Share

Antara Cinta dan Takdir
Antara Cinta dan Takdir
Penulis: Desi Ratna

Bab 1: Dia, siapa?

Melewati jalanan yang sepi, aku mendorong sepeda dengan terseok-seok karena kondisi kaki ku yang sedang terluka. Saat sedang merapikan jejeran vas bunga, aku tidak sengaja menyenggolnya. Lalu vas bunga itu jatuh dan pecah. Karena kurang berhati-hati saat membersihkannya, serpihan kaca itu malah melukai kakiku sampai berdarah. 

Untung saja pemilik toko tidak marah, dia malah berbaik hati menawarkan diri untuk mengantarku pulang, tentu saja aku langsung menolak. Aku tidak ingin merepotkan dirinya. Sungguh aku sangat beruntung bertemu dengan pemilik toko Bunga itu, namanya Bu Syifa. Dia sangat baik dan mau memberikan pekerjaan untukku. Karena setatusku masih bersekolah, aku tidak bisa bekerja full satu hari. Jadi, dari pagi sampai siang aku akan menjalankan tugas sebagai seorang siswa, setelah pulang sekolah sampai tengah malam aku akan pergi ke toko Bunga dimana tempatku bekerja.

Sekarang sudah hampir tengah malam, suasananya terasa sunyi dan gelap. Hanya ada suara hewan hewan kecil yang saling bersahutan. Andai saja kaki ku tidak terluka, pasti sekarang aku sudah sampai di rumah.

Seketika langkahku terhenti saat ada segerombolan orang berbaju hitam berjalan ke arahku. Tubuhku membeku, siapa mereka?

Namun, aku harus tetap berpikir positif. Bisa saja mereka hanya sekadar lewat. Mencoba untuk menghilangkan prasangka buruk, aku kembali melanjutkan perjalanan. Kepalaku menunduk, tapi mataku terus mengitari sekitar berjaga-jaga untuk meminta bantuan jika terjadi sesuatu. Sialnya tidak ada orang lain disini. 

Mereka sudah semakin dekat, lalu salah satu dari mereka menahan sepedaku. Sekarang, aku sudah tidak bisa berpikir positif. 

"Dari mana? Baru pulang bekerja, ya?" tanya seseorang yang bertubuh besar. 

Aku menghela nafas pelan, mencoba untuk tetep tenang. 

"Jika tidak mau terjadi sesuatu, serahkan semua uangmu." 

Aku mengangkat kepala, lalu menatapnya sekilas.

"Jika ingin uang, maka bekerja," jawabku. 

Orang-orang seperti mereka hanya bisa mengancam untuk mendapatkan sesuatu. Apa mereka tidak punya cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidup? Kenapa harus menjadi begal jalanan seperti ini. Aku juga harus bekerja keras agar bisa dapat uang, dan mereka dengan gampangnya memintaku untuk memberikan seluruh uang yang aku miliki? Huh! Itu gila.

"Anak kecil, kau tidak perlu mengajari kami. Apa kau tidak lihat? Sekarang kami sedang bekerja," ucap yang lainnya. 

"Kalian sedang tidak bekerja. Tapi kalian sedang melakukan aksi kriminal kepadaku." 

Mereka saling menatap satu sama lain, seperti sedang merencanakan sesuatu. Tanpa aba-aba secara bersamaan mereka menarik tas selempang yang aku gunakan.

Leherku tercekik karena mereka menarik tasku pada arah yang berlawanan. Alhasil aku sulit bernafas. 

Sepedaku terjatuh.

"Ah! Lepaskan. Leherku sakit," pintaku.

Namun, mereka sama sekali tidak menghiraukan. Malah semakin menguatkan tarikannya.

"Tolong! Tolong! Ada begal!" 

"Diam!" 

"Tolong! Tolong aku!" 

Haruskah aku menyerah. Tapi, aku juga sangat membutuhkan uang ini untuk membayar bulanan sekolah. Tanpa diduga, dari arah depan muncul tiga orang remaja yang langsung menyerang para begal itu. Membuat mereka tersungkur, dan jeratan dileher ku mengendur. Aku langsung bernafas lega, karena sebelumnya dadaku terasa sesak. 

"Kalian lagi! Tidak bisakah kalian melakukan pekerjaan yang lebih baik? Huh!" teriak salah satu dari mereka. 

Aku bersimpuh di tanah, aku tidak tahu siapa ketiga remaja itu. Mereka berdiri membelakangi cahaya. 

"Pergilah! Sebelum aku menelepon pihak berwajib." 

Dengan terburu-buru para begal itu berlarian menyelamatkan diri, mereka tidak jadi mengambil tasku. Mereka menghampiriku dan membantu mendirikan sepeda yang semulanya terjatuh. Lelaki yang berbaju putih juga ikut memapahku untuk berdiri. 

"Hey! Apa kau baik-baik saja?" tanya salah satu dari mereka. 

Aku mengangkat wajah, berniat untuk mengucapkan terimakasih kepada mereka. Sayangnya, senyumku perlahan langsung memudar saat tahu siapa ketiga remaja itu. Tidak berbeda denganku, mereka juga sama terkejutnya. Mereka bertiga adalah para siswa dari kelas unggulan, mereka sangat populer di sekolah. Maka dari itu aku mengenalnya. Adnan, Biru, dan Tara. 

"Tunggu dulu, bukankah kau Anara? Anak dari seorang pelacur itu?" Tanya Adnan yang langsung mendapat pukulan kecil dari Biru. 

Aku langsung memalingkan wajah mendengar pertanyaannya. Mereka mengenalku karena berita yang tersebar jika Ibuku adalah pelacur? Entah mengapa ini menyakitkan. 

"Dia Ana? Huh! Seharusnya kita tidak perlu menolongnya tadi," sahut Tara yang terlihat menyesal telah menolongku. 

"Kau benar. Jika aku tadi tau dia adalah Ana. Aku tidak sudi untuk menolongnya," jawab Adnan kembali. 

Nafasku tercekat, kenapa aku dibenci hanya karena pekerjaan Ibuku. Apakah anak seorang pelacur tidak pantas mendapatkan pertolongan? Apa kesalahanku. Jujur, aku juga tidak ingin takdir seperti ini. 

"Jangan berbicara omong kosong! Apa kalian berdua tidak berpikir jika perkataan kalian tadi menyakiti perasaannya?" Ujar Biru. 

Biru. Lelaki yang aku kagumi dari dulu, dia seseorang yang baik hati, tutur katanya lembut. Aku bahkan berpikir jika dia adalah salah satu murid yang sama sekali tidak membenciku. Tapi, aku hanya bisa memendam perasaan ini, anak pelacur sepertiku tidak pantas bersama dirinya yang seperti serbuk berlian. Lihatlah, bahkan dia membelaku di depan teman-temannya.

"Tapi, bukankah apa yang kami katakan tadi suatu kebenaran? Lalu apa yang salah?" 

"Dia memang anak pelacur." 

Biru terlihat menghela nafas panjang, lalu dia beralih bertanya padaku. 

"Ana, apa kau baik-baik saja? Apa kau bisa pulang sendiri?" tanyanya. 

Aku mengangguk menanggapi.

"Aku bisa pulang sendiri. Terimakasih atas bantuan kalian, maaf merepotkan." 

"Tidak apa-apa, kebetulan tadi kami lewat jalan ini. Sekarang, pulanglah." Biru menatapku sambil tersenyum. 

Hatiku langsung menghangat dan gugup secara bersamaan melihatnya. 

"Ayo Biru! Kita pulang saja," seru Tara yang sudah berjalan terlebih dahulu bersama Adnan. 

"Hati-hati dijalan, Ana." Biru melambaikan tangan kepadaku, lalu berlari menyusul kedua temannya yang mulai menjauh. 

Aku bergeming di tempat, baru kali ini aku bisa berinteraksi dengannya. Entah mengapa, bahagia menghampiri hatiku sekarang. Itu semua karena dia, Biru. 

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh akhirnya aku bisa melihat pintu gerbang yang menjulang tinggi. Akhirnya, aku sudah sampai dengan selamat. Meskipun kini kaki ku terasa sangat nyeri karena melakukan perjalanan jauh.

Saat hendak membuka pintu gerbang, tiba tiba satpam penjaga rumah sudah membukanya terlebih dahulu dengan tergesa-gesa karena akan ada mobil yang keluar. Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik dengan pakaian yang begitu ketat berjalan dengan tatapan marah ke arahku.

"Kemana saja kamu? Anak tidak tahu diri, jika sudah selesai bekerja seharusnya langsung pulang ke rumah! Bukan malah pergi ke tempat lain!" bentak wanita itu. Dia adalah Ibu kandungku.

Aku hanya terdiam sambil menundukkan kepala aku sama sekali tidak berani menatap mata marah Ibuku.

"Maaf, Bu. Kaki ku sedang terluka, itu membuatku kesulitan berjalan. Jadi, aku terlambat untuk pulang."

"Kau pikir aku peduli? Sekarang cepat masuk! Dan bersihkan seluruh rumah jangan sampai ada yang terlewat." perintah Ibuku dengan lantang, lalu berbalik menuju mobil.

Sebelum Ibuku benar-benar pergi, aku terlebih dahulu menghentikannya.

"Ibu mau kemana? Sekarang sudah hampir tengah malam bukankah Ibu kemarin baru saja sembuh dari demam?" tanyaku dengan tatapan sendu.

Walaupun Ibuku tidak peduli tapi tetap saja aku sangat menghawatirkan kondisinya saat ini.

"Diamlah! Tidak usah sok perhatian padaku, aku sama sekali tidak menghiraukannya." jawabnya seraya menepis tanganku dengan kasar.

Ibuku segera berjalan menuju mobilnya dan tidak lupa membunyikan klakson, dengan tertatih aku menepi agar mobil putih itu bisa keluar dari area gerbang. Aku menghela nafas panjang entah sampai kapan Ibuku akan bersikap kasar seperti ini. Padahal, dulu dia sangat menyayangiku. 

Namun, semua itu berubah setelah Ayahku kehilangan pekerjaannya.

Apa ini kesalahanku? Aku juga tidak tahu.

Tanpa mau berlama-lama aku langsung masuk ke dalam rumah memikirkan Ibuku justru hanya membuat batinku semakin terasa sakit.

Rumahku memang besar dan mewah. Tapi, ini adalah hasil dari pekerjaan Ibuku menjadi seorang perempuan bayaran. Padahal statusnya masih seorang istri, alasan Ibuku melakukan ini karena tidak sanggup hidup sengsara bersama Ayahku yang mempunyai penyakit kanker darah dari tiga tahun yang lalu. Akhir-akhir ini kondisi Ayah juga kurang baik aku jadi menghawatirkan keadaannya. Setelah mencuci tangan aku langsung naik ke kamar atas, menuju kamar Ayahku. Tapi, kenapa dari luar terasa sangat sepi.

"Ayah?" Panggilku dari luar.

Membuka pintu dengan perlahan dan mendapati Ayahku yang sedang tertidur pulas, aku lupa jika sekarang sudah sangat larut malam pasti Ayah juga lelah menungguku.

Aku mendekat ke arahnya lalu duduk ditepi ranjang sambil memandangi wajahnya yang terlihat damai. Terkadang aku sedih memikirkan bagaimana perasaan Ayahku saat mengetahui istrinya memiliki pekerjaan yang jelas-jelas sangat terlarang, aku yakin hatinya pasti sangat terluka. Tapi, dia sama sekali tidak pernah menunjukkan perasaan sedih di hadapanku.

"Ayah, aku sudah pulang."

"Aku juga sudah makan."

"Syukurlah Ayah sudah tidur, lain waktu tolong jangan menungguku pulang, ya? Ayah harus langsung istirahat agar kondisinya cepat membaik."

Aku tertawa pelan tentu saja dia tidak akan mendengarnya, tapi setidaknya aku sudah lega melihat keadaannya sekarang. Aku beranjak menuju arah balkon dengan tertatih, lukanya belum diperban hanya diberi obat tetes dan dilapisi plester. 

Setelah sampai aku tersenyum mengamati ribuan bintang yang terang di langit sana, ditambah semilir angin yang menerbangkan anak rambutku membuat semua lelahku sedikit berkurang. Saat aku sedang memandang langit, tiba-tiba saja ada yang aneh. Awalnya aku mengira itu bintang jatuh tapi mengapa cahaya itu seperti mendekat ke arahku.

"Apa itu? Kenapa benda putih itu memiliki sayap?" Aku semakin dibuat heran karena cahaya itu mengeluarkan sayap besar.

Aku berjinjit agar bisa lebih jelas melihat benda itu dan seketika kedua mataku membola karena itu bukan bintang ataupun benda jatuh, tapi itu manusia.

Mahluk itu semakin terlihat besar dan mungkin akan segera mendarat. Tidak! Bagaimana ini. Badanku panas dingin, apa mungkin itu alien yang jatuh dari luar angkasa atau justru hantu.

Bruk!

Mahluk itu jatuh di taman depan rumah dengan posisi tengkurap, sedangkan aku masih mematung dengan mulut yang terbuka.

Tubuh mahluk itu mengeluarkan cahaya juga kedua sayap itu sangat besar. Ah apa itu! Apa malaikat jatuh dari langit. Aku masih terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Tidak! Aku pasti sedang berhalusinasi.

Karena penasaran aku langsung keluar kamar dengan mengendap-endap lalu menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Membuka pintu utama, lalu keluar sambil meringis kesakitan. Itu karena tadi aku berjalan dengan cepat tanpa mempedulikan luka dikaki ku.

Ternyata aku tidak sedang berhalusinasi, mahluk itu benar-benar ada di sana.Tetapi, kenapa setelah terjatuh dia malah tidak langsung pergi? Ada yang tidak beres.

"Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika mahluk itu berniat jahat." Aku belum beranjak sedikitpun aku bingung harus bagaimana sekarang.

Mencoba untuk tenang, aku kembali mengintip guna memastikan apa makhluk itu sudah pergi. Tapi dia masih berada di sana dan jika aku perhatikan lebih intens mahluk itu terlihat sedang kesakitan.

Sepertinya dia terluka.

Ah lama-lama aku tidak tega melihatnya kesakitan seperti ini. Sebagai manusia yang memiliki hati aku harus membantunya, tapi aku tidak pernah diajarkan untuk membantu manusia bersayap. Baiklah, aku akan menganggapnya seekor burung besar yang kesakitan. Setelah lama bertengkar dengan pikiranku aku memutuskan untuk membantunya. Melepas sepatu yang aku kenakan, supaya tidak menimbulkan suara yang membuatnya terusik.

Perlahan aku langkahkan kakiku mendekatinya, mencoba tidak mengeluarkan suara agar mahluk itu tidak terkejut. Tetapi, sialnya aku malah menginjak ranting kayu.

"Aduh!" pekikku saat ranting kayu itu menusuk luka di kaki.

Aku terkejut.

Dia juga terkejut.

Tubuhku seketika membeku saat mahluk itu mengangkat kepalanya, tapi karena posisiku dengannya terlalu jauh aku jadi tidak bisa melihat wajahnya. Dia juga terlihat seperti ingin terbang kembali tapi tidak bisa karena sayapnya robek.

Lalu aku dengar seperti ada suara tangisan . Apa mahluk itu menangis? Seketika rasa takutku hilang, aku merasa bersalah karena telah membuatnya takut.

Aku kembali melangkah dengan sedikit pincang dan tanpa sadar jarakku dengannya sudah sangat dekat. Aku masih tidak percaya bisa melihat manusia bersayap terlebih lagi dia sedang menangis sekarang.

"Hey! Tenanglah! Aku tidak akan melukaimu justru aku ingin membantu," ujarku masih dengan posisi berdiri.

Mahluk itu masih menundukkan wajahnya, tak lupa dengan suara tangisannya yang memilukan. Kenapa dia menangis?

Aku memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah, mataku berbinar saat sayap itu kembali mengeluarkan cahaya yang remang-remang. Aku dibuat bingung sekaligus takjub saat ini aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk mendeskripsikan betapa indahnya mahluk bersayap yang ada dihadapnku. Pandanganku berhenti pada salah satu sayapnya yang robek. Oh! Apa itu yang menyebabkannya jatuh dari langit.

Aku memberanikan diri untuk berjongkok agar bisa dengan lebih mudah berbicara dengannya.

"Kau siapa? Kenapa kau memiliki sayap?"

"Apa kau seekor burung? Tapi mengapa tubuhmu mirip dengan manusia?" 

"Kumohon jangan menangis, apa yang terjadi pada sayapmu? Kenapa kau bisa jatuh ke bumi?" 

Tangisannya perlahan mulai mereda dan itu membuatku merasa lega, tapi tidak setelah dia mengangkat kepalanya dan menatapku.

"Oh, Tuhan!" Batinku berteriak.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status