Share

Bab 2

"Zehra sinii!" Seorang pria paruh baya memanggil gadis yang sedang memegangi perutnya karena lapar itu.

Sekitar lima meter dari tempat Zehra duduk berjualan, ada seorang pedagang cilor. Muhid namanya, pria paruh baya itu kerap memperhatikan Zehra dari kejauhan.

"Sinii," panggilnya lagi.

Zehra bangkit dan gegas berlari ke arahnya dengan riang.

"Iya Pamam, ada apa?"

"Zehra laper ya?"

Zehra mengangguk sambil refleks memegangi perutnya.

"Ini, Zehra makan roti aja dulu." Paman Muhid memberikan roti cokelat yang sengaja ia beli di dekat rumahnya.

Rasa iba yang membuat Paman Muhid tak tega membiarkan Zehra hanya memegangi perutnya ketika lapar tiap kali jualan, yang membuat hati Paman Muhid tergerak membeli roti untuk gadis kecil itu.

"Cela boleh matan?" Zehra bertanya dengan mata yang berbinar, seperti mendapatkan sesuatu yang berharga padahal hanya sepotong roti.

"Ya, makanlah." Paman Muhid mengangguk.

Tanpa menunggu lagi, dilahapnya roti berisi cokelat itu hingga cokelatnya bleberan ke pipi.

Paman Muhid yang selama pernikahannya belum dikaruniai buah hati itu tersenyum getir, hatinya seperti teriris melihat anak berusia tiga tahun yang harusnya mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tuanya malah sering diperlakukan sebaliknya oleh ibunya sendiri.

"Zehra suka?"

Zehra mengangguk, "Cela beyum pelnah matan oti ini, oti ini oti abang-abang, kata Mamah oti ini oti mahal, Cela tak boyeh matan kalena tak bica beyi."

Paman Muhid mengulum senyuman lebar, ucapan Zehra yang masih cadel membuatnya semakin terlihat lucu saja.

"Zehra laper banget ya? Emang Mama belum kasih makan?"

Zehra menggelengkan kepala hingga anak rambutnya menghalangi ujung matanya yang bulat.

"Matannya nanti talo pulang dualan."

Paman Muhid mengernyitkan dahi sebab tak mengerti dengan apa yang diucapkan gadis kecil itu sejak tadi.

"Cela boleh bagi Mamah?"

Paman Muhid mengangguk saja meski tak memahami ucapan Zehra.

Gadis kecil itu lalu berlari menghampiri Dewi, bahkan sebelum dia.mengucapkan terimakasih pada Paman Muhid, sebab Zehra sudah tak sabar ingin segera membagi rotinya pada Dewi.

"Mah, mau oti?" tanyanya sambil menyodorkan sepotong roti yang hanya tinggal sisa setengahnya saja.

Dewi yang tengah bertangkup tangan di atas lutut menoleh.

"Roti? Roti dari mana kamu, hah? Maling ya kamu? Dasar ya kamu kecil-kecil udah berani maling, bikin malu aja!" sentak Dewi. Tanpa rasa iba roti itu ditepisnya kasar hingga jatuh ke tanah.

Brak!

"Otinyaa." Zehra terisak memandangi sepotong roti yang sudah jatuh ke tanah itu. Susah payah ia tahan keinginan dan rasa laparnya hanya karena ingin membagi roti itu pada Dewi, tapi respon yang ia dapatkan malah menyedihkan.

"Udah gak usah nangis, dasar anak pembawa sial, bandel pula kamu ya!" Dicubitnya Zehra hingga gadis kecil itu menjerit.

"Aaa! Mamah cakiiit."

"Rasain kamu! Siapa suruh bikin emosi terus!" Dewi menyentak dan mendengus untuk kesekian puluh.

Sementara gadis kecil yang tak tahu apa-apa itu hanya bisa terisak-isak sambil memegangi bekas cubitan di pipinya.

"Cakiit Mah, ampuun."

"Ampun ampun, dasar anak gak tahu diri!"

Di seberang sana, Paman Muhid yang melihat mereka, tak tega Zehra terus menerus diperlakukan seperti itu, akhirnya tergerak menghampiri mereka.

"Dewi! Udah, jangan begitu sama Zehra, kasihan anakmu itu."

"Pamaaam." Zehra berlari ke belakang kaki Paman Muhid untuk berlindung.

"Pamam otinya dibuang," ucap Zehra lagi sambil dilihatnya kembali roti yang sudah jatuh ke tanah itu dengan air mata yang mengalir di pipi kecilnya. Hatinya sedih sekali padahal perutnya masih terasa lapar.

"Biarin dia Paman, gak usah dibelain, kecil-kecil udah berani maling!" pekik Dewi.

"Zehra gak maling, dia dikasih roti sama saya."

Dewi pun diam, dia berpura-pura tak mendengar ucapan Paman Muhid karena malu tuduhannya pada Zehra ternyata salah.

"Kamu itu kalau sama anak jangan kasar-masar Dew, kasihan, takut mental anak kena gimana?"

"Paman gak usah ikut campur deh, lagipula kebiasaan banget ngasih makan anak orang gak bilang-bilang dulu, kalau Zehra mati karena keracunan emang mau tanggung jawab?" Alih-alih menyadari kesalahannya Dewi malah balik memarahi Paman Muhid.

"Itu 'kan hanya sepotong roti Dewi, mana ada keracunan, saya hanya kasihan saja anakmu itu kelaperan dari tadi, kasihlah dia uang buat jajan kalau saya gak boleh kasih Zehra roti."

"Gak, nanti kebiasaan," ketusnya seraya gegas membereskan barang dagangannya ke dalam kardus.

Dewi kesal, moodnya benar-benar buruk karena Paman Muhid yang menurutnya selalu ikut campur dan sok tahu, akhirnya Dewi putuskan pulang lebih awal saja.

"Ayo bantuin beresin nih mainan, dasar anak pembawa sial!" umpatnya pada Zehra.

Paman Muhid yang tak habis pikir menggelengkan kepala. Sementara Zehra yang masih bersembunyi di belakang kaki Paman Muhid cepat mendekat lalu buru-buru melakukan apa yang Dewi perintahkan. Anak sekecil itu bahkan sudah paham, jika ia tidak segera melakukan perintah ibunya maka dia akan menderita lagi.

"Ayo balik, kamu mau makan 'kan? Aku kasih racun kamu sekalian biar kamu mati." Dewi menarik kasar tangan Zehra. Sementara sebelah tangannya lagi menenteng kardus berisi mainan yang sudah berhasil mereka bereskan.

"Peyan-peyan saja Mah, Cela cape."

"Diam kamu! Pake protes lagi kau, dasar gak tahu diuntung!"

Ditariknya lagi tangan Zehra lebih kencang hingga tubuh kecilnya terseret mengimbangi langkah Dewi yang tergesa-gesa.

"Dadah Pamaaam." Zehra melambai walau ia tengah berada dalam kesusahan.

"Dah Zehra, hati-hati." Paman Muhid balas melambai, perasaan iba kian muncul di hatinya, ia betul-betul tak tega melihat gadis kecil polos itu hanya bisa pasrah menuruti kemauan Dewi yang angkuh dan kejam.

-

-

-

Brukk!

Suara kardus mainan dibanting terdengar kencang di telinga wanita tua yang tengah ada di dalam rumah. Gegas ia keluar.

"Ada apa ini Dewi? Pulang-pulang sudah emosi begitu." Mbah Asti, yang tak lain adalah neneknya Zehra protes.

"Anak ini, anak gak tahu diri, selalu aja bikin Dewi emosi," dengusnya sambil membanting bobot ke atas kursi kayu.

Mbah Asti melirik ke arah cucunya, Zehra yang sedang ketakutan hanya diam memeluk tiang rumah sambil menyeka keringat yang membasahi kening serta anak rambutnya.

"Sini Sayang. Duh cucu Mbah, mau makan?" Dipeluknya Zehra, diusap rambutnya dengan kulit tangan yang sudah hitam dan keriput itu.

Mbah Asti tahu, jika Dewi sedang marah-marah begitu, sudah pasti cucunya akan ketakutan, dan hal yang selalu dia lakukan adalah merangkul Zehra sampai gadis kecil itu tenang.

"Mana mau dia makan, orang perutnya udah kenyang, makan roti enak sendiri aja," sambar Dewi.

Mbah Asti menggeleng kepala. Tak habis pikir, kenapa Dewi bisa sebenci itu pada anaknya sendiri.

"Cela udah mam roti?" tanya Mbah Asti pada gadis kecil yang sekarang duduk di pangkuannya itu.

"Cedikit, otinya jatuh, Mbah."

"Jatuh? Loh kok bisa?"

"Mamah malah-malah Cela mam oti." Zehra menunduk sambil menyatukan ujung dua jari telunjuknya.

Mbah Asti menarik napas panjang. Dia harus memupuk kesabarannya lebih dalam. Sambil mengikat rambut Zehra dengan karet bekas ikatan bayam, dia mencoba bicara lebih pelan pada Dewi.

"Kamu itu jangan suka marah-marah terus kalau sama anak, Dew. Kasihan."

"Habisan Dewi kesel, bisa-bisanya dia makan roti dari orang lain."

"Namanya juga anak-anak, ya wajar aja dia nerima kalau ada yang kasih." Mbah Asti mengelus pucuk kepala Zehra.

Gadis kecil itu tengah asik main ayunan di dasternya Mbah Asti. Imajinasinya berpikir dia sedang mainan ayunan yang sering ia lihat di sekolah saat jualan.

Zehra ingin sekali sekolah, main bersama teman-teman sebayanya, main ayunan, main perosotan dan permainan lainnya yang bahkan Zehra tak tau apa namanya.

Zehra sering sekali mengatakan keinginannya itu pada Mbah Asti, tapi Mbah Asti juga tak berdaya, wanita tua itu tak bisa mewujudkan keinginan Zehra, sebab sekolah PAUD dan Tk pasti mahal biayanya.

"Gak Bu, Zehra tuh gak boleh dibiarin makan roti enak kayak gitu, takut entar dia minta lagi, harganya mahal."

Lagi, Mbah Asti hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia paham Dewi memang jarang punya uang, tapi apa sebegitu gak punya uangnya sampai untuk beli roti saja Dewi tidak sanggup? Lebih-lebih Mbah Asti tahu, Zehra bukan tipe anak yang terus-terusan minta jajan, paling hanya sekali dua kali, itupun kalau Zehra tahu mereka sedang tidak ada uang, Zehra tak pernah maksa.

"Mana tadi Dewi ketemu temen Dewi pula, malu banget temen-temen SD udah pada sukses, eeh Dewi masih harus luntang-lantung jualan sambil diintilin anak pembawa sial ini." Tak punya hati, Dewi bahkan tak segan menoyor kepala Zehra yang tak tahu apa-apa.

Tak heran jika hal itu akhirnya membuat Mbah Asti meradang.

"Dewi! Kalau ngomong itu bok ya dijaga bisa 'kan? Dan enggak usah pake noyor kepala begitu, Zehra itu anak kamu tega-teganya kamu bersikap begitu."

Mata Mbah Asti membulat, tapi tak lantas membuat Dewi takut apalagi menyesali perbuatannya. Wanita itu malah memutar malas bola matanya seperti mengacuhkan omongan Mbah Asti.

"Dewi tuh benci banget sama anak ini, andai bapaknya ada di sini, udah Dewi kasih aja nih anak, dibuang-buang dah sekalian."

"Dewi! Jaga omongan kamu, anak ini gak salah apa-apa, lagipula mau sampai kapan kamu gak nerima Zehra sebagai anak kamu? Apa susahnya kamu beri dia kasih sayang? Toh dia tetep tinggal sama kamu 'kan?"

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status