"Si Joni kemarin istrinya lahiran loh, Yud!"
Yudha sontak lemas. Benar, kan? Di hari kedua ibunya di sini, pasti itu yang bakalan dia bahas! Sudah Yudha tebak!
"Ya baguslah, Bu. Nambah personil, nambah rejeki." Begitu, kan, kata orang tua zaman dulu? Semboyan yang membuat satu KK sampai punya belasan anggota keluarga, banyak anak banyak rejeki!
"Ya makanya itu ... Kamu kapan nikah, Yud?"
Skakmat!
Kepala Yudha langsung berputar, rasanya ia ingin melesat masuk ke dalam kamar, tapi meninggalkan ibunya seorang diri di depan TV seperti ini? Itu mencari ribut namanya!
"Nanti lah, kerjaan Yudha lagi padet, Bu." Jawab Yudha berharap ibunya tidak lagi membahas hal itu. Namun agaknya Yudha salah, karena sedetik kemudian, Ningsih langsung membelalak dan nampak tidak kesal dengan jawaban yang keluar dari mulut sang anak.
"Nanti terus! Dari kamu lulus jadi dokter sampai sekarang sudah spesialis tiap ditanya kapan nikah jawabannya nanti terus, apa nggak ada jawaban lain?
'Ya Salam!'
"Kamu itu udah berumur, mau sampai kapan sih melajang terus begini? Masa iya ribuan wanita diluar sana nolak kamu semua? Jangan terlalu pilih-pilih lah, Yud! Keburu tambah tua!"
'Astaga, sabar!'
"Temen-temenmu coba dilihat, sudah pada punya anak semua dan kamu? Astaga Yud! Ibu sampai pusing mikirin kamu!" Suara Ningsih masih melengking, membuat Yudha rasanya ingin menyumpalkan handsfree ke telinga. Namun ia urungkan, takut disumpahin budek, bisa budek beneran Yudha nanti.
"Bu, tidak perlu pusing-pusing mikirin Yudha, Yudha baik-baik saja, kok." Yudha terus mencoba bersabar, astaga kenapa sih selalu begini?
"Gimana Ibu nggak pusing, Yud? Lihat umur kamu sudah berapa? Sebelum Ibu mati, Ibu pengen Yud, lihat kamu nikah, punya anak, gendong cucu dari kamu!"
Yudha sontak menepuk gemas jidatnya, "Jangan ngomong begitu ah, Bu! Ibu sehat, Ibu bakalan panjang umur!"
"Gimana Ibu mau panjang umur kalau Ibu stress mikirin kamu terus?"
Ahh... Yudha hanya bisa mendesah panjang. Memang susah tinggal di benua Asia, khususnya di negara +62 ini. Kalau di benua barat, hal ini termasuk privasi yang tidak boleh sembarangan diganggu gugat, berbeda dengan negara ini. Umur tua belum nikah, eh jadi omongan, nikah muda karena hamil duluan juga jadi omongan. Heran deh, orang-orang di negara ini mungkin kurang pekerjaan hingga menjadikan aktivitas suka ngulik kehidupan pribadi orang lain dijadikan pekerjaan.
"Nanti deh, Yudha cari calon dulu." Jawab Yudha akhirnya.
"Nah, gitu dong!" Tukas Ningsih kemudian. "Cari isteri jangan cuma cantik wajah doang, Yud. Attitude-nya harus baik."
Nah ... Yudha salah bicara agaknya! Setelah ini Yudha sudah menebak bahwa sang ibu akan berceloteh panjang lebar tentang kriteria calon istri yang baik seperti apa, yang tepat untuk Yudha seperti apa.
Yudha melirik kotak P3K yang menempel di tembok, rasanya setelah ini Yudha harus menenggak paracetamol agar dia bisa tidur, karena sejak tadi obrolan dimulai, kepalanya sudah begitu sakit.
***
"Dokter!"Yudha yang baru saja turun dari mobil sontak menoleh, nampak gadis dengan celana bahan hitam dan kemeja dusty pink itu berlari-lari kecil ke arahnya, membuat Yudha tersenyum sinis dan mendadak muncul sebuah ide jahat di kepalanya.
"Ya, kenapa?" Tanya Yudha sambil memasang wajah datar.
Ngos-ngos.
Terdengar jelas gadis itu terenggah, membuat Yudha makin bernafsu mengerjai mahasiswi menyebalkan macam Karina Destinna Pertiwi ini.
"I-ni ... Tu-tugas saya, Dokter!" Tampak gadis itu terenggah-enggah, tangannya menyodorkan makalah bersampul mika biru itu pada Yudha.
Yudha meraih makalah itu, membuka dan menatapnya sesaat, tidak dia baca memang. Hanya formalitas saja. Ia lantas menutup makalah itu, lalu mengembalikan benda itu pada sang pemilik.
"Telat. Kemarin, kan, hari terakhir ngumpulinnya."
Mata itu sontak membuat, menatap Yudha dengan tatapan kesal. Rasanya Yudha ingin berteriak. Tidak dosa, kan, mengerjai mahasiswi model Karina begini? Udah badung, tukang ngeyel, ngeselin lagi! Mana kadang lemotnya setengah mati. Heran Yudha, dulu dia bisa lolos masuk kedokteran caranya bagaimana?
"Loh ... tapi, kan, kemarin saya udah ngumpulin, Dok. Ini revisinya."
Sudah Yudha duga, sosok itu tidak akan gentar protes, membuat Yudha mengacungi jempol untuk keberanian Karina melawannya.
"Makalah yang dikembalikan itu artinya ditolak, Rin. Dan itu artinya lagi bahwa makalah kamu tidak tercatat dikumpulkan di hari kemarin." Yudha masih sangat menikmati wajah cemberut itu, kenapa diam-diam gadis ini menggemaskan sekali?
"Nggak bisa begitu dong, Dok! Itu peraturan dari mana?" Suara itu melengking, membuat Yudha rasanya ingin membungkam mulut itu seketika.
"Peraturan saya lah! Kan kelas saya, jadi saya yang buat peraturan dan setiap mahasiswa yang ikut di jam kuliah saya, harus wajib patuh pada peraturan saya! Mengerti?"
"Loh tapikan--."
"Nggak ada tapi! Itu sudah fix!" Yudha mengacak rambut gadis itu, tersenyum jahil lantas membalikkan badan.
Dia tidak peduli bagaimana wajah itu tampak begitu kesal kepadanya, yang jelas dia sudah puas menunjukkan kuasanya di hadapan gadis itu.
Apa yang akan gadis itu lakukan? Melapor pada dekan lagi seperti kemarin? Ah sebodoh amat, akan Yudha tunggu perlawanan apa lagi yang hendak dia lakukan.
Yudha menghentikan langkahnya, membalikkan badan sejenak guna melihat apa yang hendak dilakukan gadis itu. Nampak gadis itu tengah menginjak-injak makalahnya sendiri di tanah. Membuat tawa Yudha sontak pecah.
"Karin-Karin ... enak, kan, berurusan sama saya?"
***
"Dokter Yudha!!!!!"Karina menghempaskan makalah yang sudah tidak berbentuk itu ke lantai, napasnya naik turun. Wajahnya memerah dengan bekas air mata yang masih nampak mengambang di mata bulat itu.
Heni yang duduk di sebelahnya tahu betul kenapa sahabatnya itu selalu berurusan dengan salah satu dosen favorit di kampus mereka.
Ya ... Protes Karin hingga berani menghadap dan melapor ke dekan perihal hukuman dokter Yudha untuk mahasiwa yang telat di jam kuliahnya mengantarkan Karina selalu berurusan dengan sosok itu.
"Sabar lah, jangan emosi begitu." Heni tersenyum kecut, memang dia bisa bantu apa? Malah-malah nanti Heni lagi yang kena batunya.
"Gimana mau sabar? Dia udah bener-bener nggak adil sama aku, Hen!" Mata Karin kembali basah, sungguh ia benci sekali dengan laki-laki itu!
"Pantes sampai umur setua itu masih jomblo, mana ada yang mau sama laki-laki ngeselin macam dia!" Gerutu Karin lagi sambil menitikkan air mata.
"Hus!" Heni kontan menepuk punggung Karina dengan gemas. "Kamu itu, kalau beliaunya denger bisa gawat, Rin!" Heni melirik sekitar, ia bersyukur sosok itu tidak dijumpai oleh kedua matanya.
"Biarin sekalian!" Kembali Karina berteriak, sampai Heni refleks membekap mulut Karina.
"Lihat aja, pokoknya aku doakan dia besok dapat istri yang bawel, ngeyel dan ngeselin kayak aku gini! Biar hipertensi terus kena stroke!"
"Hus!" Kembali Heni menggebuk punggung Karina dengan gemas, "Orang kalau ngomong suka sembarangan!"
"Biarin ... Biarin ... Biarin!" Karina menghentakkan kakinya ke tanah, tampak dia sangat kesal sekali. "Pokoknya aku benci-benci-benci sama dokter Yudha! Benciiiiii!!!"
"Mimpi apa sih aku semalam, Hen?" Desah Karina sambil menyusut air mata.Heni menghela nafas panjang, ia menyodorkan tissu pada Karina. "Sudahlah, kamu sepuluh menit lagi sidang dan malah nangis sesegukan kayak gini? Kan file presentasi kamu udah ketemu, Rin."Karina menghentakkan kakinya ke lantai, tampak terlihat dia begitu frustasi."Ketemu sih, cuma aku bayarnya harus pakai masa depan, Hen!" Kembali Karina terisak, sungguh simalakama sekali. Tidak ketemu flashdisk itu sama saja dia harus menunda wisuda S1-nya, dan sekarang ketemu, dia harus menukarnya dengan masa depan cemerlang yang sudah Karina rancang sejak lama, tidak adakah pilihan lain?"Kamu sih!" Heni menggebuk punggung Karina dengan gemas, "Siapa suruh asal njeplak ngomong tadi? Pakai bawa-bawa nama Tuhan lagi, rasain sekarang!"Tangis Karina makin kencang, membuat Heni kembali menggebuk punggung itu dengan kesal."Aku lagi kena sial kenapa kamu malah nyalahin
Karina menatap gelisah pintu ruangan itu. Beberapa mahasiswa menatapnya sambil berbisik-bisik. Tentu tanpa perlu mendengarkan apa yang tengah mereka bisikkan, Karina sudah tahu mereka tengah membicarakan dirinya perihal nasib sial yang harus dia terima akibat sembarangan mengucap sumpah beberapa jam yang lalu.Ia sudah selesai sidang skripsi, dan sesuai yang sudah tadi sosok itu bicarakan, Karina hendak membicarakan hal itu. Membicarakan sumpahnya, ah tidak ... Lebih tepatnya hendak memohon sosok itu agar tidak menganggap semua tadi serius.Karina hendak melangkah masuk ketika suara langkah kaki itu memaksanya menoleh. Sosok itu -dokter Yudha- tampak melangkah dengan penuh percaya diri dan begitu gagah. Membuat Karina tertegun sesaat karena baru menyadari bahwa sosok itu luar biasa mempesona."Cari saya?" Tanya sosok itu sambil tersenyum.'Iya lah cari kamu, memang siapa lagi?' Karina mengumpat dalam hati, hanya berani di dalam
"Bismillah dulu sebelum buka amplopnya."Pandangan Karina yang semula tertuju pada amplop di tangannya sontak beralih pada sosok berjilbab itu. Dokter Rasya tersenyum begitu manis, membuat jantung Karina makin kencang berdegub. Di dalam amplop itu ada secarik kertas yang menentukan hidupnya setelah ini. Ah ... maksudnya menentukan nasib perjalanan pre-kliniknya yang sudah tiga setengah tahun dia lalui."Bismillah, ya Allah," desis Karina lirih lalu membuka amplop itu.Ia mengambil kertas yang terlipat di dalamnya, membukanya perlahan-lahan dengan jantung yang berdisko ria. Harus lulus! Kalau tidak bisa habis Karina nanti. Mana dia harus izin nikah lagi, ah! Kenapa malah mikirin nikah sih? Karina memaki dirinya sendiri, semoga...Karina tertegun, surat itu sudah dia buka dan tak selang lama terdengar suara teriakan riuh teman-teman yang berjuang sidang bersamanya hari ini. Karina LULUS! Dia sudah lulus dan berhak menyandang gelar Sarjana Kedokt
Yudha meletakkan ponselnya, sedetik kemudian senyum Yudha merekah sempurna. Wajah cantik yang nampak manyun tadi kembali terngiang di dalam benak Yudha. Dia harus menekan sosok itu agar membujuk sang ayah merestui lamaran Yudha. Kalau tidak, bisa dipastikan lamaran Yudha bakal ditolak mengingat Karina masih cukup belia dan baru saja lulus S1 kedokteran. Dan jangan lupa, usia Karina dan Yudha terpaut cukup jauh! Tiga belas tahun! Dan kalau lamaran Yudha ditolak, tahu kan apa yang akan terjadi pada Yudha ini? Dia akan dipaksa sang ibu menikahi Tere! Dan Yudha tidak mau itu terjadi. "Mau tidak mau, kita harus menikah, Rin! Dan kamu harus pastikan papamu setuju!" desis Yudha lirih. Dan malam nanti, dia harus bicara banyak hal pada Karina. Sebelum nanti Yudha datang ke rumah gadis itu dan memintanya langsung kepada sang ayah. Perlu dicatat, Yudha tidak mau pulang dengan tangan kosong dari sana. Tidak! Dia harus bawa Karina ikut pulang bersamanya, menjadi istrinya
"Dokter mau ngajar?" komentar Karina asal ketika sudah masuk ke dalam Pajero Dakar berwarna putih itu. Pasalnya penampilan Yudha begitu rapi malam ini, seperti ketika sedang mengajar di kelas.Celana bahan dan kemeja itu terus terang menampilkan kharisma yang begitu kuat, hanya saja di mata Karina, penampilan Yudha bapak-bapak sekali! Ah! Agaknya Karina lupa bahwa dia dan laki-laki ini beda generasi.Tampak sosok itu mendengus kesal, menoleh ke arahnya dan langsung mengomel."Ngajar katamu! Memang saya nggak boleh istirahat apa?" gerutunya dengan bibir manyun. "Saya mau ajak kamu makan malam, sekalian mau bahas masa depan."Karina tertegun sejenak, bahas masa depan? Bahas masa depan yang seperti apa? Kenapa dosen jutek dan menyebalkan ini jadi begitu bernafsu ingin menikahi dirinya? Jangan-jangan ..."Rin, tolong pakai sabuk pengamanmu!" titah Yudha membuyarkan lamunan Karina.Karina sontak nyengir, menarik seat
"Butuh yang bagaimana, Dok?"Tentu Karina terperanjat mendengar alasan Yudha ketika Karina tanya kenapa dia begitu bernafsu hendak menikahi dirinya."Saya butuh kamu untuk saya nikahi, untuk menyelamatkan masa depan saya, Rin."Kembali Karina terperanjat, dia syok dan terkejut luar biasa dengan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu. Ini maksudnya gimana?"Pardon?" alis Karina berkerut, laki-laki ini benar-benar lain!Yudha nampak menghela napas panjang, sementara Karina masih menatap sosok itu dengan saksama. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa jadi Karina dihubungkan dengan misi penyelamatan masa depan sosok dokter bedah umum itu? Memang ada apa dengan masa depan laki-laki jutek dan menyebalkan macam Yudha?"Jadi begini," Yudha menatap lurus ke dalam manik mata Karina, "Kamu tahu, kan, umur saya ini berapa?" tanya Yudha serius."Lah mana saya tahu, Dok? Memang umur Dokter berapa?" jawab Karina balik b
Yudha menepikan mobilnya, menghentikan mobil itu di trotoar yang cukup sepi dan agak gelap. Membuat Karina sontak merinding dan sedikit ketakutan."Dok, mau ngapain?" kontan Karina panik, mau apa lagi sih dosen absurb-nya ini? Kenapa juga dia tidak ada panggilan cito mendadak? Jadi Karina tidak bisa kabur melarikan diri."Membicarakan jalan keluar untuk masalah kita." Yudha menoleh, menatap Karina yang memucat itu dengan tatapan serius.Karina menelan ludahnya dengan susah payah, jalan keluar yang seperti apa sih? Memang dokter menyebalkan satu itu punya rencana gila apa lagi selain tiba-tiba mengajaknya menikah?"Ja-jadi jalan keluar yang seperti apa, Dok? Dokter hendak membatalkan rencana kita menikah?" tentu itu harapan Karina, bukan? Namun sepertinya tidak semudah itu.Yudha mengayunkan tangannya, mencubit pipi Karina sampai gadis itu terkejut dan berteriak kesakitan."A-aduh ... aduh! Sakit, Dok!" teriak Ka
Yudha memasukkan mobilnya ke dalam garasi, setelah mematikan mesin mobil dan melepas seat belt, ia bergegas turun dan melangkah masuk ke dalam. Ia baru hendak membuka pintu ketika pintu itu sudah terhempas terbuka."Gimana, Yud?"Yudha menghela nafas panjang, sebegitu inginnya sang ibu melihatnya menikah? Bahkan sampai rela menunggu Yudha pulang selarut ini?"Apanya yang bagaimana, Bu?" tanya Yudha mencoba membelokkan arah pembicaraan.Sontak tangan Ningsih terayun, mengebuk gemas pantat Yudha sampai laki-laki tinggi tegap itu melonjak kaget."Aduh ... sakit, Bu!"Yudha menatap gemas ke arah sang ibu, sungguh memalukan sekali! Untung sejawat dosen dan dokter serta mahasiswanya tidak ada yang melihat, kalau ada yang melihat? Bisa hancur reputasi Yudha dalam sekejap."Makanya, jangan suka bercandain orang tua!"Yudha menghela nafas panjang, "Yudha bercanda yang bagaimana sih, Bu? Baru aja pulang loh