Keluar dari ruangan Handoko, Anggraini langsung disambut oleh Sophia.
"Nggre, gimana?" tanya Sophia harap-harap cemas.Anggraini tidak langsung menjawab melainkan mengajak Sophia pergi dari sana. Ia merasa tidak enak jika menceritakan pembicaraannya dengan Handoko sementara banyak orang berpapasan dan berlalu-lalang di sekitar mereka.Setelah mereka tiba di dalam mobil Sophia kembali, barulah ia menceritakan pada sahabatnya itu tentang bagaimana ia merayu seorang Handoko untuk menerimanya bekerja di gymnasium itu."Wah, gila! Kamu belum apa-apa sudah berani menyuap orang itu? Ckckck … Anggre, ini sisi gelapmu yang selama ini aku tidak tahu. Ngomong-ngomong darimana dan sejak kapan kamu punya sikap buruk seperti ini?" Sophia berdecak tak percaya kalau Anggraini ternyata bisa melakukan hal sejauh ini.Sepertinya Anggraini sudah memikirkan matang-matang segalanya hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat.Anggraini mengangkat pundak."Serius, Anggre. Kamu akan melakukan apa jika kamu sudah diterima bekerja di gymnasium ini? Jangan bilang kalau kamu ingin menjadi pelatih senam untuk perempuan itu?" tebak Sophia cemas.Masalahnya bukan apa-apa jika hanya menjadi pelatih senam kebugaran biasa, tetapi wanita itu sedang hamil. Bagaimana kalau Anggraini sedang berupaya mencelakai wanita itu dengan teknik-teknik gerakan senam yang berbahaya? Astaga …"Kita jemput mobilku dulu, Phi. Aku mau balik ke Jakarta sekarang. Kamu gimana? Masih mau di sini atau ikut pulang?" tanya Anggraini mencoba mengabaikan pertanyaan sahabatnya itu.Sophia memang sering berada di Bandung, karena ia memiliki cabang usaha butik di sini. Ditambah lagi ia memiliki kakak yang bertempat tinggal di kota ini."Ck!" decak kesal Sophia.Ia lantas mendorong lengan Anggraini untuk mendesak wanita itu menjawab pertanyaannya. "Nggak usah mengallihkan pembicaraan. Katakan saja apa rencanamu sebenarnya! Jangan bilang kamu berniat mencelakakan wanita itu dan janin dalam kandungannya. Kekhawatiranku nggak benar kan, Nggre?" tukas Sophia untuk mendesak Anggraini.Anggraini menghela napas panjang. Dia tadinya tidak ingin ada seorangpun yang mengetahui apa yang sedang direncanakannya meskipun itu Sophia. Namun mengingat Sophia bukanlah orang yang bisa disuruh diam ketika dia penasaran, maka Anggraini tak punya pilihan lain selain menjawab dengan gamblang pertanyaan sohibnya itu. Anggraini mengangkat dagunya dengan tegas lalu menatap wajah Sophia dengan mimik serius."Kalau memang benar, kenapa? Janin itu tak seharusnya ada. Selama ini Mas Teguh juga inginnya childfree kan? Ya, kamu dugaanmu benar. Aku akan melakukan sesuatu yang tidak akan pernah terpikirkan oleh kamu atau Mas Teguh sekalipun. Aku akan wujudkan keinginannya itu. kalau Bahwa dia tidak akan pernah mendapatkan anak dari rahim perempuan manapun itu. Termasuk wanita itu!" jawab Anggraini tajam. Sophia merasa lehernya tercekat mendengar jawaban lugas tanpa keraguan dari mulut seorang Anggraini."Anggre!!" seru Sophia hampir menjerit.Ia tak menyangka kalau Anggraini bisa memiliki niat dan pemikiran sejahat itu."Jangan melarangku, Phi. Ini tidak adil untukku. Jika Mas Teguh tidak ingin memiliki anak dariku, kenapa aku harus mengijinkan dia memiliki anak dari wanita lain? Tidak akan! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!" kecam Anggraini.Sophia merasa speechless menghadapi kemarahan Anggraini saat ini. Dia tahu Anggraini sebenarnya tak sejahat itu. Suaminya yang brengsek itulah yang membuat Anggraini bisa berpikir seburuk itu.Sophia geleng-geleng kepala berusaha menepis pikirannya yang sebagian mulai menghakimi Anggraini. Sophia masih optimis kalau Anggraini masih bisa terselamatkan oleh rencana jahatnya sendiri. Huffft … Sophia menarik napas dalam dan mengusap-usap punggung sahabatnya itu."Anggre, aku tahu ini tidak adil ditambah lagi karena aku tidak pernah mengalaminya sendiri. Kau pasti berpikir aku mengatakan ini karena tidak pernah berada di posisimu. Tapi, Nggre. Orang yang ingin kau celakai itu adalah manusia, makhluk bernyawa. Dia bahkan belum terlahir ke dunia, masa kamu sudah merencanakan untuk mengakhirinya? Kasihan, Anggre," bujuk Sophia dengan nada memelas. "Justru karena dia masih belum terlahir ke dunia, aku bermaksud menyelamatkannya dari persoalan hidup yang rumit. Garis bawahi kata-kataku. Dia masih janin. Kau pikir enak menjadi seorang anak dari ayah bajingan dan ibu pelakor? Tidak, Phi! Aku sudah merasakannya sendiri. Jadi jangan mencoba menghalangiku!" kata Anggraini memberi ultimatum.Sophia mendengus. Anggraini saat ini benar-benar tidak bisa dinasehati. Mungkin pikirannya belum jernih. Baiklah, mungkin Sophia akan coba membujuk Anggraini di lain waktu jika logikanya sudah berfungsit sebagaimana mestinya."Aku tidak memintamu untuk ikut-ikutan dengan masalahku, Phi. Sebisa mungkin aku akan berusaha agar tidak melibatkanmu dalam hal ini. Aku juga sadar akan resikonya. Tapi itu semua tidak ada apa-apanya dibandingkan sakit hatiku. Jadi anggap saja kau tidak pernah mengetahui apa yang aku rencanakan. Aku juga tidak akan meminta bantuanmu lagi," ujar Anggraini.Sophia tersenyum kecut. Dia mana bisa membiarkan Anggraini menghadapi masa sulitnya sendirian? Mereka adalah sahabat selamanya. Jika memang harus melompat ke jurang bersama, maka Sophia pun akan melakukannya."Tidak, Anggre. Kau tetap harus meminta bantuanku jika kau butuh."Tidak, Phi. Aku sadar ini berbahaya. Aku tidak akan melibatkanmu," geleng Anggraini."Kalau begitu pemikiranmu, aku akan memberitahukan ini pada Mas Teguh," ancam Sophia."Phia!!" pekik Anggraini jengkel."Makanya. Jangan pernah melakukan sesuatu yang berbahaya sendirian. Ajak-ajak donk," kekeh Sophia.Anggraini tak bergeming dengan tawa Sophia itu."Nggak lucu!" sambatnya kesal.***Bersambung …Anggraini menggeleng mendengar usul Asyif."Sebaiknya jangan, Syif. Aku nggak enak sama Ummi. Walaupun Ummi baik Tapi sebaiknya tidak merepotkan dan melibatkan Ummi dalam hal ini. Selain itu aku nggak bisa ke Jakarta juga karena kerjaan aku kan di sini. Mondar-mandir Jakarta-Bandung akan sangat melelahkan buat aku dan itu pastinya akan mengurangi quality time aku bersama anak-anak. Ini adalah situasi yang berbeda dengan waktu dulu ketika belum ada mereka," kata Anggraini menolak usul dari Asyif."Itu hanya perasaan kamu saja, Anggre. Aku berani bertaruh Kalau Ummi sama sekali tidak akan keberatan Kalau kamu dan anak-anak tinggal bersama mereka di Jakarta. Nenek juga pasti akan senang. Percaya deh sama aku," kata Asyif mencoba menenangkan Anggraini. "Iya aku tau, tapi ...""Begini saja," sela Asyif. "Kita telepon Ummi sekarang dan kita coba tanya pendapat Ummi bagaimana baiknya solusi Ummi terhadap masalah ini."Anggraini tidak setuju. "Aku tidak setuju, Asyif. Bagaimanapun Ummi tidak
Puspa tergagap mendengar pertanyaan memojokkan dari Asyif. “A-apa maksudmu? Saya datang sendiri ke sini. Saya saja tidak tahu di mana Teguh saat ini. Kok bisa-bisanya kalian memojokkan saya seperti ini?” jawab Puspa mencoba membantah tuduhan Asyif padanya.Sementara itu Anggraini melihat pada Asyif dengan pandangan bertanya apakah yang dikatakan oleh Asyif itu benar.“Benarkah? Mas Teguh ada di sini?” Kini Anggraini ganti mengalihkan perhatian kepada Puspa.“Aku sudah bilang kalau aku ke sini sendiri. Kenapa kalian tidak percaya?” bantah Puspa.“Setahuku Mama tidak tahu menyetir mobil. Jadi mana mungkin bisa datang ke sini sendiri,” kata Anggraini tak percaya.“Aku datang ke sini dengan angkutan umum,” jawab Puspa lagi mencari-cari alasan.Anggraini semakin tidak percaya karena lokasi rumahnya tidak dilewati oleh angkutan umum. Dan lagi pula, seorang Puspa tidak mungkin mau menaiki transportasi umum. Anggraini sangat tahu persis hal itu.Anggraini tertawa kecil. Setelah itu ia gegas
Dinda menangis keras saat Puspa meraihnya. Entah karena anak berusia satu tahun itu baru bangun atau memang karena dia takut pada sosok Puspa yang tidak familiar, Dinda terkejut saat dirinya langsung ditangkap oleh seorang nenek-nenek yang tidak dia kenal sebelumnya. “Cup! Cup! Jangan menangis, nenek akan membawamu dari sini, Ok? Tenang, tenang jangan menangis!” Puspa berusaha membujuk Dinda yang kini telah berada dalam gendongannya. Melihat putrinya sangat ketakutan, Anggraini merebut paksa Dinda dari Puspa. “Tolong pergi dari sini. Kau membuatnya takut,” desis Anggraini mencoba menahan sabar. “Kau jangan keterlaluan dan bersikap seolah-olah kau adalah ibu kandungnya. Kau tidak punya hak! Aku adalah nenek kandungnya. Dan aku ingin membawanya, aku ingin menjemput cucuku sekarang!” “Anda yang jangan keterlaluan! Ngomong-ngomong soal hak, anda yang tidak punya hak apa-apa terhadap mereka. Aku mengantongi ijin dari pemerintah untuk merawat mereka,” kata Anggraini. “Hah! Izin dari p
Perempuan tua itu menerobos masuk tanpa menghiraukan Anggraini yang berdiri di pagar.“Mama! Tunggu dulu!”Anggraini berusaha mencegah mantan mertuanya itu untuk masuk ke rumahnya. Sebenarnya dia sendiripun sudah enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan Mama, namun untuk saat ini ia tidak punya waktu untuk memanggilnya dengan sebutan lain“Jangan halangi aku! Aku akan membawa dia dari sini!”Rupanya keributan di luar membuat Shakila yang sudah masuk ke dalam rumah kembali keluar untuk melihat apa yang terjadi. Demikian pula baby sitternya Dinda menyusul Shakila untuk melihat apa yang terjadi.“Di mana dia? Di mana cucuku!” teriaknya.Anggraini berjalan cepat dan menghalangi Puspa untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia membentangkan tangannya lebar-lebar.“Stop! Cukup sampai di situ ya. Tolong bersopan santunlah saat hendak masuk ke rumah orang lain. Aku sangat menghormati tamu, tapi kalau sikap Mama seperti ini aku tidak akan segan-segan mengusir Mama dari rumah ini!” ancam Anggrain
“Kita sudah sampai!!!” seru Asyif yang baru saja mematikan mesin mobil.Shakila segera membukakan pintu mobil dengan lihai, pertanda dia telah biasa melakukannya. Terlihat gadis kecil itu begitu senang telah dibawa jalan-jalan oleh ayah bundanya.“Dih, main tinggal aja. Memang ayah nggak disayang dulu apa?” cibir Asyif pura-pura kecewa saat Shakila hendak langsung keluar.“Oh iya, lupa!” Shakila menepuk jidatnya dan langsung berbalik badan.Cup!! Ia segera mencium pipi Asyif.“Terima kasih jalan-jalannya, Ayah!” ucapnya.“Dan mainannya juga!” celutuk Anggraini mengingatkan Shakila agar tidak lupa mengucapkan terimakasih juga atas belanjaan mainan Anggraini yang seabrek.“Oh, iya! Lupa lagi. Terimakasih mainannya juga, Ayah!” ucapnya.Asyif mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengelus kepala anak itu.“Ya, nanti ajak adek main juga ya!” kata Asyif.“Hu’ uh!” jawab Shakila mengiyakan.Anak perempuan itu segera turun dari mobil setelah membawa beberapa mainan yang bisa dia bawa terlebi
“Kila, pulang yuk!” ajak Anggraini dengan nada sebal.Bagaimana dia tidak sebal, sedari tadi dia hanya mengikuti kedua orang itu keliling-keliling di Mall sekaligus menjadi tukang angkut barang-barang belanjaan Shakila yang sengaja dibelikan Asyif untuknya. Sementara kedua orang, bapak dan anak itu berjalan di depannya sambil tertawa cekikikan. Bukankah itu harusnya terbalik? Harusnya dia yang menuntun Shakila dan Asyif yang membawakan barang-barang belanjaan mereka. Dasar, sungguh tidak gentleman! gerutu Anggraini“Pulang? Yang benar aje, rugi dong!” sahut Asyif membuat Anggraini semakin lebih sebal lagi.“Nanti, Bun. Kita kan belum makan. Belum makan ice cream juga. Benar kan, Yah?” kata Shakila pada Asyif meminta dukungan dari Asyif.“Benar tuh. Bundamu tuh nggak tau. Lagian buat apa sih cepat-cepat pulang? Sudahlah, nikmati aja dulu. Lagian nggak tiap hari kan kita jalan-jalan begini?”Anggraini mendengus.“Bukannya apa-apa, ih. Dinda di rumah takutnya rewel gimana?” “Ada si Mba