Naya Putri mendorong pintu kafe kecil di Pasar Baru dengan kasar, air mata mengalir di pipinya saat ingatan panggilan Vita malam tadi memenuhi pikirannya: Lo nggak tahu siapa Rian sebenarnya, Naya.
Suara itu seperti pisau, tajam dan dingin, membuatnya mempertanyakan tawaran Konser Amal Senayan yang seharusnya jadi harapan untuk bayar tagihan rumah sakit ibunya. Aroma kopi tubruk dan bakpao kukus menyambutnya, bercampur bau asap rokok dari meja sebelah, tapi tak bisa menyembunyikan kegelisahan di dadanya. Kafe ini, dengan meja kayu usang dan lagu dangdut lawas dari radio tua di sudut, selalu jadi tempat pelarian Naya dan Maya, sahabatnya. Tapi hari ini, tempat ini terasa seperti jebakan, seperti Jakarta yang ramai tapi penuh rahasia. Maya sudah duduk di sudut, rambut pendeknya sedikit basah karena gerimis di luar, wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat Naya mendekat. "Nay, lo kenapa? Muka lo kayak habis nangis seember," katanya, langsung berdiri dan memeluk Naya erat, seperti pelukan ibunya dulu saat Naya kecil. Naya ambruk ke kursi, menyeka air mata dengan punggung tangan. "Ini soal Rian, May," katanya, suaranya pecah. "Aku baru ketemu dia di studio. Dia… beda, kayak ngerti laguku, tapi ada panggilan aneh dari Vita, mantannya. Dia bilang aku nggak tahu siapa Rian sebenarnya. Dan ayahku telepon tiba-tiba, setelah sepuluh tahun! Aku takut ini jebakan, kayak dulu." Ingatan Budi Santoso—janji manis tentang karier musik, lalu pengkhianatan—menggigit seperti luka yang tak pernah sembuh. Maya mengangguk, alisnya terangkat, tangannya menyerahkan gelas kopi tubruk yang masih mengepul dari uap. "Vita? Penyanyi glamor yang selalu pamer di medsos itu?" tanyanya, nadanya campur kaget dan jijik. "Aku baca soal dia dan Rian. Skandal plagiarisme, Nay. Rian dituduh curi lagunya, tapi dia bilang itu fitnah. Lo yakin mau lanjut sama orang yang punya masa lalu gelap? Apalagi kalau ayah lo tiba-tiba muncul. Apa dia bilang?" Naya menyeruput kopi, pahitnya menampar lidah, tapi ia butuh itu untuk tetap sadar. Jakarta di luar jendela kafe bergerak cepat—motor melaju di genangan air, pedagang cilok berteriak, dan lampu neon mulai menyala meski baru sore. "Ayah cuma bilang kita harus bicara, sebelum ‘terlambat.’ Aku nggak ngerti apa maksudnya, May. Tapi konser ini bisa bayar tagihan Mama. Aku nggak punya pilihan." Ia menceritakan detail pertemuan di studio, jari-jarinya menari di tuts piano, akor yang Rian mainkan, dan bagaimana matanya seolah melihat luka Naya. "Chemistry? Nay, lo jatuh cinta sama produser bermasalah?" tanya Maya, suaranya setengah bercanda, tapi matanya serius. "Aku cek profil Rian tadi. Artikel bilang dia berbakat tapi hancur gara-gara Vita. Lo percaya dia, atau takut dia kayak ayah lo?" Naya menggeleng, pikirannya kacau. "Aku nggak tahu, May. Rian bilang media cuma cari sensasi, tapi Vita telepon aku langsung, kayak tahu sesuatu. Aku takut ini ada hubungannya sama Rian atau konser." Aroma bakpao kukus dari meja sebelah menggoda, tapi perut Naya terlalu mual untuk makan. Kafe ramai dengan pelanggan—pekerja kantor ngopi cepat, ibu-ibu gosip sambil makan—tapi Naya merasa sendirian, seperti nada terputus di tengah lagu. Maya memegang tangannya, jari-jarinya hangat di kulit Naya yang dingin. "Nay, lo harus konfrontasi Rian besok. Tanyain soal Vita. Dan ayah lo, jangan biarin dia mainin lo lagi. Lo kuat, Nay. Lagu lo bikin orang nangis, lo pasti bisa hadapi ini." Maya tersenyum, mencoba angkat mood, dan mulai cerita soal shiftnya di kafe untuk alihkan topik. Naya tersenyum tipis, hatinya sedikit ringan. "Makasih, May. Aku nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada lo." Mereka bicara lama, Maya cerita soal pelanggan aneh di kafe, tapi pikiran Naya tetap di Rian dan Vita. Malam itu, di apartemen Tebet, Bu Ratna marah saat Naya cerita soal konser. "Kamu lupa apa yang ayahmu lakukan? Jauhi orang musik, Nay!" katanya, suaranya gemetar, wajahnya pucat di bawah lampu redup. "Ma, ini beda. Aku harus coba, untuk kita," balas Naya, memeluk ibunya erat, meski hatinya sendiri ragu. "Aku nggak akan kayak ayah." Bu Ratna menghela napas, matanya penuh air mata. "Aku cuma takut lo terluka lagi, Sayang." Di kamarnya, Naya membuka laptop, riset Vita. Foto-foto glamor di I*******m, gaun merah menyala, senyum yang licik—semua membuat Naya bergidik. "Apa rahasia yang lo pegang?" gumamnya, jari-jarinya gemetar di mouse. Pesan dari Rian masuk: Kita ketemu besok. Ada masalah lagu. Bisa jam 10? Naya mengetik balasan: Oke. Tapi tangannya berhenti, jantungnya berdegup kencang. Ponselnya berdering tiba-tiba—nomor tak dikenal, tapi suara Vita di ujung sana: "Lo nggak tahu siapa Rian sebenarnya, Naya. Jangan percaya dia, atau lo akan menyesal." Siapa Vita sebenarnya, dan apa ancaman yang bisa menghancurkan semua impian Naya?Rian Pratama berdiri di tengah studio Kemang, tangannya menyentuh meja mixer yang dingin, aroma plastik panas dari kabel yang kelebihan beban menyengat hidungnya. Lampu neon di plafon berkedip pelan, memantul di dinding kedap suara yang berlapis busa abu-abu, menciptakan bayang-bayang seperti rahasia yang merayap di sudut-sudut ruangan. Di luar, Jakarta malam berdenyut—suara klakson ojek daring dan aroma minyak goreng dari warung pecel lele di gang sempit menyusup lewat ventilasi. Udara masih lembap dari hujan sore, membawa bau tanah basah yang bercampur wangi asap knalpot dari trotoar. Jantung Rian berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan irama, saat ia menatap ponselnya. WA dari Naya tadi pagi (Rian, aku temuin kaset dari Mama. Kita bicara sekarang) terasa seperti nada yang tak selaras. Kaset itu—Lagu ini punya Mama, Nay. Budi ambil tanpa izin—dan pengakuan Budi di kafe (Dana gelap, Vita tahu terlalu banyak) membuat kepalanya pusing, seperti papan kunci piano yang retak. Ap
Naya Putri duduk di depan piano tua di apartemen Tebet, jari-jarinya menyentuh tuts usang yang dingin seperti batu. Cahaya senja menyelinap lewat jendela berdebu, memantul di permukaan kayu piano yang penuh goresan, menciptakan bayang-bayang seperti luka lama di hatinya. Di luar, Jakarta mulai meredup—suara adzan Magrib bergema dari masjid ujung gang, bercampur deru motor dan aroma asap bakpao dari pedagang keliling yang lewat di trotoar. Hujan pagi tadi meninggalkan udara lembap, membuat bau kayu tua di apartemen bercampur wangi tanah basah yang menyusup lewat ventilasi. Naya mencoba memainkan Nada di Tengah Hujan, lagu yang ia ciptakan bersama Rian di studio Kemang, tapi nadanya patah, seperti senar yang kehilangan jiwa. Setiap tuts terasa berat, mengingatkannya pada rekaman Vita tadi malam—suara Budi: Rian nggak boleh tahu soal Naya—dan pesan Budi: Aku tahu lo ketemu Rian. Jauhi dia, atau aku batalkan bantuan operasi. Jantungnya berdegup kencang, seperti metronom yang lari dari i
Rian Pratama duduk di sudut kafe kecil di Jakarta Selatan, meja kayu tua berderit saat ia menyandarkan lengan. Aroma asap arang dari warung sate kambing di seberang jalan menyusup lewat jendela terbuka, bercampur bau bensin dari motor yang menderu di gang sempit. Lampu neon kafe berkedip pelan, bayang-bayang menari di dinding bata yang retak, seperti rahasia yang menolak disembunyikan. Malam Jakarta terasa seperti lagu yang tak selesai—berisik, basah, penuh nada-nada sumbang. Ponsel Rian tergeletak di meja, layar menyala menampilkan pesan WA dari Naya: Rian, aku baca surat Mama. Apa yang lo tahu soal lagu aku? Ketemu di studio besok.. Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan ritme. Surat ibu Naya (Budi, kenapa kau libatkan lagu Naya?, dan video editan Vita (Naya akui lagu bukan miliknya, mengguncangnya. Apa yang Budi sembunyikan? Dan kenapa Vita terus menekan Naya?Rian meneguk kopi hitam, pahitnya menyengat lidah seperti kebenaran yang ia hindari. Dua tahun lalu,
Naya Putri bersandar pada dinding lorong RS Cikini, ubin dingin menyerap panas tubuhnya yang sudah lama terasa kosong. Suara monitor jantung dari ruang ICU berdetak pelan, seperti metronom tua yang kehilangan irama, setiap bunyi seperti jarum menusuk dadanya. Cahaya neon di atas berkedip, menciptakan bayang-bayang yang menari di lantai basah, bercampur aroma keringat pasien dan embun hujan yang menempel di jendela bocor. Di luar, Jakarta malam bergemuruh—siren ambulans memecah udara, klakson motor berderit di jalan raya, dan teriakan pedagang martabak manis di trotoar menggema samar, membawa Naya kembali ke Tebet yang selalu basah setelah hujan. Jaket jeansnya terasa berat, menyerap kelembapan udara, seperti beban hidupnya yang kian menumpuk. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Naya nggak boleh tahu soal proyek itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam retak, setiap kata seperti pisau yang mengiris hatinya. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti tali ya
Rian Pratama duduk di bangku logam di luar ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung berdetak pelan, seperti irama lagu yang tak selesai. Di luar, Jakarta pagi itu masih lembap, aroma tanah basah bercampur dengung AC tua dan keringat pasien di lorong. Klakson motor dan teriakan pedagang bakpao menggema, tapi di sini, waktu terasa beku. Naya mengiirim WA di grup tim konser kemarin: Mama pingsan, aku di RS dan Dita bilang Maya nemuin ibu Naya pingsan di apartemen. Rekaman Vita—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—mengguncangnya, dan pertemuan dengan Budi di Monas bikin curiga. Budi bilang, Vita tahu terlalu banyak, tapi apa? Bayang Naya di lorong RS—matanya penuh luka tapi kuat—membuat dadanya sesak.“Dita, apa kabar Naya?” tanya Rian ke ponsel, suaranya rendah. “Ada WA baru di grup?”“Bos, Naya WA lagi tadi pagi, bilang ibunya stabil tapi butuh operasi,” jawab Dita. “Dia nggak banyak ngomong, kayaknya stres soal tagihan.” Rian menutup telepon, tangannya mengepal di saku j
Naya Putri duduk di kursi plastik di ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung dari balik pintu kaca berdetak pelan, seperti metronom yang menghitung sisa waktu hidup ibunya. Di luar, Jakarta terbangun—adzan subuh bergema dari masjid terdekat, klakson motor dan teriakan pedagang bubur ayam memecah fajar, tapi di sini, udara terasa beku, aroma desinfektan bercampur dengung pelan AC yang tua. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam rusak, setiap kata seperti jarum menusuk. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti jerat, dan foto Naya-Rian di studio membuatnya gemetar. Apa rahasia yang hubungkan ayahnya, Vita, dan Rian? Ingatan ibunya pingsan di apartemen kemarin, saat Maya datang bawa obat rutin seperti biasa, menambah beban, seperti gunung yang tak bisa ia singkirkan.Naya memegang tangan Bu Ratna, dingin dan rapuh seperti kertas tua, jari-jarinya gemetar. “Ma, aku janji, aku bakal cari ca