Share

BAB 3

Dan di sinilah Yudha berada sekarang, duduk di sebelah Karina, mahasiswi paling menjengkelkan dalam sepanjang karier Yudha menjadi dosen. Ya ... walaupun baru 2 tahun ini dia menjadi tenaga pengajar di universitas, tetapi sungguh baru kali ini dia bertemu dengan makhluk semenyebalkan Karina.

“Jadi bagaimana, Karina?” tanya Profesor Pamudji, dekan Fakultas Kedokteran itu sambil menatap keduanya secara bergantian.

“Saya mau mengajukan protes, Prof!” ujar gadis itu tanpa takut, yang sontak membuat Yudha melonjak kaget. Edan! Berani benar rupanya makhluk satu ini!

“Protes yang seperti?” tampak Profesor Pamudji menatap Yudha yang terkejut itu, ia masih mencoba tenang dan hendak menyimak apa yang hendak mahasiswi semester 4 itu keluhkan.

“Saya keberatan dengan para dosen yang seenaknya bikin peraturan tidak boleh ikut kelas ketika ada mahasiswa yang terlambat! Itu sangat merugikan. Kami di sini bayar SPP juga, Prof. Uang pangkal juga bayar dan lain-lain, seenaknya saja saya terus nggak boleh ikut kelas.” Cerocos Karina tanpa rasa takut.

“Yang jadi dosen saya, saya yang mengajar dan selama jam pembelajaran otomatis saya yang pegang kendali buat peraturan dan itu sudah mutlak!” Yudha akhirnya bersuara, dia tidak suka diinterupsi macam ini. Memangnya gadis ini siapa?

“Tapi di sini yang dibuat pihak kampus bayar jasa Dokter sebagai pengajar itu uang saya juga, Dokter! Dan dengan melarang saya ikut kelas, itu sama saja Dokter merugikan saya!”

Yudha mengeram, rasanya ia ingin menggebrak meja itu seketika, namun ia sungkan pada sosok yang duduk di hadapan mereka ini. Yudha menatap gadis itu dengan sorot mata tajam, begitu pula sebaliknya. Sungguh Yudha tidak mengerti, kenapa harus ada makhluk semenyebalkan ini?

“Tapi itu kelas saya, saya berhak membuat peraturan dan selama kamu ikut dalam kelas saya, kamu harus patuh dengan segala macam peraturan yang saya buat!” tegas Yudha lagi tidak mau dibantah.

Tampak gadis itu ikut mengeram, membuat Yudha rasanya ingin ... ah tidak! Dia wanita, akan sangat cemen sekali Yudha kalau baku hantam dengan wanita. Di mana martabatnya sebagai laki-laki?

“Kalau hukuman yang Dokter beri sesuai dengan kesalahan dan tidak merugikan dalam jangka panjang seperti ini, tentu akan saya terima dengan lapang dada, Dok. Tapi ini sama saja Dokter merugikan saya! Mana bisa saya terima, saya kuliah di sini bayar, bukan Dokter yang bayarin.”

Anak ini ... Yudha mengeram dalam hati, berani sekali bocah ini melawan dia? Mana di depan dekan lagi. Astaga ... kepala Yudha lantas pusing, rasanya sia-sia sudah berdebat dengan bocah satu ini.

“Jadi mau mu, kamu dihukum apa?”

Tampak gadis itu tergagap, membuat Yudha sontak menghela napas panjang. Dasar menyebalkan.

“Jadi intinya Ananda Karina keberatan dengan hukuman yang dokter Yudha berikan?”

Akhirnya Profesor Pamudji kembali bersuara, sudah saatnya dia melerai pertikaian di hadapannya itu. Yudha menghela napas panjang, yang jelas ia mau urusannya dengan gadis menyebalkan ini selesai dan tidak diperpanjang, dia sudah malas.

“Tentu, Prof! Hukumannya tidak manusiawi dan merugikan.”

Yudha membelalak, tidak manusiawi katanya? Memang Yudha melakukan apa? Meminta gadis itu membangun jalan dari Anyer ke Panarukan? Bikin jembatan Suramadu, atau apa? Di mana letak tidak manusiawinya?

“Dokter Yudha, saya rasa pendapat dari Ananda Karina ada benarnya, lebih baik diberi hukuman lain yang memberi efek jera. Mereka akan kehilangan materi jika diberi hukuman tidak boleh ikut kuliah, bukan?”

“Ta-tapi Prof, say--.”

“Dokter Yudha, please! Perlu saya bawa teman-teman demo di depan fakultas?”

Entah keberapa kalinya dalam kurun waktu pagi ini, Yudha membelalakan mata karena kesal dengan mahasiswi paling bandel itu. Sungguh rasanya Yudha gemas setengah mati. Bapaknya praktik di mana, sih? Dokter apa? Sampai anaknya bisa seberani itu pada dosennya sendiri.

Namun Yudha sudah tidak bisa berkutik lagi. Oke, hari ini dia kalah melawan gadis menyebalkan ini. Akan dia ganti hukuman yang hendak dia berikan, namun suatu hari nanti ... Yudha bertekad akan membalas gadis ini dan membuat dia menyesal sudah berurusan dengan Yudha Anggara Yudhistira, lihat saja!

***

“Loh, kenapa jadi makalah saya dikembalikan, Dok?” tampak terlihat jelas gadis itu protes keras dengan aksi Yudha mengembalikan makalah itu.

Yudha tersenyum sini, menepuk pundak gadis itu seraya berbisik, “Lain kali kalau mau ngumpulin tugas, dibaca dulu ketentuan tugasnya seperti apa, mengerti?”

Yudha melihat jelas wajah itu tampak pucat, sedetik kemudian mata itu bersorot tajam menatapnya. Yudha kembali menyunggingkan senyum setengah mengejek sebelum kemudian melangkah pergi dari hadapan gadis itu.

Siapa suruh berurusan dengan dirinya? Gadis itu benar bahwa uang pembayaran dari kuliahnya yang membayar jasanya di sini, namun perlu Yudha tekankan segala di sini, lebih tepatnya di kelas Yudha, Yudha-lah yang berkuasa penuh.

Dengan langkah tenang Yudha melangkah masuk ke dalam ruangannya, hendak bersiap menuju rumah sakit karena jamnya sudah habis dan deretan jadwal operasi sudah menunggunya. Samar-samar ia bisa mendengar ocehan gadis itu yang tampaknya protes atas tindakan yang Yudha lakukan.

“Hah ... siapa yang suruh berurusan sama saya, Rin? Rasakan aja sekarang!” desis Yudha yang entah mengapa puas sekali melihat wajah itu cemberut seperti tadi.

Yudha sudah menaikkan tas itu ke punggungnya, ketika kemudian ponsel di dalam sakunya berdering. Ia segera merogoh saku kemejanya, menatap layar ponselnya yang menampilkan nomor dan nama itu.

Yudha menghela napas panjang, ibunya menelepon. Bukannya tidak suka ditelepon sang ibu, hanya saja pasti ujung-ujungnya Yudha dibuat sakit kepala dengan permintaan ibunya yang sejak beberapa tahun yang lalu tidak berubah dan semakin menjadi-jadi, yaitu minta dibawakan calon mantu.

Jujur Yudha belum ada pandangan wanita mana yang hendak dia nikahi. Dia belum berpikir sampai ke sana. Tapi tahu sendiri bukan, bagi warga benua Asia, terlebih Indonesia, di usia Yudha sekarang ini, dia ditekan untuk harus sudah berumah tangga? Padahal siapa sih yang mengharuskan? Buat apa juga buru-buru menikah?

Yudha menghirup udara banyak-banyak, mempersiapkan diri menghadapi sang ibu yang sudah bisa Yudha tebak kemana arahnya bicaranya.

“Assalamualaikum ... bagaimana, Bu?” Yudha melangkah keluar ruangan, malu jika di dengar rekan sejawat mengobrol masalah ini dengan sang ibu, ya walaupun mereka tidak bisa mendengar apa yang ibunya katakan, tapi keluar dari ruangan ini itu lebih baik.

“Yud, besok Iibu ke sana, kamu mau dibawain apa?”

Skakmat!

Jika mendapat telepon dari ibunya saja sudah seperti mimpi buruk bagi Yudha, maka dikunjungi ibunya kerumah itu lebih buruk dan menyeramkan lagi. Yudha bakalan kenyang diceramahi dari pagi sampai malam perihal jodoh dan keinginan sang ibu agar dia segera menikah.

Tapi kalau melarang sang ibu kesini, itu sama saja kurang ajar! Durhaka, anak tidak tahu diuntung dan entah apa lagi sebutannya.

Yudha memijit pelipisnya perlahan, ia hendak buka suara, namun suara itu lebih dulu menyapanya.

“Yud, kamu nggak tiba-tiba tuli, kan, Yud?”

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Setiono
kok belum up lagi
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Ketemu calon mantu
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
nznznzmzmzkzzzkzms smsksoslsllslsksksks
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status