"Ya sudah Pak, boleh. Saya izinkan Bapak menjemput Zehra pulang sekolah tapi itu pun kalau gak merepotkan Bapak.""Terimakasih Dew." Pak Indra mengecup pucuk kepala Zehra.Gadis kecil itu hanya tersenyum membalasnya.***Esok harinya Pak Indra benar-benar menjemput Zehra. Pria itu merasa sangat bahagia sebab impian di masa tuanya terkabul bahkan lebih cepat dari dugaannya. Sepulang menjemput Zehra, Pak Indra juga menyempatkan diri bermain dengan cucu satu-satunya itu sampai lewat tengah hari. Pria itu benar-benar menikmati hidupnya bersama Zehra.Walau sekarang hidupnya kekurangan bahkan cenderung miskin, ia sudah tak peduli lagi. Baginya yang terpenting sekarang adalah dia selalu melihat dan bertemu Zehra setiap hari.Sebab hal itu adalah kebahagiaan yang tak bisa ia dapatkan dari manapun. "Cel ... Opa pulang dulu ya, Cela istirahat 'kan capek main terus dari tadi.""Iya, Opa. Tapi eman Cela tak boyeh itut Opa puyang te lumah Opa?""Nanti ya Nak, sekarang belum saatnya. Nanti kalau
Nyonya Nagita lalu bangkit. Perutnya terasa lapar. Dia baru ingat dari pagi dia belum makan apa-apa. "Ah meningan aku nyari makan ke jalan raya," katanya.Nyonya Nagita jalan tergesa ke jalan raya. Dan saking tergesanya dia sampai tak memperhatikan lalu lalamg mobil yang sedang ramai hingga akhirnya ia terserempet mobil.Bughh. Gedebussh."Aaaa!"Dalam sekali hantaman Nyonya Nagita langsung tak sadarkan diri. Kepalanya terbentur ke bahu jalan sampai keningnya sobek dan mengeluarkan darah yang tak sedikit.Sontak saja semua orang yang ada di sekitar sana langsung berlari mengerubungi Nyonya Nagita."Eh ada kecelakaan ada kecelakaan.""Ada apa itu Dew?" Koh Liem yang melihat orang-orang berlarian depan tokonya ikutan panik."Gak tahu Koh, mungkin ada kecelakaan. Coba Dewi lihat dulu boleh gak Koh?""Ya udah sana sana."Karena penasaran, Dewi gegas lari ke arah orang-orang yang sedang berkerubung."Bawa aja bawa ke rumah sakit.""Tapi siapa yang bakal tanggung jawab? Mana gak ada yang k
Fras mengangguk. Dia agak merasa heran dengan pertanyaan Nyonya Nagita yang mendadak seperti memperdulikan Dewi."Ya Tuhan Fras bisa-bisanya kamu nyuruh Dewi pulang sendirian. Kasihan dia, ini udah malem. Kalau terjadi apa-apa sama dia gimana?"Fras terbelalak. Antara haru dan tak percaya matanya sampai berkaca-kaca."Sana pergi, antarkan dia pulang," titah Nyonya Nagita.Fras mengerjap dan refleks bangkit mengejar Dewi keluar. Tapi sayang rupanya Dewi sudah pergi naik angkot."Ah udah gak ada pula," dengus Fras.Dia pun terpaksa kembali ke ruangannya Nyonya Nagita."Loh kamu kok balik lagi aja?""Dewi udah pergi, Ma. Dia udah naik angkot kayaknya.""Yaah telat kamu Fras."***Seminggu kemudian. Di hari minggu. Zehra dan Dewi kebetulan sedang libur jadi mereka semua sedang ada di rumah.Tok tok tok."Ceel, bisa tolong bukain pintu? Mama lagi nyapu Sayaang!" teriak Dewi."Ote, Mamah."Zehra gegas berhambur ke depan.Kreet."Papaaa. Opaaa." Gadis kecil itu tersenyum lebar dan langsung b
"Mah, cela mau cekolah," rengek gadis kecil bertubuh kurus saat melewati gerbang taman kanak-kanak dan PAUD.Sepasang mata kecilnya terus menatap ke arah taman, di mana ada beberapa anak yang sedang main perosotan dan ayunan dengan riangnya. Sementara langkah kakinya sedikit terseret karena harus mengimbangi langkah wanita yang tengah jalan bersamanya."Apa sih nyusahin aja! Boro-boro sekolah, udah bisa makan aja kamu tuh harusnya bersyukur!" sentak Dewi, wanita muda berusia 21 tahun sambil menepis kasar tangan mungil anaknya itu."Aw Maah, cakiit." Zehra meringis."Gak usah sok manja, awas!" sentak wanita bernama Dewi itu lagi.Zehra mundur selangkah, sementara Dewi gegas menggelarkan barang dagangannya di emperan jalan dekat pagar sekolah."Mau makan gak entar siang? Kalau mau makan cepet beresin nih mainan! Biar anak-anak yang mau sekolah pada beli.""Iya, Mah." Gadis kecil berusia tiga tahun yang enam bulan lagi akan berulang tahun ke empatnya itu mengangguk, lalu dengan cepat ia
"Zehra sinii!" Seorang pria paruh baya memanggil gadis yang sedang memegangi perutnya karena lapar itu.Sekitar lima meter dari tempat Zehra duduk berjualan, ada seorang pedagang cilor. Muhid namanya, pria paruh baya itu kerap memperhatikan Zehra dari kejauhan."Sinii," panggilnya lagi.Zehra bangkit dan gegas berlari ke arahnya dengan riang."Iya Pamam, ada apa?""Zehra laper ya?"Zehra mengangguk sambil refleks memegangi perutnya."Ini, Zehra makan roti aja dulu." Paman Muhid memberikan roti cokelat yang sengaja ia beli di dekat rumahnya. Rasa iba yang membuat Paman Muhid tak tega membiarkan Zehra hanya memegangi perutnya ketika lapar tiap kali jualan, yang membuat hati Paman Muhid tergerak membeli roti untuk gadis kecil itu."Cela boleh matan?" Zehra bertanya dengan mata yang berbinar, seperti mendapatkan sesuatu yang berharga padahal hanya sepotong roti."Ya, makanlah." Paman Muhid mengangguk.Tanpa menunggu lagi, dilahapnya roti berisi cokelat itu hingga cokelatnya bleberan ke p
"Ya ya ya terserah Ibu aja, Ibu gak ngerasain apa yang Dewi rasain, jadi mudah aja Ibu ngomong gitu.""Kata siapa Ibu gak ngerasain, hah? Selama ini Ibu menderita karena ulahmu!"Dewi dan Mbah Asti beradu mulut sampai membuat Zehra diam ketakutan, gadis kecil itu lalu turun dari daster Mbah Asti."Mbah, kenapa malah-malah?" tanyanya sambil mengelus kedua pipi Mbah Asti.Wanita tua itu menarik napas panjang dan berusaha menormalkan diri secepat mungkin."Enggak Sayang, Mbah gak lagi marah, Cela masuk dulu ke dalam yah, lihat tv." Mbah Asti sengaja menyuruh Zehra masuk agar gadis itu tak melihat dia sedang bersitegang dengan Dewi."Oh oke, Mbah." Zehra mengangkat kedua jempol mungilnya, lalu masuk ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil."Kalau kamu marah sama suamimu jangan lampiaskan pada Zehra, sana cari suami kamu itu, lagipula semua ini 'kan karena kesalahanmu juga." Mbah Asti kembali bicara."Kok Ibu jadi nyalahin Dewi begini sih?""Ya jelas Ibu salahin kamu, mau salahin siapa la
Bus berhenti di terminal tujuan. Zehra dan Dewi pun gegas turun."Kata Ibu abis dari terminal ini aku naik ojek." Dewi bergumam sendiri sambil memindai sekelilingnya, wanita itu mencari pangkalan ojek yang dimaksudkan Mbah Asti."Nah itu dia."Cepat, ditariknya kasar tangan Zehra hingga gadis kecil itu terseret-seret sambil mengaduh kesakitan."Aduuh ... cakit Mah, cakit tangan Cela.""Udah gak usah manja, biar cepet sampe kamu gak usah banyak ngeluh." Dewi benar-benar tak peduli walau Zehra capek ataupun sakit. Baginya, Zehra hanyalah beban, beban peninggalan suaminya yang kabur empat tahun silam."Ah sial, bakal aku kasih nih anak sama bapaknya kalo entar ketemu," dengusnya sambil mempercepat langkah.Sampai di pangkalan ojek, Dewi buru-buru menunjukan alamat yang akan dia tuju."Bang, bisa antar ke alamat ini?""Bisa Mbak, ayo." Abang ojek gegas memakai helm dan menyalakan motornya."Ini anaknya?" tanya abang ojek saat Dewi tengah sibuk memakai helm juga."Bukan, ini anak orang,
"Ya bisa, asal kamu tetep harus utamain Zehra dibanding pekerjaanmu nantinya." Dewi terkejut, dia tak habis pikir, bisa-bisanya ada orang sebaik Nyonya Trissy. Di saat pada umumnya majikan meminta agar pegawainya lebih mengutamakan pekerjaan, ini malah urusan anak sendiri yang harus dinomor satukan. Luar biasa."Tapi sekarang kalian istirahat aja dulu, ya."Dewi mengerjap. Sementara Nyonya Trissy bangkit dari posisinya, mengajak Dewi dan Zehra ke kamar belakang."Kalian tidur di sini gak apa-apa 'kan?"Dewi celingukan sebelum menjawab pertanyaan Nyonya Trissy. Kamarnya cukup luas dan bersih, sudah lengkap dengan kasur, Ac dan lemari juga. "Gak apa-apa Nyonya. Kami bisa tidur di mana saja." Cepat, Dewi duduk di atas kasur empuk itu, Zehra mengikutinya."Ya sudah kalian istirahat aja dulu ya," kata Nyonya Trissy lagi.Dewi cepat menggeleng, "tapi Nyonya saya udah istirahat tadi di posnya Pak Nes, sekarang mau langsung kerja saja." "Beneran kamu mau langsung kerja?""Beneran, Nyonya