Share

5. Teguran

Penulis: UmmiNH
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-08 11:11:58

"Hei berenti!"

Aku menoleh ke belakang, rasa panik langsung menjalar ke sekujur tubuhku saat melihat anak buah bos berlari berusaha menggapai ku. Ingin kabur, tapi aku akan semakin kena masalah jika dianggap menghindar.

Dua pria berpakaian serba hitam dengan perawakan tinggi besar itu menarik ku ke dalam gang kecil di samping jalan. Mereka mengunciku, membuatku tak bisa berkutik sedikitpun.

"Ada apa ini?" tanyaku.

Tak lama kemudian seseorang muncul. Bos, dia pun ada di sini rupanya. Apa mereka di sini memang sengaja untuk mencari ku?

"Gimana kabarmu, Marisa?" tanya pria berjanggut panjang itu.

"A-aku baik. Ini ada apa, Bos? Kenapa aku diserang begini? Lepasin aku!"

Bos memberikan isyarat pada anak buahnya yang langsung melepaskanku. Pria ber-aura kejam itu tersenyum kecil. "Sudah tiga malam kamu tidak masuk kerja. Kenapa? Mau lari, hah?"

Glek!

Aku menelan ludah dengan susah payah.

"Jangan coba-coba macam-macam dengan saya, Marisa."

"Aku ... Aku gak berniat lari, Bos."

"Benarkah?"

"Aku ... Aku cuma ... "

"Kenapa kamu garuk-garus terus? Kamu kenapa?" tanya Bos membuatku melebarkan mata. Ah, ya, aku baru tersadar kalau sedari tadi aku menggaruk tubuh dengan asal. Bukan karena gatal, melainkan aku gugup luar biasa. Tanganku bergerak tanpa ku sadari. Namun, tak ku pungkuri hal ini malah memberikan ide instan dalam kepalaku.

"Aku ... Aku memang lagi gatal-gatal sebadan-badan, Bos. Gak tahu kenapa," sahutku sambil semakin semangat menggaruk.

Bos dan dua anak buahnya menatapku dengan jijik. "Kamu jarang mandi, hah?" tanyanya sedikit membentak.

"Em, nggak, Bos. Mungkin virus."

"Cepat obati penyakitmu itu. Saya gak mau sampai kekurangan pengunjung gara-gara kehilangan dua peeska setelah Maya mati. Sebagai peeska harusnya kamu itu mementingkan kesehatan kulit sama penampilan, jangan jorok! Mana ada yang mau nanti. Kalau sudah sembuh cepat kerja lagi. Ingat, kamu itu punya hutang sama saya. Jangan coba-coba lari, karena kartu identitas kamu ada pada saya."

"B-baik, Bos."

Ketiga pria itu lantas meninggalkanku. Huft, syukurlah. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Sebenarnya aku memang sudah tak berniat untuk kembali bekerja di sana. Entahlah, tiba-tiba sisi lain dari hatiku menolak keras hal itu sejak kematian Maya. Banyak hal yang membuat kedua sisi hatiku berperang setiap saat. Mendadak aku dilema luar biasa. Maya yang mengajakku menyelami dunia kelam itu, dan saat Maya pergi, hatiku pun mulai kehilangan niat.

Niatnya aku akan fokus pada pekerjaanku yang lain, sebagai reseller beberapa toko online. Yang pasti, itu jelas halal. Tapi entah bagaimana caranya supaya aku bisa lepas dari mereka.

Hari sudah hampir gelap, kuputuskan untuk segera pulang sebelum malam menyapa.

"Nak... Marisaa... Tunggu Nak."

"Ada apa, Nek? Kenapa sampai lari-lari?" tanyaku dengan perasaan tak enak saat melihat raut wajah nenek yang begitu ketakutan dan juga tegang. Beberapa detik kemudian, tangis neneknya Maya pecah begitu nafasnya sudah normal kembali.

"Nak, Maya... Tolong Maya, Nak," ucapnya sambil menangis meraung-raung.

Aku mengajaknya masuk lebih dulu dan mendudukkan nenek di kursi.

"Semalam nenek bermimpi melihat Maya, dia di suatu tempat yang mengerikan, dan tadi pas tidur siang pun mimpi itu datang lagi. Nenek melihat Maya tanpa busana, kedua kaki dan kedua tangannya diikat berpisah kiri dan kanan hingga membuat kakinya terbuka lebar. Dan... Dan... Huhuu." Nenek menangis lagii.

Aku ikut bergidik mendengar cerita nek Sun. Katanya dia melihat Maya di sana disiksa dengan sangat brutal hingga tak masuk di akal bagiku. Tidak, tidak! Itu hanyalah mimpi buruk, tidak mungkin semua itu benar-benar terjadi.

"Nenek tenang, ya. Itu pasti cuma bunga tidur. Doakan aja semoga Maya tenang di sana. Oh, ya, ayah Maya gimana, Nek?"

Nenek menghela nafas. "Ayahnya malah marah-marah setelah tahu dari gunjingan tetangga bahwa Maya meninggal saat jadi pelacur. Dia bahkan tidak sudi untuk mendoakan anaknya dan langsung pergi lagi. Dia merasa malu sekali."

Cerita nek Sun membuatku merasa tak nyaman dan terus kepikiran. Pasalnya, cerita itu sangat mengerikan walaupun hanya dalam mimpi, ditambah lagi diriku sendiri pun sadar seorang pelacur, sama seperti Maya.

"Duh, gimana ini? Apa emang ada yah, yang seperti itu nanti kalo aku udah mati? Apa emang semengerikan itu?" gumamku.

Tanganku refleks menyentuh area sensitif, memejamkan mata kuat-kuat saat mengingat cerita nek Sun tadi siang kemudian bergidik ngeri. Gak! Aku gak boleh terus-terusan kepikiran

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 53

    Aku masuk ke dalam kamar, terlihat Haidar sedang khusyuk membaca ayat suci. Suaranya hanya bisa terdengar sayup-sayup olehku. Namun, aku tahu dia begitu menghayati setiap kalimat dan ayat yang dia lantunkan. Apakah Haidar mengerti arti dari apa yang baca?Selesai membaca Al-Qur'an, Haidar langsung menoleh ke arahku. Tatapannya datar seperti biasa. Nampaknya dia berusaha mengalihkan rasa gugupnya setelah tadi digoda keluarga dengan membaca Al-Qur'an itu. "Apa kamu?" tanyanya sambil bangkit. Aku tertegun. Maksudnya gimana?"Aku manusia." "Bukan markisa?" Aku nyengir sebal. "Jangan merusak namaku seperti itu." Haidar tak menyahut lagi, tapi dia berjalan ke arah pintu keluar. "Tidur!" ucapnya membuatku merasa dihardik. Dia ini kenapa jutek sekali, sih?Pintu tertutup kemudian. Aku menghela nafas. Sabar, Marisa. Aku beringsut naik ke atas tempat tidur, kemudian menarik selimut. Baru saja hendak berbaring, pintu kembali terbuka. Haidar masuk lagi dengan wajah kacau. Aku langsung dudu

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 66

    Selesai mandi, aku celingukan dengan panik saat tak mendapati baju ganti. Aku menepuk jidat ketika teringat aku lupa tak membawanya. Dan, tak ada kimono juga di sini. Hanya ada handuk biasa yang hanya membalut tubuhku dari dada hingga paha. Bagaimana ini?? "Cepat, Markisa! Aku ingin mandi sekarang." Teriakan Haidar itu membuatku semakin panik dan ketar ketir. Ah! Sial sekali aku. Bagaimana sekarang? Apa aku harus keluar dengan handuk ini? Toh, dia sudah sah menjadi suamiku? Tetapii ... Rasanya aku belum berani. Dan kalau aku tetap diam di sini, dia pasti marah dan mendobrak pintunya. Ah, bagaimana ini?"Markisa! Kamu sedang apa sih?" Kleeekk ...Kubuka pintu sedikit saja, menampilkan sebelah mataku mengintip ke balik pintu. Seketika Haidar muncul dan mendorong pintu cukup kuat hingga membuatku terkejut, dengan segera ku dorong pintu tersebut hingga kami pun saling dorong mendorong beberapa saat."Eh, ini perempuan maunya apa, sih?" ucapnya sambil terus berusaha mendorong pintu. Den

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 65

    "Ya Allah, Marisa, kamu cantik sekali." Ibu Panti langsung berhambur memelukku. Tanganku bersambut membalas pelukannya dengan hati mengambang."Kakak Marisa sangat cantik." Beberapa anak panti yang memang dekat denganku pun ikut mengatakan hal yang sama. Aku tersenyum tipis, lalu mengusap kepala mereka satu persatu."Iya, Kakak Marisa sangat cantik. Dan Kakak Suami juga sangat tampan," celoteh Gina, balita berusia empat tahun. Pujian mereka seakan sebuah angin lalu bagiku. Aku tahu, mereka hanya ingin menghiburku saja. "Marisa ... " Aku memutar badan ke belakang, Umi dan Abi dari A Luqman tersenyum bahagia menatapku. Ku peluk mereka satu persatu, mau tak mau aku menangis di sini. "Jangan nangis, semoga pernikahan kalian dirahmati Allah, dan kalian bahagia selamanya."Aku tersenyum tipis. "Aamiiin.""Ayo duduk di sana, Kak." Jihan menegurku. Lalu ia menuntunku semakin mendekati pria yang sudah merusak namaku itu. Haidar langsung menggeser duduknya begitu aku duduk. Tidak masalah,

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 64

    Setidaknya melihat orang lain bahagia karena aku itu yang terbaik. Karena jujur, aku sudah tak memikirkan apapun lagi untuk kebahagiaanku. Tak ada yang aku harapkan, tak ada yang kuinginkan. Entahlah ... Aku tak putus asa. Tetapi, aku hanya takut untuk mengharapkan kebahagiaan lagi. Setiap kali aku hendak mencecap manisnya sebuah kebahagiaan, malah pahit yang aku rasakan. Jadi, biarlah kini semua berlalu seperti air yang mengalir. Mau aku bahagia atau tidak nantinya, aku hanya akan melakukan semuanya semata-mata untuk meraih ridho Allah dan kebahagiaan keluargaku. Seperti nasehat Abi, aku harus tegar dan ikhlas, inilah jalan takdir yang harus aku jalani.Semua orang sangat bahagia mendengar persetujuanku. Mereka langsung mempersiapkan seluruh persiapan untuk melangsungkan acara pernikahan. Tapi baik aku dan Haidar sepakat untuk tidak membuat pesta, hanya acara ijab kabul dan syukuran saja. Kini, untuk kedua kalinya rumah megah ini dihias dengan sedemikian rupa untuk pernikahanku. Tet

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 63

    "Markisa buka!" Aku memeluk guling, itu benar Haidar. Mau apa dia sampai mengetuk pintu kamarku? Apa dia masih mau menghajarku?Ketukannya tak kunjung berhenti walaupun sedari tadi ku abaikan. Dia bahkan semakin keras mengetuk pintu. "Markisa?" panggilnya, kini suaranya sedikit melunak. Seolah sedang mengecek apakah aku ada di sini atau tidak. Setidaknya dia bisa menyebutkan namaku dengan benar, bukan? Tapi ini ..."Markisa buka, atau aku tinggal saja di sini."Aku masih diam. Setidaknya ditinggal laki-laki seperti dia itu lebih baik bagiku. "Umi nyuruh kita ke rumah Bibi. Kamu mau ikut, gak?" Aku tertegun sejenak. Oh, jadi semua orang sedang di rumah Umi? Apa Umi dan Abi sudah pulang? Aku harus ke sana juga. "Heh!" hardiknya. "Aku ke sana sendiri aja. Kamu duluan!" teriakku. Suasana hening kemudian. Aku rasa dia sudah pergi. Aku segera siap-siap. Pintu ku buka perlahan, celingak-celinguk terlebih dulu takut pria menyeramkan itu sembunyi dariku. Hingga turun dari tangga aku

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 62

    "Aduh, sebenarnya Neng ini mau ke mana?" tanya abang tukang ojek entah sudah ke berapa kalinya. Aku tak tahu mobil Haidar yang mana dan tak bisa membedakannya juga dengan yang lain. Dari tadi, aku celingak celinguk ke sana ke mari, tetapi tetap tidak ketemu. Perjalanan sudah terlalu jauh untuk seorang tukang ojek. Mungkin itulah yang membuat Abang ojek ini terus bertanya."Bang, aku gak bisa menemukan orang yang sedang aku cari. Gak papa deh, Abang anterin aku ke Tengerang ya?""Hah? Apa kata Neng? Tangerang? Jauh itu, Neng!" Abang ojek protes dan berteriak-teriak kencang sambil nengok-nengok ke samping."Tolong dong, Bang ... Nanti saya bayar, kok. Anggap aja saya nyewa abang sama motornya." "Ampuun ... Si Neng ... " Bang ojek itu tetap melajukan motornya mengikuti arahan dariku walau sambil merengut. Bahkan macet pun tak berpengaruh untuk motor yang bisa salip menyalip. Aku harus bisa sampai di depan rumah Jihan sebelum Haidar. Harus!Dua jam kemudian, aku sampai di tempat yang ku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status