"Ya ya ya terserah Ibu aja, Ibu gak ngerasain apa yang Dewi rasain, jadi mudah aja Ibu ngomong gitu."
"Kata siapa Ibu gak ngerasain, hah? Selama ini Ibu menderita karena ulahmu!"Dewi dan Mbah Asti beradu mulut sampai membuat Zehra diam ketakutan, gadis kecil itu lalu turun dari daster Mbah Asti."Mbah, kenapa malah-malah?" tanyanya sambil mengelus kedua pipi Mbah Asti.Wanita tua itu menarik napas panjang dan berusaha menormalkan diri secepat mungkin."Enggak Sayang, Mbah gak lagi marah, Cela masuk dulu ke dalam yah, lihat tv." Mbah Asti sengaja menyuruh Zehra masuk agar gadis itu tak melihat dia sedang bersitegang dengan Dewi."Oh oke, Mbah." Zehra mengangkat kedua jempol mungilnya, lalu masuk ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil."Kalau kamu marah sama suamimu jangan lampiaskan pada Zehra, sana cari suami kamu itu, lagipula semua ini 'kan karena kesalahanmu juga." Mbah Asti kembali bicara."Kok Ibu jadi nyalahin Dewi begini sih?""Ya jelas Ibu salahin kamu, mau salahin siapa lagi? Andai dulu kamu itu gak buru-buru nikah sama Fras orang kota itu, pasti sekarang Ibu gak akan sestres ini, kamu juga pasti lagi nikmati masa-masa mudamu. Entah kerja kayak si Ratna, entah kuliah kayak si Mala, atau kayak temen-temenmu yang lainnya."Teg!Ucapan Mbah Asti seketika membuat hati Dewi kembali sakit. Yang dikatakan ibunya memang benar, tapi Dewi berpikir apa perlu ibunya membahas masalah itu lagi?Fras, adalah nama yang berusaha Dewi kubur baik-baik, karena saat mendengar atau ada orang yang membahas masalah lelaki itu, hati Dewi pasti kembali sakit."Cari sana ke kota suamimu itu, barangkali nanti kamu ketemu sama dia." Mbah Asti lagi-lagi mengatakan itu, membuat Dewi makin bad mood saja."Mau cari kemana, Bu? Jakarta itu luas, lagian mau cari pake apa? Uang aja gak punya."Dewi melipatkan kedua tangannya di dada, lalu bersender pada tiang rumah yang terbuat dari kayu jati, sementara kedua bola matanya menatap jauh ke arah bukit hijau di seberang sana."Salahmu sih asal nikah aja, gak tahu orang tuanya, gak tahu tempat tinggalnya, waktu itu Ibu bilang jangan asal cinta aja, eh tapi kamunya malah ngeyel. Akhirnya? Mana? Baru setahun nikah udah kabur tuh si Fras." Lagi, Mbah Asti mengeluarkan kemarahan yang selama ini memenuhi rongga dadanya. Yang jika diibaratkan, kemarahan dan kekecewaannya itu mungkin seperti banyaknya buih di lautan."Jakarta memang luas, tapi kalau kamu berusaha gak ada yang gak mungkin 'kan? Soal uang, kamu bisa sambil kerja di rumah majikan Ibu dulu, dia orangnya baik, kali aja dia sedang butuh orang baru buat kerja di rumahnya, kalau kata istilah kamu nyelam sambil minum air, jadi nyari suami sambil nyari duit juga."Dewi yang tengah buntu, menurunkan kedua tangannya, lalu berbalik menghadap Mbah Asti."Kerja di rumah mantan majikan Ibu? Tapi emang Ibu yakin kalau Dewi kesana Dewi pasti diterima kerja?""Ya coba aja dulu, nanti alamatnya Ibu kasih. Dia orangnya baik, asal kamu kerja yang jujur dan gak banyak tingkah. Dulu dia juga pengen banget ketemu sama kamu waktu kamu masih SD tapi Ibu keburu berhenti kerja, jadinya Ibu gak sempet kenalin kamu sama Nyonya Trissy."Dewi mengigit bibirnya sedikit sambil berpikir."Tapi nanti Zehra gimana, Bu?""Ya kamu bawa aja dulu Dewi, siapa tahu 'kan nanti kamu ketemu sama suamimu itu, biar si Fras juga mau balik lagi sama kamu dia harus tahu kalau kamu udah punya anak dari dia.""Tapi kalau Mas Fras malah nolak Zehra gimana, Bu?"Mbah Asti mengembuskan napas berat. Dewi ini memang banyak alasan sekali, maunya ketemu sama Fras tapi tak ada effort sama sekali."Masa iya ditolak, orang Zehra mirip banget sama bapaknya gitu, lagian kalau Fras tahu dia punya anak dari kamu, kalaupun dia gak mau balik lagi sama kamu seenggaknya Zehra akan ada yang jamin hidupnya karena nafkah anak 'kan tetap tanggung jawab bapaknya sampai kapanpun."Dewi menggit bibir sambil kembali berpikir panjang, "bener juga apa kata Ibu, walau bakal sulit tapi mungkin ini emang saatnya Dewi mencari pria brengsek itu, bakal Dewi tuntut itu laki, enak aja anaknya udah segede gitu dia kagak pernah ikut ngasih makan."***Dengan bekal uang seratus ribu dari Mbah Asti, Dewi berangkat membawa Zehra naik bus.Zehra sangat senang mendengar dirinya akan pergi naik bus ke kota, karena selama ini gadis kecil itu hanya bisa diam menyimak saat teman-temannya cerita dengan semangat soal perjalanan mereka naik bus, naik kereta, naik taksi, naik pesawat dan lainnya bersama ayah dan ibu mereka. Dan sekarang gadis kecil itu juga akan merasakan bagaimana rasanya naik bus bersama mamahnya."Holee holee Cela mau naik Bus," soraknya sambil melompat-lompat."Apaan sih lebay," ketus Dewi."Cela ... nanti kalau sudah sampai jangan nakal ya, inget pesan Mbah, Cela harus jadi anak yang baik, oke.""Oke, Mbah." Zehra mengangkat kedua jempol mungilnya.Mbah Asti menciumi pipi dan pucuk kepala gadis kecil itu sebelum akhirnya mereka naik bus."Daah Mbah, Cela jalan-jalan dulu ya." Zehra melambaikan tangan di kaca bus.Dibalas lesu oleh Mbah Asti. Sebetulnya berat bagi Mbah Asti melepaskan cucunya pergi, lebih-lebih hanya berdua saja dengan Dewi yang tak pernah mau bersikap baik. Tapi ia merasa jika dirinya terus menerus memikirkan ego dan ketakutannya sendiri, kasihan Zehra, walau bagaimanapun cucunya itu memang berhak bertemu dengan ayah kandungnya."Udah gak usah lebay, malu." Dewi menarik kasar baju Zehra agar gadis kecil itu kembali duduk di dekatnya.Akhirnya Zehra duduk tenang sesuai permintaan Dewi, walau suara gaduh penumpang lainnya membuat Zehra tak bisa diam lama-lama, ia kembali berdiri di depan kursinya sambil menoleh ke ke kiri dan kanan, ke depan dan belakang dengan perasaan amat senang."Bisa duduk gak sih kamu? Jangan gerak-gerak mulu!" sentak Dewi sambil melotot.Wanita itu jengkel karena Zehra tak bisa diatur sesuai keinginannya."Maaf, Mah." Zehra yang langsung ketakutan akhirnya kembali duduk.-"Cangcimen cangcimen cangcimen."Krorok krorok krorok!Satu persatu orang yang berjualan mulai masuk ke dalam bus, membuat perhatian Zehra lagi-lagi teralih.Gadis kecil itu melihat ada beberapa orang pria membawa tahu yang sangat banyak di gantungan tangannya, ada juga yang membawa minuman segar, ada juga yang membawa buah yang sudah diiris tipis, dll.Zehra tertarik, dengan polosnya gadis kecil itu bahkan hampir menerima minuman yang disodorkan salah satu pedagang asongan padanya."Enggak, Bang. Makasih." Dewi cepat menepis kembali minuman itu sebelum Zehra berhasil mengambilnya."Anaknya mau tuh, Mbak," kata pedang asongan itu."Enggak enggak enggak, gak ada duit," ketus Dewi.Pedagang asongan itu menjebik lalu berlalu ke kursi yang lainnya. Sementara kedua bola mata Zehra masih memperhatikan minuman itu sampai tubuhnya yang mungil miring-miring ke belakang. Dia ingin sekali merasakan minuman dingin berwarna orange yang ditawarkan padanya itu. Tapi dia bisa apa?Bus berhenti di terminal tujuan. Zehra dan Dewi pun gegas turun."Kata Ibu abis dari terminal ini aku naik ojek." Dewi bergumam sendiri sambil memindai sekelilingnya, wanita itu mencari pangkalan ojek yang dimaksudkan Mbah Asti."Nah itu dia."Cepat, ditariknya kasar tangan Zehra hingga gadis kecil itu terseret-seret sambil mengaduh kesakitan."Aduuh ... cakit Mah, cakit tangan Cela.""Udah gak usah manja, biar cepet sampe kamu gak usah banyak ngeluh." Dewi benar-benar tak peduli walau Zehra capek ataupun sakit. Baginya, Zehra hanyalah beban, beban peninggalan suaminya yang kabur empat tahun silam."Ah sial, bakal aku kasih nih anak sama bapaknya kalo entar ketemu," dengusnya sambil mempercepat langkah.Sampai di pangkalan ojek, Dewi buru-buru menunjukan alamat yang akan dia tuju."Bang, bisa antar ke alamat ini?""Bisa Mbak, ayo." Abang ojek gegas memakai helm dan menyalakan motornya."Ini anaknya?" tanya abang ojek saat Dewi tengah sibuk memakai helm juga."Bukan, ini anak orang,
"Ya bisa, asal kamu tetep harus utamain Zehra dibanding pekerjaanmu nantinya." Dewi terkejut, dia tak habis pikir, bisa-bisanya ada orang sebaik Nyonya Trissy. Di saat pada umumnya majikan meminta agar pegawainya lebih mengutamakan pekerjaan, ini malah urusan anak sendiri yang harus dinomor satukan. Luar biasa."Tapi sekarang kalian istirahat aja dulu, ya."Dewi mengerjap. Sementara Nyonya Trissy bangkit dari posisinya, mengajak Dewi dan Zehra ke kamar belakang."Kalian tidur di sini gak apa-apa 'kan?"Dewi celingukan sebelum menjawab pertanyaan Nyonya Trissy. Kamarnya cukup luas dan bersih, sudah lengkap dengan kasur, Ac dan lemari juga. "Gak apa-apa Nyonya. Kami bisa tidur di mana saja." Cepat, Dewi duduk di atas kasur empuk itu, Zehra mengikutinya."Ya sudah kalian istirahat aja dulu ya," kata Nyonya Trissy lagi.Dewi cepat menggeleng, "tapi Nyonya saya udah istirahat tadi di posnya Pak Nes, sekarang mau langsung kerja saja." "Beneran kamu mau langsung kerja?""Beneran, Nyonya
"Gak apa-apa Nyonya, kapan-kapan aja." Dewi mendadak tak bersemangat, dia masih terbayang wajah Fras saat tadi dia melihatnya di dalam mobil mewah.***Jam dinding sudah menunjukan pukul sebelas malam, tapi gadis kecil bernama Zehra itu masih belum bisa tidur. Dia gelisah, berbalik ke kanan dan kiri sampai berpuluh kali.Biasanya kalau di kampung, Zehra tidur dengan Mbah Asti, wanita tua itu akan menyanyikan lagu sebelum tidur atau berdongeng untuk Zehra sampai gadis kecil itu terlelap, tapi kali ini tidak ada yang bisa melakukannya, itulah sebabnya Zehra belum bisa tidur walau sudah larut malam.Ditatapnya Dewi yang sudah terlelap di atas kasur, sementara Zehra hanya tidur di bawahnya dengan alas seadanya."Aduh pelut Cela lapel," ringis Zehra sambil memegangi perutnya.Gadis kecil itu pun bangkit, gara-gara dia belum bisa tidur, akhirnya perut dia terasa lapar."Bagaimana Cela bisa matan?"Zehra bingung sendiri, dia ingin membangunkan Dewi untuk minta tolong, tapi dipikirnya lagi be
Nyonya Trissy agak kesal.Dewi mengerjap, "oh itu anu Nyonya ... tadinya mau saya kasih, tapi tadi Zehra keburu tidur." Dewi beralasan."Ya sudah, besok-besok kamu tawari sore hari aja biar gak kelewat kayak gini, paham?""Baik, Nyonya."***Pagi-pagi sekali sebelum Dewi berangkat ke pasar, Zehra sudah dibangunkan dan disuruh menyapu halaman oleh Dewi untuk membantu meringankan tugasnya."Nyapu tuh yang bersih, aku mau pergi ke pasar dulu, pokoknya pulang dari pasar halaman udah harus bersih, paham?"Zehra mengangguk sambil memeluk sapu lidi yang dilemparkan Dewi padanya.Tangan kecil itu bahkan belum mampu memegang sapu lidi dengan benar, tapi Zehra tetap melakukannya sebab jika tidak, ia bisa kena marah lagi dari Dewi."Maah, Cela boyeh itut?"Dewi yang sudah berjalan selangkah menuju gerbang kembali berbalik."Jangan harap!" pekiknya dengan mata melotot.Zehra terperanjat, gadis kecil itu akhirnya hanya bisa diam sambil menyaksikan ibunya pergi.Tiiitt!Sebuah klakson mobil berbuny
Suara deru mobil Fras terdengar khas di telinga Laura, wanita berusia 27 tahun itu gegas berlari menuju pintu rumah.Dengan wajah berseri ia menyambut kedatangan suami tercintanya, dibukanya pintu rumah lebar-lebar. Dan betapa kagetnya ia saat ia melihat suaminya itu datang bersama seorang anak kecil."Siapa ini, Mas?" tanya Laura cepat."Kenalin, ini Zehra." Fras tersenyum lebar pada istrinya.Laura membalas sekenanya, ia masih bingung."Zehra? Ya tapi ini anak siapa, Mas?" tanyanya lagi."Anakku lah, anak siapa lagi?"Wajah Laura mendadak tegang, "an-nakmu?"Fras tertawa lebar, "aku cuma bercanda, Sayaang," kekehnya seraya mengelus pipi Laura.Cepat Luara tepis tangan Fras, "isshh kamu ini, bercandanya gak lucu," dengusnya seraya masuk ke dalam rumah."Iya iya deh maaf. Oh ya, kenalin, ini Zehra, anaknya Art baru di rumah, Mami." "Art? Emang ada Art baru di rumah, Mami?""Ada Sayang, baru datang kemarin katanya.""Ouuh, tapi kok bisa kamu bawa anaknya ke sini? Emang emaknya gak mar
***Esok harinya.Zehra terbangun dengan tubuh yang sakit dan ngilu. Dengan langkah pelan dan terseret-seret, gadis kecil itu mendekati Dewi yang sedang sibuk mencuci piring di dapur."Oh masih hidup kamu? Aku pikir kamu udah mati karena kemarin aku gebukin," ketus Dewi.Zehra yang masih ingat kejadian kemarin tak mau banyak bicara, ia benar-benar ketakutan."Sana ambil lap! Terus lapin tuh meja dan kaca-kaca," titah Dewi sambil menyentak.Zehra mengangguk, dan gegas melakukan apa yang Dewi perintahkan. Tangan kecilnya mengelap kaki meja sebisanya, lanjut mengelap kaca dan apa saja yang bisa ia jangkau untuk dibersihkan.Sesekali Zehra melirik ke arah Dewi yang juga sedang sibuk dengan pekerjaannya. Hatinya sedih sekali karena ia merasa Dewi tak pernah menyayanginya."Apa kamu lihat-lihat? Sana kerja!" sengit Dewi.Zehra mengerjap. Cepat, ia seka air mata yang beranak sungai di pipinya dan gegas melanjutkan pekerjaan."Dew, hari ini kamu ke supermarket ya, belanja bahan masakan, anak
"Mamah belanja," jawab Zehra polos.Laura menggeleng tak habis pikir. Gegas ia pun membawa masuk Zehra ke dalam untuk menemui Nyonya Trissy.Sementara Fras yang kini tengah dilanda gundah memilih duduk di kursi taman samping rumah untuk menenangkan pikirannya."Jika benar apa yang dikatakan Dewi tadi, apakah aku harus menerima anak itu? Tapi bagaimana caranya aku membuat Laura mengerti? Dia pasti akan sangat kecewa padaku, dan aku benar-benar tidak mau kehilangannya." Fras bergumam sendiri sambil meremas wajahnya kasar.Sementara di rumah, Laura mencari Nyonya Trissy sambil teriak."Mamiii! Mii!""Hei Sayang, udah datang?""Mami, coba Mami lihat ini." Tanpa basa-basi Laura menunjukan luka lebam di tangan Zehra.Nyonya Trissy terbelalak. "Ya ampuun, Zehra ini kamu kenapa, Nak?""Tadi Zehra bilang dia dipukul sama mamanya, Mi." Laura yang menjawab."Apa? Dipukul? Dipukul sampe lebam-lebam begini? Si Dewi itu emang bener-bener keterlaluan," ujar Nyonya Trissy sambil menggeleng-gelengkan
Laura Turun ke bawah hendak mengambil makanan ringan yang tadi ia bawa untuk Zehra. Dan saat kakinya berhenti di meja makan samar-samar ia dengar suara orang sedang bicara sambil terisak-isak. Gegas ia pun pergi mencari sumber suara."Mami lagi apa? Apa itu ART barunya Mami?" tanyanya sendiri.Laura mematung sebentar sambil memperhatikan mereka."Mungkin ini gak adil buat kamu Dewi, tapi Zehra juga berhak mendapat keadilan, kamu gak bisa menyalahkan Zehra hanya karena apa yang sudah terjadi, yang salah tetap suamimu, dan Zehra sama sekali gak tahu apa-apa," ujar Nyonya Trissy panjang lebar.Dewi diam dan kembali membuang wajahnya."Saya bicara seperti ini sebab pernah merasakan apa yang kamu rasakan sekarang, Dew," ujar Nyonya Trissy lagi."Saya tahu bagaimana beratnya kehidupan yang harus kita jalani saat seorang pria yang kita percaya justru menghancurkan hidup kita. Tapi Dew, semuanya sudah terjadi, meski kamu menangis seperti ini semua gak akan merubah keadaan. Dan satu yang pasti