"Zehra sinii!" Seorang pria paruh baya memanggil gadis yang sedang memegangi perutnya karena lapar itu.
Sekitar lima meter dari tempat Zehra duduk berjualan, ada seorang pedagang cilor. Muhid namanya, pria paruh baya itu kerap memperhatikan Zehra dari kejauhan."Sinii," panggilnya lagi.Zehra bangkit dan gegas berlari ke arahnya dengan riang."Iya Pamam, ada apa?""Zehra laper ya?"Zehra mengangguk sambil refleks memegangi perutnya."Ini, Zehra makan roti aja dulu." Paman Muhid memberikan roti cokelat yang sengaja ia beli di dekat rumahnya.Rasa iba yang membuat Paman Muhid tak tega membiarkan Zehra hanya memegangi perutnya ketika lapar tiap kali jualan, yang membuat hati Paman Muhid tergerak membeli roti untuk gadis kecil itu."Cela boleh matan?" Zehra bertanya dengan mata yang berbinar, seperti mendapatkan sesuatu yang berharga padahal hanya sepotong roti."Ya, makanlah." Paman Muhid mengangguk.Tanpa menunggu lagi, dilahapnya roti berisi cokelat itu hingga cokelatnya bleberan ke pipi.Paman Muhid yang selama pernikahannya belum dikaruniai buah hati itu tersenyum getir, hatinya seperti teriris melihat anak berusia tiga tahun yang harusnya mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tuanya malah sering diperlakukan sebaliknya oleh ibunya sendiri."Zehra suka?"Zehra mengangguk, "Cela beyum pelnah matan oti ini, oti ini oti abang-abang, kata Mamah oti ini oti mahal, Cela tak boyeh matan kalena tak bica beyi."Paman Muhid mengulum senyuman lebar, ucapan Zehra yang masih cadel membuatnya semakin terlihat lucu saja."Zehra laper banget ya? Emang Mama belum kasih makan?"Zehra menggelengkan kepala hingga anak rambutnya menghalangi ujung matanya yang bulat."Matannya nanti talo pulang dualan."Paman Muhid mengernyitkan dahi sebab tak mengerti dengan apa yang diucapkan gadis kecil itu sejak tadi."Cela boleh bagi Mamah?"Paman Muhid mengangguk saja meski tak memahami ucapan Zehra.Gadis kecil itu lalu berlari menghampiri Dewi, bahkan sebelum dia.mengucapkan terimakasih pada Paman Muhid, sebab Zehra sudah tak sabar ingin segera membagi rotinya pada Dewi."Mah, mau oti?" tanyanya sambil menyodorkan sepotong roti yang hanya tinggal sisa setengahnya saja.Dewi yang tengah bertangkup tangan di atas lutut menoleh."Roti? Roti dari mana kamu, hah? Maling ya kamu? Dasar ya kamu kecil-kecil udah berani maling, bikin malu aja!" sentak Dewi. Tanpa rasa iba roti itu ditepisnya kasar hingga jatuh ke tanah.Brak!"Otinyaa." Zehra terisak memandangi sepotong roti yang sudah jatuh ke tanah itu. Susah payah ia tahan keinginan dan rasa laparnya hanya karena ingin membagi roti itu pada Dewi, tapi respon yang ia dapatkan malah menyedihkan."Udah gak usah nangis, dasar anak pembawa sial, bandel pula kamu ya!" Dicubitnya Zehra hingga gadis kecil itu menjerit."Aaa! Mamah cakiiit.""Rasain kamu! Siapa suruh bikin emosi terus!" Dewi menyentak dan mendengus untuk kesekian puluh.Sementara gadis kecil yang tak tahu apa-apa itu hanya bisa terisak-isak sambil memegangi bekas cubitan di pipinya."Cakiit Mah, ampuun.""Ampun ampun, dasar anak gak tahu diri!"Di seberang sana, Paman Muhid yang melihat mereka, tak tega Zehra terus menerus diperlakukan seperti itu, akhirnya tergerak menghampiri mereka."Dewi! Udah, jangan begitu sama Zehra, kasihan anakmu itu.""Pamaaam." Zehra berlari ke belakang kaki Paman Muhid untuk berlindung."Pamam otinya dibuang," ucap Zehra lagi sambil dilihatnya kembali roti yang sudah jatuh ke tanah itu dengan air mata yang mengalir di pipi kecilnya. Hatinya sedih sekali padahal perutnya masih terasa lapar."Biarin dia Paman, gak usah dibelain, kecil-kecil udah berani maling!" pekik Dewi."Zehra gak maling, dia dikasih roti sama saya."Dewi pun diam, dia berpura-pura tak mendengar ucapan Paman Muhid karena malu tuduhannya pada Zehra ternyata salah."Kamu itu kalau sama anak jangan kasar-masar Dew, kasihan, takut mental anak kena gimana?""Paman gak usah ikut campur deh, lagipula kebiasaan banget ngasih makan anak orang gak bilang-bilang dulu, kalau Zehra mati karena keracunan emang mau tanggung jawab?" Alih-alih menyadari kesalahannya Dewi malah balik memarahi Paman Muhid."Itu 'kan hanya sepotong roti Dewi, mana ada keracunan, saya hanya kasihan saja anakmu itu kelaperan dari tadi, kasihlah dia uang buat jajan kalau saya gak boleh kasih Zehra roti.""Gak, nanti kebiasaan," ketusnya seraya gegas membereskan barang dagangannya ke dalam kardus.Dewi kesal, moodnya benar-benar buruk karena Paman Muhid yang menurutnya selalu ikut campur dan sok tahu, akhirnya Dewi putuskan pulang lebih awal saja."Ayo bantuin beresin nih mainan, dasar anak pembawa sial!" umpatnya pada Zehra.Paman Muhid yang tak habis pikir menggelengkan kepala. Sementara Zehra yang masih bersembunyi di belakang kaki Paman Muhid cepat mendekat lalu buru-buru melakukan apa yang Dewi perintahkan. Anak sekecil itu bahkan sudah paham, jika ia tidak segera melakukan perintah ibunya maka dia akan menderita lagi."Ayo balik, kamu mau makan 'kan? Aku kasih racun kamu sekalian biar kamu mati." Dewi menarik kasar tangan Zehra. Sementara sebelah tangannya lagi menenteng kardus berisi mainan yang sudah berhasil mereka bereskan."Peyan-peyan saja Mah, Cela cape.""Diam kamu! Pake protes lagi kau, dasar gak tahu diuntung!"Ditariknya lagi tangan Zehra lebih kencang hingga tubuh kecilnya terseret mengimbangi langkah Dewi yang tergesa-gesa."Dadah Pamaaam." Zehra melambai walau ia tengah berada dalam kesusahan."Dah Zehra, hati-hati." Paman Muhid balas melambai, perasaan iba kian muncul di hatinya, ia betul-betul tak tega melihat gadis kecil polos itu hanya bisa pasrah menuruti kemauan Dewi yang angkuh dan kejam.---Brukk!Suara kardus mainan dibanting terdengar kencang di telinga wanita tua yang tengah ada di dalam rumah. Gegas ia keluar."Ada apa ini Dewi? Pulang-pulang sudah emosi begitu." Mbah Asti, yang tak lain adalah neneknya Zehra protes."Anak ini, anak gak tahu diri, selalu aja bikin Dewi emosi," dengusnya sambil membanting bobot ke atas kursi kayu.Mbah Asti melirik ke arah cucunya, Zehra yang sedang ketakutan hanya diam memeluk tiang rumah sambil menyeka keringat yang membasahi kening serta anak rambutnya."Sini Sayang. Duh cucu Mbah, mau makan?" Dipeluknya Zehra, diusap rambutnya dengan kulit tangan yang sudah hitam dan keriput itu.Mbah Asti tahu, jika Dewi sedang marah-marah begitu, sudah pasti cucunya akan ketakutan, dan hal yang selalu dia lakukan adalah merangkul Zehra sampai gadis kecil itu tenang."Mana mau dia makan, orang perutnya udah kenyang, makan roti enak sendiri aja," sambar Dewi.Mbah Asti menggeleng kepala. Tak habis pikir, kenapa Dewi bisa sebenci itu pada anaknya sendiri."Cela udah mam roti?" tanya Mbah Asti pada gadis kecil yang sekarang duduk di pangkuannya itu."Cedikit, otinya jatuh, Mbah.""Jatuh? Loh kok bisa?""Mamah malah-malah Cela mam oti." Zehra menunduk sambil menyatukan ujung dua jari telunjuknya.Mbah Asti menarik napas panjang. Dia harus memupuk kesabarannya lebih dalam. Sambil mengikat rambut Zehra dengan karet bekas ikatan bayam, dia mencoba bicara lebih pelan pada Dewi."Kamu itu jangan suka marah-marah terus kalau sama anak, Dew. Kasihan.""Habisan Dewi kesel, bisa-bisanya dia makan roti dari orang lain.""Namanya juga anak-anak, ya wajar aja dia nerima kalau ada yang kasih." Mbah Asti mengelus pucuk kepala Zehra.Gadis kecil itu tengah asik main ayunan di dasternya Mbah Asti. Imajinasinya berpikir dia sedang mainan ayunan yang sering ia lihat di sekolah saat jualan.Zehra ingin sekali sekolah, main bersama teman-teman sebayanya, main ayunan, main perosotan dan permainan lainnya yang bahkan Zehra tak tau apa namanya.Zehra sering sekali mengatakan keinginannya itu pada Mbah Asti, tapi Mbah Asti juga tak berdaya, wanita tua itu tak bisa mewujudkan keinginan Zehra, sebab sekolah PAUD dan Tk pasti mahal biayanya."Gak Bu, Zehra tuh gak boleh dibiarin makan roti enak kayak gitu, takut entar dia minta lagi, harganya mahal."Lagi, Mbah Asti hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia paham Dewi memang jarang punya uang, tapi apa sebegitu gak punya uangnya sampai untuk beli roti saja Dewi tidak sanggup? Lebih-lebih Mbah Asti tahu, Zehra bukan tipe anak yang terus-terusan minta jajan, paling hanya sekali dua kali, itupun kalau Zehra tahu mereka sedang tidak ada uang, Zehra tak pernah maksa."Mana tadi Dewi ketemu temen Dewi pula, malu banget temen-temen SD udah pada sukses, eeh Dewi masih harus luntang-lantung jualan sambil diintilin anak pembawa sial ini." Tak punya hati, Dewi bahkan tak segan menoyor kepala Zehra yang tak tahu apa-apa.Tak heran jika hal itu akhirnya membuat Mbah Asti meradang."Dewi! Kalau ngomong itu bok ya dijaga bisa 'kan? Dan enggak usah pake noyor kepala begitu, Zehra itu anak kamu tega-teganya kamu bersikap begitu."Mata Mbah Asti membulat, tapi tak lantas membuat Dewi takut apalagi menyesali perbuatannya. Wanita itu malah memutar malas bola matanya seperti mengacuhkan omongan Mbah Asti."Dewi tuh benci banget sama anak ini, andai bapaknya ada di sini, udah Dewi kasih aja nih anak, dibuang-buang dah sekalian.""Dewi! Jaga omongan kamu, anak ini gak salah apa-apa, lagipula mau sampai kapan kamu gak nerima Zehra sebagai anak kamu? Apa susahnya kamu beri dia kasih sayang? Toh dia tetep tinggal sama kamu 'kan?""Ya ya ya terserah Ibu aja, Ibu gak ngerasain apa yang Dewi rasain, jadi mudah aja Ibu ngomong gitu.""Kata siapa Ibu gak ngerasain, hah? Selama ini Ibu menderita karena ulahmu!"Dewi dan Mbah Asti beradu mulut sampai membuat Zehra diam ketakutan, gadis kecil itu lalu turun dari daster Mbah Asti."Mbah, kenapa malah-malah?" tanyanya sambil mengelus kedua pipi Mbah Asti.Wanita tua itu menarik napas panjang dan berusaha menormalkan diri secepat mungkin."Enggak Sayang, Mbah gak lagi marah, Cela masuk dulu ke dalam yah, lihat tv." Mbah Asti sengaja menyuruh Zehra masuk agar gadis itu tak melihat dia sedang bersitegang dengan Dewi."Oh oke, Mbah." Zehra mengangkat kedua jempol mungilnya, lalu masuk ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil."Kalau kamu marah sama suamimu jangan lampiaskan pada Zehra, sana cari suami kamu itu, lagipula semua ini 'kan karena kesalahanmu juga." Mbah Asti kembali bicara."Kok Ibu jadi nyalahin Dewi begini sih?""Ya jelas Ibu salahin kamu, mau salahin siapa la
Bus berhenti di terminal tujuan. Zehra dan Dewi pun gegas turun."Kata Ibu abis dari terminal ini aku naik ojek." Dewi bergumam sendiri sambil memindai sekelilingnya, wanita itu mencari pangkalan ojek yang dimaksudkan Mbah Asti."Nah itu dia."Cepat, ditariknya kasar tangan Zehra hingga gadis kecil itu terseret-seret sambil mengaduh kesakitan."Aduuh ... cakit Mah, cakit tangan Cela.""Udah gak usah manja, biar cepet sampe kamu gak usah banyak ngeluh." Dewi benar-benar tak peduli walau Zehra capek ataupun sakit. Baginya, Zehra hanyalah beban, beban peninggalan suaminya yang kabur empat tahun silam."Ah sial, bakal aku kasih nih anak sama bapaknya kalo entar ketemu," dengusnya sambil mempercepat langkah.Sampai di pangkalan ojek, Dewi buru-buru menunjukan alamat yang akan dia tuju."Bang, bisa antar ke alamat ini?""Bisa Mbak, ayo." Abang ojek gegas memakai helm dan menyalakan motornya."Ini anaknya?" tanya abang ojek saat Dewi tengah sibuk memakai helm juga."Bukan, ini anak orang,
"Ya bisa, asal kamu tetep harus utamain Zehra dibanding pekerjaanmu nantinya." Dewi terkejut, dia tak habis pikir, bisa-bisanya ada orang sebaik Nyonya Trissy. Di saat pada umumnya majikan meminta agar pegawainya lebih mengutamakan pekerjaan, ini malah urusan anak sendiri yang harus dinomor satukan. Luar biasa."Tapi sekarang kalian istirahat aja dulu, ya."Dewi mengerjap. Sementara Nyonya Trissy bangkit dari posisinya, mengajak Dewi dan Zehra ke kamar belakang."Kalian tidur di sini gak apa-apa 'kan?"Dewi celingukan sebelum menjawab pertanyaan Nyonya Trissy. Kamarnya cukup luas dan bersih, sudah lengkap dengan kasur, Ac dan lemari juga. "Gak apa-apa Nyonya. Kami bisa tidur di mana saja." Cepat, Dewi duduk di atas kasur empuk itu, Zehra mengikutinya."Ya sudah kalian istirahat aja dulu ya," kata Nyonya Trissy lagi.Dewi cepat menggeleng, "tapi Nyonya saya udah istirahat tadi di posnya Pak Nes, sekarang mau langsung kerja saja." "Beneran kamu mau langsung kerja?""Beneran, Nyonya
"Gak apa-apa Nyonya, kapan-kapan aja." Dewi mendadak tak bersemangat, dia masih terbayang wajah Fras saat tadi dia melihatnya di dalam mobil mewah.***Jam dinding sudah menunjukan pukul sebelas malam, tapi gadis kecil bernama Zehra itu masih belum bisa tidur. Dia gelisah, berbalik ke kanan dan kiri sampai berpuluh kali.Biasanya kalau di kampung, Zehra tidur dengan Mbah Asti, wanita tua itu akan menyanyikan lagu sebelum tidur atau berdongeng untuk Zehra sampai gadis kecil itu terlelap, tapi kali ini tidak ada yang bisa melakukannya, itulah sebabnya Zehra belum bisa tidur walau sudah larut malam.Ditatapnya Dewi yang sudah terlelap di atas kasur, sementara Zehra hanya tidur di bawahnya dengan alas seadanya."Aduh pelut Cela lapel," ringis Zehra sambil memegangi perutnya.Gadis kecil itu pun bangkit, gara-gara dia belum bisa tidur, akhirnya perut dia terasa lapar."Bagaimana Cela bisa matan?"Zehra bingung sendiri, dia ingin membangunkan Dewi untuk minta tolong, tapi dipikirnya lagi be
Nyonya Trissy agak kesal.Dewi mengerjap, "oh itu anu Nyonya ... tadinya mau saya kasih, tapi tadi Zehra keburu tidur." Dewi beralasan."Ya sudah, besok-besok kamu tawari sore hari aja biar gak kelewat kayak gini, paham?""Baik, Nyonya."***Pagi-pagi sekali sebelum Dewi berangkat ke pasar, Zehra sudah dibangunkan dan disuruh menyapu halaman oleh Dewi untuk membantu meringankan tugasnya."Nyapu tuh yang bersih, aku mau pergi ke pasar dulu, pokoknya pulang dari pasar halaman udah harus bersih, paham?"Zehra mengangguk sambil memeluk sapu lidi yang dilemparkan Dewi padanya.Tangan kecil itu bahkan belum mampu memegang sapu lidi dengan benar, tapi Zehra tetap melakukannya sebab jika tidak, ia bisa kena marah lagi dari Dewi."Maah, Cela boyeh itut?"Dewi yang sudah berjalan selangkah menuju gerbang kembali berbalik."Jangan harap!" pekiknya dengan mata melotot.Zehra terperanjat, gadis kecil itu akhirnya hanya bisa diam sambil menyaksikan ibunya pergi.Tiiitt!Sebuah klakson mobil berbuny
Suara deru mobil Fras terdengar khas di telinga Laura, wanita berusia 27 tahun itu gegas berlari menuju pintu rumah.Dengan wajah berseri ia menyambut kedatangan suami tercintanya, dibukanya pintu rumah lebar-lebar. Dan betapa kagetnya ia saat ia melihat suaminya itu datang bersama seorang anak kecil."Siapa ini, Mas?" tanya Laura cepat."Kenalin, ini Zehra." Fras tersenyum lebar pada istrinya.Laura membalas sekenanya, ia masih bingung."Zehra? Ya tapi ini anak siapa, Mas?" tanyanya lagi."Anakku lah, anak siapa lagi?"Wajah Laura mendadak tegang, "an-nakmu?"Fras tertawa lebar, "aku cuma bercanda, Sayaang," kekehnya seraya mengelus pipi Laura.Cepat Luara tepis tangan Fras, "isshh kamu ini, bercandanya gak lucu," dengusnya seraya masuk ke dalam rumah."Iya iya deh maaf. Oh ya, kenalin, ini Zehra, anaknya Art baru di rumah, Mami." "Art? Emang ada Art baru di rumah, Mami?""Ada Sayang, baru datang kemarin katanya.""Ouuh, tapi kok bisa kamu bawa anaknya ke sini? Emang emaknya gak mar
***Esok harinya.Zehra terbangun dengan tubuh yang sakit dan ngilu. Dengan langkah pelan dan terseret-seret, gadis kecil itu mendekati Dewi yang sedang sibuk mencuci piring di dapur."Oh masih hidup kamu? Aku pikir kamu udah mati karena kemarin aku gebukin," ketus Dewi.Zehra yang masih ingat kejadian kemarin tak mau banyak bicara, ia benar-benar ketakutan."Sana ambil lap! Terus lapin tuh meja dan kaca-kaca," titah Dewi sambil menyentak.Zehra mengangguk, dan gegas melakukan apa yang Dewi perintahkan. Tangan kecilnya mengelap kaki meja sebisanya, lanjut mengelap kaca dan apa saja yang bisa ia jangkau untuk dibersihkan.Sesekali Zehra melirik ke arah Dewi yang juga sedang sibuk dengan pekerjaannya. Hatinya sedih sekali karena ia merasa Dewi tak pernah menyayanginya."Apa kamu lihat-lihat? Sana kerja!" sengit Dewi.Zehra mengerjap. Cepat, ia seka air mata yang beranak sungai di pipinya dan gegas melanjutkan pekerjaan."Dew, hari ini kamu ke supermarket ya, belanja bahan masakan, anak
"Mamah belanja," jawab Zehra polos.Laura menggeleng tak habis pikir. Gegas ia pun membawa masuk Zehra ke dalam untuk menemui Nyonya Trissy.Sementara Fras yang kini tengah dilanda gundah memilih duduk di kursi taman samping rumah untuk menenangkan pikirannya."Jika benar apa yang dikatakan Dewi tadi, apakah aku harus menerima anak itu? Tapi bagaimana caranya aku membuat Laura mengerti? Dia pasti akan sangat kecewa padaku, dan aku benar-benar tidak mau kehilangannya." Fras bergumam sendiri sambil meremas wajahnya kasar.Sementara di rumah, Laura mencari Nyonya Trissy sambil teriak."Mamiii! Mii!""Hei Sayang, udah datang?""Mami, coba Mami lihat ini." Tanpa basa-basi Laura menunjukan luka lebam di tangan Zehra.Nyonya Trissy terbelalak. "Ya ampuun, Zehra ini kamu kenapa, Nak?""Tadi Zehra bilang dia dipukul sama mamanya, Mi." Laura yang menjawab."Apa? Dipukul? Dipukul sampe lebam-lebam begini? Si Dewi itu emang bener-bener keterlaluan," ujar Nyonya Trissy sambil menggeleng-gelengkan