Share

BAB 4

"Si Joni kemarin istrinya lahiran loh, Yud!"

Yudha sontak lemas. Benar, kan? Di hari kedua ibunya di sini, pasti itu yang bakalan dia bahas! Sudah Yudha tebak! 

"Ya baguslah, Bu. Nambah personil, nambah rejeki." Begitu, kan, kata orang tua zaman dulu? Semboyan yang membuat satu KK sampai punya belasan anggota keluarga, banyak anak banyak rejeki! 

"Ya makanya itu ... Kamu kapan nikah, Yud?"

Skakmat! 

Kepala Yudha langsung berputar, rasanya ia ingin melesat masuk ke dalam kamar, tapi meninggalkan ibunya seorang diri di depan TV seperti ini? Itu mencari ribut namanya! 

"Nanti lah, kerjaan Yudha lagi padet, Bu." Jawab Yudha berharap ibunya tidak lagi membahas hal itu. Namun agaknya Yudha salah, karena sedetik kemudian, Ningsih langsung membelalak dan nampak tidak kesal dengan jawaban yang keluar dari mulut sang anak. 

"Nanti terus! Dari kamu lulus jadi dokter sampai sekarang sudah spesialis tiap ditanya kapan nikah jawabannya nanti terus, apa nggak ada jawaban lain?

'Ya Salam!'

"Kamu itu udah berumur, mau sampai kapan sih melajang terus begini? Masa iya ribuan wanita diluar sana nolak kamu semua? Jangan terlalu pilih-pilih lah, Yud! Keburu tambah tua!"

'Astaga, sabar!'

"Temen-temenmu coba dilihat, sudah pada punya anak semua dan kamu? Astaga Yud! Ibu sampai pusing mikirin kamu!" Suara Ningsih masih melengking, membuat Yudha rasanya ingin menyumpalkan handsfree ke telinga. Namun ia urungkan, takut disumpahin budek, bisa budek beneran Yudha nanti. 

"Bu, tidak perlu pusing-pusing mikirin Yudha, Yudha baik-baik saja, kok." Yudha terus mencoba bersabar, astaga kenapa sih selalu begini? 

"Gimana Ibu nggak pusing, Yud? Lihat umur kamu sudah berapa? Sebelum Ibu mati, Ibu pengen Yud, lihat kamu nikah, punya anak, gendong cucu dari kamu!"

Yudha sontak menepuk gemas jidatnya, "Jangan ngomong begitu ah, Bu! Ibu sehat, Ibu bakalan panjang umur!"

"Gimana Ibu mau panjang umur kalau Ibu stress mikirin kamu terus?"

Ahh... Yudha hanya bisa mendesah panjang. Memang susah tinggal di benua Asia, khususnya di negara +62 ini. Kalau di benua barat, hal ini termasuk privasi yang tidak boleh sembarangan diganggu gugat, berbeda dengan negara ini. Umur tua belum nikah, eh jadi omongan, nikah muda karena hamil duluan juga jadi omongan. Heran deh, orang-orang di negara ini mungkin kurang pekerjaan hingga menjadikan aktivitas suka ngulik kehidupan pribadi orang lain dijadikan pekerjaan. 

"Nanti deh, Yudha cari calon dulu." Jawab Yudha akhirnya. 

"Nah, gitu dong!" Tukas Ningsih kemudian. "Cari isteri jangan cuma cantik wajah doang, Yud. Attitude-nya harus baik."

Nah ... Yudha salah bicara agaknya! Setelah ini Yudha sudah menebak bahwa sang ibu akan berceloteh panjang lebar tentang kriteria calon istri yang baik seperti apa, yang tepat untuk Yudha seperti apa.

Yudha melirik kotak P3K yang menempel di tembok, rasanya setelah ini Yudha harus menenggak paracetamol agar dia bisa tidur, karena sejak tadi obrolan dimulai, kepalanya sudah begitu sakit. 

***

"Dokter!" 

Yudha yang baru saja turun dari mobil sontak menoleh, nampak gadis dengan celana bahan hitam dan kemeja dusty pink itu berlari-lari kecil ke arahnya, membuat Yudha tersenyum sinis dan mendadak muncul sebuah ide jahat di kepalanya. 

"Ya, kenapa?" Tanya Yudha sambil memasang wajah datar. 

Ngos-ngos. 

Terdengar jelas gadis itu terenggah, membuat Yudha makin bernafsu mengerjai mahasiswi menyebalkan macam Karina Destinna Pertiwi ini. 

"I-ni ... Tu-tugas saya, Dokter!" Tampak gadis itu terenggah-enggah, tangannya menyodorkan makalah bersampul mika biru itu pada Yudha. 

Yudha meraih makalah itu, membuka dan menatapnya sesaat, tidak dia baca memang. Hanya formalitas saja. Ia lantas menutup makalah itu, lalu mengembalikan benda itu pada sang pemilik. 

"Telat. Kemarin, kan, hari terakhir ngumpulinnya."

Mata itu sontak membuat, menatap Yudha dengan tatapan kesal. Rasanya Yudha ingin berteriak. Tidak dosa, kan, mengerjai mahasiswi model Karina begini? Udah badung, tukang ngeyel, ngeselin lagi! Mana kadang lemotnya setengah mati. Heran Yudha, dulu dia bisa lolos masuk kedokteran caranya bagaimana? 

"Loh ... tapi, kan, kemarin saya udah ngumpulin, Dok. Ini revisinya."

Sudah Yudha duga, sosok itu tidak akan gentar protes, membuat Yudha mengacungi jempol untuk keberanian Karina melawannya. 

"Makalah yang dikembalikan itu artinya ditolak, Rin. Dan itu artinya lagi bahwa makalah kamu tidak tercatat dikumpulkan di hari kemarin." Yudha masih sangat menikmati wajah cemberut itu, kenapa diam-diam gadis ini menggemaskan sekali? 

"Nggak bisa begitu dong, Dok! Itu peraturan dari mana?" Suara itu melengking, membuat Yudha rasanya ingin membungkam mulut itu seketika. 

"Peraturan saya lah! Kan kelas saya, jadi saya yang buat peraturan dan setiap mahasiswa yang ikut di jam kuliah saya, harus wajib patuh pada peraturan saya! Mengerti?"

"Loh tapikan--."

"Nggak ada tapi! Itu sudah fix!" Yudha mengacak rambut gadis itu, tersenyum jahil lantas membalikkan badan.

Dia tidak peduli bagaimana wajah itu tampak begitu kesal kepadanya, yang jelas dia sudah puas menunjukkan kuasanya di hadapan gadis itu. 

Apa yang akan gadis itu lakukan? Melapor pada dekan lagi seperti kemarin? Ah sebodoh amat, akan Yudha tunggu perlawanan apa lagi yang hendak dia lakukan. 

Yudha menghentikan langkahnya, membalikkan badan sejenak guna melihat apa yang hendak dilakukan gadis itu. Nampak gadis itu tengah menginjak-injak makalahnya sendiri di tanah. Membuat tawa Yudha sontak pecah. 

"Karin-Karin ... enak, kan, berurusan sama saya?"

***

"Dokter Yudha!!!!!"

Karina menghempaskan makalah yang sudah tidak berbentuk itu ke lantai, napasnya naik turun. Wajahnya memerah dengan bekas air mata yang masih nampak mengambang di mata bulat itu. 

Heni yang duduk di sebelahnya tahu betul kenapa sahabatnya itu selalu berurusan dengan salah satu dosen favorit di kampus mereka.

Ya ... Protes Karin hingga berani menghadap dan melapor ke dekan perihal hukuman dokter Yudha untuk mahasiwa yang telat di jam kuliahnya mengantarkan Karina selalu berurusan dengan sosok itu. 

"Sabar lah, jangan emosi begitu." Heni tersenyum kecut, memang dia bisa bantu apa? Malah-malah nanti Heni lagi yang kena batunya. 

"Gimana mau sabar? Dia udah bener-bener nggak adil sama aku, Hen!" Mata Karin kembali basah, sungguh ia benci sekali dengan laki-laki itu! 

"Pantes sampai umur setua itu masih jomblo, mana ada yang mau sama laki-laki ngeselin macam dia!" Gerutu Karin lagi sambil menitikkan air mata. 

"Hus!" Heni kontan menepuk punggung Karina dengan gemas. "Kamu itu, kalau beliaunya denger bisa gawat, Rin!" Heni melirik sekitar, ia bersyukur sosok itu tidak dijumpai oleh kedua matanya. 

"Biarin sekalian!" Kembali Karina berteriak, sampai Heni refleks membekap mulut Karina. 

"Lihat aja, pokoknya aku doakan dia besok dapat istri yang bawel, ngeyel dan ngeselin kayak aku gini! Biar hipertensi terus kena stroke!"

"Hus!" Kembali Heni menggebuk punggung Karina dengan gemas, "Orang kalau ngomong suka sembarangan!"

"Biarin ... Biarin ... Biarin!" Karina menghentakkan kakinya ke tanah, tampak dia sangat kesal sekali. "Pokoknya aku benci-benci-benci sama dokter Yudha! Benciiiiii!!!"

Comments (9)
goodnovel comment avatar
KokoSan
lumayannanaa
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
ceritanya beda lanjut
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
sumpah serapah Karin lgsung menembus langit..dan d jabah Allah...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status