Aku pulang kerumah dengan berboncengan bersama Eman. Baju yang kukenakan masih baju yang kupakai di bandara kemarin dan sudah berubah aroma, tubuhku juga gerah dan lengket, ditingkahi pula oleh rasa lapar sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi pada anakku yang sulung.
Ucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah dan anakku terlihat sedang menyapu, "Assalamualaikum Tari ini Ibu," ucapku ramah. Anakku yang disapa tiba tiba seperti itu terlihat langsung kaget dan terkesiap, dia nyaris terlonjak dan jatuh, pun gagang sapu yang dia pegang langsung terlontar ke lantai. "Astaga ada apa Nak?" "A-aku gak apa apa," jawabnya gugup. "Kok takut?" Kuraih bahu anakku dan kulihat dia menggigil ngeri, kutangkap anakku seakan-akan memiliki trauma berkepanjangan. "Saya kaget," jawabnya. "Kenapa kamu takut?" "Eng-enggak ada," jawabku gugup lantas beranjak ke dalam rumah. "Dengar, Nak, ini Ibu, ibu yang sayang sama kamu, kamu bebas utarakan isi hati dan bebanmu selama ini, ada ibu, Insya Allah ibu akan selalu membela dan melindungi kamu," ujarku menyusul. "Enggak apa apa, Bu, Ibu mandi aja," jawabnya menghindariku. Entah apa yang telah dilakukan Rina dan Kang Agus sehingga membuat putriku yang dulunya ceria dan penuh energi, menjadi pribadi yang tertutup penakut dan penghindar. Apa yang telah mereka lakukan? penyiksaan seperti apa yang telah mereka berikan? Mengapa mereka menghancurkan mental dan raga anak anakku? Mengapa mereka sebiadab itu. Setelah selesai mengganti pakaian dan membereskan segala barang dan koper, aku segera berangkat menuju kantor Polisi dan sekali lagi diantar oleh salah satu sepupuku. Sesampainya di kantor polisi pukul sembilan, aku tengah melihat Kang Agus masih diperiksa oleh petugas. Dia terlihat menunduk dalam keadaan setengah mengantuk. "Sejak kapan anak Anda diperlakukan seperti itu?" "Sa-saya tidak tahu, Pak," jawabnya. "Lho bagaimana gak tahu, Siapa yang membawa anak Anda ke kebun itu?" "Saya pak, tapi saya tidak tahu apa yang terjadi," jawabnya pelan. "Itu artinya anda tidak pernah mengunjungi atau memeriksa keadaannya. Betul?" "Sa-saya sibuk, Pak." " Apa kesibukan Anda?" "Jualan Pak," jawabnya. "Jual apa?" "Jual beli sapi dan jaga toko," jawabnya. "Oh, jadi Anda begitu sibuk sehingga tidak bisa mengunjungi anak kandung anda?" "I-iya pak." "Keterlaluan!" Polisi itu membentak, membuat kang Agus terlonjak dari posisinya. "Ma-maaf, Pak, saya kaget," ucapnya lirih sambil membenahi posisi. "Konon menurut keterangan orang-orang disekitar Anda, bahwa Anda tidak bekerja, dan mengandalkan uang istriyang menjadi TKW di HK, apa itu benar?" "Oh tidak Pak, istri saya tidak pernah mengirimkan saya uang," jawabnya melengos. Ingin sekali aku masuk dan memukul kepalanya lalu menginterupsi semua jawaban yang diberikan-nya pada polisi, tapi aku sadar betul bahwa tindakan itu bukan tindakan yang benar. "Lalu modal dari mana yang Anda gunakan untuk berbisnis jual beli sapi?" "Modal istri baru saya Pak." "Oh jadi itu yang menyebabkan Anda terlihat kaya sekali ya?" "Iya, Pak, saya kaya." Astaghfirullah, menyebalkan sekali semakin diperhatikan semakin menyebalkan. Ingin rasanya kujambak-jambak rambutnya hingga akar-akarnya tercerabut dari kulit kepala. Sehingga matilah dia, mati sia sia. Sampai di situ aku sudah sangat emosi dan panas dada, tapi aku harus sabar menunggu giliran, di saat nanti aku di suruh memberikan keterangan maka akan ku tuntut di atas segala yang terjadi termasuk pada luka mental yang diberikan pada putriku Tari. Akan kuungkapkan segalanya, dan menuntut apa yang telah menjadi hakku selama ini. Akan kuusut semua kejahatannya, kejahatan istri dan ibu mertuanya. "Dengar Pak, atas apa yang terjadi di lapangan dan keterangan dari anggota kami yang memeriksa keadaan anak Anda di rumah sakit, ternyata ada indikasi bahwa selama ini Anda telah melakukan penelantaran terhadap mereka berdua, apa pembelaan diri Anda?" "Anu Pak, saya gak sengaja Pak, saya pikir dia baik baik saja?" "Kenapa tidak pernah dijenguk?" "Saya pikir mereka mendapatkan pelayanan yang baik," jawabnya. "Apa Bapak memberikan pengasuhnya uang agar si pengasuh mempunyai biaya untuk membesarkan dan menjaga anak Anda?" "Uhm ... Tidak pernah, eh ... i-iya Pak." "Iya apa tidak?!" Sang petugas menggebrak meja. "Ti-tidak Pak, kedua mata mertua saya orang kaya yang punya kebun dan sawah, Jadi saya pikir mereka tidak butuh uang dari saya." "Keterlauan!" Polisi tersebut melotot dan sanudin ke arah Kang Agus, tentu saja pria itu menjadi menggigil. "Sanksi pidana bagi pelaku penelantaran menurut undang-undan nomor tiga lima tahun 2014 tentang perlindungan anak telah ditentukan pada pasal tujuh puluh tujuh ayat dua, Anda akan diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 sebagai mana bunyi pasal tersebut, 'Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.' Anda paham, Pak?" "I-iya, Pak." "Ancaman ini juga berlaku pada istri anda?" "Pa-paham, Pak, ta-pi kami ga sengaja, Pak." Dia tetap berusaha untuk membela diri dan bersikap seolah-olah tidak bersalah. "Itu belum apa-apa, karena putra Anda terlihat amat tersiksa dan terbukti dari fisiknya, kami bisa menyimpulkan bahwa anak Anda mengalami kekerasan fisik dan verbal, dan ... sanksi pidana bagi pelaku kekerasan atau peganiayaan yang melanggar pasal perlindungan anak, Apakah dia akan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan, atau denda tujuh puluh dua juta, hukuman akan ditambahkan menjadi lima belas tahun penjara kalau yang menjadi korban meninggal dunia, berdoa saja semoga anak Anda tidak meninggal," ucap polisi tersebut sambil melotot. "A-ampun Pak," ucapkan Agus sambil menangkupkan kedua belah tangan, dia mulai menangis dan menggigil ketakutan. " ... saya menyesal Pak, saya minta ampun, Pak," ringisnya takut. "Ah, jangan minta maaf pada saya, seharusnya Anda menyadari dari awal semua itu, lagi pula di dunia ini tidak ada Bapak sekejam dan seteledor Anda!" "Maaf, Pak." "Jangan minta maaf, karena pidana akan ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut jika yang melakukan adalah orang tua kandung!" balas polisi itu dengan tatapan dingin dan kejam. "Ah, ampun Pak, jangan Pak, Saya tidak salah apa-apa Pak ... tolong Pak." "Oke, Saya akan minta keterangan saksi dan keterangan dari orang-orang yang ada di sekitar Anda, dan jika anda terbukti bersalah maka hukum akan memberikan Anda pembalasan yang menyakitkan! Masukkan dia ke dalam sel!" Petugas itu langsung memerintahkan bawahannya untuk membawa Kang Agus dan menyeretnya ke dalam jeruji besi. "Ja-jangan masukkan saya ke penjara Pak, tolong Pak," ucap Kang Agus melas sambil berurai air mata. "Rasakan sia! Modar sia!" ucap sepupuku dengan penuh kepuasan. "Saya bisa bela diri Pak tolong jangan seret saya," ucapnya yang masih berusaha meronta. "Bukti dan keterangan saksi akan membantu atau bisa jadi semakin menjerumuskan anda, jadi bersabar saja menunggu." "Saya takut masuk jeruji besi Pak, Saya takut berkumpul dengan para preman dan penjahat," ucapnya memohon. "Maaf di sini tidak ada kamar hotel, masuk ke sana, dan itu derita Anda, bukan urusan saya!" Kang Agus menangis tersedu-sedu dibawa ke dalam sel, sementara aku yang melihatnya tersenyum puas namun tentu saja itu baru permulaan. Tidak lama kemudian sang istri pun dipanggil dan disuruh duduk di meja interogasi. Aku tidak bisa menyimak, karena tidak lama dari situ seorang petugas mengajakku masuk dan untuk meminta keterangan juga. Setelah berkenalan dan bertanya latar belakang dan seluk belukku, akhirnya polisi itu bertanya, "Apa Anda sungguh tidak tahu perlakuan suami Anda?" "Saya sungguh tidak tahu Pak, keluarga saya pun tidak tahu karena aku selalu mengancam dan memarahi mereka, menurut orang tua saya suami saya sangat bengis dan menakutkan." "Tapi tindakannya menangis ketakutan seperti tadi sama sekali tidak mencerminkan sebuah keberanian," ucap polisi itu tersenyum. "Entahlah Pak tapi luka yang telah diberikan pada anak-anak saya sangat terlihat sekali. Bapak bisa memeriksa keadaan mental dan psikologi anak saya, mereka selalu terlihat menggigil dan kaget jika disapa orang asing." "Ya ampun, kasihan sekali, ya Bu." "Saya sungguh ingin tahu apa yang telah mereka perbuat Pak, saya juga membawa serta putri saya, bawa kok bisa melihat bekas pukulan dan cambukan di tubuhnya," balasku dengan bola mata yang mulai memanas karena menahan kesedihan. "Apa anda telah mempercayakan uang-uang anda selama ini pada suami Anda? Apa Anda tidak pernah minta dikirimkan foto atau bukti bahwa rumah, dan anak-anak Anda baik-baik saja?" "Itu salah saya yang terlalu percaya padanya, saya sungguh menyesali itu?" Kali ini air mataku menitik dan tak tertahan lagi. "Jadi selain menuntut sikapnya pada anak-anak anda, Anda juga akan menuntutnya soal harta yang anda kumpulkan selama ini?" "Iya, Pak."Tahun demi tahun bergulir, anak anak sudah makin besar, keadaan kami membaik dan makin makmur. Usaha sudah cukup berkembang pesat, malah aku sudah pindahkan lokasi tokonya ke depan jalan agar mudah diakses semua orang. Pembeli makin berdatangan, membuat pundi rupiah mengalir deras, kedua orang tuaku juga makin nyaman karena hidup mereka sedikit kutanggung menanggung dan rumah bilik mereka sudah kuubah menjadi rumah petak berdinding tembok yang lebih aman.Semuanya berjalan lancar hingga satu pagi yang mengejutkan. Kang Agus datang!Aku yang sedang sibuk menyapu toko tiba-tiba dikejutkan oleh panggilannya dari belakangku,Entah dia telah bebas lebih cepat karena sikap baiknya selama di penjara atau dia telah menjamin dirinya sendiri, aku tak paham. Yang pasti dia berdiri di depanku sementara diri ini terpana."Ka-kamu?"Hampir saja jantungku terlepas dari rongga dada menatapnya yang tersenyum, mengenakan topi dan jaket hitam yang tebal.Kami saling menatap untuk beberapa saat dia t
Salah seorang warga desaku yang adiknya tertahan di penjara karena kasus pencurian datang, dia berkunjung dan mengutarakan niat untuk bertemu. Saat itu aku sedang di toko mengurusi pembeli dan memasang label harga pada barang."Permisi punten, apa boleh saya ketemu Teh Ratna," sapa wanita itu dengan sopan."Ya, ini saya," balasku."Boleh kita bicara sebentar?""Oh, baik, mari masuk, silakan duduk," ajakku masuk ke dalam toko. Wanita itu tersenyum menanggapi, dia memperkenalkan diri sambil berbasa-basi tentang harga bibit sayur."Jadi gimana Teh, ada apa?""Begini? Saya kemarin dari lapas menjenguk adik saya, kebetulan saya melihat Kang Agus," ujarnya dengan mimik serius."Terus kenapa, Teh?""Dia berantem, Teh, melawan empat orang bertato yang mirip preman, Kang Agus babak belur dan dibawah ke kantor lapas, mungkin mau dikasih obat atau dihukum gak tahu juga," imbuhnya."Mungkin sebaiknya Teteh beritahu masalah ini ke Rina, istri barunya di Mekarsari, kalo sama saya gak ada hubung
Tahukah, bahwa perkara cerai adalah hal yang dibenci Allah meski diperbolehkan, dalam beberapa kajian Islam, kita yang sudah menikah disarankan untuk selalu berpikir dua kali, menimbang bahwa setiap orang pasti punya sisi baik meski sisi buruk lebih menonjol. Memang kita tak direkomendasikan untuk selalu membawa masalah rumah tangga ke jalur perceraian, tapi jika kebersamaan lebih banyak membawa mudharat, maka hidup ini terlalu singkat demi hanya dibawa makan hati dan menderita. Aku menghargai setiap pendapat dan prinsip yang coba dipaparkan oleh sebagian orang, mereka menasehatiku agar tak bercerai demi anak, agar aku tak sendirian, tapi mayoritas dari mereka yang memberi wejangan adalah mereka yang rumah tangganya dari dulu hingga sekarang bahagia, tak pernah dibohongi, dipukuli, bahkan dikhianati. Timbul pertanyaan dalam hatiku, jika salah satu masalah di atas menimpa mereka, atau serupa dengan yang kualami, sungguh sanggupkah mereka menahan dan bersabar? Kurasa ... tidak.Namun
Aku kembali dengan hatiKali ini aku dipertemukan lagi dengan Kang Agus di pengadilan, dia duduk di sampingku, tapi dalam keadaan diborgol, dia mengenakan kemeja putih dengan peci, nampak diam tanpa mengatakan apapun yang duduk berjarak dua meter darinya. Keluargaku dan keluarga istrinya duduk di kursi pengunjung dan menyimak, begitu juga Ratna yang nampak diam di sudut depan, mengenakan dress panjang dan cardigan, menutup perutnya yang mulai membuncit.Tak banyak aku menyimak karena sibuk dalam pikiran sendiri. Sibuk membayangkan episode baru dalam hidupku, lebih berharap aku akan menjalani hidup tentram tanpa gangguan siapa pun, hingga menit demi menit berlalu.Putusannya sama, sama seperti cerita cerita perceraian lain, palu diketuk dan selesai, aku bangun, membungkuk terima kasih pada orang orang di sekitar, menyalami hakim dan bergegas pergi. Kang Agus nampak ingin bicara, tapi tak berkesempatan karena aku sudah pergi meninggalkannya. Hanya wajah bingung dan kecewa yang terl
Assalamualaikum, maaf sebelumnya.Mungkin ini pesan terakhir, aku menjamin tak akan ada lagi gangguan atau hal yang membuat kita tak nyaman. Aku akan bercerai dengan Kang Agus, semoga kabar ini melegakan hatimu.Kalimat yang kutulis dengan format pesan singkat itu, terkirim ke nomor Rina. Aku berharap semoga wanita itu membuka dan membacanya sehingga dia tak lagi menjadikan aku atau anak-anakku sebagai penghalang kebahagiaannya. Dia tak perlu mengkhawatirkan hal tak penting, membesarkan kecemasan sehingga selalu berpikir untuk memusuhi kami.Mengapa bercerai? Aku tak menuntut perceraian kalian, aku hanya minta Kang Agus dibebaskan agar dia bisa mendampingi kehamilanku. Tentang berbagi suami dan waktu itu tak masalah untukku.Itu balasan yang masuk lima menit berikutnya.Aku tak tahu jalan pikiran wanita itu, mengapa dia bisa memiliki gagasan untuk mempertahankan cinta segitiga yang tidak akan nyaman untuk kami semua? Tak mengapa bagimu, tapi masalah bagiku, aku tak mau makan hati.
"Mengapa kau terlihat sebal sekali dari tadi anakku?""Aku dapat telepon dari petugas kepolisian bahwa, Agus ingin bertemu," jawabku."Apa yang dia inginkan?" tenya Emak mendekatiku, lalu diduk di sebelahku."Tidak tahu.""Mungkinkah, dia ingin minta maaf?""Tidak tahu, juga, Mak.""Jadi, Apa kau mau menemuinya?""Tidak akan?""Biasanya seseorang yang sudah dipenjara mulai merasakan sedih dan penyesalan. Mungkin suamimu juga sedang merasakan hal yang sama, jadi dia ingin mengaku, dan minta pengampuan.""Buat apa? Pengampunan tidak akan mengubah segalanya. Aku sudah rugi dan anak-anakku ... mereka harus mendapatkan bimbingan konseling untuk mengobati mental mereka yang terluka," jawabku."Sebelum menggugat perceraian sebaiknya kau bertemu dengannya," saran Emak dengan belaian lembut di bahuku."Kalau begitu aku akan pergi besok, Mak.""Jaraknya tidak terlalu jauh dan Eman akan menemanimu.""Iya, benar."Ke rumah kan diri lalu menarik selimut dan tidur berharap bahwa besok pagi adalah h