Share

6. Mimpi

Author: UmmiNH
last update Last Updated: 2025-06-06 07:21:59

"Marisaaaaaaaaa....."

Suara teriakan itu begitu melengking memekakan telinga. Aku celingukan, mencari sumber suara yang terus berteriak memanggil. Dengan berlari aku terus menyusuri tempat ini. Tempat yang begitu asing. Hawa panas sangat mendominasi tempat ini, ditambah lagi cahaya jingga kemerah-merahan terus membuncah mewarnai dinding-dinding tempat kini aku berada. Aku kepanasan, peluh bercucuran dengan hebat.

"Marisaaaaaaaaa......"

Lagi-lagi suara itu kembali terdengar, aku semakin mempercepat langkah untuk menuju sumber suara. Aku yakin, suara itu adalah Maya. Maya memanggilku.

Langkahku langsung terhenti saat memasuki sebuah tempat yang begitu menyala, tempatku berdiri sekarang dikelilingi oleh sesuatu yang mirip dengan lava atau lahar panas gunung meletus. Lava itu terus mengepulkan asap sambil meletup-letup, membuat siapapun yang melihatnya pasti langsung menilai kalau lava itu sangatlah panas.

"Marisaaaaaaaa...."

Aku menoleh, mataku langsung membulat sempurna saat melihat Maya sedang diseret-seret oleh seseorang yang tertutup jubah hitam.

Sosok berjubah itu menyeret sadis rambut Maya yang dalam keadaan telanjang bulat.

Sosok itu mengikat tangan Maya satu persatu, mengabaikan Maya yang sudah tergolek tak berdaya. Dia mengikatnya dengan sangat kencang, terlihat dari Maya yang menjerit setiap kali sosok itu mengeratkan ikatan.

"Marisaaa tolong akuu... Hiks, aku menyesaal Marisaaa... Aku menyesaaal... Aku ingin kembali ke dunia dan hidup dengan baik...." teriaknya sambil merintih pilu.

Aku yang menyaksikan itu tak dapat berbuat apa-apa, kaki serasa mendadak lumpuh tak bisa digerakkan. Bahkan untuk mengeluarkan suara pun aku tak bisa, seakan ada hal lain yang mengendalikan seluruh tubuhku.

Tiba-tiba saja sosok misterius itu tertawa dengan nyaring hingga menggema di seluruh penjuru tempat itu, suaranya menggema, mengerikan, telingaku sampai berdenging mendengarnya. Sungguh, aku tak pernah mendengar suara yang sangat mengerikan itu di dunia.

Maya diikat dengan posisi duduk selonjoran, kedua kakinya diikat terpisah seperti yang nek Sun sudah ceritakan padaku. Mengingat itu, aku semakin gemetar. Perasaanku bergejolak.

Apa aku juga akan melihat apa yang nek Sun lihat waktu itu ?

Ingin sekali aku menutup mata atau bahkan lari dari tempat itu supaya tak melihat pemandangan yang pastinya akan sangat mengerikan, namun tubuhku tak menurut, serasa ada hal lain yang lebih kuat yang mengendalikan. Aku dipaksa untuk menyaksikan semuanya.

"Aaaaaa..... Sakiiiittt.... Aaaaaaaaa.... Lepaaassss"

Maya terus berteriak pilu, teriakannya itu sungguh membuatku merinding dan menggigil takutt, ingin sekali aku menutup lubang telinga supaya tak mendengar suara yang sangat memilukan itu. Namun lagi-lagi, aku tak mampu untuk sekedar menggerakkan tangan. Aku benar-benar dipaksa menyaksikan semuanya tanpa bisa melawan.

Sosok berjubah itu mencelupkan sebuah besi yang begitu panjang pada lava yang sangat panas, begitu besi di angkat, besi itu sudah berubah menjadi merah menyala. Aku menelan ludah dengan susah payah, tubuhku semakin bergetar hebat saat melihat sosok berjubah itu perlahan mendekati Maya dengan mengacungkan besi panas itu tepat di depan vag*na Maya.

"Tidaaakk... Tidaaaaakk.... Tidaaaaaaaaaaaakkkk....."

Deg!

Aku terduduk sambil menjerit kencang, mataku jelalatan menyapu pandangan ke sekeliling. Nafas tersengal-sengal, tenggorokan terasa begitu kering dan perih. Ku usap peluh yang sudah membanjiri leher dan tubuh. Bahkan seluruh bajuku benar-benar basah seperti habis hujan-hujanan.

Tubuhku masih saja bergetar hebat, apa yang kulihat tadi masih begitu jelas dalam ingatan, seakan semua itu benar-benar nyata. Aku meringkuk memeluk lutut yang terasa masih lemas. Perlahan tapi pasti, tangisku langsung pecah.

"Ya Allah, aku mohon ampuun... Aku mohon ampuun, ampuni aku Ya Allah, ampuni akuuu..."

Aku terus menangis sambil memeluk lutut, dadaku sangat sesak, aku ketakutan luar biasa. Seakan ajal dan siksaan terbentang di depan mata menanti ku.

Aku sudah menyadari cukup lama kalau pekerjaan ini salah dan terlarang, tapi karena minimnya imam yang ku punya, ditambah lagi pengaruh dari pergaulan dengan Maya membuatku merasa baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja selamanya.

"Tenang deh, buat saat ini kita jalani aja seperti air yang mengalir, kita lihat ke depannya, takdir akan membawa kita kemana," ucap Maya pada saat itu.

Tanpa sadar, justru pendapat seperti itu adalah kekeliruan yang nyata karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian walaupun dalam hidup kita sendiri. Dan jika aku tidak berani mengambil keputusan sekarang juga, maka aku akan terus menjadi wanita malam dan berakhir sama seperti Maya. Cemoohan-cemoohan, hinaa,n gunjingan, dan celaan yang ku dengar saat kematian Maya kembali terngiang seakan menertawakan ku. Tidak! Aku tidak mau.

Suara riuh adzan subuh terdengar dari beberapa penjuru. Aku mendongak, mengusap air mata di wajah. Hatiku tergerak untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslimah yang sudah lama tak ku kerjakan. Rasanya saat ini, aku sangat membutuhkan shalat, sangat tak sabar melakukannya. Persetan dengan seberapa buruknya aku, seberapa tak pantasnya aku untuk menghadap dan memohon ampun atas dosa-dosa yang sudah menggunung. Ke mana lagi aku harus memohon ampun dan perlindungan kalau bukan pada Allah?

Dengan sisa gemetar aku melangkah menuju kamar mandi. Mandi besar serta tak lupa mengambil wudhu. Tanganku bergetar pada saat pertama kalinya lagi menumpahkan air wudhu pada wajah. Di samping itu, aku tak sanggup menghentikan aliran air mata yang terus mendesak ingin keluar.

Ku gelar sejadah, melaksanakan shalat subuh sambil berderaian air mata. Usai salam aku langsung bersujud dan kembali terisak-isak.

Aku tak pernah menyangka akan ada di titik ini. Lihatlah ... Bahkan sebagai manusia kita tidak punya kuasa atas apa yang akan terjadi sedetik kemudian dalam hidup kita sendiri. Selesai shalat subuh, aku kembali shalat. Shalat qodho Dzuhur, Ashar, dan lainnya. Tak terhitung dosa yang sudah kulakukan, dan tak terhitung kewajiban yang sudah kutinggalkan. Namun walau begitu, tetap besar harapku supaya Allah mengampuniku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    16. Memulai Strategi

    "Eh, kok melamun?" tanya Hafshah membuatku cepat mengusap mata."Ehh, nggak kok." "Marisa ini pendiam, ya? Atau jangan-jangan kamu introvert lagi?" tanya Amelia. Teman-teman Jihan sangat banyak. Dan karena terlalu banyak, aku pun tak bisa mengingat nama-nama mereka satu-persatu.Semuanya terlihat sangat anggun dan cantik dengan balutan hijab dan juga baju panjang yang menjuntai menyentuh kaki. Ada beberapa orang juga yang memakai cadar seperti Jihan. Kami saling bercanda gurau, bertukar cerita, dan saling mengejek asik satu sama lain hingga membuat suasana begitu heboh. "Aduuh, Masyaa Allah kalian ini. Udah ih, jangan heboh gini. Kita masih di majlis loh, malu tuh sama yang lain," ucap Fatma."Hehe... Ya gini deh kalau kita udah ngumpul," ucap seseorang yang memakai cadar.Tiba-tiba saja ponsel ku bergetar terus menerus, hingga membuatku melihatnya sejenak. Bos? Kenapa harus menelepon sekarang, sih? Mati aku!"Emm, aku permisi sebentar ya?" ucapku sedikit tak enak sambil mengangka

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    15. Teman-teman Baru

    "Kak ... udah belum?" teriak Jihan dari luar pintu kamarku."Udah, Dek. Sebentar," teriakku.Aku kini seolah menjadi kakak tambahan bagi Jihan. Gadis itu terus saja merengek supaya aku mau memangilnya dengan sebutan adek. Jihan, gadis yang sangat manis. Dan bagaimanapun aku tak bisa membantah Jihan. Entahlah, rasanya aku sudah bersedia menjadi kakak dadakannya. Sikap Jihan yang menggemaskan dan manja membuatku merasa benar-benar mempunyai seorang adik.Aku membuka pintu, Jihan pun langsung tersenyum lebar di balik cadarnya. Kenapa aku tahu? Terlihat dari matanya yang menyipit."Ayo, Umi sama Abi sama Kak Hilya sudah menunggu di depan," ucap Jihan sambil menggandeng tanganku.Kami pun keluar dari rumah sambil bergandengan tangan. Abi serta Umi yang melihat kami tersenyum. Sungguh, aku merasa tersanjung dengan perlakuan mereka yang sangat hangat. Apakah seperti ini juga mereka memperlakukan teman Jihan yang lain?"Siapa yang Jihan bawa itu, Umi?" tanya Abinya Jihan. Walau aku tak dapat

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    14. Keluarga Jihan

    "Hei, kamu kok diem terus sih?" ucap Jihan sambil melirik Marisa sekilas."Emm,, aku ... aku gugup," jawab Marisa apa adanya."Gugup? Gugup kenapa?" "Aku gak biasa bergaul sama banyak orang. Dulu juga aku cuma punya satu teman aja, jadi ... Pas aku mau ketemu kamu, dengan sendirinya aku merasa gugup gini.""Oh, kamu pendiam ya? Kamu tenang aja, teman-teman kita nanti baik-baik kok. Kamu bisa belajar lebih luas dalam menjalin silaturahmi sekarang. Apalagi nanti di majlis, banyak ukhti-ukhti yang pastinya baik-baik dan ramah," ucap Jihan sambil menggerak-gerakkan tangannya. Marisa hanya diam, semakin gugup saat membayangkan berada di sebuah tempat yang sangat asing. Belum pernah dalam seumur hidup dia menghadiri acara pengajian."Apa ... nanti di sana kita dipinta baca sesuatu? Atau ada sesuatu yang kita harus lakukan?" tanya Marisa dengan gelisah. Takut itu benar terjadi, karena nanti pastinya Marisa akan menjadi bahan gunjingan dan ejekan jika sampai semua orang yang hadir tahu bahw

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    13. Maya?

    POV author Melihat Luqman yang masih saja menatap ke luar jendela, Haidar pun berdehem."Ekhem!" "Eh, apa?" ucap Luqman sambil terjengkat kaget. Seakan baru tersadar dari lamunan.Haidar hanya menggelengkan kepala dan langsung tancap gas melanjutkan perjalanan. Awalnya memang Luqman yang menyetir, hanya saja setelah keberadaan Marisa di antara mereka, Luqman menyuruh Haidar menyetir supaya dia bisa terus berbincang-bincang dengan Marisa. "Dia manis banget, ya? Pertemuan ini ... Gua harap akan terulang lagi. Jangan iri, ya?" tanya Luqman pada Haidar. Namun yang di tanya tak langsung merespon dan hanya menatap lurus ke depan."Tadi aja bicaranya sopan banget," ucap Haidar kemudian.Lagi-lagi Luqman tertawa. "Itu trik, Haidar. Lu harus tiru cara gua biar cepet dapet jodoh. Lu liat aja nanti, kalo takdir mempertemukan gua sama Neng Marisa lagi, gak bakal gua lepasin." Dalam diam, Haidar menggeleng samar."Hah ... Gua ngerasain sesuatu yang berbeda saat berada di dekat dia, Dar. Semaca

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    12. Terpesona

    "Em, maaf, bukan maksud apa-apa. Tapi barangkali mau merapikan kembali hijabnya. Rambutnya kelihatan sedikit." Pria itu tersenyum. Ya Allah, dia tampan sekali."Gimana?" tanyanya membuatku gelagapan karena malah melamun."Em, i-iya.""Saya antar, ya?" Aku menunduk, kemudian mengangguk malu-malu.Pria itu sungguh-sungguh menungguiku selama aku di toilet. Saat aku keluar, dia yang belum menyadari kehadiranku masih duduk di atas batu sambil membelakangi. Dia benar-benar pria yang baik. "Sudah," ucapku membuatnya menoleh.Pria itu tersenyum sesaat, namun lama kelamaan senyumannya pudar. Kedua matanya menatapku dengan ... lekat. Aku sampai salah tingkah sendiri melihatnya seperti itu. "Em, Mas?" Aku melambaikan tangan di depannya. "Astaghfirullohal'adziim..." lirih pria itu sambil mengusap wajahnya. Dia tersenyum lagi padaku, lalu menggelengkan kepala tanpa berhenti tersenyum. Tiba-tiba ada yang menghangat dalam dada ini melihat sikapnya. Ya Allah ... "Kamu menyelamatkannya dari bapa

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    11. Pesona di Pandangan Pertama

    Kedua laki-laki itu menatap mobil dengan heran. Ya, mereka pasti tertarik dengan keadaan mobil yang terus bergerak-gerak bagai diguncang gempa. "Tolooong... Tolooong...!" Tak menyiakan waktu, aku langsung berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokanku sakit. Ku dorong pria botak di depanku sampai membentur kaca jendela, untuk semakin menarik perhatian mereka yang berada tepat di belakang Daka. Dirasa tanganku sampai, dengan segera ku gedor kaca jendela sambil terus berteriak-teriak. Setidaknya mereka melihat telapak tanganku di kaca yang memberi isyarat."Sialan!" umpat Daka dengan wajah panik menyadari ada orang yang kini di dekat kami.Plak! Tamparan kedua benar-benar mendarat di pipiku dengan lebih keras. Pandanganku berkunang-kunang."Wah, gila sih ini," ucap laki-laki itu yang dapat ku dengar. Dia mondar mandir ke sana kemari entah mencari apa. Sedangkan satu pemuda lagi hanya menyaksikan aksi temannya sambil berdiri bersandar pada mobil dengan santai."Tolooong ..." lirihku de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status