Share

Bab 3

"Eh, Mama? Kenapa nggak bilang-bilang kalau Mama dan Riani mau datang?"

Anggraini terkejut dengan kedatangan mertua dan iparnya.

"Justru sebaliknya Mama yang nanya dong? Kok Teguh pulang Mama nggak dikasih tahu?"

Anggraini memutar bola matanya. Bagaimana ia akan memberi tahu sedangkan Teguh sendiri kembali ke Indonesia tidak menemui dirinya terlebih dahulu melainkan menemui keluarga yang ia simpan selama ini.

Teguh memang bekerja di sebuah perusahaan elektronik di Singapura. Mereka berdua sama-sama menempuh pendidikan tinggi di Universitas Tokyo dengan program studi yang berbeda. Saat Teguh selesai dengan pendidikannya, Anggraini masih sibuk dengan kuliahnya, hingga Teguh di terima bekerja di Singapura, selama beberapa tahun mereka menempuh hubungan jarak jauh.

Berasal dari keluarga ekonomi yang berkecukupan dan berpenghasilan besar dari pekerjaannya, bertemu dua kali dalam sebulan dengan biaya yang tidak kecil, bagi Teguh bukanlah masalah besar. Lalu Anggraini lulus dan mereka menikah dan hidup bersama selama tiga tahun pernikahan.

Dua tahun belakangan ini, Teguh memutuskan membangun rumah di Jakarta dan meminta Anggraini untuk menempatinya terlebih dahulu sembari menunggu kontrak Teguh selesai di Singapura dan mereka merintis usaha sendiri yang telah lama diancang-ancang oleh pria itu.

Anggraini tidak keberatan, karena jujur saja hidup di Indonesia baginya tetap lebih nyaman dibanding harus tinggal di negara lain. Masalah ia harus LDR dengan suaminya, ia pikir itu bukanlah masalah. Ia sudah terbiasa sejak lama. Dan lagi pula mereka bertemu setiap weekend dan menghabiskan dua hari dalam seminggu sudah lebih dari cukup.

Anggraini tidak pernah terpikir jika suaminya akan berselingkuh di belakangnya karena mereka mengadop prinsip childfree. Anggraini pikir Teguh sudah cukup hanya dengan mereka berdua saja. Siapa yang sangka jika lelaki itu akan melakukan hal sekejam ini di belakangnya.

Anggraini menghembuskan napas pelan. Andai mertuanya memperhatikan lebih, ia akan tahu kalau menantunya itu sedang menghela napas berat pertanda ada masalah yang sedang membebani rumah tangganya.

"Ya, gimana dong, Ma? Aku juga nggak tahu Mas Teguh akan pulang sekarang. Nggak ngomong-ngomong. Biasa kan Mas Teguh pulangnya Jum'at Malam. Balik ke Singapura lagi Senin pagi. Nah karena dia nggak pulang jum'at malam kemarin, ya aku pikir dia sibuk sama kerjaannya sehingga nggak sempat pulang. Eh, taunya kemarin sore dia sampai sini tanpa pemberitahuan sebelumnya. Lupa kabarin Mama deh akhirnya," jelas Anggraini sambil mengangkat pundaknya.

Puspa, demikian nama mertua Anggraini tidak terlalu menanggapi penjelasan menantunya itu. Ia lebih tertarik melihat ke arah lantai atas, tempat dimana kamar Teguh dan Anggraini berada.

"Terus dimana dia sekarang?" tanya Puspa sambil ia menyerukan nama anak sulungnya itu. "Teguuuuh! Teguuuh!!"

Tak sabar hanya memanggil, wanita berusia lima puluh tahunan itu langsung berinisiatif untuk naik ke lantai atas. Namun baru di pertengahan tangga, terdengar suara pintu kamar di buka.

"Apa sih Mama teriak-teriak? Yang sabar donk ah!" sahut Teguh.

Ia keluar dari kamar dan berjalan menuju tangga. Puspa pun segera naik menyusul putranya itu padahal Teguh pun ingin turun sebenarnya. Mata wanita itu berbinar-binar begitu Teguh ada di hadapannya.

"Mama apaan lihat aku segitunya?" Teguh memutar matanya saat sang ibu menangkap lengannya.

Bukannya menjawab, Puspa malah tersenyum senang seolah ada kabar yang membahagiakan baginya.

"Itu beneran?" tanya sang mama.

Teguh mengernyitkan dahi.

Di lantai bawah Anggraini ikut-ikut mengerutkan kening. Apa kira-kira hal yang membuat mertuanya begitu sangat girang dan terburu-buru ingin bertemu Teguh?

Anggraini paham wajar jika seorang ibu merindukan anaknya meski sang anak sudah dewasa dan memiliki rumah tangga sendiri, tapi untuk sikap mertuanya kali ini agak berlebihan menurut Anggraini karena tiap minggu pun ibu dan anak itu selalu bertemu dan kali ini Puspa terlihat lebih senang daripada biasanya. Ya, walaupun terhadapnya sikap mertuanya tetap saja dingin tak ada yang berubah.

"Beneran apa? Ih … Mama aneh deh." Teguh menggaruk-garuk kepalanya sembari menuruni anak tangga.

Puspa melihat ke arah Anggraini di bawah. Kebetulan tatap mata mereka bertemu. Entah mengapa Anggraini merasa sorot mata itu terlihat sinis kepadanya.

Puspa menyusul langkah kaki Teguh dan menahan lengan anaknya itu. Anggraini melihat mertuanya itu berbisik padanya. Lalu terlihat ekspresi terkejut dari raut wajah Teguh.

"Benar?" tanya Puspa lagi.

Anggraini tidak mendengar apa yang dibisikkan oleh mertuanya tapi sangat jelas terlihat wajah Teguh menegang setelah itu.

"Darimana Mama tahu?" bisiknya.

"Nggak penting Mama dapat kabar itu dari mana tapi kau harus menjelaskan segalanya pada Mama, Guh."

Teguh terdiam. Terlihat ia sempat melirik Anggraini namun mengalihkan pandangannya lagi ke ibunya setelah itu.

"Jangan bahas ini sekarang dan di sini, Ma," pintanya dan kembali melirik pada Anggraini yang menatap mereka dari bawah.

Puspa sangat mengerti kekhawatiran Teguh dan tak ingin memaksa membahas itu saat ini juga.

"Baik, tapi kau berhutang penjelasan pada Mama," katanya dengan senyum tersungging.

Sadar mereka diamati oleh Anggraini sedari tadi Teguh segera mengubah sikap ke mode biasa mengingat percintaan mereka semalam saja sudah membuat suasana di antara keduanya tidak semesra biasanya.

"Sarapan apa kita pagi ini?" tanya Teguh sambil ia menuruni tangga dengan cepat.

Dalam hitungan detik saja ia telah berada di dekat meja makan di mana Riani, adik kandungnya sedang membantu Anggraini menyiapkan sarapan roti panggang.

"Mas nggak lihat apa?" sahut Riani sembari memonyongkan bibir menunjukkan roti yang sedang berada di pemanggang roti.

"Yah, roti lagi. Di Singapura roti, eh sampai di Indonesia roti lagi. Nggak ada yang lain apa? Nasi kuning kek, lontong sayur kek? Yang tradisional-tradisional aja gitu," keluh Teguh.

Mendengar keluhan Teguh mendadak raut muka Anggraini berubah. Ia yang sedang menyiapkan susu high calcium untuk Teguh, menghentikan tangannya mengaduk sendok.

"Yang tradisional? Tumben …" gumam Anggraini.

"Ah, iya. Sayang, aku bisa minta kopi saja nggak sih? Kopi hitam tapi gulanya agak banyakin dikit saja biar nggak pahit," pinta Teguh.

"Kopi hitam? Kayaknya kita nggak punya deh. Kalau kopi instan aku ada. Lagian sejak kapan Mas suka minum kopi di pagi hari. Kopi hitam pula," jawab Anggraini.

"Kamu itu ya, jadi istri itu coba jangan terlalu banyak protes. Ketimbang kamu mengatakan hal-hal seperti itu, tinggal beli di warung saja kenapa sih?" celutuk Puspa menginterupsi menantunya.

Anggraini kaget. Ingin ia menjawab kata-kata mertuanya tapi Teguh membuatnya urung berkata-kata.

"Anggre, tolong ya, Sayang. Belikan di warung saja. Aku masih harus berangkat pagi ini tapi aku ngantuk banget. Tadi malam tidurku kurang nyenyak. Jadi butuh banget kopi yang agak sedikit keras. Boleh ya?" bujuk Teguh.

Anggraini tak punya pilihan lain. Ia pun mengangguk berat dan memutuskan untuk pergi membelinya.

"Aku ambil dompetku dulu, Mas," katanya.

Teguh mengangguk, Puspa hanya diam dengan wajah datar. Seperti mereka sedang menunggunya pergi untuk membicarakan sesuatu.

Setelah mengambil uang dari kamar, Anggraini pun pergi untuk membeli kopi hitam yang dimaksud. Terdengar suara pagar depan yang dibuka. Setelah yakin Anggraini sudah pergi Puspa mengambil ponsel dari dompetnya dan membuka galeri foto.

Setelah menemukan foto yang dicari ia menunjukkannya pada Teguh.

"Mama butuh penjelasan tentang ini. Apa benar kamu menikah lagi di Bandung tanpa sepengetahuan Mama?" tanya Puspa.

Teguh mengambil ponsel ibunya dan melihat ada foto dirinya sedang menggendong seorang anak perempuan kecil di depan sebuah rumah.

"Sampai punya anak?" tanya Puspa lagi.

Ia tidak percaya ini. Diamnya Teguh secara tidak langsung telah menjadi jawaban baginya.

"Anggre tahu soal ini?" desak Puspa lagi.

Teguh menghela napas berat.

"Jangan bahas ini sekarang, Ma. Anggre tidak tahu dan jangan sampai tahu. Dia hanya pergi sebentar membeli kopi ke warung sebelah," kata Teguh.

Puspa terhenyak. Tenyata benar.

"Pas mama datang tadi warung sebelah masih tutup, ini masih terlalu pagi. Anggre pasti membeli kopi di blok sebelah. Butuh sepuluh menitan untuk dia kembali ke sini. Kita masih sempat membahas ini. Mama masih penasaran, Guh. Banyak yang ingin mama ketahui dan kau berhutang banyak sekali penjelasan" kata Puspa tidak sabar.

Teguh menatap mamanya galau. Sepandai-pandainya ia menyembunyikan bangkai akhirnya perlahan baunya mulai tercium juga. Tapi apa pun yang terjadi Anggraini tidak boleh sampai tahu hal ini.

***

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status