"Marisaaaaaaaaa....."
Suara teriakan itu begitu melengking memekakan telinga. Aku celingukan, mencari sumber suara yang terus berteriak memanggil. Dengan berlari aku terus menyusuri tempat ini. Tempat yang begitu asing. Hawa panas sangat mendominasi tempat ini, ditambah lagi cahaya jingga kemerah-merahan terus membuncah mewarnai dinding-dinding tempat kini aku berada. Aku kepanasan, peluh bercucuran dengan hebat. "Marisaaaaaaaaa......" Lagi-lagi suara itu kembali terdengar, aku semakin mempercepat langkah untuk menuju sumber suara. Aku yakin, suara itu adalah Maya. Maya memanggilku. Langkahku langsung terhenti saat memasuki sebuah tempat yang begitu menyala, tempatku berdiri sekarang dikelilingi oleh sesuatu yang mirip dengan lava atau lahar panas gunung meletus. Lava itu terus mengepulkan asap sambil meletup-letup, membuat siapapun yang melihatnya pasti langsung menilai kalau lava itu sangatlah panas. "Marisaaaaaaaa...." Aku menoleh, mataku langsung membulat sempurna saat melihat Maya sedang diseret-seret oleh seseorang yang tertutup jubah hitam. Sosok berjubah itu menyeret sadis rambut Maya yang dalam keadaan telanjang bulat. Sosok itu mengikat tangan Maya satu persatu, mengabaikan Maya yang sudah tergolek tak berdaya. Dia mengikatnya dengan sangat kencang, terlihat dari Maya yang menjerit setiap kali sosok itu mengeratkan ikatan. "Marisaaa tolong akuu... Hiks, aku menyesaal Marisaaa... Aku menyesaaal... Aku ingin kembali ke dunia dan hidup dengan baik...." teriaknya sambil merintih pilu. Aku yang menyaksikan itu tak dapat berbuat apa-apa, kaki serasa mendadak lumpuh tak bisa digerakkan. Bahkan untuk mengeluarkan suara pun aku tak bisa, seakan ada hal lain yang mengendalikan seluruh tubuhku. Tiba-tiba saja sosok misterius itu tertawa dengan nyaring hingga menggema di seluruh penjuru tempat itu, suaranya menggema, mengerikan, telingaku sampai berdenging mendengarnya. Sungguh, aku tak pernah mendengar suara yang sangat mengerikan itu di dunia. Maya diikat dengan posisi duduk selonjoran, kedua kakinya diikat terpisah seperti yang nek Sun sudah ceritakan padaku. Mengingat itu, aku semakin gemetar. Perasaanku bergejolak. Apa aku juga akan melihat apa yang nek Sun lihat waktu itu ? Ingin sekali aku menutup mata atau bahkan lari dari tempat itu supaya tak melihat pemandangan yang pastinya akan sangat mengerikan, namun tubuhku tak menurut, serasa ada hal lain yang lebih kuat yang mengendalikan. Aku dipaksa untuk menyaksikan semuanya. "Aaaaaa..... Sakiiiittt.... Aaaaaaaaa.... Lepaaassss" Maya terus berteriak pilu, teriakannya itu sungguh membuatku merinding dan menggigil takutt, ingin sekali aku menutup lubang telinga supaya tak mendengar suara yang sangat memilukan itu. Namun lagi-lagi, aku tak mampu untuk sekedar menggerakkan tangan. Aku benar-benar dipaksa menyaksikan semuanya tanpa bisa melawan. Sosok berjubah itu mencelupkan sebuah besi yang begitu panjang pada lava yang sangat panas, begitu besi di angkat, besi itu sudah berubah menjadi merah menyala. Aku menelan ludah dengan susah payah, tubuhku semakin bergetar hebat saat melihat sosok berjubah itu perlahan mendekati Maya dengan mengacungkan besi panas itu tepat di depan vag*na Maya. "Tidaaakk... Tidaaaaakk.... Tidaaaaaaaaaaaakkkk....." Deg! Aku terduduk sambil menjerit kencang, mataku jelalatan menyapu pandangan ke sekeliling. Nafas tersengal-sengal, tenggorokan terasa begitu kering dan perih. Ku usap peluh yang sudah membanjiri leher dan tubuh. Bahkan seluruh bajuku benar-benar basah seperti habis hujan-hujanan. Tubuhku masih saja bergetar hebat, apa yang kulihat tadi masih begitu jelas dalam ingatan, seakan semua itu benar-benar nyata. Aku meringkuk memeluk lutut yang terasa masih lemas. Perlahan tapi pasti, tangisku langsung pecah. "Ya Allah, aku mohon ampuun... Aku mohon ampuun, ampuni aku Ya Allah, ampuni akuuu..." Aku terus menangis sambil memeluk lutut, dadaku sangat sesak, aku ketakutan luar biasa. Seakan ajal dan siksaan terbentang di depan mata menanti ku. Aku sudah menyadari cukup lama kalau pekerjaan ini salah dan terlarang, tapi karena minimnya imam yang ku punya, ditambah lagi pengaruh dari pergaulan dengan Maya membuatku merasa baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja selamanya. "Tenang deh, buat saat ini kita jalani aja seperti air yang mengalir, kita lihat ke depannya, takdir akan membawa kita kemana," ucap Maya pada saat itu. Tanpa sadar, justru pendapat seperti itu adalah kekeliruan yang nyata karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian walaupun dalam hidup kita sendiri. Dan jika aku tidak berani mengambil keputusan sekarang juga, maka aku akan terus menjadi wanita malam dan berakhir sama seperti Maya. Cemoohan-cemoohan, hinaa,n gunjingan, dan celaan yang ku dengar saat kematian Maya kembali terngiang seakan menertawakan ku. Tidak! Aku tidak mau. Suara riuh adzan subuh terdengar dari beberapa penjuru. Aku mendongak, mengusap air mata di wajah. Hatiku tergerak untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslimah yang sudah lama tak ku kerjakan. Rasanya saat ini, aku sangat membutuhkan shalat, sangat tak sabar melakukannya. Persetan dengan seberapa buruknya aku, seberapa tak pantasnya aku untuk menghadap dan memohon ampun atas dosa-dosa yang sudah menggunung. Ke mana lagi aku harus memohon ampun dan perlindungan kalau bukan pada Allah? Dengan sisa gemetar aku melangkah menuju kamar mandi. Mandi besar serta tak lupa mengambil wudhu. Tanganku bergetar pada saat pertama kalinya lagi menumpahkan air wudhu pada wajah. Di samping itu, aku tak sanggup menghentikan aliran air mata yang terus mendesak ingin keluar. Ku gelar sejadah, melaksanakan shalat subuh sambil berderaian air mata. Usai salam aku langsung bersujud dan kembali terisak-isak. Aku tak pernah menyangka akan ada di titik ini. Lihatlah ... Bahkan sebagai manusia kita tidak punya kuasa atas apa yang akan terjadi sedetik kemudian dalam hidup kita sendiri. Selesai shalat subuh, aku kembali shalat. Shalat qodho Dzuhur, Ashar, dan lainnya. Tak terhitung dosa yang sudah kulakukan, dan tak terhitung kewajiban yang sudah kutinggalkan. Namun walau begitu, tetap besar harapku supaya Allah mengampuniku.Aku masuk ke dalam kamar, terlihat Haidar sedang khusyuk membaca ayat suci. Suaranya hanya bisa terdengar sayup-sayup olehku. Namun, aku tahu dia begitu menghayati setiap kalimat dan ayat yang dia lantunkan. Apakah Haidar mengerti arti dari apa yang baca?Selesai membaca Al-Qur'an, Haidar langsung menoleh ke arahku. Tatapannya datar seperti biasa. Nampaknya dia berusaha mengalihkan rasa gugupnya setelah tadi digoda keluarga dengan membaca Al-Qur'an itu. "Apa kamu?" tanyanya sambil bangkit. Aku tertegun. Maksudnya gimana?"Aku manusia." "Bukan markisa?" Aku nyengir sebal. "Jangan merusak namaku seperti itu." Haidar tak menyahut lagi, tapi dia berjalan ke arah pintu keluar. "Tidur!" ucapnya membuatku merasa dihardik. Dia ini kenapa jutek sekali, sih?Pintu tertutup kemudian. Aku menghela nafas. Sabar, Marisa. Aku beringsut naik ke atas tempat tidur, kemudian menarik selimut. Baru saja hendak berbaring, pintu kembali terbuka. Haidar masuk lagi dengan wajah kacau. Aku langsung dudu
Selesai mandi, aku celingukan dengan panik saat tak mendapati baju ganti. Aku menepuk jidat ketika teringat aku lupa tak membawanya. Dan, tak ada kimono juga di sini. Hanya ada handuk biasa yang hanya membalut tubuhku dari dada hingga paha. Bagaimana ini?? "Cepat, Markisa! Aku ingin mandi sekarang." Teriakan Haidar itu membuatku semakin panik dan ketar ketir. Ah! Sial sekali aku. Bagaimana sekarang? Apa aku harus keluar dengan handuk ini? Toh, dia sudah sah menjadi suamiku? Tetapii ... Rasanya aku belum berani. Dan kalau aku tetap diam di sini, dia pasti marah dan mendobrak pintunya. Ah, bagaimana ini?"Markisa! Kamu sedang apa sih?" Kleeekk ...Kubuka pintu sedikit saja, menampilkan sebelah mataku mengintip ke balik pintu. Seketika Haidar muncul dan mendorong pintu cukup kuat hingga membuatku terkejut, dengan segera ku dorong pintu tersebut hingga kami pun saling dorong mendorong beberapa saat."Eh, ini perempuan maunya apa, sih?" ucapnya sambil terus berusaha mendorong pintu. Den
"Ya Allah, Marisa, kamu cantik sekali." Ibu Panti langsung berhambur memelukku. Tanganku bersambut membalas pelukannya dengan hati mengambang."Kakak Marisa sangat cantik." Beberapa anak panti yang memang dekat denganku pun ikut mengatakan hal yang sama. Aku tersenyum tipis, lalu mengusap kepala mereka satu persatu."Iya, Kakak Marisa sangat cantik. Dan Kakak Suami juga sangat tampan," celoteh Gina, balita berusia empat tahun. Pujian mereka seakan sebuah angin lalu bagiku. Aku tahu, mereka hanya ingin menghiburku saja. "Marisa ... " Aku memutar badan ke belakang, Umi dan Abi dari A Luqman tersenyum bahagia menatapku. Ku peluk mereka satu persatu, mau tak mau aku menangis di sini. "Jangan nangis, semoga pernikahan kalian dirahmati Allah, dan kalian bahagia selamanya."Aku tersenyum tipis. "Aamiiin.""Ayo duduk di sana, Kak." Jihan menegurku. Lalu ia menuntunku semakin mendekati pria yang sudah merusak namaku itu. Haidar langsung menggeser duduknya begitu aku duduk. Tidak masalah,
Setidaknya melihat orang lain bahagia karena aku itu yang terbaik. Karena jujur, aku sudah tak memikirkan apapun lagi untuk kebahagiaanku. Tak ada yang aku harapkan, tak ada yang kuinginkan. Entahlah ... Aku tak putus asa. Tetapi, aku hanya takut untuk mengharapkan kebahagiaan lagi. Setiap kali aku hendak mencecap manisnya sebuah kebahagiaan, malah pahit yang aku rasakan. Jadi, biarlah kini semua berlalu seperti air yang mengalir. Mau aku bahagia atau tidak nantinya, aku hanya akan melakukan semuanya semata-mata untuk meraih ridho Allah dan kebahagiaan keluargaku. Seperti nasehat Abi, aku harus tegar dan ikhlas, inilah jalan takdir yang harus aku jalani.Semua orang sangat bahagia mendengar persetujuanku. Mereka langsung mempersiapkan seluruh persiapan untuk melangsungkan acara pernikahan. Tapi baik aku dan Haidar sepakat untuk tidak membuat pesta, hanya acara ijab kabul dan syukuran saja. Kini, untuk kedua kalinya rumah megah ini dihias dengan sedemikian rupa untuk pernikahanku. Tet
"Markisa buka!" Aku memeluk guling, itu benar Haidar. Mau apa dia sampai mengetuk pintu kamarku? Apa dia masih mau menghajarku?Ketukannya tak kunjung berhenti walaupun sedari tadi ku abaikan. Dia bahkan semakin keras mengetuk pintu. "Markisa?" panggilnya, kini suaranya sedikit melunak. Seolah sedang mengecek apakah aku ada di sini atau tidak. Setidaknya dia bisa menyebutkan namaku dengan benar, bukan? Tapi ini ..."Markisa buka, atau aku tinggal saja di sini."Aku masih diam. Setidaknya ditinggal laki-laki seperti dia itu lebih baik bagiku. "Umi nyuruh kita ke rumah Bibi. Kamu mau ikut, gak?" Aku tertegun sejenak. Oh, jadi semua orang sedang di rumah Umi? Apa Umi dan Abi sudah pulang? Aku harus ke sana juga. "Heh!" hardiknya. "Aku ke sana sendiri aja. Kamu duluan!" teriakku. Suasana hening kemudian. Aku rasa dia sudah pergi. Aku segera siap-siap. Pintu ku buka perlahan, celingak-celinguk terlebih dulu takut pria menyeramkan itu sembunyi dariku. Hingga turun dari tangga aku
"Aduh, sebenarnya Neng ini mau ke mana?" tanya abang tukang ojek entah sudah ke berapa kalinya. Aku tak tahu mobil Haidar yang mana dan tak bisa membedakannya juga dengan yang lain. Dari tadi, aku celingak celinguk ke sana ke mari, tetapi tetap tidak ketemu. Perjalanan sudah terlalu jauh untuk seorang tukang ojek. Mungkin itulah yang membuat Abang ojek ini terus bertanya."Bang, aku gak bisa menemukan orang yang sedang aku cari. Gak papa deh, Abang anterin aku ke Tengerang ya?""Hah? Apa kata Neng? Tangerang? Jauh itu, Neng!" Abang ojek protes dan berteriak-teriak kencang sambil nengok-nengok ke samping."Tolong dong, Bang ... Nanti saya bayar, kok. Anggap aja saya nyewa abang sama motornya." "Ampuun ... Si Neng ... " Bang ojek itu tetap melajukan motornya mengikuti arahan dariku walau sambil merengut. Bahkan macet pun tak berpengaruh untuk motor yang bisa salip menyalip. Aku harus bisa sampai di depan rumah Jihan sebelum Haidar. Harus!Dua jam kemudian, aku sampai di tempat yang ku