Aku berhenti mengunyah. Ayam goreng yang biasanya terasa lezat kini seperti potongan karton keras di dalam mulutku. Sulit sekali aku telan. Seolah ada benjolan besar yang mengganjal di tenggorokan. Sementara itu, nasi dalam piring mulai bercampur dengan tetesan air mata. Hangat dan asin. Rasanya menyayat. Bagaimana bisa Ibu menyebut Ayah pilih kasih, sedangkan dia sendiri sudah lebih dulu dan lebih sering melakukannya? Tanpa pernah merasa bersalah.
"Uangku hanya cukup buat beli satu. Lain kali akan aku belikan lagi kalau sudah gajian," ujar Ayah pelan, dengan suara tenang seperti biasa. Tak ada nada tinggi, tak ada bantahan keras. Dia hanya menjawab dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal.
Itulah hal yang membuatku tak pernah berhenti mengaguminya. Ayah, laki-laki sederhana itu, selalu bisa bersikap tenang dalam menghadapi Ibu yang hampir setiap hari selalu marah-marah. Siap meledak untuk hal-hal remeh sekalipun. Kadang aku merasa dunia ini terlalu kejam. Mengapa Ayah yang begitu sabar dan baik justru harus bersanding dengan Ibu yang suka uring-uringan dan mudah meledak? Apakah cinta benar-benar bisa membuat seseorang menoleransi begitu banyak luka?
Menurutku, Ibu adalah perempuan yang pandai berkamuflase. Di depan orang lain, dia bisa terlihat sangat manis, perhatian, bahkan lemah lembut. Tapi di rumah, dia seperti orang asing yang sama sekali berbeda. Wajahnya bisa berubah menjadi dingin dan penuh cemooh. Mulutnya tak berhenti mengeluarkan kata-kata tajam, menusuk seperti sembilu. Dia bisa sangat jahat, sangat licik, tapi tetap tampak sempurna di mata orang lain.
Dia juga sering memanipulasi Ayah. Seperti dia memanipulasi kami semua. Terutama dalam hal belanja. Tak terhitung berapa kali aku melihat Ibu pulang membawa baju baru, tas baru, bahkan kosmetik mahal. Tapi setiap kali Ayah bertanya, dia selalu punya jawaban siap pakai, “Ini dikasih temanku,” atau “Diskon gede tadi di pasar.” Padahal aku tahu, itu semua hasil dari menyisihkan uang belanja yang seharusnya untuk kebutuhan kami.
"Ayo, Nak! Kita makan sama tempe lagi. Ayahmu lebih sayang sama Mbak-mu daripada sama kalian," kata Ibu sambil menyendokkan nasi ke piring adik bungsuku.
Kalimat itu seperti palu godam menghantam kepalaku. Aku tercekat. Sudah terlalu sering aku mendengar kalimat serupa, tapi tetap saja terasa sakit. Ibu selalu berhasil membuatku merasa bersalah karena dilahirkan lebih dulu. Seolah-olah menjadi anak sulung adalah dosa, dan segala kasih sayang yang diberikan padaku adalah pencurian hak adik-adikku.
Aku sudah kehilangan selera makan. Tanganku yang tadi masih memegang potongan ayam kini lunglai. Kuletakkan ayam goreng yang masih separuh di sisi piring. Nasi yang semula hangat mendadak terasa dingin. Mungkin karena air mataku yang terus mengalir tanpa bisa kucegah.
Ibu dan adik-adikku sudah pergi meninggalkan meja makan. Mereka tertawa kecil sambil membawa piring masing-masing ke ruang tengah. Tapi tawa itu tak mampu menutupi luka yang ditinggalkan oleh ucapan Ibu. Kata-katanya masih terngiang, menggema seperti suara lonceng kematian di dalam pikiranku.
"Kok berhenti makannya? Ayo dihabiskan! Sayang itu ayamnya masih banyak. Katanya kemarin pengin makan ayam goreng?" suara Ayah membuyarkan lamunanku. Dia duduk di seberang, menatapku dengan sorot mata lembut dan penuh pengertian.
Aku hanya menggeleng pelan. Rasanya sudah tak mungkin lagi aku melanjutkan makan. Lidahku kelu. Tenggorokanku seperti menolak untuk bekerja.
"Aku sudah kenyang, Yah," jawabku pelan, berbohong.
"Masak sih? Kamu baru makan sedikit, lho. Ayo makan lagi! Ayah temenin ya," katanya sambil mengambil piring kosong. Dia mulai mengambil nasi untuk dirinya sendiri, menambahkannya dengan tempe goreng dingin sisa tadi pagi, lalu mencolek sambal tomat yang warnanya mulai berubah karena sudah terlalu lama dibiarkan.
Dia duduk di sampingku. Tatapannya penuh perhatian. Dia tahu aku tidak benar-benar kenyang. Tapi Ayah memang seperti itu. Tidak pernah memaksa, hanya menemani. Memberi ruang dan waktu, tapi selalu ada.
Dengan pelan, aku membagi sisa ayam gorengku. Kuambil separuh bagian dan kuletakkan di atas piring Ayah. Dia menatapku heran.
"Lho, ayamnya kamu saja yang makan. Ayah nggak usah," tolaknya lembut, dan tangannya refleks hendak mengembalikan ayam itu ke piringku.
"Kalau Ayah mau aku lanjut makan, Ayah terima ayam itu. Kita makan sama-sama," jawabku sambil menatap wajahnya. Kupastikan dia melihat betapa tulusnya keinginanku. Aku ingin makan bersamanya. Bukan karena lapar, tapi karena aku ingin merasakan sedikit kehangatan di tengah dinginnya hati Ibu.
Ayah terdiam beberapa detik, lalu mengangguk kecil. Bibirnya tersenyum. Senyum tipis yang sangat aku kenal—senyum yang tidak hanya penuh kasih, tapi juga penuh luka yang tersembunyi. Kami makan bersama dalam diam. Tak ada percakapan, hanya denting sendok dan suara tempe yang patah saat digigit.
Malam itu, aku sadar satu hal : di dunia yang sering kali terasa tidak adil ini, Ayah adalah satu-satunya alasan aku masih bisa bertahan. Aku ingin suatu hari bisa membalas semua yang telah ia korbankan. Jika bukan sekarang, mungkin nanti, tapi pasti.
Ayah bukan hanya kepala keluarga. Dia adalah pelindung, sahabat, dan pahlawan—meski tak pernah menyebut dirinya demikian. Namun tak jarang aku juga merindukan sosok ibu yang penuh kasih pada anaknya. Mengapa ibuku tidak bisa demikian? Cintanya tak sama. Kasihnya berat sebelah. Sering aku berpikir, apa yang menyebabkan sikap ibu demikian padaku? Akankah suatu hari sikapnya akan berubah, dan dia bisa bersikap adil pada ketiga anaknya?
***
Entah sudah berapa kali secuil kisah pahit masa kecil itu terulang dalam ingatan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, aku belum juga melupakan setiap detail rasa sakitnya. Semua bagai kepingan film yang terpatri kuat dalam ingatanku. Bayangan-bayangan itu kerap muncul di waktu-waktu yang tak terduga, seperti pagi ini. Aku terisak lirih dalam perjalanan menuju sekolah. Air mata tak bisa kutahan saat berbagai hal menyakitkan itu kembali berputar ulang di dalam kepala. Sekolah tempatku mengajar mulai tampak di depan mata. Aku menarik napas panjang, menepikan kenangan ke balik relung hati yang paling sunyi. Setelah memarkir motor, aku mengeluarkan bedak dari tas kecilku dan membubuhkannya dengan cepat di wajah yang masih sedikit basah. Harus tampak segar, setidaknya tak terlihat seperti habis menangis.Aku melangkah menuju ruang guru, meletakkan tas dan map pelajaran yang sudah kubawa dari rumah. Setelah itu, seperti biasa, aku berjalan menuju kantin untuk sarapan. Udara pagi cukup sej
Aku berhenti mengunyah. Ayam goreng yang biasanya terasa lezat kini seperti potongan karton keras di dalam mulutku. Sulit sekali aku telan. Seolah ada benjolan besar yang mengganjal di tenggorokan. Sementara itu, nasi dalam piring mulai bercampur dengan tetesan air mata. Hangat dan asin. Rasanya menyayat. Bagaimana bisa Ibu menyebut Ayah pilih kasih, sedangkan dia sendiri sudah lebih dulu dan lebih sering melakukannya? Tanpa pernah merasa bersalah."Uangku hanya cukup buat beli satu. Lain kali akan aku belikan lagi kalau sudah gajian," ujar Ayah pelan, dengan suara tenang seperti biasa. Tak ada nada tinggi, tak ada bantahan keras. Dia hanya menjawab dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal.Itulah hal yang membuatku tak pernah berhenti mengaguminya. Ayah, laki-laki sederhana itu, selalu bisa bersikap tenang dalam menghadapi Ibu yang hampir setiap hari selalu marah-marah. Siap meledak untuk hal-hal remeh sekalipun. Kadang aku merasa dunia ini terlalu kejam. Mengapa Ayah yang begitu
Aku mendengkus kesal sambil mengendalikan kemudi. Jalanan masih lengang, namun pikiranku terlalu riuh oleh ingatan masa lalu. Tumpukan rasa sakit itu tak pernah luntur sedikit pun meski tahun demi tahun berlalu. Pagi ini, pikiranku kembali melayang ke masa kecilku, masa yang ingin kulupakan namun selalu datang menghantui di saat-saat paling rapuh seperti sekarang. Masa kecil yang tak seperti anak-anak lain. Masa kecil yang penuh luka karena cinta yang tidak dibagi rata."Andai hari itu, Ibu mau membagi ayam goreng yang sama pada anak-anaknya," gumamku sendiri. Lalu kepalaku memutar memori ingatan tentang satu kejadian menyakitkan di masa itu. Di balik pintu kamar kecil rumah kami yang sempit dan pengap, aku dulu sering bersembunyi. Hari itu, aku menahan napas, berjongkok di balik pintu agar tak terlihat. Aku ingin mendengar, ingin memastikan bahwa kecurigaanku benar. "Ibu darimana? Apa yang dia bawa dalam genggamannya?" pikirku sambil bersembunyi di balik pintu. Ibu baru saja pula
"Aku nggak mau kalau Ibu tinggal di rumah kita, Mas. Ngerawat orang tua itu susah. Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Kan Mbak Wulan itu saudara tertua. Jadi dia paham lah gimana caranya merawat orang yang sudah tua," tolak Rani sambil melipat tangannya di depan dada.Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan penolakan. Sudah kuduga Rani akan berkata demikian. Sejak awal, aku tahu rencana membawa Ibu tinggal bersama mereka hanya akan menimbulkan pertengkaran baru."Tapi kan kamu enak. Ada yang bantu jagain Dara di rumah," bujuk Arya lagi. Suaminya itu belum menyerah. Wajahnya terlihat sabar, tapi ada nada putus asa di ujung suaranya.Rani mendengus kesal. "Dara sudah besar, Mas. Aku merawatnya sendirian juga sanggup. Memangnya selama ini aku pernah ngeluh ke kamu soal ngurus Dara? Nggak, kan. Tapi untuk merawat Ibu, maaf Mas, aku nggak sanggup," tegasnya sekali lagi. Wajahnya ditekuk. Bola matanya beralih menatap tembok. Aku memperhatikan mereka dari ujung ruang tengah, pura-pura membaca
Aku baru sampai di depan rumah. Motor baru saja kumatikan, dan rasa pegal mulai menjalar di pergelangan tangan setelah menenteng dua kresek besar dari minimarket. Semuanya berisi kebutuhanku dan anak-anak. Suara tawa dari dalam rumah menyambutku begitu aku sampai di depan pintu. Gelak tawa yang terdengar akrab dan hangat. Terdengar seperti keluarga yang harmonis. Tapi tidak buatku."Ternyata mereka sudah di dalam," pikirku sambil melangkah masuk. Aku menatap pintu rumah sejenak sebelum mendorongnya pelan. Aku melangkah tanpa menyapa mereka semua. Berjalan melewati mereka begitu saja menuju ruang tengah. Lalu kuletakkan semua belanjaanku ke atas meja. Dari ruang tengah, aku bisa melihat ibu duduk di antara Arya dan Ryan, anak-anak kesayangannya. Kedua istrinya ikut tertawa, sesekali menyela obrolan. Wajah ibu sumringah. Matanya berbinar, pipinya sedikit merah karena terlalu banyak tersenyum. Aku tahu, momen seperti ini yang selalu ia rindukan. Momen ketika anak-anak yang dulu ia ra
“Tidak, Lan. Biarkan ibu di sini. Adik-adikmu nggak ada yang mau menerima ibu. Ibu janji nggak akan cerita apa-apa lagi ke tetangga,” rajuknya sambil memegangi tanganku. Ibu bahkan hampir bersimpuh di kakiku, tapi tubuhnya segera kutarik lagi ke atas. Aku tidak butuh dia bersujud di kakiku. Yang aku mau hanya dia tidak membuat masalah denganku. Buliran air mata jatuh satu-satu, mengalir di pipi keriputnya. Suaranya bergetar, matanya penuh harap, memohon belas kasihan dariku agar aku tak mengusirnya dari rumah ini.Aku mendesah kasar, menepis tangannya. “Ya kan. Akhirnya ngaku kalau sering ngadu ke orang-orang. Denger ya, Bu! Meskipun mereka kasihan, belum tentu mereka mau nampung ibu di rumahnya. Ujung-ujungnya siapa? Tetap aku yang harus ngerawat ibu. Maka dari itu, ibu pilih, nurut sama aku atau angkat kaki dari rumah ini. Jangan hanya menyusahkanku saja!”Tanganku mengepal, mencoba menahan luapan emosi yang sejak tadi nyaris meledak. Aku berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Di d