang juga parkir tepat di depan mereka."Ngapain Dew?" tanya Ratna yang merupakan teman Dewi saat di bangku sekolah dasar.Dewi menoleh malas, "jualan Rat," jawabnya pendek."Jualan? Jualan apa?" tanya Ratna lagi."Banyak tuh, lihat aja sendiri biar jelas," ketusnya."Oh mainan, hebat ya kamu Dew, ini anak kamu Dew?" tanya Ratna lagi, sambil tersenyum pada Zehra."Iya."Mood Dewi makin jelek saja."Semoga laku ya Dew dagangan kamu, ayo ya aku mau kerja dulu takut kesiangan nih," pamit Ratna sambil melajukan motornya lagi.Dewi mendengus kesal, karena selain malu bukan kepalang, mulut si Ratna yang menurutnya itu suka ember pasti akan menyebar luaskan berita penderitaannya ke seantero grup alumni.Sayang sekali wanita itu tidak punya cara lain untuk mencari uang, jadi meski menurutnya berjualan adalah cara yang sangat memalukan tapi tetap ia jalani karena itu adalah satu-satunya cara dia agar bisa makan."Di saat temen-temenku kerja di tempat keren, aku malah duduk pinggir jalan kayak gini. Padahal aku cantik, menarik dan masih muda, tapi sayang udah punya anak segede gitu. Udah miskin, suami gak jelas pergi kemana, jadi janda di usia 21 tahun pula, haaah lengkap sudah," dengusnya sambil membereskan mainan yang masih belum terjajalkan.Sementara di sampingnya, Zehra hanya bisa diam sambil memandangi tingkah Dewi tanpa berani bicara, jangankan bicara, bernapas saja Zehra akan selalu salah di mata Dewi.Dewi memang kerap memperlakukan Zehra seperti anak tiri di negeri dongeng, dibentak, diusir, disuruh bekerja terus menerus, dicubit dan lainnya, semua perlakuan yang mirip dengan perlakuan ibu tiri di negeri dongeng itu benar-benar Zehra dapatkan bahkan dari ibu kandungnya sendiri.Tiiit!Sebuah motor matic parkir lagi di dekat tempat mereka berjualan. Pemiliknya yang merupakan seorang ibu muda dan anaknya yang akan sekolah di TK turun."Sayang mau beli mainan?" tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah di mana Zehra dan Dewi sedang duduk."Enggak, Ma." Anak kecil itu menggeleng karena ingin buru-buru masuk ke dalam dan bermain ayunan bersama teman-temannya."Oh ya sudah, semangat ya belajarnya, dan ingat, jangan nakal.""Siap, Mama."Gegas anak itu berlari ke dalam, sementara hati Zehra yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua mendadak teriris."Mamah," gumamnya dengan mulut bergetar.Betapa Zehra sangat merindukan sosok wanita seperti yang ia lihat barusan, sosok yang lembut, yang dengan bangga bisa mengantarnya ke sekolah.Tapi apalah daya? Kenyataan yang terjadi justru sangatlah pahit.Tiiit!Baru saja Zehra melupakan sosok tadi, matanya kembali tertuju pada seorang anak yang baru saja turun dari mobil bersama ayahnya."Jangan jajan sembarangan ya, nanti bekelnya dihabiskan, Kakak sekolah sampai sore karena Ayah dan Mama harus kerja sampai sore juga," kata pria itu sambil mencium kening anaknya lembut.Zehra bergeming lagi dengan luka yang makin menganga."Ayah ..," gumamnya lagi dengan suara tertahan.Sementara kedua bola mata Zehra mengikuti langkah gadis itu sampai punggungnya menghilang.Selain sosok ibu yang pengertian dan sabar, selama ini Zehra juga memang kerap mendamba seorang ayah. Tak heran jika saat ia melihat anak kecil bersama ayahnya seperti tadi, ia akan sedikit ngiri dan bertanya-tanya, ayahku kemana?Tapi meski begitu, Zehra tak pernah berani menanyakan keberadaan pria yang ingin dipanggilnya ayah itu pada Dewi, pasalnya gadis kecil itu tahu, percuma saja bertanya, ujung-ujungnya hanya siksaan yang akan ia dapatkan dari ibunya, alih-alih ia mengetahui siapa ayahnya.Tiiit!Belum juga rasa sakit serta iri di hati Zehra hilang, datang lagi seorang anak yang diantar papa dan mamanya."Teman-temaaan!" Anak itu berteriak sambil lari ke arah teman-temannya."Hati-hati Sayang, jangan lari begitu, Nak!" teriak papanya.Sejurus kemudian mamanya juga berlari menyusul anak itu."Mamah ... Ayah," rintih Zehra lagi.Bibirnya yang tipis dan mungil itu bergetar, sementara kedua bola matanya tak kuat lagi menahan kesedihan sampai air mata berhamburkan begitu saja dari sudut matanya yang kecil.Andai gadis kecil itu bisa meminta, betapa dirinya ingin seperti teman-teman seusianya. Diantar sekolah, dipeluk, dicium, dikejar, disuapi makan, ditemani main, dijemput sekolah dan lainnya. Sayang, bibir kecil itu bahkan belum paham bagaimana cara memintanya.Wuusssh!Angin bertiup lembut, sigap tangan kecilnya membereskan anak rambut yang tertiup angin, sementara keringat juga mulai membasahi baju lusuh yang ia pakai.Di sampingnya Dewi sedang sibuk menawarkan dagangannya pada anak-anak yang lewat di depan mereka."Mainannya adek-adek, murah meriah cuma seribuan, mainan ini bagus banget loh bisa loncat sendiri.""Enggak Mbak, kata Mamaku aku gak boyeh jajan mainan, meningan uangnya buat beyi matanan aja," tolak seorang anak.Begitulah, kadang Dewi memang harus banyak gigit jari karena anak-anak yang ditawarinya lebih banyak yang menolak daripada membeli."Mah, macih yama ya?" tanya Zehra pelan, saat perutnya sudah mulai terasa perih."Bawel banget sih! Bentar lagi, jam sebelas pulangnya, sabar! Gak usah banyak nanya biar aku gak makin stres," jawab Dewi ketus, seraya mengipasi dirinya dengan kertas bekas.Zehra kembali diam, meski perutnya sudah mulai perih, tapi mau bagaimana lagi? Zehra hanya bisa memegangi perut kecilnya itu sampai jatah makan diberikan oleh Dewi."Zehra sinii!" Seorang pria paruh baya memanggil gadis yang sedang memegangi perutnya karena lapar itu.Sekitar lima meter dari tempat Zehra duduk berjualan, ada seorang pedagang cilor. Muhid namanya, pria paruh baya itu kerap memperhatikan Zehra dari kejauhan."Sinii," panggilnya lagi.Zehra bangkit dan gegas berlari ke arahnya dengan riang."Iya Pamam, ada apa?""Zehra laper ya?"Zehra mengangguk sambil refleks memegangi perutnya."Ini, Zehra makan roti aja dulu." Paman Muhid memberikan roti cokelat yang sengaja ia beli di dekat rumahnya. Rasa iba yang membuat Paman Muhid tak tega membiarkan Zehra hanya memegangi perutnya ketika lapar tiap kali jualan, yang membuat hati Paman Muhid tergerak membeli roti untuk gadis kecil itu."Cela boleh matan?" Zehra bertanya dengan mata yang berbinar, seperti mendapatkan sesuatu yang berharga padahal hanya sepotong roti."Ya, makanlah." Paman Muhid mengangguk.Tanpa menunggu lagi, dilahapnya roti berisi cokelat itu hingga cokelatnya bleberan ke p
"Ya ya ya terserah Ibu aja, Ibu gak ngerasain apa yang Dewi rasain, jadi mudah aja Ibu ngomong gitu.""Kata siapa Ibu gak ngerasain, hah? Selama ini Ibu menderita karena ulahmu!"Dewi dan Mbah Asti beradu mulut sampai membuat Zehra diam ketakutan, gadis kecil itu lalu turun dari daster Mbah Asti."Mbah, kenapa malah-malah?" tanyanya sambil mengelus kedua pipi Mbah Asti.Wanita tua itu menarik napas panjang dan berusaha menormalkan diri secepat mungkin."Enggak Sayang, Mbah gak lagi marah, Cela masuk dulu ke dalam yah, lihat tv." Mbah Asti sengaja menyuruh Zehra masuk agar gadis itu tak melihat dia sedang bersitegang dengan Dewi."Oh oke, Mbah." Zehra mengangkat kedua jempol mungilnya, lalu masuk ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil."Kalau kamu marah sama suamimu jangan lampiaskan pada Zehra, sana cari suami kamu itu, lagipula semua ini 'kan karena kesalahanmu juga." Mbah Asti kembali bicara."Kok Ibu jadi nyalahin Dewi begini sih?""Ya jelas Ibu salahin kamu, mau salahin siapa la
Bus berhenti di terminal tujuan. Zehra dan Dewi pun gegas turun."Kata Ibu abis dari terminal ini aku naik ojek." Dewi bergumam sendiri sambil memindai sekelilingnya, wanita itu mencari pangkalan ojek yang dimaksudkan Mbah Asti."Nah itu dia."Cepat, ditariknya kasar tangan Zehra hingga gadis kecil itu terseret-seret sambil mengaduh kesakitan."Aduuh ... cakit Mah, cakit tangan Cela.""Udah gak usah manja, biar cepet sampe kamu gak usah banyak ngeluh." Dewi benar-benar tak peduli walau Zehra capek ataupun sakit. Baginya, Zehra hanyalah beban, beban peninggalan suaminya yang kabur empat tahun silam."Ah sial, bakal aku kasih nih anak sama bapaknya kalo entar ketemu," dengusnya sambil mempercepat langkah.Sampai di pangkalan ojek, Dewi buru-buru menunjukan alamat yang akan dia tuju."Bang, bisa antar ke alamat ini?""Bisa Mbak, ayo." Abang ojek gegas memakai helm dan menyalakan motornya."Ini anaknya?" tanya abang ojek saat Dewi tengah sibuk memakai helm juga."Bukan, ini anak orang,
"Ya bisa, asal kamu tetep harus utamain Zehra dibanding pekerjaanmu nantinya." Dewi terkejut, dia tak habis pikir, bisa-bisanya ada orang sebaik Nyonya Trissy. Di saat pada umumnya majikan meminta agar pegawainya lebih mengutamakan pekerjaan, ini malah urusan anak sendiri yang harus dinomor satukan. Luar biasa."Tapi sekarang kalian istirahat aja dulu, ya."Dewi mengerjap. Sementara Nyonya Trissy bangkit dari posisinya, mengajak Dewi dan Zehra ke kamar belakang."Kalian tidur di sini gak apa-apa 'kan?"Dewi celingukan sebelum menjawab pertanyaan Nyonya Trissy. Kamarnya cukup luas dan bersih, sudah lengkap dengan kasur, Ac dan lemari juga. "Gak apa-apa Nyonya. Kami bisa tidur di mana saja." Cepat, Dewi duduk di atas kasur empuk itu, Zehra mengikutinya."Ya sudah kalian istirahat aja dulu ya," kata Nyonya Trissy lagi.Dewi cepat menggeleng, "tapi Nyonya saya udah istirahat tadi di posnya Pak Nes, sekarang mau langsung kerja saja." "Beneran kamu mau langsung kerja?""Beneran, Nyonya
"Gak apa-apa Nyonya, kapan-kapan aja." Dewi mendadak tak bersemangat, dia masih terbayang wajah Fras saat tadi dia melihatnya di dalam mobil mewah.***Jam dinding sudah menunjukan pukul sebelas malam, tapi gadis kecil bernama Zehra itu masih belum bisa tidur. Dia gelisah, berbalik ke kanan dan kiri sampai berpuluh kali.Biasanya kalau di kampung, Zehra tidur dengan Mbah Asti, wanita tua itu akan menyanyikan lagu sebelum tidur atau berdongeng untuk Zehra sampai gadis kecil itu terlelap, tapi kali ini tidak ada yang bisa melakukannya, itulah sebabnya Zehra belum bisa tidur walau sudah larut malam.Ditatapnya Dewi yang sudah terlelap di atas kasur, sementara Zehra hanya tidur di bawahnya dengan alas seadanya."Aduh pelut Cela lapel," ringis Zehra sambil memegangi perutnya.Gadis kecil itu pun bangkit, gara-gara dia belum bisa tidur, akhirnya perut dia terasa lapar."Bagaimana Cela bisa matan?"Zehra bingung sendiri, dia ingin membangunkan Dewi untuk minta tolong, tapi dipikirnya lagi be
Nyonya Trissy agak kesal.Dewi mengerjap, "oh itu anu Nyonya ... tadinya mau saya kasih, tapi tadi Zehra keburu tidur." Dewi beralasan."Ya sudah, besok-besok kamu tawari sore hari aja biar gak kelewat kayak gini, paham?""Baik, Nyonya."***Pagi-pagi sekali sebelum Dewi berangkat ke pasar, Zehra sudah dibangunkan dan disuruh menyapu halaman oleh Dewi untuk membantu meringankan tugasnya."Nyapu tuh yang bersih, aku mau pergi ke pasar dulu, pokoknya pulang dari pasar halaman udah harus bersih, paham?"Zehra mengangguk sambil memeluk sapu lidi yang dilemparkan Dewi padanya.Tangan kecil itu bahkan belum mampu memegang sapu lidi dengan benar, tapi Zehra tetap melakukannya sebab jika tidak, ia bisa kena marah lagi dari Dewi."Maah, Cela boyeh itut?"Dewi yang sudah berjalan selangkah menuju gerbang kembali berbalik."Jangan harap!" pekiknya dengan mata melotot.Zehra terperanjat, gadis kecil itu akhirnya hanya bisa diam sambil menyaksikan ibunya pergi.Tiiitt!Sebuah klakson mobil berbuny
Suara deru mobil Fras terdengar khas di telinga Laura, wanita berusia 27 tahun itu gegas berlari menuju pintu rumah.Dengan wajah berseri ia menyambut kedatangan suami tercintanya, dibukanya pintu rumah lebar-lebar. Dan betapa kagetnya ia saat ia melihat suaminya itu datang bersama seorang anak kecil."Siapa ini, Mas?" tanya Laura cepat."Kenalin, ini Zehra." Fras tersenyum lebar pada istrinya.Laura membalas sekenanya, ia masih bingung."Zehra? Ya tapi ini anak siapa, Mas?" tanyanya lagi."Anakku lah, anak siapa lagi?"Wajah Laura mendadak tegang, "an-nakmu?"Fras tertawa lebar, "aku cuma bercanda, Sayaang," kekehnya seraya mengelus pipi Laura.Cepat Luara tepis tangan Fras, "isshh kamu ini, bercandanya gak lucu," dengusnya seraya masuk ke dalam rumah."Iya iya deh maaf. Oh ya, kenalin, ini Zehra, anaknya Art baru di rumah, Mami." "Art? Emang ada Art baru di rumah, Mami?""Ada Sayang, baru datang kemarin katanya.""Ouuh, tapi kok bisa kamu bawa anaknya ke sini? Emang emaknya gak mar
***Esok harinya.Zehra terbangun dengan tubuh yang sakit dan ngilu. Dengan langkah pelan dan terseret-seret, gadis kecil itu mendekati Dewi yang sedang sibuk mencuci piring di dapur."Oh masih hidup kamu? Aku pikir kamu udah mati karena kemarin aku gebukin," ketus Dewi.Zehra yang masih ingat kejadian kemarin tak mau banyak bicara, ia benar-benar ketakutan."Sana ambil lap! Terus lapin tuh meja dan kaca-kaca," titah Dewi sambil menyentak.Zehra mengangguk, dan gegas melakukan apa yang Dewi perintahkan. Tangan kecilnya mengelap kaki meja sebisanya, lanjut mengelap kaca dan apa saja yang bisa ia jangkau untuk dibersihkan.Sesekali Zehra melirik ke arah Dewi yang juga sedang sibuk dengan pekerjaannya. Hatinya sedih sekali karena ia merasa Dewi tak pernah menyayanginya."Apa kamu lihat-lihat? Sana kerja!" sengit Dewi.Zehra mengerjap. Cepat, ia seka air mata yang beranak sungai di pipinya dan gegas melanjutkan pekerjaan."Dew, hari ini kamu ke supermarket ya, belanja bahan masakan, anak