Yudha memarkirkan mobilnya di area pakir Fakultas Kedokteran universitas tempat dia mengajar. Tas ranselnya sudah naik ke punggung, ia sudah mematut diri dan semuanya tampak rapi. Yudha melangkah dengan begitu tenang, beberapa kali menyungginkan senyum tipis ketika ada yang menyapanya. Dia hendak melangkah keluar dari area parkir ketika kakinya menginjak sesuatu.
Yudha menundukkan tubuhnya, meraih benda berwarna pink dengan gambar babi itu.
“Flashdisk?”
Alis Yudha berkerut, ia menggeleng dan membawa flashdisk itu dalam genggmannya. Mungkin milik salah satu mahasiswinya. Ia terus melangkah, sambil menghilangkan perlahan-lahan rasa dongkol yang bercokol di dalam hatinya, efek obrolan membosankan bersama sang ibu.
***
“Cari yang bener dong, Rin!”
Karina sontak mendengus, memutar bola matanya dengan gemas sambil menatap Heni yang tampak ikut panik.
Bagaimana tidak panik kalau 30 menit lagi Karina harus sidang skripsi, namun file skripsinya lenyap entah kemana bersama dengan flashdisk-nya! Sialnya lagi, laptopnya tadi terbentur meja, membuat layar LCD laptop tersebut mati total.
What a hell!
“Ini aku juga udah beneran carinya, Hen!” mata Karina sudah memerah, ia benar-benar akan tamat kalau soft file presentasi untuk sidang skripsinya itu tidak ketemu.
“Lagian kamu sih, gimana ceritanya flashdisk bisa hilang, laptop mati layarnya?”
Karina mencebik, memang semua itu mau dia? Karina mau semua ini terjadi di hari paling krusial dalam sepanjang perjalanan pre-kliniknya? Tentu tidak! Gelar sarjana kedokteran itu adalah impian Karina dan tinggal selangkah lagi untuk mendapakan gelar itu guna lanjut pendidikan klinik dan segala macam tetek-benggek perjuangannya untuk menjadi seorang dokter.
“Nggak ada!” Karina mengeluarkan semua isi tasnya.
Berbagai macam benda seperti tempat pensil, pouch make-up dan lain sebagainya berjatuhan. Namun tidak nampak flashdisk itu di sana. Membuat Karina frustrasi seketika. Tidak peduli ada banyak mahasiswa dan mahasiswi lain, ia lantas menjerit dengan sedikit putus asa.
“AAAA ... DEMI ALLAH SIAPAPUN ITU NANTI YANG NEMUIN FLASHDISK AKU DAN KASIH BALIK KE AKU, AKAN AKU JADIKAN SAUDARA KALAU DIA PEREMPUAN DAN BAKALAN AKU JADIIN SUAMI KALAU DIA LAKI-LAKI!” teriak Karina frustasi yang sontak membuat semua orang lantas menoleh dan menatapnya dengan terkejut.
Belum hilang keterkejutan semua yang ada di sana akibat teriakan dan ucapan Karina, mereka kembali dikejutkan dengan munculnya sosok itu yang melangkah begitu tenang mendekati Karina yang duduk di lantai sambil terisak menundukkan wajah.
Siapa yang tidak kenal sosok itu? Dokter Yudha Anggara Yudhistira, seorang dokter bedah yang juga merupakan salah satu dosen mereka di kampus. Dengan tubuh tinggi tegap dan altetis itu, sungguh dia sama sekali tidak cocok menjadi dokter jika dilhat dari visualnya! Terlampau ganteng parah sampai nggak ada obat!
Semua membisu, kecuali Karina yang sibuk terisak menangisi nasib buruknya. Laptop rusak, flashdisk hilang saat dia hendak sidang skripsi? Hal buruk apa lagi memangnya yang kemungkinan terjadi selain dua hal yang tadi dia sebutkan?
“Ini flashdisk yang kamu maksud?” tanya sosok itu yang sekali lagi membuat semua yang ada disana tertegun tidak berkutik sama sekali.
Karina tersentak, suara itu ... ia segera mengangkat wajahnya. Sosok itu berdiri di hadapan Karina sambil menyodorkan benda yang dia cari. Ya! Flashdisk itu ada di tangan dokter Yudha! Bagaimana bisa? Ah ... persetan, yang jelas Flashdisknya sudah kembali dan dia siap sidang skripsi.
Kebahagiaan dan rasa syukur yang sudah siap meluncur dari mulut Karina sontak terhenti. Samar-samar ia teringat sumpahnya tadi. Itu artinya ....
“Tadi saya temukan di area parkir.” Dokter Yudha menjejalkan benda itu ke tangan Karina yang masih tertegun di tempatnya bersimpuh.
“Setelah sidang saya tunggu diruangan saya untuk mambahas kapan saya bisa kerumah buat melamarmu. Kebetulan saya lagi butuh istri.” Ujar sosok itu dengan begitu santai.
Semua yang ada di sana sontak membelalakkan mata. Tidak terkecuali Heni dan Karina. Sosok itu hanya tersenyum, tampak ia hendak melangkah namun ia urungkan dan kembali menatap Karina yang masih syok berat itu.
“Semangat untuk sidang hari ini, saya tunggu di ruangan saya.” Desisnya lantas melangkah dengan begitu santai dan percaya diri menuju ruangan para dosen.
Karina tertegun, ia menoleh menatap Heni yang tampak masih melongo terkejut dengan apa yang barusan terjadi di depan matanya itu.
“Rin ... please ini cuma mimpi, kan, Rin?” tanya Heni yang wajahnya tampak cengoh itu.
Karina menggeleng perlahan, menatap kesekeliling yang nampak tengah memeperhatikannya itu. Flashdisk di tangannya terjatuh. Dan sekali lagi Karina berteriak histeris sambil mengacak rambutnya dengan frustrasi.
“Tttiiidaaaakkkkk....”
***
Yudha mendengar teriakan itu, ia hanya tersenyum simpul lantas melangkah ke mejanya. Bayangan gadis tadi terlintas dalam benak Yudha. Dia adalah salah satu mahasiswi Yudha yang sedikit menyebalkan menurut Yudha pribadi. Namun Yudha akui, Karina cukup menarik. Tinggi tubuhnya paling hanya 150cm saja, beratnya proposional. Wajahnya cantik dengan bibir tipis yang selalu dipoles lipcream.
Sejak dulu Yudha selalu memperhatikan gadis itu. Bukan karena naksir, tetapi karena sikap menyebalkan yang gadis itu miliki. Agak lemot dan ngeyel setengah mati membuat Yudha kadang gemas pada sosok itu.
“Huh, daripada disuruh kawin sama Tere, sama dia tentu lebih mendingan, bukan?” Yudha sendiri tidak mengerti, kenapa hidupnya begini amat sih?
Ada untungnya juga tadi dia memungut benda itu, dan mendengar teriakan si pemilik flashdisk, rasanya kebuntuan Yudha mengenai tekad sang ibu yang sudah ngebet minta mantu menemukan solusi.
“Karina Destinna Pertiwi.”
Yudha secara tidak sadar menyebutkan nama itu, membayangkan visual gadis itu dalam otaknya. Apa tanggapan ibunya ketika nanti dia membawa Karina pulang dan memperkenalkan dia sebagai calon istri? Apakah Ningsih akan menerima? Atau malah tetap ingin Yudha menikah dengan Tere?
Mampus lah kalau begitu!
Daripada anak pak kadus, tentu Karina lebih menarik! Namun kembali pada pasal yang membuat Yudha sedikit ragu adalah sikap gadis itu yang selalu sukses membuat dia hipertensi. Dia agak menyebalkan. Sering kali Yudha berselisih dengan sosok itu di dalam kelas, seperti saat itu ...
“Tugas makalah saya kemarin sudah, bukan?” Yudha menatap mahasiswanya satu persatu, mereka kompak mengangguk dan mengambil sesuatu dari tas masing-masing. Beberapa dari mereka bahkan sudah menyiapkan makalah itu di meja.
Yudha meraih makalah dari meja paling depan, membukanya dan hendak membaca isi makalah itu ketika pintu ruangan kelas terbuka. Nampak sosok itu muncul dengan napas terenggah-enggah, membuat Yudha sontak menutup kembali makalah itu dan menatap ke arah pintu dengan tatapan tajam.
“Jam berapa ini?” tanya Yudha dingin dengan suara yang tidak ramah.
Gadis itu sontak berlari ke arah Yudha menundukkan kepala sambil mencoba mentralkan napas.
“Ma-maaf Dok, tadi ban motor saya bo--.”
“Tidak ada alasan! Kamu telat di kelas saya dan peraturannya adalah telat berarti tidak boleh ikut kelas!” desis Yudha tegas.
Sosok itu mengangkat wajahnya, menatap Yudha dengan mata terbelalak tidak terima.
“Loh ... tapi kan saya cuma telat dua menit, Dok.” Ia mencoba protes.
“Saya tidak mau tahu! Itu sudah jadi peraturan di kelas saya!” Yudha bersikukuh tidak mau menerima gadis itu di kelasnya.
“Ini tidak adil!”
Yudha menatap sosok itu dengan tajam, seluruh ruangan mendadak sunyi dan pandangan mereka terfokus pada dua orang yang ada di depan kelas.
“Tidak adil? Di bagian mana sampai kamu bilang tidak adil, Rin?”
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b