Aku terdiam saat ikan itu berenang tepat di depan Gentara. Lalu apa tadi? Aku sempat mendengar dia berguman, jika tidak salah dengar Gentara berujar 'tepta'.
Ikan itu mengembungkan pipinya beberapa kali seakan sedang mengatakan sesuatu pada Gentara. Tapi, apa Gentara paham bahasa ikan?
"Kenapa kau ada di sini, Tepta? Siapa yang menculikmu."
Aku sedikit tersentak karena Gentara mulai bersikap agresif, dia bahkan mulai memukuli kaca pembatas dengan lumayan keras. Sebenarnya siapa ikan itu kenapa Gentara terlihat sangat marah.
"Gentara, tenanglah. Apa yang terjadi padamu? Itu hanya ikan peliharaan biasa, " ujarku padanya.
"Tidak! Tepta itu temanku. Kenapa manusia malah menangkapnya, huh?"
Dari nada bicaranya aku mengerti jika Gentara sedang marah, berarti ikan bernama Tepta itu bukan ikan biasa? Dia bahkan masih me
H Salahkah jika kita mempunyai hati yang gampang luluh? Jujur aku benci mengakuinya. Tapi sekarang aku sedang duduk berhadapan dengan seseorang yang sebelumnya aku sebut tidak baik. Ya, karena Andre meminta waktuku sebentar untuk berbicara mau tidak mau aku harus menurutinya. Aku melakukan ini karena rasa kasihan. Ingat! Kasihan, aku sama sekali tidak berniat untuk memaafkannya begitu saja."Kau masih marah ternyata," celetuk Andre saat keheningan menyelimuti kami cukup lama."Aku tau kau pasti bosan mendengarnya, tapi aku sungguh minta maaf.""Setelah hari itu aku menyakiti perasaanmu, aku merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Tapi, apa kau tau? Aku mengatakan itu secara tidak sadar, aku tidak bermaksud untuk menuduh mu sebagai .... ""Maaf, pelacur."Mataku masih enggan menatap Andre, entah mengapa aku sangat membenci kata i
Mataku membola saat mengenali siapa pemilik suara tersebut, dengan cepat tangan ku langsung bergerak untuk membuka pintu yang terkunci.Tak lama pintu terbuka dan tubuh ku serasa beku karena hembusan angin yang menerpa. Tangan ku ikut bergetar kala melihat seseorang itu sedang meringkuk di lantai.Andre! Apa yang telah terjadi sampai dia terlihat kesakitan seperti ini, aku langsung berjongkok dan meraih tubuhnya agar duduk."Andre! Apa yang terjadi padamu, kenapa kau hujan hujanan seperti ini." Tanyaku sambil menepuk pipinya pelan, dia seperti hampir tidak sadarkan diri.Tunggu! Samar samar aku mencium bau yang khas dari tubuhnya. Apa ini? Kenapa bau alkohol jangan-jangan Andre mabuk. Ya Tuhan, berani-beraninya dia menyentuh minuman keras tanpa sepengetahuanku. Jika aku tau, aku pasti sudah melarangnya.Melihat Andre yang hanya berguman tidak jelas m
Setelah pulang sekolah, Gema benar-benar membawaku ke sebuah salah satu rumah sakit yang ada dikota in. Katanya, adik Biru sedang dalam masa perawatan yang intensif ada banyak luka dalam yang membuatnya belum sadarkan diri.Sebagai seorang teman tidak ada salahnya juga aku ikut berbela sungkawa atas kejadian ini, meskipun aku terlalu canggung saat bertemu langsung dengan orangtua Biru."Kau ini kenapa?" tanya Gema saat aku masih berdiri di belakangnya.Sekarang kami sudah sampai di depan pintu ruangan--tempat dimana adiknya Biru dirawat."Malu." Balasku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal.Gema menggelengkan kepalanya seraya menghembuskan napas panjang."Kita hanya menjenguk orang sakit, bukan akan melakukan pertunjukan di depan banyak orang. Kenapa harus malu? Aneh sekali," ujar Gema dengan sinis.
Mataku membola dengan mulut yang terbuka, diri ini masih tidak percaya dengan apa yang terjadi."G-gentara, kau .... " ucapku terbata.Jadi, seseorang yang sedari tadi mengikuti ku adalah Gentara? Tapi hal yang paling mengejutkan itu wujudnya saat ini.Kemana sayapnya!Hari sudah gelap seharusnya Gentara mulai mengeluarkan sayap, tapi anehnya sekarang dia seperti manusia."Gentara, apa yang terjadi. Kemana sayapmu?""Aku juga tidak tahu," jawabnya singkat.Karena masih tidak percaya, aku memeriksa tubuhnya hingga keseluruhan. Mungkin saja dia terluka, tapi aku tidak menemukan apapun."Kau baik-baik saja 'kan? Maafkan aku karena lupa untuk menemuimu."Gentara tidak merespon, dia malah melewatiku dan duduk disalah satu kursi kayu di pinggir jalan. Sontak aku langs
H"Aku tidak marah, hanya saja dari sorot matamu kau seperti menuduh kami. Bu Adit, bukankah itu tidak baik?" ujar Laras mencari pembelaan."Itu benar. Ana, jika memang kau tidak mengerjakan tugas dari saya lebih baik jujur saja tidak usah beralasan bahwa bukumu hilang."Untuk apa aku berbohong? Aku sungguh-sungguh sudah mengerjakan tugasnya, tapi nyatanya buku biologiku hilang."Tapi, bu ... saya tidak berbohong, buku itu masih ada ketika saya melakukan piket kelas, dan tiba-tiba saat saya masuk bukunya--""Kau yang lupa, kenapa tidak mengaku? Di dalam kelas kami juga tidak melihat buku milikmu!" Clara memotong ucapanku membuat Bu Adit menatapku tajam."Sudah, Ana. Sekarang keluar!"Deg!Apa-apaan ini, kenapa tidak ada satupun yang percaya padaku. Sungguh! Aku sudah mengerjakannya.
H Setelah mengantarkan Gentara pulang kembali ke tepi danau di mana pohon itu berada, kini aku duduk melamun di meja belajar.Pikiranku masih terganggu saat Gentara mengatakan jika ada seseorang yang mencari ku, dan tujuannya adalah mengatarkan buku biologiku yang hilang.Aku semakin heran, siapa dia? Kenapa buku biologiku bisa ada padanya dan darimana dia tahu alamat rumah ku. Mengingat jika hanya beberapa saja teman sekolah yang tahu dimana aku tinggal.Kecuali ... satu orang.Miki! Hanya dia yang tahu, apa mungkin dia juga yang menyembunyikan buku milik ku? Lalu kenapa dia repot-repot mengembalikannya ke rumah."Arghhh!" aku berteriak frustrasi.Dendam apa yang dia miliki sampai-sampai berniat jahat seperti itu, tindakannya memang tidak terlalu parah. Tapi, karena itu juga aku dihukum dan tidak mendapatkan nilai.
Mataku mengerjap beberapa kali, mencoba mengendalikan diri agar sepenuhnya bisa membuka mata. Aku merasa heran karena seluruh ruangan berubah menjadi putih, dan indra penciuman ku menangkap bau obat-obatan. Dimana ini? Setelah melihat ke sekitar ternyata aku berada di uks sekolah, lalu aku dikejutkan oleh Miki yang datang dengan segelas teh hangat. Dia menarik kursi dan duduk di atasnya. "Bangunlah, minum ini dulu." Miki meletakkan gelas itu diatas meja. Aku berusaha bangkit walaupun sedikit kesulitan, Miki bergerak hendak membantu, tapi aku langsung menepis tangannya. "Tidak perlu, aku bisa sendiri." Terdengar dia hanya menghela napas, lalu duduk kembali. Melihatnya, dadaku kembali merasakan sesak, kejadian di kelas tadi benar-benar membuat trauma di masa lalu kembali berputar di otak.
Sungguh, aku tidak mengerti dengan apa yang ia katakan. Apakah aku terlalu sering terluka saat berada di sekolah? Sampai-sampai Gentara bisa menyimpulkan hal tersebut."Ini hanya kebetulan. Tidak ada yang melukai ku.""Aku tidak percaya. Dulu saat pertama kali aku menolong mu di sekolah, waktu itu ada seseorang yang berniat buruk padamu 'kan."Senyumku perlahan luntur ketika mengingat kembali kejadian itu, saat dimana Zico dan kedua temannya hendak melecehkan ku di gudang.Rasa takut kembali hadir, karena di sekolah aku berusaha untuk tidak bertemu dengannya. Tapi, entah sampai kapan aku bisa melakukan itu."Ya, baiklah. Kehidupan ku di sekolah memang tidak terlalu baik, maka dari itu aku tidak punya teman." Perlahan aku mulai menjelaskan semuanya pada Gentara.Seperti biasa dia hanya mengangguk dan sesekali bertanya ketika