Share

7

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-07-24 06:43:52

Aku pulang kerumah dengan berboncengan bersama Eman. Baju yang kukenakan masih baju yang kupakai di bandara kemarin dan sudah berubah aroma, tubuhku juga gerah dan lengket, ditingkahi pula oleh rasa lapar sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi pada anakku yang sulung.

Ucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah dan anakku terlihat sedang menyapu,

"Assalamualaikum Tari ini Ibu," ucapku ramah.

Anakku yang disapa tiba tiba seperti itu terlihat langsung kaget dan terkesiap, dia nyaris terlonjak dan jatuh, pun gagang sapu yang dia pegang langsung terlontar ke lantai.

"Astaga ada apa Nak?"

"A-aku gak apa apa," jawabnya gugup.

"Kok takut?" Kuraih bahu anakku dan kulihat dia menggigil ngeri, kutangkap anakku seakan-akan memiliki trauma berkepanjangan.

"Saya kaget," jawabnya.

"Kenapa kamu takut?"

"Eng-enggak ada," jawabku gugup lantas beranjak ke dalam rumah.

"Dengar, Nak, ini Ibu, ibu yang sayang sama kamu, kamu bebas utarakan isi hati dan bebanmu selama ini, ada ibu, Insya Allah ibu akan selalu membela dan melindungi kamu," ujarku menyusul.

"Enggak apa apa, Bu, Ibu mandi aja," jawabnya menghindariku. Entah apa yang telah dilakukan Rina dan Kang Agus sehingga membuat putriku yang dulunya ceria dan penuh energi, menjadi pribadi yang tertutup penakut dan penghindar.

Apa yang telah mereka lakukan? penyiksaan seperti apa yang telah mereka berikan? Mengapa mereka menghancurkan mental dan raga anak anakku? Mengapa mereka sebiadab itu.

Setelah selesai mengganti pakaian dan membereskan segala barang dan koper, aku segera berangkat menuju kantor Polisi dan sekali lagi diantar oleh salah satu sepupuku.

Sesampainya di kantor polisi pukul sembilan, aku tengah melihat Kang Agus masih diperiksa oleh petugas. Dia terlihat menunduk dalam keadaan setengah mengantuk.

"Sejak kapan anak Anda diperlakukan seperti itu?"

"Sa-saya tidak tahu, Pak," jawabnya.

"Lho bagaimana gak tahu, Siapa yang membawa anak Anda ke kebun itu?"

"Saya pak, tapi saya tidak tahu apa yang terjadi," jawabnya pelan.

"Itu artinya anda tidak pernah mengunjungi atau memeriksa keadaannya. Betul?"

"Sa-saya sibuk, Pak."

" Apa kesibukan Anda?"

"Jualan Pak," jawabnya.

"Jual apa?"

"Jual beli sapi dan jaga toko," jawabnya.

"Oh, jadi Anda begitu sibuk sehingga tidak bisa mengunjungi anak kandung anda?"

"I-iya pak."

"Keterlaluan!" Polisi itu membentak, membuat kang Agus terlonjak dari posisinya.

"Ma-maaf, Pak, saya kaget," ucapnya lirih sambil membenahi posisi.

"Konon menurut keterangan orang-orang disekitar Anda, bahwa Anda tidak bekerja, dan mengandalkan uang istriyang menjadi TKW di HK, apa itu benar?"

"Oh tidak Pak, istri saya tidak pernah mengirimkan saya uang," jawabnya melengos. Ingin sekali aku masuk dan memukul kepalanya lalu menginterupsi semua jawaban yang diberikan-nya pada polisi, tapi aku sadar betul bahwa tindakan itu bukan tindakan yang benar.

"Lalu modal dari mana yang Anda gunakan untuk berbisnis jual beli sapi?"

"Modal istri baru saya Pak."

"Oh jadi itu yang menyebabkan Anda terlihat kaya sekali ya?"

"Iya, Pak, saya kaya."

Astaghfirullah, menyebalkan sekali semakin diperhatikan semakin menyebalkan. Ingin rasanya kujambak-jambak rambutnya hingga akar-akarnya tercerabut dari kulit kepala. Sehingga matilah dia, mati sia sia.

Sampai di situ aku sudah sangat emosi dan panas dada, tapi aku harus sabar menunggu giliran, di saat nanti aku di suruh memberikan keterangan maka akan ku tuntut di atas segala yang terjadi termasuk pada luka mental yang diberikan pada putriku Tari.

Akan kuungkapkan segalanya, dan menuntut apa yang telah menjadi hakku selama ini. Akan kuusut semua kejahatannya, kejahatan istri dan ibu mertuanya.

"Dengar Pak, atas apa yang terjadi di lapangan dan keterangan dari anggota kami yang memeriksa keadaan anak Anda di rumah sakit, ternyata ada indikasi bahwa selama ini Anda telah melakukan penelantaran terhadap mereka berdua, apa pembelaan diri Anda?"

"Anu Pak, saya gak sengaja Pak, saya pikir dia baik baik saja?"

"Kenapa tidak pernah dijenguk?"

"Saya pikir mereka mendapatkan pelayanan yang baik," jawabnya.

"Apa Bapak memberikan pengasuhnya uang agar si pengasuh mempunyai biaya untuk membesarkan dan menjaga anak Anda?"

"Uhm ... Tidak pernah, eh ... i-iya Pak."

"Iya apa tidak?!" Sang petugas menggebrak meja.

"Ti-tidak Pak, kedua mata mertua saya orang kaya yang punya kebun dan sawah, Jadi saya pikir mereka tidak butuh uang dari saya."

"Keterlauan!" Polisi tersebut melotot dan sanudin ke arah Kang Agus, tentu saja pria itu menjadi menggigil.

"Sanksi pidana bagi pelaku penelantaran menurut undang-undan nomor tiga lima tahun 2014 tentang perlindungan anak telah ditentukan pada pasal tujuh puluh tujuh ayat dua, Anda akan diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 sebagai mana bunyi pasal tersebut,

'Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.' Anda paham, Pak?"

"I-iya, Pak."

"Ancaman ini juga berlaku pada istri anda?"

"Pa-paham, Pak, ta-pi kami ga sengaja, Pak." Dia tetap berusaha untuk membela diri dan bersikap seolah-olah tidak bersalah.

"Itu belum apa-apa, karena putra Anda terlihat amat tersiksa dan terbukti dari fisiknya, kami bisa menyimpulkan bahwa anak Anda mengalami kekerasan fisik dan verbal, dan ... sanksi pidana bagi pelaku kekerasan atau peganiayaan yang melanggar pasal perlindungan anak, Apakah dia akan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan, atau denda tujuh puluh dua juta, hukuman akan ditambahkan menjadi lima belas tahun penjara kalau yang menjadi korban meninggal dunia, berdoa saja semoga anak Anda tidak meninggal," ucap polisi tersebut sambil melotot.

"A-ampun Pak," ucapkan Agus sambil menangkupkan kedua belah tangan, dia mulai menangis dan menggigil ketakutan.

" ... saya menyesal Pak, saya minta ampun, Pak," ringisnya takut.

"Ah, jangan minta maaf pada saya, seharusnya Anda menyadari dari awal semua itu, lagi pula di dunia ini tidak ada Bapak sekejam dan seteledor Anda!"

"Maaf, Pak."

"Jangan minta maaf, karena pidana akan ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut jika yang melakukan adalah orang tua kandung!" balas polisi itu dengan tatapan dingin dan kejam.

"Ah, ampun Pak, jangan Pak, Saya tidak salah apa-apa Pak ... tolong Pak."

"Oke, Saya akan minta keterangan saksi dan keterangan dari orang-orang yang ada di sekitar Anda, dan jika anda terbukti bersalah maka hukum akan memberikan Anda pembalasan yang menyakitkan! Masukkan dia ke dalam sel!"

Petugas itu langsung memerintahkan bawahannya untuk membawa Kang Agus dan menyeretnya ke dalam jeruji besi.

"Ja-jangan masukkan saya ke penjara Pak, tolong Pak," ucap Kang Agus melas sambil berurai air mata.

"Rasakan sia! Modar sia!" ucap sepupuku dengan penuh kepuasan.

"Saya bisa bela diri Pak tolong jangan seret saya," ucapnya yang masih berusaha meronta.

"Bukti dan keterangan saksi akan membantu atau bisa jadi semakin menjerumuskan anda, jadi bersabar saja menunggu."

"Saya takut masuk jeruji besi Pak, Saya takut berkumpul dengan para preman dan penjahat," ucapnya memohon.

"Maaf di sini tidak ada kamar hotel, masuk ke sana, dan itu derita Anda, bukan urusan saya!"

Kang Agus menangis tersedu-sedu dibawa ke dalam sel, sementara aku yang melihatnya tersenyum puas namun tentu saja itu baru permulaan.

Tidak lama kemudian sang istri pun dipanggil dan disuruh duduk di meja interogasi. Aku tidak bisa menyimak, karena tidak lama dari situ seorang petugas mengajakku masuk dan untuk meminta keterangan juga.

Setelah berkenalan dan bertanya latar belakang dan seluk belukku, akhirnya polisi itu bertanya,

"Apa Anda sungguh tidak tahu perlakuan suami Anda?"

"Saya sungguh tidak tahu Pak, keluarga saya pun tidak tahu karena aku selalu mengancam dan memarahi mereka, menurut orang tua saya suami saya sangat bengis dan menakutkan."

"Tapi tindakannya menangis ketakutan seperti tadi sama sekali tidak mencerminkan sebuah keberanian," ucap polisi itu tersenyum.

"Entahlah Pak tapi luka yang telah diberikan pada anak-anak saya sangat terlihat sekali. Bapak bisa memeriksa keadaan mental dan psikologi anak saya, mereka selalu terlihat menggigil dan kaget jika disapa orang asing."

"Ya ampun, kasihan sekali, ya Bu."

"Saya sungguh ingin tahu apa yang telah mereka perbuat Pak, saya juga membawa serta putri saya, bawa kok bisa melihat bekas pukulan dan cambukan di tubuhnya," balasku dengan bola mata yang mulai memanas karena menahan kesedihan.

"Apa anda telah mempercayakan uang-uang anda selama ini pada suami Anda? Apa Anda tidak pernah minta dikirimkan foto atau bukti bahwa rumah, dan anak-anak Anda baik-baik saja?"

"Itu salah saya yang terlalu percaya padanya, saya sungguh menyesali itu?" Kali ini air mataku menitik dan tak tertahan lagi.

"Jadi selain menuntut sikapnya pada anak-anak anda, Anda juga akan menuntutnya soal harta yang anda kumpulkan selama ini?"

"Iya, Pak."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   12

    Setelah adzan berkumandang, aku langsung menunaikan salat Subuh dan memeriksa sisa infus anakku. Fajar mulai menyingsing ketika seorang suster datang dan memeriksa Dimas."Suster apa anak saya sudah bisa dikeluarkan hari ini?""Kita tunggu dokternya ya, Bu," jawab suster itu sambil tersenyum."Ok, sus, terima kasih."Akhirnya pukul 9 pagi dokter dokter datang dan langsung memeriksa Dimas. Dia mematikan keadaan anakku sebelum benar-benar dikeluarkan dari Rumah sakit."Nantinya setelah sampai di rumah mohon agar diperhatikan kebersihannya, minum obat yang teratur dan oleskan salep sehabis mandi," uca dokter dengan ramah padaku."Iya, Dok, siap.""Dijaga dengan baik ya Bu anaknya.""Insya Allah, Dok, Terima kasih telah merawat dan membuat keadaan anak saya menjadi lebih baik," balasku."Sama sama, Mbak, kami senang membantu."*Tepat pukul 10 kami menaiki motor dan pulang ke rumah. Tiba-tiba terbersit niat dalam benakku untuk mampir di kantor polisi dan memperlihatkan kepada para petu

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   11

    Setelah kumpulan pria-pria itu pergi dari rumah aku dan pamanku langsung berangkat ke rumah sakit untuk menjaga Dimas.Sepanjang hari ini aku telah begitu sibuk sehingga belum bertemu dengannkua sejak pagi tadi.Ketika sampai di pertigaan dekat rumah sakit, ada sebuah toko kue yang memajang aneka kue tart dan manisan menggiurkan di dalam etalasenya. Kupikir untuk menyenangkan hati Dimas, aku berencana untuk membeli sepotong, dia mungkin akan menyukainya."Mang, ke pinggir bentar, aku mau beli kue untuk Dimas," ungkapku."Oh iya," jawab si Mamang."Tunggu ya, Mang, sebentar."Kususuri trotoar lalu masuk dan membeli kue untuk Dimas dan sepupu yang kebetulan datang juga ke rumah sakit. Usai dari sana kulanjutkan perjalanan masuk ke rumah sakit.Ketika sampai kudapati anak tengah duduk dan bercanda bersama tante dan omnya, terlihat Dimas sudah mulai mau tersenyum dan terbuka."Gimana kabarnya sekarang, Nak?" tanyaku sambil mengecup keningnya."Baik," jawabnya masih menunduk malu.Waj

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   10

    Malam hari aku dan keluargaku berkumpul, menggelar tikar lalu makan bersama habis salat isya. Banyak hal yang menjadi pokok bahasan dan cerita tentang peristiwa yang terjadi selama aku tidak berada di rumah.Cerita tentang Emak yang pernah kepepet meminjam uang Kang Agus untuk membayar obat bapak, atau penuturan bapak yang suatu ketika hampir dibacok menantunya sendiri karena pernah melarang Kang Agus untuk menikah lagi.Bapak menentang dengan keras hubungan suamiku dengan Rina karena beliau tahu bahwa di luar negeri aku bekerja sekuat tenaga demi kehidupan rumah tanggaku yang lebih baik. Bapak mencegah semua itu terjadi karena dia tahu bahwa itu akan melukaiku dan anak-anak."Sebenarnya kami semua ingin menghubungi kamu tapi sudah beberapa kali ditelusuri kami tidak mendapatkan nomor teleponmu," ucap Mamangku."Iya, kami geram sekali dengan tingkah Agus ingin mengadukan hal itu padamu tapi sayang mungkin Tuhan tidak mengizinkannya," timpal si Bibi."Mungkin Tuhan merancang kejadian

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   9

    Di saat yang sama aku melihat polisi menggiring Rina menuju ruang pemeriksaan. Ingin rasanya mengintip atau menguping interogasi polisi namun ruang itu tertutup, pun jendelanya juga diberi gorden yang tak bisa dilihat dari luar."Mungkin wanita itu meminta diperiksa secara pribadi atau entahlah ... aku tak tahu," gumamku sambil berlalu.Kuajak Tari kembali, kugenggam tangannya keluar dari kantor polisi, hati ini berdoa dengan penuh harapan semoga polisi tidak akan melepaskan ketiga manusia laknat itu.Ketika menunggu Eman mengambil motor, aku berpapasan dengan ibunya Rina yang dibawa oleh dua orang polwan menuju ruang pemeriksaan yang berhadapan dengan ruangan Rina tadi."Ini semua gara gara kamu ya, andai kamu bisa mengendalikan mulut dan tingkahmu, keadaan kami tidak akan sesulit ini," desisnya mendelik, langkahnya terpaksa berhenti karena dia sedang bicara padaku."Maaf, Bu, saya bersikap sesuai dengan apa yang saya lihat di kenyataan. Andai ibu telah memperlakukan anak saya deng

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   8

    Kupanggil tari yang sejak tadi bersama Eman, dan menunjukkan pada polisi bekas luka dan cambukan panjang di tangan dan punggung putriku yang serupa bekas luka gosong."Halo Dik, namanya siapa?""T-tari, Om," jawabnya lirih."Kelas berapa Adik?""Mau naik kelas empat, Om," jawab anakku menunduk."Kamu tinggal sama siapa di rumah?""Sama Nenek," balasnya."Ayah kamu gak di rumah?"Kelihatannya anakku ragu menjawab, namun polisi itu tersenyum ramah dan meyakinkan bahwa apapun yang dikatakan Tari tidak akan membahayakannya."Ja-jarang, Om.""Boleh tahu, luka di tangan adik bekas apa?""Anu ... uhm, ja-jatuh, Om."Mendapati bahwa anakku tengah berbohong, aku langsung membisikinya agar dia jujur dan mengatakan yang sebenarnya."Ayo Sayang, katakan pada Om itu siapa pelakunya."Tiba tiba bola mata anakku berkaca-kaca, bibirnya gemetar dan air mata itu meleleh dari mata kecilnya yang penuh derita, dia menggigil, takut dan terlihat ngeri."Apa kamu diancam, agar tak memberi tahu siapa-siapa?"

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   7

    Aku pulang kerumah dengan berboncengan bersama Eman. Baju yang kukenakan masih baju yang kupakai di bandara kemarin dan sudah berubah aroma, tubuhku juga gerah dan lengket, ditingkahi pula oleh rasa lapar sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi pada anakku yang sulung.Ucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah dan anakku terlihat sedang menyapu,"Assalamualaikum Tari ini Ibu," ucapku ramah.Anakku yang disapa tiba tiba seperti itu terlihat langsung kaget dan terkesiap, dia nyaris terlonjak dan jatuh, pun gagang sapu yang dia pegang langsung terlontar ke lantai."Astaga ada apa Nak?""A-aku gak apa apa," jawabnya gugup."Kok takut?" Kuraih bahu anakku dan kulihat dia menggigil ngeri, kutangkap anakku seakan-akan memiliki trauma berkepanjangan."Saya kaget," jawabnya."Kenapa kamu takut?""Eng-enggak ada," jawabku gugup lantas beranjak ke dalam rumah."Dengar, Nak, ini Ibu, ibu yang sayang sama kamu, kamu bebas utarakan isi hati dan bebanmu selama ini, ada ibu, Insya Allah ibu ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status