"Jadi anda ingin melamar kerja di sini sebagai instruktur?"
Anggraini mengangguk yakin. "Ya, ini berkas saya," katanya sembari mendorong sebuah map berisi surat lamaran kerja, CV serta berkas pendukung lainnya."Tapi di sini sedang tidak membuka lowongan pekerjaan, Sis. Gymnasium ini sedang tidak membutuhkan instruktur senam tambahan," kata pengelola gymnasium itu.Terlihat sekali pria berumur empat puluh tahunan itu tidak tertarik menerima surat lamaran kerja Anggraini. Jangankan membuka map itu, alih-alih dia malah mendorong kembali map itu pada Anggraini.Anggraini tersenyum percaya diri."Maaf, Pak. Saya memang lancang mengantar surat lamaran kerja tanpa adanya pembukaan lowongan pekerjaan di tempat ini, namun meski begitu tolong terima saya. Ini adalah impian dan cita-cita saya sedari dulu," kata Anggraini berusaha meyakinkan."Ya, saya mengerti tetapi gymnasium di kota Bandung ini ada banyak, tak hanya di sini saja. Mungkin anda bisa mencobanya di gymnasium lain?" Pria bernama Handoko yang menjadi pengelola tempat itu sekaligus bisa berperan sebagai HRD juga, tetap kekeuh dengan penolakannya."Gymnasium ini lebih dekat dengan tempat tinggal saya. Saya berjanji akan melakukan yang terbaik jika bapak menerima saya. Tolong dilihat dulu CV saya," kata Anggraini lagi sambil mendorong kembali mapnya ke arah pria paruh baya itu.Ia benar-benar tidak mau menyerah, sehingga membuat Handoko mau tidak mau terpaksa menerima map itu untuk melihat apa yang membuat wanita di depannya itu begitu percaya diri dan pantang menyerah agar ia diterima bekerja sebagai instruktur di tempat itu.Dan … Wow! Handoko memasang wajah takjub saat melihat Curiculum Vitae milik Anggraini yang menunjukkan bahwa Anggraini memiliki kualifikasi yang sangat layak dipertimbangkan.Bagaimana tidak? Dalam keterangan daftar riwayat hidup milik Anggraini, ia hanya menuliskan di sana bahwa dia berpendidikan terakhir SMA sederajat namun ia memiliki banyak sertifikat senam dari luar negeri. Salah satunya Jepang. "Semua sertifikat ini asli?" tanya Handoko tak percaya.Anggraini tersenyum kalem. "Ya, bisa dicek ke situs penyelenggaranya saja langsung jika bapak tidak percaya," jawab Anggraini meyakinkan.Handoko mengangguk masih takjub. Di antara semua instruktur senam maupun fitness yang ada di tempat ini tak ada satupun yang memiliki sertifikat sebanyak Anggraini."Begini, ini sangat menarik, tapi bagaimana kalau anda ikut pelamaran kerja saat pergantian tahun saja? Itu tidak akan lama lagi. Ini sudah Oktober akhir. Masalahnya saya tidak bisa mengubah peraturan di tempat ini seenak saya. Bos punya aturan dan …""Saya kebetulan butuhnya saat ini, Pak. Jika Bapak berkenan membantu, gaji pertama saya selama 3 bulan di tempat ini, utuh untuk Bapak," potong Anggraini cepat.Tak ada gunanya bertele-tele membujuk orang ini. Anggraini telah sering bertemu dengan berbagai macam orang dan rupa-rupa karakter mereka. Kalau Anggraini tidak salah memberikan penilaian, HRD, pastinya orang yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang.Dan lihat bagaimana reaksi pria bernama Handoko itu?Ia menatap Anggraini dengan tatapan tergiur meski tak bisa dipungkiri ia menatap heran pula. Adakah orang yang ngotot ingin mencari kerja namun malah mengikhlaskan gaji awalnya untuk orang yang mau menerimanya bekerja?Aneh tapi nyata, tapi nyatanya ada. Orang itu ada di hadapannya kini."Anda sedang berusaha menyuap saya? Ehm!" dehem Handoko berhati-hati.Kembali lagi ia membolak-balik berkas milik Anggraini. "Tidak, Pak. Mana berani saya. Itu hanya ucapan terimakasih saya, jika bapak bersedia membantu saya."Gaji para instruktur Gimnasium itu jika dipikir-pikir oleh Handoko lumayan juga. Untuk gaji awal di gymnasium mereka dalam masa training saja bisa mencapai empat juta rupiah, dan jika sudah lolos masa training bisa naik ke satu digit. Dan itu cukup lumayan untuk tambah-tambah uang jajan untuk anak-anaknya di rumah."Ehem!! Bailah, siapa nama anda tadi? Les … tari Anggraeni? Anggraini?" baca Handoko. "Dengan siapa anda biasa dipanggil?" "Tari, Pak. Bapak dan yang lain bisa memanggil saya Tari," jawab Anggraini.Handoko manggut-manggu."Baiklah, begini. Bisa saya panggil kamu Tari saja ya biar tidak terlalu formal?"Anggraini mengangguk."Baiklah, saya menerima kamu bekerja di sini, tapi beri waktu saya untuk membicarakan ini dengan bos untuk memastikan karena saat ini memang tempat kita sedang tidak membutuhkan penambahan tenaga kerja. Tunggu beberapa hari lagi dan yang pasti jangan lupa terhadap janji kamu tadi," kata Handoko."Ya, Pak. Saya tidak akan ingkar janji. Salary saya selama tiga bulan pertama full bapak yang akan menerima," janji Anggraini.Gaji full trainer selama tiga bulan diterima oleh Handoko, bukankah itu cukup lumayan? Handoko hanya perlu membujuk dan merayu bosnya untuk menerima satu orang lagi instruktur dan meyakinkan kalau orang yang akan diterima kerja ini memiliki kualifikasi yang tidak bisa diragukan lagi. Sang bos pastinya tidak akan keberatan.***Dinda menangis keras saat Puspa meraihnya. Entah karena anak berusia satu tahun itu baru bangun atau memang karena dia takut pada sosok Puspa yang tidak familiar, Dinda terkejut saat dirinya langsung ditangkap oleh seorang nenek-nenek yang tidak dia kenal sebelumnya.“Cup! Cup! Jangan menangis, nenek akan membawamu dari sini, Ok? Tenang, tenang jangan menangis!” Puspa berusaha membujuk Dinda yang kini telah berada dalam gendongannya.Melihat putrinya sangat ketakutan, Anggraini merebut paksa Dinda dari Puspa. “Tolong pergi dari sini. Kau membuatnya takut,” desis Anggraini mencoba menahan sabar.“Kau jangan keterlaluan dan bersikap seolah-olah kau adalah ibu kandungnya. Kau tidak punya hak! Aku adalah nenek kandungnya. Dan aku ingin membawanya, aku ingin menjemput cucuku sekarang!”“Anda yang jangan keterlaluan! Ngomong-ngomong soal hak, anda yang tidak punya hak apa-apa terhadap mereka. Aku mengantongi ijin dari pemerintah untuk merawat mereka,” kata Anggraini.“Hah! Izin dari pemeri
Perempuan tua itu menerobos masuk tanpa menghiraukan Anggraini yang berdiri di pagar.“Mama! Tunggu dulu!”Anggraini berusaha mencegah mantan mertuanya itu untuk masuk ke rumahnya. Sebenarnya dia sendiripun sudah enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan Mama, namun untuk saat ini ia tidak punya waktu untuk memanggilnya dengan sebutan lain“Jangan halangi aku! Aku akan membawa dia dari sini!”Rupanya keributan di luar membuat Shakila yang sudah masuk ke dalam rumah kembali keluar untuk melihat apa yang terjadi. Demikian pula baby sitternya Dinda menyusul Shakila untuk melihat apa yang terjadi.“Di mana dia? Di mana cucuku!” teriaknya.Anggraini berjalan cepat dan menghalangi Puspa untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia membentangkan tangannya lebar-lebar.“Stop! Cukup sampai di situ ya. Tolong bersopan santunlah saat hendak masuk ke rumah orang lain. Aku sangat menghormati tamu, tapi kalau sikap Mama seperti ini aku tidak akan segan-segan mengusir Mama dari rumah ini!” ancam Anggrain
“Kita sudah sampai!!!” seru Asyif yang baru saja mematikan mesin mobil.Shakila segera membukakan pintu mobil dengan lihai, pertanda dia telah biasa melakukannya. Terlihat gadis kecil itu begitu senang telah dibawa jalan-jalan oleh ayah bundanya.“Dih, main tinggal aja. Memang ayah nggak disayang dulu apa?” cibir Asyif pura-pura kecewa saat Shakila hendak langsung keluar.“Oh iya, lupa!” Shakila menepuk jidatnya dan langsung berbalik badan.Cup!! Ia segera mencium pipi Asyif.“Terima kasih jalan-jalannya, Ayah!” ucapnya.“Dan mainannya juga!” celutuk Anggraini mengingatkan Shakila agar tidak lupa mengucapkan terimakasih juga atas belanjaan mainan Anggraini yang seabrek.“Oh, iya! Lupa lagi. Terimakasih mainannya juga, Ayah!” ucapnya.Asyif mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengelus kepala anak itu.“Ya, nanti ajak adek main juga ya!” kata Asyif.“Hu’ uh!” jawab Shakila mengiyakan.Anak perempuan itu segera turun dari mobil setelah membawa beberapa mainan yang bisa dia bawa terlebi
“Kila, pulang yuk!” ajak Anggraini dengan nada sebal.Bagaimana dia tidak sebal, sedari tadi dia hanya mengikuti kedua orang itu keliling-keliling di Mall sekaligus menjadi tukang angkut barang-barang belanjaan Shakila yang sengaja dibelikan Asyif untuknya. Sementara kedua orang, bapak dan anak itu berjalan di depannya sambil tertawa cekikikan. Bukankah itu harusnya terbalik? Harusnya dia yang menuntun Shakila dan Asyif yang membawakan barang-barang belanjaan mereka. Dasar, sungguh tidak gentleman! gerutu Anggraini“Pulang? Yang benar aje, rugi dong!” sahut Asyif membuat Anggraini semakin lebih sebal lagi.“Nanti, Bun. Kita kan belum makan. Belum makan ice cream juga. Benar kan, Yah?” kata Shakila pada Asyif meminta dukungan dari Asyif.“Benar tuh. Bundamu tuh nggak tau. Lagian buat apa sih cepat-cepat pulang? Sudahlah, nikmati aja dulu. Lagian nggak tiap hari kan kita jalan-jalan begini?”Anggraini mendengus.“Bukannya apa-apa, ih. Dinda di rumah takutnya rewel gimana?” “Ada si Mba
“Kila, ada Bunda yang jemput tuh!”Shakila yang tengah bermain perosotan di halaman sekolah langsung menoleh ke arah gurunya, lalu melihat lagi ke arah yang ditunjuk ibu guru tersebut.Tak jauh dari sana ada Anggraini yang melambaikan tangan sambil berjalan ke arah mereka.“Bundaaaaa!!!” panggil bocah itu sambil buru-buru berlari ke arah Anggraini.Begitu sampai di dekat Anggraini, Shakila pun lantas menghambur ke pelukan Anggraini dan yang segera dibalas peluk pula oleh Anggraini.“Lama nunggu Bunda nggak?” tanya Anggraini.“Nggak kok. Kila baru aja pulang, kata Bu Guru, Kila main aja dulu sambil tungguin Bunda,” jawab gadis kecil itu.Anggraini tersenyum. Satu tahun lebih dia telah mengasuh anak itu beserta adiknya. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk pada tumbuh kembang mereka. Shakila sudah tidak lagi bicara cadel seperti dulu. Gadis kecil itu juga sudah tumbuh menjadi anak yang lebih ceria meninggalkan tampilan imutnya di tahun-tahun sebelumnya.Anggraini membungkukkan s
Anggraini bengong sesaat dengan secarik kertas berwarna putih di tangannya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Asyif.Pria ini entah bagaimana menyediakan diri untuk membantu Anggraini dan menemaninya dalam kepengurusan masalah Dinda yang sudah berlangsung selama beberapa hari itu. Kebetulan juga Sophia tidak bisa menemaninya hari ini.Anggraini menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya dia mengangguk. Hari ini dia pergi ke kantor catatan sipil untuk mencetak ulang kartu keluarganya sebagai syarat agar dia bisa membawa pulang kembali Dinda. Sebelum staf itu memberikan padanya Kartu Keluarga itu, setitik keinginan di hati Anggraini berharap bahwa Kartu Keluarga yang dia inginkan itu tidak mencetak nama Merry di sana. Walaupun sebelumnya dia sendiri sudah pernah ke sini untuk menanyakannya langsung. Dan ternyata benar, bahwa di Kartu Keluarga itu terpampang dengan nyata nama Merry dan putrinya. Dan sekarang Anggraini benar-benar memegang Kartu Keluarga itu dalam bentuk fisik.“Kartu keluarg
Sophia yang baru saja memesan makanan siap saji, saat membalikkan badannya heran karena tidak melihat Anggraini di meja yang tadi mereka telah pilih. Namun kemudian kebingungannya berubah menjadi keterkejutan saat melihat Anggraini ada di depan outlet sedang bertengkar dengan seseorang yang dia tidak kenal.“Itu anak saya, berikan dia pada saya!!” teriak perempuan itu dengan kencang sehingga pertengkaran mereka menarik perhatian banyak mata.Anggraini mengelak saat perempuan itu ingin mengambil kembali bayi yang berada dalam gendongannya.“Ini Dinda. Katakan, sebenarnya kamu ini siapa? Kamu siapanya dia? Mana Ibu Septi?” tanya Anggraini menyebutkan nama ibunya Merry.“Ape hal kau kata ni? Aku tak paham apa cakap kau tu. Kalau tak bagi anak aku sekarang juga, aku akan report kau ke polis!” ancamnya.Anggraini geleng-geleng kepala.“Sana laporkan saja! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku sudah mendengar apa yang kamu katakan di telepon. Kamu mau bawa dia ke negaramu, tapi kamu ti
“Jadi kamu yakin nggak mau balik lagi ke Jakarta?” tanya Sophia saat mereka sedang makan siang di kediaman orang tua Sophia di Jakarta.Anggraini mengangguk.“Ya, aku mau menetap di Bandung aja deh kayaknya. Soalnya kerjaanku juga di sana kan? Di sini juga aku kayak yang bingung mau ngapain,” kata Anggraini.Anggraini mengangguk.“Iya sih. Kalau di Jakarta membuat kamu nggak nyaman, sebaiknya ditinggalin aja. Tapi kalau aku boleh kasih saran meski kamu tinggal di Bandung, kamu nggak usah tinggal di rumah itu lagi. Jual aja tuh rumah. Pasti kamu juga nggak pengen teringat terus tentang mereka kan? Sudahlah, buka lembaran baru saja. Kalau kamu setuju, entar aku bantu jualkan rumah itu,” kata Sophia menjelaskan.Anggraini mengangguk.“Iya makanya itu aku lebih pilih ngontrak dulu sebelum aku dapat rumah baru. Entar kalau rumahnya laku dijual aku cari rumah lain aja,” jawab Anggraini terhadap saran sahabatnya itu.“Nah gitu donk! Jadi habis makan kita jadi ke pengadilan agama nih?” “Beso
Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh keluarga Merry. Bahkan begitu mereka keluar dari dalam mobil, nenek Shakila yang juga merupakan ibu dari Merry itu langsung menyambut cucu-cucunya. “Kila, kamu sudah besar, Nak? Peluk nenek!” pinta wanita itu. Shakila mundur beberapa langkah dan kini bersembunyi di belakang tubuh Anggraini. Wanita itu menatap Anggraini. Tersungging seulas senyum di bibirnya. Entahlah, sekilas Anggraini merasa kalau senyum itu berbeda, menimbulkan kesan sinis. “Maaf, kamu istri pertamanya Teguh?” tanya wanita itu. Anggraini membenarkan meski dalam hati ia cukup terkejut mengetahui bahwa perempuan itu mengetahui bahwa dia adalah istri tua dari Teguh. “Iya, benar. Kenapa ibu tahu?” tanya Anggraini dengan nada sedikit tidak suka. Bagaimana tidak? Anggraini heran dengan kenyataan bahwa ibu ini seperti perempuan tidak tahu malu yang telah menikahkan putrinya pada suami orang lain. Bahkan Anggraini bisa melihat foto figura besar di ruang tamu rumah it