"Hei berenti!"
Aku menoleh ke belakang, rasa panik langsung menjalar ke sekujur tubuhku saat melihat anak buah bos berlari berusaha menggapai ku. Ingin kabur, tapi aku akan semakin kena masalah jika dianggap menghindar. Dua pria berpakaian serba hitam dengan perawakan tinggi besar itu menarik ku ke dalam gang kecil di samping jalan. Mereka mengunciku, membuatku tak bisa berkutik sedikitpun. "Ada apa ini?" tanyaku. Tak lama kemudian seseorang muncul. Bos, dia pun ada di sini rupanya. Apa mereka di sini memang sengaja untuk mencari ku? "Gimana kabarmu, Marisa?" tanya pria berjanggut panjang itu. "A-aku baik. Ini ada apa, Bos? Kenapa aku diserang begini? Lepasin aku!" Bos memberikan isyarat pada anak buahnya yang langsung melepaskanku. Pria ber-aura kejam itu tersenyum kecil. "Sudah tiga malam kamu tidak masuk kerja. Kenapa? Mau lari, hah?" Glek! Aku menelan ludah dengan susah payah. "Jangan coba-coba macam-macam dengan saya, Marisa." "Aku ... Aku gak berniat lari, Bos." "Benarkah?" "Aku ... Aku cuma ... " "Kenapa kamu garuk-garus terus? Kamu kenapa?" tanya Bos membuatku melebarkan mata. Ah, ya, aku baru tersadar kalau sedari tadi aku menggaruk tubuh dengan asal. Bukan karena gatal, melainkan aku gugup luar biasa. Tanganku bergerak tanpa ku sadari. Namun, tak ku pungkuri hal ini malah memberikan ide instan dalam kepalaku. "Aku ... Aku memang lagi gatal-gatal sebadan-badan, Bos. Gak tahu kenapa," sahutku sambil semakin semangat menggaruk. Bos dan dua anak buahnya menatapku dengan jijik. "Kamu jarang mandi, hah?" tanyanya sedikit membentak. "Em, nggak, Bos. Mungkin virus." "Cepat obati penyakitmu itu. Saya gak mau sampai kekurangan pengunjung gara-gara kehilangan dua peeska setelah Maya mati. Sebagai peeska harusnya kamu itu mementingkan kesehatan kulit sama penampilan, jangan jorok! Mana ada yang mau nanti. Kalau sudah sembuh cepat kerja lagi. Ingat, kamu itu punya hutang sama saya. Jangan coba-coba lari, karena kartu identitas kamu ada pada saya." "B-baik, Bos." Ketiga pria itu lantas meninggalkanku. Huft, syukurlah. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Sebenarnya aku memang sudah tak berniat untuk kembali bekerja di sana. Entahlah, tiba-tiba sisi lain dari hatiku menolak keras hal itu sejak kematian Maya. Banyak hal yang membuat kedua sisi hatiku berperang setiap saat. Mendadak aku dilema luar biasa. Maya yang mengajakku menyelami dunia kelam itu, dan saat Maya pergi, hatiku pun mulai kehilangan niat. Niatnya aku akan fokus pada pekerjaanku yang lain, sebagai reseller beberapa toko online. Yang pasti, itu jelas halal. Tapi entah bagaimana caranya supaya aku bisa lepas dari mereka. Hari sudah hampir gelap, kuputuskan untuk segera pulang sebelum malam menyapa. "Nak... Marisaa... Tunggu Nak." "Ada apa, Nek? Kenapa sampai lari-lari?" tanyaku dengan perasaan tak enak saat melihat raut wajah nenek yang begitu ketakutan dan juga tegang. Beberapa detik kemudian, tangis neneknya Maya pecah begitu nafasnya sudah normal kembali. "Nak, Maya... Tolong Maya, Nak," ucapnya sambil menangis meraung-raung. Aku mengajaknya masuk lebih dulu dan mendudukkan nenek di kursi. "Semalam nenek bermimpi melihat Maya, dia di suatu tempat yang mengerikan, dan tadi pas tidur siang pun mimpi itu datang lagi. Nenek melihat Maya tanpa busana, kedua kaki dan kedua tangannya diikat berpisah kiri dan kanan hingga membuat kakinya terbuka lebar. Dan... Dan... Huhuu." Nenek menangis lagii. Aku ikut bergidik mendengar cerita nek Sun. Katanya dia melihat Maya di sana disiksa dengan sangat brutal hingga tak masuk di akal bagiku. Tidak, tidak! Itu hanyalah mimpi buruk, tidak mungkin semua itu benar-benar terjadi. "Nenek tenang, ya. Itu pasti cuma bunga tidur. Doakan aja semoga Maya tenang di sana. Oh, ya, ayah Maya gimana, Nek?" Nenek menghela nafas. "Ayahnya malah marah-marah setelah tahu dari gunjingan tetangga bahwa Maya meninggal saat jadi pelacur. Dia bahkan tidak sudi untuk mendoakan anaknya dan langsung pergi lagi. Dia merasa malu sekali." Cerita nek Sun membuatku merasa tak nyaman dan terus kepikiran. Pasalnya, cerita itu sangat mengerikan walaupun hanya dalam mimpi, ditambah lagi diriku sendiri pun sadar seorang pelacur, sama seperti Maya. "Duh, gimana ini? Apa emang ada yah, yang seperti itu nanti kalo aku udah mati? Apa emang semengerikan itu?" gumamku. Tanganku refleks menyentuh area sensitif, memejamkan mata kuat-kuat saat mengingat cerita nek Sun tadi siang kemudian bergidik ngeri. Gak! Aku gak boleh terus-terusan kepikiran"Eh, kok melamun?" tanya Hafshah membuatku cepat mengusap mata."Ehh, nggak kok." "Marisa ini pendiam, ya? Atau jangan-jangan kamu introvert lagi?" tanya Amelia. Teman-teman Jihan sangat banyak. Dan karena terlalu banyak, aku pun tak bisa mengingat nama-nama mereka satu-persatu.Semuanya terlihat sangat anggun dan cantik dengan balutan hijab dan juga baju panjang yang menjuntai menyentuh kaki. Ada beberapa orang juga yang memakai cadar seperti Jihan. Kami saling bercanda gurau, bertukar cerita, dan saling mengejek asik satu sama lain hingga membuat suasana begitu heboh. "Aduuh, Masyaa Allah kalian ini. Udah ih, jangan heboh gini. Kita masih di majlis loh, malu tuh sama yang lain," ucap Fatma."Hehe... Ya gini deh kalau kita udah ngumpul," ucap seseorang yang memakai cadar.Tiba-tiba saja ponsel ku bergetar terus menerus, hingga membuatku melihatnya sejenak. Bos? Kenapa harus menelepon sekarang, sih? Mati aku!"Emm, aku permisi sebentar ya?" ucapku sedikit tak enak sambil mengangka
"Kak ... udah belum?" teriak Jihan dari luar pintu kamarku."Udah, Dek. Sebentar," teriakku.Aku kini seolah menjadi kakak tambahan bagi Jihan. Gadis itu terus saja merengek supaya aku mau memangilnya dengan sebutan adek. Jihan, gadis yang sangat manis. Dan bagaimanapun aku tak bisa membantah Jihan. Entahlah, rasanya aku sudah bersedia menjadi kakak dadakannya. Sikap Jihan yang menggemaskan dan manja membuatku merasa benar-benar mempunyai seorang adik.Aku membuka pintu, Jihan pun langsung tersenyum lebar di balik cadarnya. Kenapa aku tahu? Terlihat dari matanya yang menyipit."Ayo, Umi sama Abi sama Kak Hilya sudah menunggu di depan," ucap Jihan sambil menggandeng tanganku.Kami pun keluar dari rumah sambil bergandengan tangan. Abi serta Umi yang melihat kami tersenyum. Sungguh, aku merasa tersanjung dengan perlakuan mereka yang sangat hangat. Apakah seperti ini juga mereka memperlakukan teman Jihan yang lain?"Siapa yang Jihan bawa itu, Umi?" tanya Abinya Jihan. Walau aku tak dapat
"Hei, kamu kok diem terus sih?" ucap Jihan sambil melirik Marisa sekilas."Emm,, aku ... aku gugup," jawab Marisa apa adanya."Gugup? Gugup kenapa?" "Aku gak biasa bergaul sama banyak orang. Dulu juga aku cuma punya satu teman aja, jadi ... Pas aku mau ketemu kamu, dengan sendirinya aku merasa gugup gini.""Oh, kamu pendiam ya? Kamu tenang aja, teman-teman kita nanti baik-baik kok. Kamu bisa belajar lebih luas dalam menjalin silaturahmi sekarang. Apalagi nanti di majlis, banyak ukhti-ukhti yang pastinya baik-baik dan ramah," ucap Jihan sambil menggerak-gerakkan tangannya. Marisa hanya diam, semakin gugup saat membayangkan berada di sebuah tempat yang sangat asing. Belum pernah dalam seumur hidup dia menghadiri acara pengajian."Apa ... nanti di sana kita dipinta baca sesuatu? Atau ada sesuatu yang kita harus lakukan?" tanya Marisa dengan gelisah. Takut itu benar terjadi, karena nanti pastinya Marisa akan menjadi bahan gunjingan dan ejekan jika sampai semua orang yang hadir tahu bahw
POV author Melihat Luqman yang masih saja menatap ke luar jendela, Haidar pun berdehem."Ekhem!" "Eh, apa?" ucap Luqman sambil terjengkat kaget. Seakan baru tersadar dari lamunan.Haidar hanya menggelengkan kepala dan langsung tancap gas melanjutkan perjalanan. Awalnya memang Luqman yang menyetir, hanya saja setelah keberadaan Marisa di antara mereka, Luqman menyuruh Haidar menyetir supaya dia bisa terus berbincang-bincang dengan Marisa. "Dia manis banget, ya? Pertemuan ini ... Gua harap akan terulang lagi. Jangan iri, ya?" tanya Luqman pada Haidar. Namun yang di tanya tak langsung merespon dan hanya menatap lurus ke depan."Tadi aja bicaranya sopan banget," ucap Haidar kemudian.Lagi-lagi Luqman tertawa. "Itu trik, Haidar. Lu harus tiru cara gua biar cepet dapet jodoh. Lu liat aja nanti, kalo takdir mempertemukan gua sama Neng Marisa lagi, gak bakal gua lepasin." Dalam diam, Haidar menggeleng samar."Hah ... Gua ngerasain sesuatu yang berbeda saat berada di dekat dia, Dar. Semaca
"Em, maaf, bukan maksud apa-apa. Tapi barangkali mau merapikan kembali hijabnya. Rambutnya kelihatan sedikit." Pria itu tersenyum. Ya Allah, dia tampan sekali."Gimana?" tanyanya membuatku gelagapan karena malah melamun."Em, i-iya.""Saya antar, ya?" Aku menunduk, kemudian mengangguk malu-malu.Pria itu sungguh-sungguh menungguiku selama aku di toilet. Saat aku keluar, dia yang belum menyadari kehadiranku masih duduk di atas batu sambil membelakangi. Dia benar-benar pria yang baik. "Sudah," ucapku membuatnya menoleh.Pria itu tersenyum sesaat, namun lama kelamaan senyumannya pudar. Kedua matanya menatapku dengan ... lekat. Aku sampai salah tingkah sendiri melihatnya seperti itu. "Em, Mas?" Aku melambaikan tangan di depannya. "Astaghfirullohal'adziim..." lirih pria itu sambil mengusap wajahnya. Dia tersenyum lagi padaku, lalu menggelengkan kepala tanpa berhenti tersenyum. Tiba-tiba ada yang menghangat dalam dada ini melihat sikapnya. Ya Allah ... "Kamu menyelamatkannya dari bapa
Kedua laki-laki itu menatap mobil dengan heran. Ya, mereka pasti tertarik dengan keadaan mobil yang terus bergerak-gerak bagai diguncang gempa. "Tolooong... Tolooong...!" Tak menyiakan waktu, aku langsung berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokanku sakit. Ku dorong pria botak di depanku sampai membentur kaca jendela, untuk semakin menarik perhatian mereka yang berada tepat di belakang Daka. Dirasa tanganku sampai, dengan segera ku gedor kaca jendela sambil terus berteriak-teriak. Setidaknya mereka melihat telapak tanganku di kaca yang memberi isyarat."Sialan!" umpat Daka dengan wajah panik menyadari ada orang yang kini di dekat kami.Plak! Tamparan kedua benar-benar mendarat di pipiku dengan lebih keras. Pandanganku berkunang-kunang."Wah, gila sih ini," ucap laki-laki itu yang dapat ku dengar. Dia mondar mandir ke sana kemari entah mencari apa. Sedangkan satu pemuda lagi hanya menyaksikan aksi temannya sambil berdiri bersandar pada mobil dengan santai."Tolooong ..." lirihku de