Dengan menumpangi motor dan rasa panik di hati yang tak terkira kubawa putraku ke rumah sakit terdekat. Di sana ia langsung di beri pertolongan dan diinfus karena sudah terlalu lemah.
Dokter yang memeriksa hanya bisa menggelengkan kepala dan menyuruh kami untuk mengganti pakaian Dimas dengan baju yang lebih bersih, dan menyuapinya makanan apa saja, segera, agar bisa menambah tenaga. Aku tak lagi berpikir apa yang akan dilakukan polisi pada Kang Agus dan istri barunya, aku hanya sedang fokus pada kesehatan dan bagaimana menyelamatkan anakku yang nampa lemas dan kekurangan gizi itu. "Sejak kapan ini terjadi?" "Saya gak tahu, Pak, tapi, saya meninggalkan rumah sudah lima tahun lalu, dan baru kembali jam sembilan tadi," jawabku sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu malam. Rasa haus dan lapar mulai mengeruk di perut, namun, aku sungguh tak tega meninggalkan Dimas meski hanya sebentar, kugenggam tangan anakku yang kini tertidur di kasur berseprai putih. "Ini, Teh, minum dulu," ucap adik sepupuku Eman yang datang membawakan sebotol air. "Terima kasih ya," ucapku. "Apa kabar dengan mereka yang di mekar sari?" tanyaku sesudah meneguk air. "Sudah dibawa ke kantor polisi buat diperiksa Teh," jawabnya. "Aku gak boleh senang dulu, bisa jadi mereka bikin alasan atau menyogok polisi agar bisa bebas," ujarku menahan rasa curiga. "Gak mungkin semudah itu, Teh, kecuali mereka punya pendukung kuat dari belakang." "Uang bisa melakukan apapun, Eman," jawabku gamang. "Kenapa bisa bisanya Teteh percaya sekali sama si Akang, gak pernah curiga sedikit pun? Kenapa ini bisa terjadi?" Pemuda itu mengeluh dengan nada sesal. "Suamiku sudah menipuku, bodohnya aku selalu percaya dengan semua ucapan manis dan bualannya, seakan semuanya baik baik saja. Kadang dia bilang, Abah dan emak ke sawah, sibuk dengan panen mereka yang melimpah, kadang dia bilang sedang banyak urusan dan lain sebagainya. Begitupun tentang anak anak," jawabku mengusap air mata sambil mengingat apa yang terjadi. "Kenapa gak minta kabar dari orang lain Teh ...? Lagi pula ... Mungkin karena posisi rumah yang berjauhan, bikin kita jarang tahu apa yang terjadi," ungkap Eman sambil mendecak sesal. "Apa kamu sungguh tidak tahu kalau Akang menikah dengan Rina?" "Tahu sih Teh, tapi baru baru ini, aku gak yahu kalo si Akang udah nikah lama dan telantarkan anak anak Teteh," jawabnya. "Kenapa kalian tidak ada yang curiga? Dari lamanya aku di Hongkong, apa kalian tidak curiga kalau pria itu sering membawa uang yang banyak?" "Nggak pernah kelihatan berduit Teh, karena ngakunya Teteh belum pernah ngirimin duit. Kang Agus ngakunya kalau teteh nabung duit sendiri, jadi mau dibawa pulang sekalian," balasnya. Kembali diri ini menerawang dan menghitung kembali berapa jumlah uang yang kubawa, sungguh tidak ada seperempat dari jumlah gaji selama 5 tahun, hanya beberapa juta saja yang konon modalnya akan kugunakan untuk menambah isi warung. Kupikir warung itu benar-benar ada di dunia nyata, namun ternyata semua kata-kata yang Kang Agus berikan hanyalah bualan belaka. Dia membesarkan hatiku dengan semua harapan palsu. "Apa benar si akang beli sawah dan sapi?" "Mana ada Teh, itu rumahnya Teteh aja aku yang bangun bersama kepala tukangku, sialnya Kang Agus belum membayar sisa gaji harian kami, kalo tidak marena rasa iba dari tukang , tentu rumah itu tidak akan kami selesaikan karena sikap Kang Agus yang tidak jujur dan menahan upah kami," jawab Pemuda itu dengan sorot mata penuh benci. "Jadi dia belum melunasi biaya pembangunan?" "Malah sebagian semen kami beli sendiri Teh, dengan harapan nantinya Kang Agus akan mengganti semua itu, tapi ternyata sia-sia saja. Mau ditagih Kang Agusnya jarang pulang. Lagipula pria itu berubah jadi temperamen ditambah aku khawatir, menjaga perasaan keluarga, jadi kami pun juga tidak mau ribut," jawab Eman dengan gagapan menerawang. Ya Allah, bukan cuma luka dan derita yang dia berikan, tapi juga beban dan rasa malu yang ditinggalkan untukku di Sukamaju. Dia kabur dan bahagia dengan istri barunya ke desa lain sementara keluargaku morat marit dan ditekan rasa malu. Pulang dari HK, bukannya bisa bahagia dan istirahat, malah insiden tak menyenangkan harus kusaksikan dan telan pahit. Ya Allah, sungguh berat ujian ini. Percakapan kami terpaksa berakhir ketika dokter datang dan membawa beberapa obat untuk putraku. "Untuk sekarang biarkan istirahat ya, Bu, kalo bangun, tolong suapkan bubur hangat, dan berikan obat ini. Besok kalo kondisinya agak baikan, kita obati luka koreng yang ada di sekujur tubuh anaknya." "Saya sungguh minta tolong Dok, tolong sembuhkan anak saya, saya akan melakukan apa saja untuk membiayainya," ungkapku menangis. "Jangan khawatir, saya hanya heran saja kenapa bisa begini," ucap dokter itu lirih. " Entahlah, Dok. Tapi elaku penelantaran dan penyiksaan sudah ditahan Dok," jawabku. "Mereka benar-benar akan dihukum dengan benar dan adil kan?* Apa Ibu sudah punya cukup bukti dan saksi?" "Saya akan ke kantor polisi besok untuk melengkapi keterangan saya," jawabku. "Kalau begitu mari harapkan hal yang terbaik untuk ibu dan keluarga," balasnya sambil tersenyum, lalu pamit memeriksa keadaan pasien lain. Kubenahi selimut yang menutupi wajah Dimas, kuusap wajahnya, menyentuh tangannya yang penuh luka dan nanah, melihat roman polos dan menderita di balik tidurnya rasa tak kuasa diri ini menahan air mata. Berkali kali kubisikkan kata maaf ke telinganya. Kusibak rambutnya yang tidak terurus dan mencoba mengurangi sedikit demi sedikit hewan kecil yang telah hidup dari menyedot darah anakku. Bisa jadi lemas yang dialami oleh Dimas bukan lemas karena lapar saja, tapi anemia karena begitu banyaknya kutu yang memenuhi kepalanya, bahkan sampai ke bantal bantal. Aku sungguh tak kuasa menyaksikan pemandangan miris ini, andai bisa ditukar, biar aku yang mengalami semua kejadian buruk dan menyiksanya. Kuperas kompres lalu meletakkan di keningnya lalu kulanjutkan untuk membersihkan kepala anakku. Waktu telah berangsur menunjukkan pukul dua, ada Eman dan Rizal adiknya sudah menggelar tikar seadanya di lantai lalu tertidur, menemani kami di rumah sakit. Aku tetap setia menjaga putraku, sembari memikirkan apa yang akan kulakukan esok. Aku ingin para penjahat kejam itu ditahan dan dipenjara, di samping aku harus mencari cara untuk mengambil kembali harta dan uangku, di saat bersamaan juga aku ingin sekali memberi pelajaran yang berat pada mereka semua, terlebih Kang Agus dan Rina. Andai wanita itu bebas tanpa syarat di kantor polisi,.maka akan kugunakan cara bar-bar agar dia membayar penderitaan kedua anakku. Jika Dimas dan tari sudah hancur karena koreng dan luka-luka ini, wanita itu juga harus dibuat cacat dan kehilangan kecantikannya. Ya, aku harus memberinya pelajaran. * Keesokan hari, ibu dan bapakku datang membawakan pakaian ganti untuk Dimas. Ibu dan ayah sangat sedih melihat putraku meski keadaannya berangsur membaik dan sudah mulai mau makan. Dokter memintaku untuk mendorongkan kursi roda dan membawa Dimas keluar, lalu seorang perawat mencukur rambutnya agar obat-obatan bisa dioleskan ke permukaan kepala putraku. Sungguh hancur hati ini melihat keadaan Dimas setelah digunduli. Tidak 1 inci pun di bagian kepalanya yang tidak terluka dan berkerak merah, baunya juga amis dan kurasa itu amat pedih dan gatal. Perawat mulai mengoleskan salep dan anakku menangis mengadu bahwa salepnya perih dan panas. Aku yang iba hanya bisa memeluk dan menguatkan, kuberi dia semangat dan menyakinkan bahwa semua yang terjadi bukan salahnya. "Bu, Dimas minta maaf, jangan marahi Dimas, ini sakit Bu, aduh ...," keluhnya berurai air mata. "Sabar ya, ini biar sembuh, Nak." "Sakit Bu ...." "Insya Allah sakit dan gatalnya akan segera kering yang penting kamu bertahan ya Nak," jawabku menghiburnya. Jauh dilubuk hati diantara kesedihan dan luka yang terdalam, aku begitu murka dan dendam atas perlakuan Rina dan ibunya. Aku benci pada wanita tua berwajah sangar itu, Aku ingin sekali mendatanginya lalu menghajarnya habis-habisan. Sayang mereka semua sedang berada di kantor polisi. Tidak lama kemudian Eman datang dan memberi tahu kalau aku harus pulang dan mengganti baju, lalu pergi menyusul ke kantor kepolisian untuk memberikan keterangan dan laporanku. Aku butuh kekuatan dan keberanian, Insya Allah aku akan membuat mereka menderita. Andaipun jika kalah, maka akan kugunakan cara rimba.Tahun demi tahun bergulir, anak anak sudah makin besar, keadaan kami membaik dan makin makmur. Usaha sudah cukup berkembang pesat, malah aku sudah pindahkan lokasi tokonya ke depan jalan agar mudah diakses semua orang. Pembeli makin berdatangan, membuat pundi rupiah mengalir deras, kedua orang tuaku juga makin nyaman karena hidup mereka sedikit kutanggung menanggung dan rumah bilik mereka sudah kuubah menjadi rumah petak berdinding tembok yang lebih aman.Semuanya berjalan lancar hingga satu pagi yang mengejutkan. Kang Agus datang!Aku yang sedang sibuk menyapu toko tiba-tiba dikejutkan oleh panggilannya dari belakangku,Entah dia telah bebas lebih cepat karena sikap baiknya selama di penjara atau dia telah menjamin dirinya sendiri, aku tak paham. Yang pasti dia berdiri di depanku sementara diri ini terpana."Ka-kamu?"Hampir saja jantungku terlepas dari rongga dada menatapnya yang tersenyum, mengenakan topi dan jaket hitam yang tebal.Kami saling menatap untuk beberapa saat dia t
Salah seorang warga desaku yang adiknya tertahan di penjara karena kasus pencurian datang, dia berkunjung dan mengutarakan niat untuk bertemu. Saat itu aku sedang di toko mengurusi pembeli dan memasang label harga pada barang."Permisi punten, apa boleh saya ketemu Teh Ratna," sapa wanita itu dengan sopan."Ya, ini saya," balasku."Boleh kita bicara sebentar?""Oh, baik, mari masuk, silakan duduk," ajakku masuk ke dalam toko. Wanita itu tersenyum menanggapi, dia memperkenalkan diri sambil berbasa-basi tentang harga bibit sayur."Jadi gimana Teh, ada apa?""Begini? Saya kemarin dari lapas menjenguk adik saya, kebetulan saya melihat Kang Agus," ujarnya dengan mimik serius."Terus kenapa, Teh?""Dia berantem, Teh, melawan empat orang bertato yang mirip preman, Kang Agus babak belur dan dibawah ke kantor lapas, mungkin mau dikasih obat atau dihukum gak tahu juga," imbuhnya."Mungkin sebaiknya Teteh beritahu masalah ini ke Rina, istri barunya di Mekarsari, kalo sama saya gak ada hubung
Tahukah, bahwa perkara cerai adalah hal yang dibenci Allah meski diperbolehkan, dalam beberapa kajian Islam, kita yang sudah menikah disarankan untuk selalu berpikir dua kali, menimbang bahwa setiap orang pasti punya sisi baik meski sisi buruk lebih menonjol. Memang kita tak direkomendasikan untuk selalu membawa masalah rumah tangga ke jalur perceraian, tapi jika kebersamaan lebih banyak membawa mudharat, maka hidup ini terlalu singkat demi hanya dibawa makan hati dan menderita. Aku menghargai setiap pendapat dan prinsip yang coba dipaparkan oleh sebagian orang, mereka menasehatiku agar tak bercerai demi anak, agar aku tak sendirian, tapi mayoritas dari mereka yang memberi wejangan adalah mereka yang rumah tangganya dari dulu hingga sekarang bahagia, tak pernah dibohongi, dipukuli, bahkan dikhianati. Timbul pertanyaan dalam hatiku, jika salah satu masalah di atas menimpa mereka, atau serupa dengan yang kualami, sungguh sanggupkah mereka menahan dan bersabar? Kurasa ... tidak.Namun
Aku kembali dengan hatiKali ini aku dipertemukan lagi dengan Kang Agus di pengadilan, dia duduk di sampingku, tapi dalam keadaan diborgol, dia mengenakan kemeja putih dengan peci, nampak diam tanpa mengatakan apapun yang duduk berjarak dua meter darinya. Keluargaku dan keluarga istrinya duduk di kursi pengunjung dan menyimak, begitu juga Ratna yang nampak diam di sudut depan, mengenakan dress panjang dan cardigan, menutup perutnya yang mulai membuncit.Tak banyak aku menyimak karena sibuk dalam pikiran sendiri. Sibuk membayangkan episode baru dalam hidupku, lebih berharap aku akan menjalani hidup tentram tanpa gangguan siapa pun, hingga menit demi menit berlalu.Putusannya sama, sama seperti cerita cerita perceraian lain, palu diketuk dan selesai, aku bangun, membungkuk terima kasih pada orang orang di sekitar, menyalami hakim dan bergegas pergi. Kang Agus nampak ingin bicara, tapi tak berkesempatan karena aku sudah pergi meninggalkannya. Hanya wajah bingung dan kecewa yang terl
Assalamualaikum, maaf sebelumnya.Mungkin ini pesan terakhir, aku menjamin tak akan ada lagi gangguan atau hal yang membuat kita tak nyaman. Aku akan bercerai dengan Kang Agus, semoga kabar ini melegakan hatimu.Kalimat yang kutulis dengan format pesan singkat itu, terkirim ke nomor Rina. Aku berharap semoga wanita itu membuka dan membacanya sehingga dia tak lagi menjadikan aku atau anak-anakku sebagai penghalang kebahagiaannya. Dia tak perlu mengkhawatirkan hal tak penting, membesarkan kecemasan sehingga selalu berpikir untuk memusuhi kami.Mengapa bercerai? Aku tak menuntut perceraian kalian, aku hanya minta Kang Agus dibebaskan agar dia bisa mendampingi kehamilanku. Tentang berbagi suami dan waktu itu tak masalah untukku.Itu balasan yang masuk lima menit berikutnya.Aku tak tahu jalan pikiran wanita itu, mengapa dia bisa memiliki gagasan untuk mempertahankan cinta segitiga yang tidak akan nyaman untuk kami semua? Tak mengapa bagimu, tapi masalah bagiku, aku tak mau makan hati.
"Mengapa kau terlihat sebal sekali dari tadi anakku?""Aku dapat telepon dari petugas kepolisian bahwa, Agus ingin bertemu," jawabku."Apa yang dia inginkan?" tenya Emak mendekatiku, lalu diduk di sebelahku."Tidak tahu.""Mungkinkah, dia ingin minta maaf?""Tidak tahu, juga, Mak.""Jadi, Apa kau mau menemuinya?""Tidak akan?""Biasanya seseorang yang sudah dipenjara mulai merasakan sedih dan penyesalan. Mungkin suamimu juga sedang merasakan hal yang sama, jadi dia ingin mengaku, dan minta pengampuan.""Buat apa? Pengampunan tidak akan mengubah segalanya. Aku sudah rugi dan anak-anakku ... mereka harus mendapatkan bimbingan konseling untuk mengobati mental mereka yang terluka," jawabku."Sebelum menggugat perceraian sebaiknya kau bertemu dengannya," saran Emak dengan belaian lembut di bahuku."Kalau begitu aku akan pergi besok, Mak.""Jaraknya tidak terlalu jauh dan Eman akan menemanimu.""Iya, benar."Ke rumah kan diri lalu menarik selimut dan tidur berharap bahwa besok pagi adalah h