Setelah Juan kembali ke kantor, Mulan memutuskan membersihkan diri. Hari ini dia berencana mengujungi Joe. Kebetulan siang ini pria itu berada di kampusnya. Jadi, dia bisa beralasan keluar dan bertemu dengan ibunya nanti. Mulan akan membawa sang ibu setelah ini karena tidak mungkin meninggalkan wanita itu sendiri di kota ini. Mereka akan mengukir kehidupan baru di tempat yang lebih baik. Meninggalkan semua luka yang teramat dalam di sini.
“Mulan?” panggil sebuah suara yang terdengar sangat berat.
Mulan yang baru turun dari tangga menatap jengah pada sosok pria di depannya. “Ada apa?”
“Kamu sudah menghubungi Maya?”
“Hum?”
“Kamu sudah berjanji akan akan mengakhiri permaian ini,” jelas Bruce dengan tatapan datarnya. Beberapa hari belakangan, Bruce memang sanga gencar sekali meneror Mulan dengan masalah yang sama.
Mulan merotasikan matanya malas. “Aku tidak pernah berjanji tuh,&rd
Mulan tak berhenti menatap gundukan tanah basah di depannya. Air matanya tak mau berhenti menetes, seperti kesedihan yang tak berkesudahan di hatinya. Kedua tangannya masih terkepal dengan tanah di dalamnya. Dia tidak ingin mempercayai apa yang berada di depannya. Dia ingin kejadian beberapa jam yang lalu hanya sebuah bunga tidur, di mana akan selesai saat dirinya bangun. Namun, sudah dua jam sejak wanita yang dicintainya menutup mata, Mulan tetap saja terjaga. Seakan mengatakan bahwa semua ini nyata. Dia tidak lagi punya siapa-siapa yang dijadikannya sandaran.“Harusnya Mom jangan pergi sendiri. Ajak aku, Mom,” lirihnya dengan pandangan memburam. Air mata tak terbendung, lagi-lagi yang Mulan lakukan hanya terisak pelan.Sudah tidak ada siapapun di sini. Memangnya siapa yang Mulan harapkan? Mereka tidak memiliki keluarga lagi, selaian bajingan Robin yang entah ke mana. Namun, Mulan sudah tidak peduli. Lelaki itu memang tidak bisa diharapkan apa-apa.
Siang ini Mulan sudah menyiapkan semua barang-barang yang akan dibawanya. Keadaan rumah yang sepi memudahkannya membereskan barang tanpa mengundang kecurigaan yang lain. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Mulan segera membawa kopernya keluar.Namun di depan kamar, dia malah bertemu dengan Bruce. Pengawal menyebalkan yang selalu membuatnya kesal. Pria itu memandang kopernya dan mengangguk, seakan puas dengan apa yang sudah dilihatnya. Pengawal yang sejak seminggu lalu selalu merecokinya dan membuat Mulan kesal.“Ini kan yang kamu mau? Tenang saja. Sebentar lagi Maya akan kembali,” kata Mulan dengan nada malas. Dia mendengus saat melihat wajah kelegaan pria itu. Segitu cintanya Bruce pada Maya.“Ya.”“Cih, jika kamu menyukai Maya, harusnya kamu menunjukkannya secara langsung. Bukannya diam dan hanya bisa menjadi pemeran figuran.”“Aku sedang berusaha.”“Berusaha?” ulang Mul
Maya akhirnya benar-benar pulang. Senyum tak pernah luntur dari bibir pucatnya sejak menginjakkan kakinya ke mansion ini lagi. Maya tak langsung masuk ke dalam. Dia hanya berdiri di depan pintu utama, menghirup dalam-dalam aroma yang sangat dirindukannya. Aroma rumah, aroma ketenangan. Dadanya penuh dengan perasaan yang tidak sanggup dijabarkannya. Tanpa sadar, setitik air jatuh dan membasahi pipinya. Dadanya sesak dengan rasa yang membuncah. Perasaan ini benar-benar sangat menyenangkan dan membuatnya semakin ingin menangis saja. Setelah berapa bulan mengenal dunia luar, terjun pada banyak pergaulan dan jenis kehidupan, Maya sadar bahwa tidak ada yang lebih baik dari hidupnya saat ini. Dia seakan disadarkan dengan keras bahwa hanya rumah tempat paling aman dan ternyaman. Bahwa sikapnya yang kurang puas sebelumnya adalah boomerang kehancurannya sendiri. Menjalani hidup yang berat di luar sana, bertemu dengan orang-orang bertopeng yang memasang wajah baik padahal busuk. Bahkan
Kecelakaan Kriss merasa ada yang aneh. Dia seperti tengah diikuti sejak tadi. Sudah berkali-kali dia melirik ke belakang dan keberadaan dua mobil merah di belakangnya sangat mencurigakan. Dia membelokkan mobilnya, memastikan apakah benar mobil itu mengikutinya lagi atau tidak. … ternyata benar! Sialan, dirinya benar-benar diikuti. Kriss tidak berhenti mengumpat dalam hati. Keadaan saat ini benar-benar tidak menguntungkannya. Dia tidak membawa pengawal satu pun, apalagi situasi sekitar yang sangat sepi. Pilihan terakhir hanyalah kabur dan menyelamatkan diri. Kriss segera menginjak gasnya hingga kecepatan naik drastis. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang. Dua mobil merah di belakang pun melakukan hal yang sama. Mereka seakan tengah saling berbalapan di jalanan panjang yang sepi. Tidak ada yang mau menurunkan kecepatan, mereka saling kejar dan berusaha menyalip mobil yang Kriss tumpangi. Kriss tidak bisa lagi menguasai diri.
Rasanya baru sebentar Maya terlelap, suara gendoran pintu lengkap dengan teriakan mengganggu tidurnya. Maya mengerang denga mata yang masih terpejam. Namun, panggilan dari luar kamarnya belum juga mereda. Maya membuka matanya dengan paksa. Dia mendengkus kesal pada si pelaku yang membuat istirahatnya terganggu. “Non ... Non!” “Iya, sebentar!” teriak Maya. Dia segera menyingkap selimut, dan menghampiri pintu dengan langkah malas. Matanya masih sayu, sesekali tertutup dengan bibir yang menguap kecil. Setelah pintu terbuka, Maya melihat salah satu pelayan berdiri di depan pintu dengan wajah panik. Maya mengernyit heran melihatnya. Kedua alisnya sampai menyatu melihat sikap sang pelayan yang tidak biasa. “Ada apa?” “Maaf, Non. Ada telpon dari Tuan Muda Julian.” Pelayan tersebut mengulurkan telponnya. Maya menerimanya, menempelkan telpon tersebut dan mendengarkan rentetan kalimat yang terdengar buru-buru dan panik. Tubuhnya menegang,
“Mulan, semua sudah beres?” Mulan yang sejak tadi hanya melamun, tersentak kaget mendengar teguran itu. Kepalanya yang sejak tadi tertunduk, mendongak dan menemukan Alex yang entah sejak kapan berdiri di depannya. Pria itu selalu berpenampilan santai dengan kaos hitam dan dipadukan jaket kulit cokelatnya. Agaknya Alex juga sudah siap pergi. “Sudah,” jawab Mulan disertai dengan senyum tipis. Mulan menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Berulang kali sampai sesuatu di dadanya merasa lega. Alex yang sejak tadi memang mengamati sikap wanita itu, mendesah panjang. Dia mengambil posisi duduk di samping wanita itu, menatap lekat pada Mulan yang berwajah lesu. “Pikirkan lagi keputusan kamu.” “Tidak perlu. Ini memang yang harus aku lakukan sejak lama.” “Kamu yakin tidak akan menyesal? Bagaimana dengan lelaki itu?” Mulan tersenyum miris. Wajahnya yang sendu, makin tertekuk dengan bibir yang melengkung ke bawah. “Mungkin
Tiga jam berikutnya, sosok yang ditunggu datang juga. Penampilan pria itu sangat berantakan dengan wajah kusut. Jas yang hilang entah ke mana, dengan lengan kemaja yang tergulung sampai siku. Dua kancing teratas kemejanya terbuka, hampir memperlihatkan cetakan dadanya. Meski demikian, semua sepakat penampilan Juan saat ini semakin menambah kadar ketampanannya. Bahkan Maya sampai menahan napas, merasa terpsona pada pria yang selalu merajai hatinya. Maya lantas berdiri dan berlari ke arah sang kakak. Dipeluknya pria itu dengan erat. Tangisnya pecah saat itu juga. Antara lega dan rindu melihat kedatangan pria pujaannya. Juan membalas pelukan itu dengan erat, mencium rambut sang adik dengan ciuman panjang berkali-kali. Tatapannya yang lelah, berubah ramah. Menyembunyikan kemarahan yang sejak tadi dirasakannya setelah melakukan penyelidikan singkat. “Kak, aku takut terjadi sesuatu dengan Daddy,” ujar Maya di sela tangisannya. “Semua akan baik-baik sa
Setelah ucapan sensual pria itu, di sinilah Maya berada. Di dalam mobil berdua dengan Juan tanpa adanya pihak ketiga. Juan sengaja tidak membawa sopir karena ingin berduaan dengan Maya, wanitanya. Pengawal yang tadi berniat mengikuti mereka sudah Juan usir dengan tegas, bahkan meninggalkan Bruce yang menatap kepergian mereka dengan datar. Maya tersenyum gugup. Dia tidak tahu apa saja yang Mulan lakukan di belakangnya selama ini. Namun untuk menghapus rasa curiga, Maya menurut. Dia akan mencatat dalam otaknya setiap perubahan yang Mulan ciptakan selama ini. Juan melajukan mobilnya membelah jalanan. Sebelah tangannya tidak berhenti menggenggam tangan Maya, sesekali meremas dengan gemas. Sampai beberapa menit kemudian mereka tiba di sebuah restoran besar. Juan turun, mengelilingi mobil dari depan dan membuka pintu mobil sebelahnya. Dia bahkan melindungi kepala Maya agar tidak terkena pintu mobil. Maya menerima perlakuan tersebut dengan senang hati. Sudah lama sa