Share

Bab 3

"Ya ya ya terserah Ibu aja, Ibu gak ngerasain apa yang Dewi rasain, jadi mudah aja Ibu ngomong gitu."

"Kata siapa Ibu gak ngerasain, hah? Selama ini Ibu menderita karena ulahmu!"

Dewi dan Mbah Asti beradu mulut sampai membuat Zehra diam ketakutan, gadis kecil itu lalu turun dari daster Mbah Asti.

"Mbah, kenapa malah-malah?" tanyanya sambil mengelus kedua pipi Mbah Asti.

Wanita tua itu menarik napas panjang dan berusaha menormalkan diri secepat mungkin.

"Enggak Sayang, Mbah gak lagi marah, Cela masuk dulu ke dalam yah, lihat tv." Mbah Asti sengaja menyuruh Zehra masuk agar gadis itu tak melihat dia sedang bersitegang dengan Dewi.

"Oh oke, Mbah." Zehra mengangkat kedua jempol mungilnya, lalu masuk ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil.

"Kalau kamu marah sama suamimu jangan lampiaskan pada Zehra, sana cari suami kamu itu, lagipula semua ini 'kan karena kesalahanmu juga." Mbah Asti kembali bicara.

"Kok Ibu jadi nyalahin Dewi begini sih?"

"Ya jelas Ibu salahin kamu, mau salahin siapa lagi? Andai dulu kamu itu gak buru-buru nikah sama Fras orang kota itu, pasti sekarang Ibu gak akan sestres ini, kamu juga pasti lagi nikmati masa-masa mudamu. Entah kerja kayak si Ratna, entah kuliah kayak si Mala, atau kayak temen-temenmu yang lainnya."

Teg!

Ucapan Mbah Asti seketika membuat hati Dewi kembali sakit. Yang dikatakan ibunya memang benar, tapi Dewi berpikir apa perlu ibunya membahas masalah itu lagi?

Fras, adalah nama yang berusaha Dewi kubur baik-baik, karena saat mendengar atau ada orang yang membahas masalah lelaki itu, hati Dewi pasti kembali sakit.

"Cari sana ke kota suamimu itu, barangkali nanti kamu ketemu sama dia." Mbah Asti lagi-lagi mengatakan itu, membuat Dewi makin bad mood saja.

"Mau cari kemana, Bu? Jakarta itu luas, lagian mau cari pake apa? Uang aja gak punya."

Dewi melipatkan kedua tangannya di dada, lalu bersender pada tiang rumah yang terbuat dari kayu jati, sementara kedua bola matanya menatap jauh ke arah bukit hijau di seberang sana.

"Salahmu sih asal nikah aja, gak tahu orang tuanya, gak tahu tempat tinggalnya, waktu itu Ibu bilang jangan asal cinta aja, eh tapi kamunya malah ngeyel. Akhirnya? Mana? Baru setahun nikah udah kabur tuh si Fras." Lagi, Mbah Asti mengeluarkan kemarahan yang selama ini memenuhi rongga dadanya. Yang jika diibaratkan, kemarahan dan kekecewaannya itu mungkin seperti banyaknya buih di lautan.

"Jakarta memang luas, tapi kalau kamu berusaha gak ada yang gak mungkin 'kan? Soal uang, kamu bisa sambil kerja di rumah majikan Ibu dulu, dia orangnya baik, kali aja dia sedang butuh orang baru buat kerja di rumahnya, kalau kata istilah kamu nyelam sambil minum air, jadi nyari suami sambil nyari duit juga."

Dewi yang tengah buntu, menurunkan kedua tangannya, lalu berbalik menghadap Mbah Asti.

"Kerja di rumah mantan majikan Ibu? Tapi emang Ibu yakin kalau Dewi kesana Dewi pasti diterima kerja?"

"Ya coba aja dulu, nanti alamatnya Ibu kasih. Dia orangnya baik, asal kamu kerja yang jujur dan gak banyak tingkah. Dulu dia juga pengen banget ketemu sama kamu waktu kamu masih SD tapi Ibu keburu berhenti kerja, jadinya Ibu gak sempet kenalin kamu sama Nyonya Trissy."

Dewi mengigit bibirnya sedikit sambil berpikir.

"Tapi nanti Zehra gimana, Bu?"

"Ya kamu bawa aja dulu Dewi, siapa tahu 'kan nanti kamu ketemu sama suamimu itu, biar si Fras juga mau balik lagi sama kamu dia harus tahu kalau kamu udah punya anak dari dia."

"Tapi kalau Mas Fras malah nolak Zehra gimana, Bu?"

Mbah Asti mengembuskan napas berat. Dewi ini memang banyak alasan sekali, maunya ketemu sama Fras tapi tak ada effort sama sekali.

"Masa iya ditolak, orang Zehra mirip banget sama bapaknya gitu, lagian kalau Fras tahu dia punya anak dari kamu, kalaupun dia gak mau balik lagi sama kamu seenggaknya Zehra akan ada yang jamin hidupnya karena nafkah anak 'kan tetap tanggung jawab bapaknya sampai kapanpun."

Dewi menggit bibir sambil kembali berpikir panjang, "bener juga apa kata Ibu, walau bakal sulit tapi mungkin ini emang saatnya Dewi mencari pria brengsek itu, bakal Dewi tuntut itu laki, enak aja anaknya udah segede gitu dia kagak pernah ikut ngasih makan."

***

Dengan bekal uang seratus ribu dari Mbah Asti, Dewi berangkat membawa Zehra naik bus.

Zehra sangat senang mendengar dirinya akan pergi naik bus ke kota, karena selama ini gadis kecil itu hanya bisa diam menyimak saat teman-temannya cerita dengan semangat soal perjalanan mereka naik bus, naik kereta, naik taksi, naik pesawat dan lainnya bersama ayah dan ibu mereka. Dan sekarang gadis kecil itu juga akan merasakan bagaimana rasanya naik bus bersama mamahnya.

"Holee holee Cela mau naik Bus," soraknya sambil melompat-lompat.

"Apaan sih lebay," ketus Dewi.

"Cela ... nanti kalau sudah sampai jangan nakal ya, inget pesan Mbah, Cela harus jadi anak yang baik, oke."

"Oke, Mbah." Zehra mengangkat kedua jempol mungilnya.

Mbah Asti menciumi pipi dan pucuk kepala gadis kecil itu sebelum akhirnya mereka naik bus.

"Daah Mbah, Cela jalan-jalan dulu ya." Zehra melambaikan tangan di kaca bus.

Dibalas lesu oleh Mbah Asti. Sebetulnya berat bagi Mbah Asti melepaskan cucunya pergi, lebih-lebih hanya berdua saja dengan Dewi yang tak pernah mau bersikap baik. Tapi ia merasa jika dirinya terus menerus memikirkan ego dan ketakutannya sendiri, kasihan Zehra, walau bagaimanapun cucunya itu memang berhak bertemu dengan ayah kandungnya.

"Udah gak usah lebay, malu." Dewi menarik kasar baju Zehra agar gadis kecil itu kembali duduk di dekatnya.

Akhirnya Zehra duduk tenang sesuai permintaan Dewi, walau suara gaduh penumpang lainnya membuat Zehra tak bisa diam lama-lama, ia kembali berdiri di depan kursinya sambil menoleh ke ke kiri dan kanan, ke depan dan belakang dengan perasaan amat senang.

"Bisa duduk gak sih kamu? Jangan gerak-gerak mulu!" sentak Dewi sambil melotot.

Wanita itu jengkel karena Zehra tak bisa diatur sesuai keinginannya.

"Maaf, Mah." Zehra yang langsung ketakutan akhirnya kembali duduk.

-

"Cangcimen cangcimen cangcimen."

Krorok krorok krorok!

Satu persatu orang yang berjualan mulai masuk ke dalam bus, membuat perhatian Zehra lagi-lagi teralih.

Gadis kecil itu melihat ada beberapa orang pria membawa tahu yang sangat banyak di gantungan tangannya, ada juga yang membawa minuman segar, ada juga yang membawa buah yang sudah diiris tipis, dll.

Zehra tertarik, dengan polosnya gadis kecil itu bahkan hampir menerima minuman yang disodorkan salah satu pedagang asongan padanya.

"Enggak, Bang. Makasih." Dewi cepat menepis kembali minuman itu sebelum Zehra berhasil mengambilnya.

"Anaknya mau tuh, Mbak," kata pedang asongan itu.

"Enggak enggak enggak, gak ada duit," ketus Dewi.

Pedagang asongan itu menjebik lalu berlalu ke kursi yang lainnya. Sementara kedua bola mata Zehra masih memperhatikan minuman itu sampai tubuhnya yang mungil miring-miring ke belakang. Dia ingin sekali merasakan minuman dingin berwarna orange yang ditawarkan padanya itu. Tapi dia bisa apa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status