Beranda / Romansa / Antara Cinta dan Luka / Bab 3: Bayang-Bayang Masa Lalu

Share

Bab 3: Bayang-Bayang Masa Lalu

last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-17 15:02:32

Naya Putri mendorong pintu kafe kecil di Pasar Baru dengan kasar, air mata mengalir di pipinya saat ingatan panggilan Vita malam tadi memenuhi pikirannya: Lo nggak tahu siapa Rian sebenarnya, Naya.

Suara itu seperti pisau, tajam dan dingin, membuatnya mempertanyakan tawaran Konser Amal Senayan yang seharusnya jadi harapan untuk bayar tagihan rumah sakit ibunya. Aroma kopi tubruk dan bakpao kukus menyambutnya, bercampur bau asap rokok dari meja sebelah, tapi tak bisa menyembunyikan kegelisahan di dadanya.

Kafe ini, dengan meja kayu usang dan lagu dangdut lawas dari radio tua di sudut, selalu jadi tempat pelarian Naya dan Maya, sahabatnya. Tapi hari ini, tempat ini terasa seperti jebakan, seperti Jakarta yang ramai tapi penuh rahasia.

Maya sudah duduk di sudut, rambut pendeknya sedikit basah karena gerimis di luar, wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat Naya mendekat.

"Nay, lo kenapa? Muka lo kayak habis nangis seember," katanya, langsung berdiri dan memeluk Naya erat, seperti pelukan ibunya dulu saat Naya kecil.

Naya ambruk ke kursi, menyeka air mata dengan punggung tangan. "Ini soal Rian, May," katanya, suaranya pecah.

"Aku baru ketemu dia di studio. Dia… beda, kayak ngerti laguku, tapi ada panggilan aneh dari Vita, mantannya. Dia bilang aku nggak tahu siapa Rian sebenarnya. Dan ayahku telepon tiba-tiba, setelah sepuluh tahun! Aku takut ini jebakan, kayak dulu." Ingatan Budi Santoso—janji manis tentang karier musik, lalu pengkhianatan—menggigit seperti luka yang tak pernah sembuh.

Maya mengangguk, alisnya terangkat, tangannya menyerahkan gelas kopi tubruk yang masih mengepul dari uap. "Vita? Penyanyi glamor yang selalu pamer di medsos itu?" tanyanya, nadanya campur kaget dan jijik. "Aku baca soal dia dan Rian. Skandal plagiarisme, Nay. Rian dituduh curi lagunya, tapi dia bilang itu fitnah. Lo yakin mau lanjut sama orang yang punya masa lalu gelap? Apalagi kalau ayah lo tiba-tiba muncul. Apa dia bilang?"

Naya menyeruput kopi, pahitnya menampar lidah, tapi ia butuh itu untuk tetap sadar. Jakarta di luar jendela kafe bergerak cepat—motor melaju di genangan air, pedagang cilok berteriak, dan lampu neon mulai menyala meski baru sore.

"Ayah cuma bilang kita harus bicara, sebelum ‘terlambat.’ Aku nggak ngerti apa maksudnya, May. Tapi konser ini bisa bayar tagihan Mama. Aku nggak punya pilihan." Ia menceritakan detail pertemuan di studio, jari-jarinya menari di tuts piano, akor yang Rian mainkan, dan bagaimana matanya seolah melihat luka Naya.

"Chemistry? Nay, lo jatuh cinta sama produser bermasalah?" tanya Maya, suaranya setengah bercanda, tapi matanya serius. "Aku cek profil Rian tadi. Artikel bilang dia berbakat tapi hancur gara-gara Vita. Lo percaya dia, atau takut dia kayak ayah lo?"

Naya menggeleng, pikirannya kacau. "Aku nggak tahu, May. Rian bilang media cuma cari sensasi, tapi Vita telepon aku langsung, kayak tahu sesuatu. Aku takut ini ada hubungannya sama Rian atau konser."

Aroma bakpao kukus dari meja sebelah menggoda, tapi perut Naya terlalu mual untuk makan. Kafe ramai dengan pelanggan—pekerja kantor ngopi cepat, ibu-ibu gosip sambil makan—tapi Naya merasa sendirian, seperti nada terputus di tengah lagu.

Maya memegang tangannya, jari-jarinya hangat di kulit Naya yang dingin. "Nay, lo harus konfrontasi Rian besok. Tanyain soal Vita. Dan ayah lo, jangan biarin dia mainin lo lagi. Lo kuat, Nay. Lagu lo bikin orang nangis, lo pasti bisa hadapi ini." Maya tersenyum, mencoba angkat mood, dan mulai cerita soal shiftnya di kafe untuk alihkan topik.

Naya tersenyum tipis, hatinya sedikit ringan. "Makasih, May. Aku nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada lo." Mereka bicara lama, Maya cerita soal pelanggan aneh di kafe, tapi pikiran Naya tetap di Rian dan Vita.

Malam itu, di apartemen Tebet, Bu Ratna marah saat Naya cerita soal konser. "Kamu lupa apa yang ayahmu lakukan? Jauhi orang musik, Nay!" katanya, suaranya gemetar, wajahnya pucat di bawah lampu redup.

"Ma, ini beda. Aku harus coba, untuk kita," balas Naya, memeluk ibunya erat, meski hatinya sendiri ragu. "Aku nggak akan kayak ayah."

Bu Ratna menghela napas, matanya penuh air mata. "Aku cuma takut lo terluka lagi, Sayang."

Di kamarnya, Naya membuka laptop, riset Vita. Foto-foto glamor di I*******m, gaun merah menyala, senyum yang licik—semua membuat Naya bergidik. "Apa rahasia yang lo pegang?" gumamnya, jari-jarinya gemetar di mouse.

Pesan dari Rian masuk: Kita ketemu besok. Ada masalah lagu. Bisa jam 10?

Naya mengetik balasan: Oke. Tapi tangannya berhenti, jantungnya berdegup kencang.

Ponselnya berdering tiba-tiba—nomor tak dikenal, tapi suara Vita di ujung sana: "Lo nggak tahu siapa Rian sebenarnya, Naya. Jangan percaya dia, atau lo akan menyesal." Siapa Vita sebenarnya, dan apa ancaman yang bisa menghancurkan semua impian Naya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Gavin Gandatapa
"Jakarta malam penuh rahasia, dan Naya mulai dengar bisikan luka masa lalu. ... Apa yang disembunyikan ibunya? Share pendapat kalian! #AntaraCintaDanLuka #GoodNovelGavinGandatapa"
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 69 - Hujan yang Tak Pernah Berhenti

    5 Oktober 2032 Monas, pukul 17:30Langit Jakarta sore itu biru lembut, awan tipis bergerak pelan seperti cat air yang baru disapu. Tidak ada panggung megah. Hanya rumput hijau luas yang sama, basah karena hujan kecil tadi siang, dan kini menguap menjadi uap hangat yang membawa bau tanah dan kenangan.Lima tahun sudah lewat sejak malam Baby Rain debut di tempat ini.Sekarang, di tengah lapangan yang sama, berdiri lingkaran kecil dari kayu jati tua, diameter sepuluh meter. Di atasnya hanya ada satu mikrofon berdiri, satu gitar akustik, dan satu stroller kosong yang sudah besar, warna putih pudar karena sering terkena matahari dan hujan.Di depan lingkaran itu, satu juta orang duduk di rumput. Tidak ada tiket. Tidak ada sponsor. Hanya undangan terbuka di Instagram Tiga Suara: “Kami pulang ke rumah. Kalau kalian mau ikut, datang aja.”Dan mereka datang. Dari Sabang sampai Merauke. Ada yang bawa anak kecil, ada yang bawa orang tua, ada yang bawa spanduk tulis tangan:

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 68: Baby Rain Debut di Monas – 500 Juta Views

    Angka di layar LED raksasa terus berlari liar: 500.000.000 → 503.217.890 → 507.892.111 Setiap detik lahir jutaan views baru, seperti detak jantung planet yang baru sadar ada bayi bernama Baby Rain.Pukul 00:17, 6 Oktober 2027. Udara malam Jakarta dingin menusuk tulang, tapi rumput masih hangat karena ratusan ribu kaki yang baru saja menginjaknya berjam-jam. Bau tanah basah, keringat, gorengan sisa, tumpahan kopi instan, dan susu bayi yang menetes ke selimut Baby Rain bercampur jadi satu aroma khas: aroma kemenangan.Rian menatap layar, napasnya membentuk kabut kecil di udara. Kaus hitamnya sudah menempel kulit seperti kulit kedua, rambut acak-acakan menempel dahi, jari kanannya berdarah sedikit karena senar E putus tadi, tapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya tersenyum lelet, seperti orang yang baru sadar dia menang lotre dunia.Naya mendorong stroller perlahan mendekat. Roda kecilnya berderit pelan di rumput becek, meninggalkan jejak ban tipis yang langsung tert

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 67: Disney 2 Miliar

    Langit Jakarta masih menetes-netes sisa gerimis ketika jam di drone TMZ berkedip tepat pukul 22:45, 5 Oktober 2027. Huruf-huruf merah darah menyala terang di layar LED raksasa pinggir Monas: DISNEY TAWAR 2 MILIAR UNTUK LARA KE BROADWAY. Angka 2.000.000.000 itu seperti palu godam yang menghantam dada 500 ribu orang sekaligus. Pantulannya merah membara di genangan air rumput, di bola mata yang membelalak, di layar ponsel yang terangkat serentak. Hujan baru saja reda, tapi udara malam masih berat—lembab, lengket, bau tanah basah bercampur keringat massa, gorengan yang sudah dingin, asap knalpot motor polisi yang baru saja meninggalkan barikade. Di tengah lapangan yang licin, Rian berdiri sendirian bagai tiang listrik yang kehabisan arus. Kaus hitam polosnya basah kuyup menempel di tubuh, gitar akustik Takamine tua terkulai di pangkuan, senar E rendah masih bergetar pelan seolah menolak diam. Di depannya, stroller Baby Rain berwarna abu-abu tua berlumur lumpur. Naya duduk bersil

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 66: N*****x 1 Miliar – Vita Bangkit

    Drone TMZ menukik tajam pukul 21:15, 5 Oktober 2027. Kamera HD 200 mm zoom ke layar LED raksasa di pinggir Monas, headline merah darah menyala di tengah hujan yang mulai reda, huruf kapital besar seperti teriakan di malam Jakarta yang basah. NETFLIX TAWAR 1 MILIAR KEMBALI KE VITA. Angka 1.000.000.000 itu berkedip seperti petir kecil, terpantul di genangan air rumput, di mata 500.000 orang yang mulai terdiam. Bau tanah basah bercampur keringat massa, gorengan dingin dari pedagang pinggir, asap knalpot motor polisi yang baru mundur, kopi instan Kapal Api dari termos Rian yang sudah dingin. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup menempel kulit, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi pelan seperti napas terakhir lagu. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong pasca-lahir, napas tersengal seperti nada minor yang menunggu resolusi. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah,

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 65: Budi Santoso di Monas – Ayah vs Hujan

    Bab 65: Budi Bicara – Netflix 1 Miliar(1.800 kata tepat – naratif penuh tanpa tanda ":" )Budi pegang mikrofon dadakan pukul 20:00, 5 Oktober 2027. Suara seraknya menggema di rumput Monas, lebih keras dari 500.000 orang yang mulai diam, lebih dalam dari hujan yang masih turun pelan. Rambut putih pendek basah, mata dalam seperti sumur tua, jaket kulit usang basah kuyup. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah, mata hitam pekat terbuka lebar menatap Budi. Lara 15 tahun di samping, kaus Tiga Suara basah, glitter jatuh ke rumput seperti hujan bintang tenggelam. Ratna tanpa walker, kaki kanan kuat, mata tajam. Maya rekam di ponsel, gitar kayu tua di pangkuan, jari gemetar di layar. Polisi mundur total, drone TMZ melayang di atas.Budi berdiri 5 meter

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 64: Vita Jalan – Hujan vs Penjara

    Vita jalan pelan di rumput Monas pukul 18:45, 5 Oktober 2027. Rambut panjang hitam basah hujan, mata tajam seperti pisau yang baru diasah, kaus putih polos basah kuyup menempel kulit. Bau tanah basah bercampur keringat 500.000 orang, gorengan dari pedagang pinggir, hujan deras yang baru turun. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah, mata hitam pekat terbuka lebar menatap Vita. Lara 15 tahun di samping, kaus Tiga Suara basah, glitter jatuh ke rumput seperti hujan bintang tenggelam. Ratna tanpa walker, kaki kanan kuat, mata tajam. Maya rekam di ponsel, gitar kayu tua di pangkuan, jari gemetar di layar. Polisi mundur total, drone TMZ melayang di atas.Rian pikir dalam hati. 2015. Vita ambil lagu Budi. Aku blacklist. Sekarang Baby Rain lahir. Vita ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status