Share

Anak yang Tak Diinginkan
Anak yang Tak Diinginkan
Author: Ricny

Bab 1

"Mah, cela mau cekolah," rengek gadis kecil bertubuh kurus saat melewati gerbang taman kanak-kanak dan PAUD.

Sepasang mata kecilnya terus menatap ke arah taman, di mana ada beberapa anak yang sedang main perosotan dan ayunan dengan riangnya. Sementara langkah kakinya sedikit terseret karena harus mengimbangi langkah wanita yang tengah jalan bersamanya.

"Apa sih nyusahin aja! Boro-boro sekolah, udah bisa makan aja kamu tuh harusnya bersyukur!" sentak Dewi, wanita muda berusia 21 tahun sambil menepis kasar tangan mungil anaknya itu.

"Aw Maah, cakiit." Zehra meringis.

"Gak usah sok manja, awas!" sentak wanita bernama Dewi itu lagi.

Zehra mundur selangkah, sementara Dewi gegas menggelarkan barang dagangannya di emperan jalan dekat pagar sekolah.

"Mau makan gak entar siang? Kalau mau makan cepet beresin nih mainan! Biar anak-anak yang mau sekolah pada beli."

"Iya, Mah."

Gadis kecil berusia tiga tahun yang enam bulan lagi akan berulang tahun ke empatnya itu mengangguk, lalu dengan cepat ia membereskan mainan untuk dijual di emperan jalan sekolah TK.

Setelah selesai dengan tugasnya, Zehra lalu duduk sambil memeluk lututnya di samping Dewi.

Setiap hari mereka berjualan di sana kecuali saat hari libur, barulah mereka akan menjajalkan mainannya di tempat lain. Tak menentu, kadang di emperan dekat jalan pasar, kadang di dekat lapangan bola, kadang dekat taman kota, di mana saja asal dagangannya itu ada yang laku terjual.

Tiiit!

Sebuah klakson motor bunyi nyaring, diikuti sebuah motor matic yang juga parkir tepat di depan mereka.

"Ngapain Dew?" tanya Ratna yang merupakan teman Dewi saat di bangku sekolah dasar.

Dewi menoleh malas, "jualan Rat," jawabnya pendek.

"Jualan? Jualan apa?" tanya Ratna lagi.

"Banyak tuh, lihat aja sendiri biar jelas," ketusnya.

"Oh mainan, hebat ya kamu Dew, ini anak kamu Dew?" tanya Ratna lagi, sambil tersenyum pada Zehra.

"Iya."

Mood Dewi makin jelek saja.

"Semoga laku ya Dew dagangan kamu, ayo ya aku mau kerja dulu takut kesiangan nih," pamit Ratna sambil melajukan motornya lagi.

Dewi mendengus kesal, karena selain malu bukan kepalang, mulut si Ratna yang menurutnya itu suka ember pasti akan menyebar luaskan berita penderitaannya ke seantero grup alumni.

Sayang sekali wanita itu tidak punya cara lain untuk mencari uang, jadi meski menurutnya berjualan adalah cara yang sangat memalukan tapi tetap ia jalani karena itu adalah satu-satunya cara dia agar bisa makan.

"Di saat temen-temenku kerja di tempat keren, aku malah duduk pinggir jalan kayak gini. Padahal aku cantik, menarik dan masih muda, tapi sayang udah punya anak segede gitu. Udah miskin, suami gak jelas pergi kemana, jadi janda di usia 21 tahun pula, haaah lengkap sudah," dengusnya sambil membereskan mainan yang masih belum terjajalkan.

Sementara di sampingnya, Zehra hanya bisa diam sambil memandangi tingkah Dewi tanpa berani bicara, jangankan bicara, bernapas saja Zehra akan selalu salah di mata Dewi.

Dewi memang kerap memperlakukan Zehra seperti anak tiri di negeri dongeng, dibentak, diusir, disuruh bekerja terus menerus, dicubit dan lainnya, semua perlakuan yang mirip dengan perlakuan ibu tiri di negeri dongeng itu benar-benar Zehra dapatkan bahkan dari ibu kandungnya sendiri.

Tiiit!

Sebuah motor matic parkir lagi di dekat tempat mereka berjualan. Pemiliknya yang merupakan seorang ibu muda dan anaknya yang akan sekolah di TK turun.

"Sayang mau beli mainan?" tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah di mana Zehra dan Dewi sedang duduk.

"Enggak, Ma." Anak kecil itu menggeleng karena ingin buru-buru masuk ke dalam dan bermain ayunan bersama teman-temannya.

"Oh ya sudah, semangat ya belajarnya, dan ingat, jangan nakal."

"Siap, Mama."

Gegas anak itu berlari ke dalam, sementara hati Zehra yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua mendadak teriris.

"Mamah," gumamnya dengan mulut bergetar.

Betapa Zehra sangat merindukan sosok wanita seperti yang ia lihat barusan, sosok yang lembut, yang dengan bangga bisa mengantarnya ke sekolah.

Tapi apalah daya? Kenyataan yang terjadi justru sangatlah pahit.

Tiiit!

Baru saja Zehra melupakan sosok tadi, matanya kembali tertuju pada seorang anak yang baru saja turun dari mobil bersama ayahnya.

"Jangan jajan sembarangan ya, nanti bekelnya dihabiskan, Kakak sekolah sampai sore karena Ayah dan Mama harus kerja sampai sore juga," kata pria itu sambil mencium kening anaknya lembut.

Zehra bergeming lagi dengan luka yang makin menganga.

"Ayah ..," gumamnya lagi dengan suara tertahan.

Sementara kedua bola mata Zehra mengikuti langkah gadis itu sampai punggungnya menghilang.

Selain sosok ibu yang pengertian dan sabar, selama ini Zehra juga memang kerap mendamba seorang ayah. Tak heran jika saat ia melihat anak kecil bersama ayahnya seperti tadi, ia akan sedikit ngiri dan bertanya-tanya, ayahku kemana?

Tapi meski begitu, Zehra tak pernah berani menanyakan keberadaan pria yang ingin dipanggilnya ayah itu pada Dewi, pasalnya gadis kecil itu tahu, percuma saja bertanya, ujung-ujungnya hanya siksaan yang akan ia dapatkan dari ibunya, alih-alih ia mengetahui siapa ayahnya.

Tiiit!

Belum juga rasa sakit serta iri di hati Zehra hilang, datang lagi seorang anak yang diantar papa dan mamanya.

"Teman-temaaan!" Anak itu berteriak sambil lari ke arah teman-temannya.

"Hati-hati Sayang, jangan lari begitu, Nak!" teriak papanya.

Sejurus kemudian mamanya juga berlari menyusul anak itu.

"Mamah ... Ayah," rintih Zehra lagi.

Bibirnya yang tipis dan mungil itu bergetar, sementara kedua bola matanya tak kuat lagi menahan kesedihan sampai air mata berhamburkan begitu saja dari sudut matanya yang kecil.

Andai gadis kecil itu bisa meminta, betapa dirinya ingin seperti teman-teman seusianya. Diantar sekolah, dipeluk, dicium, dikejar, disuapi makan, ditemani main, dijemput sekolah dan lainnya. Sayang, bibir kecil itu bahkan belum paham bagaimana cara memintanya.

Wuusssh!

Angin bertiup lembut, sigap tangan kecilnya membereskan anak rambut yang tertiup angin, sementara keringat juga mulai membasahi baju lusuh yang ia pakai.

Di sampingnya Dewi sedang sibuk menawarkan dagangannya pada anak-anak yang lewat di depan mereka.

"Mainannya adek-adek, murah meriah cuma seribuan, mainan ini bagus banget loh bisa loncat sendiri."

"Enggak Mbak, kata Mamaku aku gak boyeh jajan mainan, meningan uangnya buat beyi matanan aja," tolak seorang anak.

Begitulah, kadang Dewi memang harus banyak gigit jari karena anak-anak yang ditawarinya lebih banyak yang menolak daripada membeli.

"Mah, macih yama ya?" tanya Zehra pelan, saat perutnya sudah mulai terasa perih.

"Bawel banget sih! Bentar lagi, jam sebelas pulangnya, sabar! Gak usah banyak nanya biar aku gak makin stres," jawab Dewi ketus, seraya mengipasi dirinya dengan kertas bekas.

Zehra kembali diam, meski perutnya sudah mulai perih, tapi mau bagaimana lagi? Zehra hanya bisa memegangi perut kecilnya itu sampai jatah makan diberikan oleh Dewi.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
D6ta
baru mulai aja udh sedih banget mau lanjutin bacanya, hikss.. sedih lihat anak kecil gitu dikasarin, kasian..
goodnovel comment avatar
Sri Kandy
gak tega lanjut baca jadi stop aja , hati kyk keiris silet , sedih banget bacanya sampai sini aja deh gak sanggup baca bab selanjutnya, terlalu miris ...
goodnovel comment avatar
Anggra
malamw baca ini nangis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status