Share

Bab 2: Ayah tolong aku!

Aku yang tadinya sedang berjongkok kini terhuyung ke belakang lalu jatuh dengan posisi duduk. Dia masih menatapku, dia seorang laki-laki.

Dia memiliki bola mata berwarna biru muda dan bulu matanya lentik, juga bibirnya yang kecil berwarna merah marun dan hidung yang mancung. Wajahnya benar-benar mirip dengan manusia.  

"Tolong aku..." Rintihan keluar dari mulutnya.

Aku langsung tersadar.

"Kau bisa bicara? Ah baiklah, aku akan menolongmu. Tapi, apa yang harus aku lakukan?" Karena bingung aku malah berbalik tanya kepadanya. 

Keberadaannya disini sangat berbahaya, bagaimana jika ada warga atau Ibu dan Ayah yang melihatnya bisa-bisa besok pagi aku diserbu wartawan karena akulah yang pertama kali menemukannya.

"Bagaimana ini! Kemana aku akan membawanya pergi!" 

Kenapa aku malah jadi panik, seharusnya aku bisa mencari jalan keluar. Saat sedang menggerutu aku teringat jika di samping rumah ada gudang yang sudah tidak terpakai. Aku tersenyum dan langsung mengajaknya untuk segera pergi ke sana.

"Di samping rumahku ada gudang, aku akan membawamu ke sana. Karena diluar sangat berbahaya bagimu." Dia tetap tidak merespon membuatku bingung.

Tanpa persetujuan darinya aku langsung bergerak dan berniat untuk memapahnya. Tapi, dengan kasar dia malah menepis tanganku.

"Jangan sentuh aku," desisnya tajam.

Aku menganga tak percaya, kenapa dia malah marah. Padahal aku hanya ingin menolongnya.

"Hey! Kenapa kau marah? Aku hanya ingin membantumu." 

Entah mengapa aku malah jadi kesal, kalau tidak mau dibantu seharusnya jangan jatuh di depan rumahku. Padahal dia yang tadi meminta pertolongan tapi kenapa malah dia yang kasar.

"Sekarang bagaimana? Apa kau bisa berjalan sendiri ke gudang?" tanyaku.

Dia kembali menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku sedikit tercengang, kenapa dia menatapku seperti itu.

"Baiklah. Izinkan aku untuk menyentuhmu, aku tidak punya maksud tertentu. Aku hanya ingin membantu, karena terlalu berbahaya jika kau tetap di sini." 

Sekarang jika dia menolak lagi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi, tanpa aku duga dia malah mengulurkan tangannya. Dengan segera aku langsung menerimanya dan membantunya untuk berdiri. Dengan susah payah akhirnya sekarang aku sudah memapahnya. Tapi, kenapa dia begitu tinggi? Bahkan tinggiku saja hanya mencapai bahunya.

Tanpa disadari, tanganku menyentuh tubuhnya. Dan aku malah merasa gugup sekarang, mahluk ini memiliki aroma wangi bunga yang yang membuatku merasa nyaman. Aku heran, apa dia memakai parfum?

Perlahan aku mulai melangkahkan kaki sedikit demi sedikit, sedangkan dia kesulitan berjalan karena jubah putihnya sangat panjang hingga menutupi kaki. Rasa nyeri menjalar dari kaki sampai ujung kepalaku. Oh tidak! Pasti sekarang luka di kaki ku semakin bertambah parah. Ini sakit sekali. Tapi aku harus menahannya agar mahluk ini bisa sampai di gudang.

"Pelan-pelan saja," intruksiku yang masih menopang tubuhnya. Jujur, dia sangat berat.

Setelah membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya kami sampai di gudang. Aku langsung mendudukan dirinya dibelakang lemari usang agar tidak ada yang curiga. Aku juga ikut duduk, aku meringis pelan saat darah keluar dari balik plester yang menutupi lukaku.

Dia masih saja memegangi pundaknya, apa itu efek dari luka yang ada di sayapnya? Aku juga tidak tahu. Aku memandangi sayapnya dari dekat, seketika aku terkagum-kagum karena ini memang sayap asli. Seperti sayap burung, bedanya sayap ini berpuluh-puluh kali lipat lebih besar.

"Bagaimana caraku agar bisa  menyembuhkan sayapmu? Aku tidak punya obat untuk burung besar seperti mu." 

Dia ini bukan manusia, jadi aku menyebutnya burung besar. Oh tunggu! Apa jangan-jangan dia malaikat pencabut nyawa?

"Kau burung besar 'kan? Bukan malaikat pencabut nyawa?" 

Entah mengapa aku baru sadar jika dia mirip seperti malaikat di cerita dongeng. Tapi, apa di zaman seperti ini ada kejadian aneh malaikat jatuh dari langit. Ya! Ada. Buktinya aku baru saja mengalaminya.

"Aku bukan burung besar ataupun malaikat! Aku peri!" jawabnya dengan nada kesal bercampur dengan rintihan kecil karena kesakitan.

Tiba-tiba perutku terasa seperti diserbu ribuan kupu-kupu. Apa tadi dia kesal? Tapi wajahnya terlihat begitu menggemaskan.

"Kau seorang peri? Aneh, peri itu hanya ada di cerita dongeng. Tapi... Kau memiliki sayap, dan itu asli. Percaya atau tidak, aku memang harus percaya," ujarku. 

Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, ini aneh, tapi nyata. Ah sudahlah! Aku hanya berharap agar dia bisa kembali ke tempat asalnya.

"Lalu, dimana kau tinggal? Biar aku yang mengantarmu pulang." 

Aku mendekatkan diri kepadanya, lalu duduk bersila dengan tatapan yang serius.

"Aku tinggal di atas langit. Sedangkan kau manusia, lalu bagaimana caramu agar bisa membawaku terbang?" 

Pertanyaannya membuatku berpikir sejenak, tidak lama setelah itu aku tersenyum mendapat jawaban.

"Kau tahu? Di dunia ini ada yang namanya pesawat. Pesawat bisa membawamu terbang ke atas langit," jawabku dengan antusias.

"Benarkah?" 

"Benar. Tapi ...." Aku menggantung ucapanku.

"Tidak mungkin kau naik pesawat dan bertemu manusia dengan sayap sebesar ini. Yang ada nanti kau malah dibawa ke kebun binatang," lanjutku.

Dia memasang wajah bingung.

"Kebun binatang?" 

Dia seperti bingung dengan perkataanku, mungkin di dunia peri tidak ada yang namanya kebun binatang. Jikalau ada mungkin namanya saja yang berbeda.

"Kebun binatang itu tempat berkumpulnya para hewan seperti Gajah, Harimau, Singa, Monyet, dan masih banyak lagi. Manusia melakukan itu agar hewan hewan yang hampir punah masih bisa dilihat oleh generasi selanjutnya, dan untuk melindungi hewan serta satwa liar dari ancaman para pemburu." 

Dia mengangguk angguk mendengarkan apa yang aku katakan. Sungguh, dia sangat lucu.

"Tapi... Aku bukan hewan," 

"Tapi kau memiliki sayap yang besar, orang-orang pasti akan menggangapmu mahluk aneh," jawabku membenarkan.

Hening sebentar, aku bingung harus melakukan apa.

"Kau sudah tidak merasakan sakit?" tanyaku.

Mendengar pertanyaanku, dia menoleh ke arah sayapnya yang terluka. Lalu, dia beralih menatapku.

"Sebenarnya ini tidak sakit," jawabnya.  

Mendengar jawabannya aku malah dibuat heran, lalu kenapa dia menangis tadi.

"Itu tidak sakit? Lalu kenapa kau menangis tadi." Tanyaku sambil menggaruk kepala.

Namun, dia hanya terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Aku hanya takut saat kau mendekat, karena dari dulu bangsa peri dilarang berinteraksi langsung dengan manusia. Manusia itu berbahaya." 

Aku mengangguk mengerti. Benar juga, jika ada orang lain yang melihat mahluk aneh sepertinya pasti akan langsung ditangkap. Mungkin itu yang membuat bangsa peri berpikir jika manusia itu berbahaya.

"Kenapa kau tidak kabur saat melihatku?" Tanyaku penasaran.

"Karena sayapku robek, aku jadi tidak bisa terbang," jelasnya. 

Ah aku mengerti sekarang. Aku langsung menarik pita merah yang sebelumnya digunakan untuk mengikat rambutku. Sedangkan mahluk itu hanya diam memperhatikanku. Entah ide dari mana tapi aku berpikir untuk mengikat sayapnya dengan pita merah ini. Siapa tau nanti dia bisa terbang.

"Selesai." Aku tersenyum saat berhasil menyatukan sayapnya yang semula robek.

"Apa yang kau lakukan?" 

"Aku mengikat sayapmu. Dengan cara ini mungkin kau bisa terbang kembali," jawabku.

"Benarkah?"

"Bisakah kau mundur? Jarak kita terlalu dekat. Aku ingin mencoba menggerakkan sayapku," pintanya padaku.

Mendengar itu aku mundur ke belakang dengan perlahan sambil menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba panas. Hey! Jangan berpikir yang tidak-tidak. Dia menggerakkan sayapnya dengan perlahan, membuatku kembali menganga karena terlalu indah. Sampai detik ini pun aku masih tidak percaya bisa bertemu dengan seorang peri.

Namun, saat kakinya sudah tidak menapaki lantai dia kembali terjatuh lalu tersungkur. Aku yang terkejut langsung menghampirinya.

"Hey! Kau tidak apa-apa 'kan? Apa yang terjadi?" 

Aku malah panik dibuatnya, aku pikir tadi dia akan terbang karena tangan ini sudah siap untuk melambai sebagai salam perpisahan. 

"Aku tidak tahu. Tapi aku seperti tidak mempunyai tenaga untuk terbang kembali." Dia mengusap kedua sayapnya dengan raut wajah sedih.

Aku juga bingung harus bagaimana, yang jelas aku akan melakukan apapun agar dia bisa kembali ke tempat asalnya. Karena jika dia tetap disini justru itu akan membahayakan keselamatannya.

"Kalau begitu, kau tetaplah disini sampai besok pagi. Sekarang, istirahatlah." 

Ya. Karena aku juga sudah lelah, besok aku juga harus sekolah.

"Apa kau lapar? Atau ingin minum?" tanyaku memastikan.

Dia hanya menggeleng. Ah! Mungkin saja makanan peri dan manusia itu berbeda jadi dia tidak mau.

"Baiklah, aku akan membiarkanmu disini sampai besok pagi. Berjanjilah padaku kau tidak akan beranjak sedikitpun dari tempat ini?" 

Aku harus memberi tahunya terlebih dahulu, karena akan sangat berbahaya jika orang rumah melihatnya, apalagi Ibu. Sekarang dia mengangguk sebagai jawaban. Aku anggap jika dia mengerti dan paham dengan apa yang aku katakan.

"Sekarang istirahatlah, aku akan kembali ke sini besok." 

                                      ••••

Pagi harinya aku terburu-buru menyiapkan masakan untuk Ibu, karena biasanya dia akan sarapan. Meskipun ada pembantu tapi tetap saja aku yang harus menyiapkan makanan, dan lain-lainnya. Aku juga sudah membuatkan bubur untuk Ayah, sekarang dia sedang duduk di meja makan sambil memperhatikanku.

"Ana? Kenapa kau terlihat terburu-buru? Bukankah ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah?" tanya Ayahku.

Memang sekarang masih sekitar jam setengah enam pagi. Tapi aku terburu-buru karena khawatir dengan keberadaan mahluk itu digudang, apa dia baik-baik saja. 

"Tidak Ayah, aku hanya tidak mau membuatmu menunggu," 

"Pelan-pelan saja memasaknya. Ayah belum lapar, jangan sampai alat-alat dapur melukai putriku." 

Aku tertawa mendengarnya, sekarang perasaanku lebih tenang karena Ayahku mencairkan suasana. Kadang aku berpikir kenapa Ibu bisa berpaling dari lelaki baik sepertinya, aku saja sebagai putrinya sangat mencintai kepribadiannya yang begitu lemah lembut dan penyayang. Tadi aku juga sudah memberitahu Ayah penyebab kaki ku terluka, agar dia tidak terlalu khawatir. Kesehatannya sangat penting bagiku. 

Disaat aku sedang menyiapkan makanan di meja makan, terdengar suara seseorang sedang menuruni tangga. Ibuku datang dengan pakaian rumahan juga tanpa make-up. Aku mengalihkan pandanganku untuk menatap Ibuku, jujur aku menyukai dia yang seperti ini daripada dengan penampilannya ketika menjelang malam.

"Berhenti menatapku! Cepat siapkan makanannya," ketusnya.

Terdengar helaan nafas dari seberang, Ayah pasti sangat menghawatirkanku.

Apa kalian tau aturan makan di rumah ini? Aku dan ayah tidak boleh makan sebelum Ibuku menyelesaikan makanannya. Bisa dikatakan, kami berdua makan makanan yang tersisa di meja. Jika itu berlaku untukku aku tidak masalah, tapi ini juga untuk Ayah padahal dia sedang sakit. Saat aku sedang merapikan dapur, tiba-tiba ada suara teriakan dari luar.

"Aaaaaa!"

Itu suara mbok Iyem, pembantu yang umurnya sudah tidak muda tapi dia sangat rajin. Kami bertiga hanya saling pandang dengan raut wajah bingung. Sedangkan perasaanku sudah mulai tidak enak.

"Apa yang terjadi pada pembantu tua itu?" Tanya Ibuku kesal.

Tanpa pikir panjang aku langsung keluar rumah dengan tertatih, apa yang akan terjadi setelah ini.

Aku berhenti ketika mendapati Mbok Iyem sedang ketakutan sambil memegangi pintu gudang. Disusul Ayah dan Ibuku yang sekarang sudah berada di dekatku.

"Kenapa kau teriak huh? Saya sedang menikmati sarapan jadi terganggu karena mu!" Bentak Ibuku yang merasa kesal.

Aku berusaha untuk tetap tenang, mengahalau segala pikiran burukku tentang mahluk itu.

"Maafkan saya Bu, " 

"Tapi, didalam gudang saya melihat ...." jawab Mbok Iyem menggantung ucapannya.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Jangan-jangan yang Mbok Iyem lihat itu...

"Apa yang kau lihat sampai berteriak?" 

"Saya lihat... Ada sayap besar Bu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status