Beranda / Rumah Tangga / Antara Hormat dan Hasrat / Bukan Rindu Tapi Sesuatu yang Menyerupainya

Share

Bukan Rindu Tapi Sesuatu yang Menyerupainya

Penulis: Jihan Jaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-07 19:49:05

Rahangnya dulu yang muncul di kepalaku.

Bukan senyumnya. Bukan suaranya.

Tapi garis rahangnya yang tegas, seolah ditarik dengan penggaris oleh seseorang yang terlalu serius pada pekerjaannya.

Aku belum membuka mata.

Pagi belum benar-benar tiba. Tapi bayangan itu datang begitu saja, menempel seperti embun yang enggan hilang.

Hidungnya.

Lurus, bersih, tidak tajam seperti aktor drama, tapi seperti seseorang yang belajar bernapas teratur agar tidak gugup saat menerima perintah.

Matanya.

Aku bahkan tidak tahu warnanya dengan pasti. Cokelat gelap, mungkin.

Tapi yang kuingat bukan warnanya, melainkan cara ia menatap tajam padaku sebelum dia menundukkan pandang, seolah menjaga sesuatu yang tidak boleh jatuh. Seolah dunia akan retak kalau ia menatap orang terlalu lama.

Dan cambang tipis itu.

Bayangan halus di sepanjang rahang, bukan karena ia sengaja menumbuhkannya, tapi karena hari terlalu panjang dan ia tidak sempat bercukur.

Ada kelelahan yang jujur di sana.

Kelelahan yang tidak pernah kulihat pada wajah Damar.

Lalu lehernya, kokoh, tidak berlebihan.

Seperti seseorang yang terbiasa menahan beban ransel selama berjam-jam tanpa mengeluh.

Dan tangannya

Tangan itu berurat, bukan tangan yang dibuat di gym, tapi tangan yang terbentuk dari mengangkat galon, memikul peti logistik, menarik tali tenda, menahan pintu truk saat badai. Tangan pekerja.

Tangan yang bisa memeluk, tapi juga bisa menahan.

Dadanya, bukan semata bidang,

tapi dada yang terbiasa berdiri tegak tanpa ingin menunjukkan siapa pun bahwa ia tegak. Tegap karena tanggung jawab.

Bukan karena pamer.

Dan kakinya.

Tegak. Langkahnya rapi. Tidak terburu-buru. Tidak ragu.

Bukan laki-laki yang tampan.

Tapi laki-laki yang hidup.

Aku membuka mata. Ada sesuatu yang menggelitik di bawah sana, entah apa.

Jantungku berdetak pelan, tapi terlalu keras. Seperti ada seseorang yang memukul dari dalam.

Aku duduk. Menarik napas.

Kenapa aku masih mengingat ini?

Semalam aku menunggu pesan yang tidak datang. Dan itu seharusnya cukup menjelaskan semuanya.

Tapi tidak.

Yang datang justru tubuhku, bukan pikiranku. Tubuhku mengingat suara :

“Siap, Bu.”

Nada rendah yang sedikit serak di ujungnya. Sangat sopan. Sangat terukur. Tapi terlalu dekat.

Aku memejamkan mata lagi.

Bukan rindu.

Aku tidak mau menyebutnya rindu. Rindu terlalu berani.

Rindu adalah pengakuan. Aku hanya mengingat.

Ya. Sekedar Mengingat.

Ingatan itu datang sendiri. Seperti otomatis. Seperti refleks.

Seperti napas.

Aku berdiri, membuka jendela. Udara pagi langsung masuk, dingin, tajam. Di kejauhan, suara barisan prajurit sudah terdengar.

“Tegak! Satu!”

Suaranya memantul di udara, melompat dari tembok ke tembok.

Aku tidak tahu apakah Arsa ada dalam barisan itu atau tidak.

Tapi aku mendengarnya berbisik jauh. Atau mungkin aku hanya ingin mendengarnya.

Aku menyentuh leherku yang mendadak gerah. Nadiku cepat. Kurapikan rambutku, menarik helainya pelan ke belakang telinga. Seakan ada yang menghembuskan napas pelan dekat situ.

Wangi sabun dicampur keringat laki-laki yang tiba-tiba tercium entah dari mana. Membuat tubuh ini meremang.

Kuputuskan untuk menyemprot parfum yang akan membuatku lupa dengan sensasi aroma itu.

Tapi tetap merinding.

Tetap memikirkan.

Wangi siapa itu ?

Aku tahu jawabannya.

Tapi aku tidak mau mengucapkannya.

***

Pagi ini ada kunjungan ke panti asuhan.

Istri-istri perwira berkumpul di depan gedung serbaguna. Tenda sudah dipasang semalam. Ada truk logistik dengan tumpukan beras, mie instan, selimut.

Aku datang sedikit lebih awal. Padahal biasanya aku datang tepat waktu. Mereka para istri perwira sibuk. Obrolan ramai. Tawa mereka bercampur dengan rencana.

Aku tidak bicara banyak. Aku hanya menunggu. Pura-pura memeriksa daftar barang. Padahal aku menunggu siapa yang akan mengangkat karung-karung itu ke truk.

Dan ketika beberapa anggota bintara muncul untuk membawa logistic, Aku mencari dia.

Sudut mata dulu. Lalu kuputar seluruh kepala.

Lalu aku berpura-pura tidak mencari. Tapi Arsa tidak ada.

Punggungku seperti ditarik ke belakang.

Yang datang adalah prajurit lain.

Semua sama rapinya. Semua sama sopannya. Semua menyapa dengan hormat.

Tapi bukan dia.

Aku tersenyum. Sopan. Mencoba mengendalikan napas. Mencoba menahan langkah. Tapi seperti ada sesuatu yang jatuh di dalam dadaku.

Pelan. Tapi terasa.

Jadi ini kah yang disebut rindu ?. Rasa ini membuat aku tergugu.

Rindu bukan ketika seseorang hadir. Tapi ketika ketidakhadirannya menyisakan ruang yang tidak bisa diisi siapa pun.

Aku ikut rombongan ke panti asuhan.Mencoba bercanda-canda, berfoto bersama dan ikut membagikan sembako. Aku tersenyum. Bahkan tertawa. Tanganku menyentuh kepala anak-anak yatim. Aku berbicara lembut kepada mereka, mencoba men

Tapi pikiranku, tetap di markas. Aku merasa seolah aku meninggalkan sesuatu di sana.

Atau seseorang.

Atau diriku sendiri.

Sore ketika pulang, matahari hampir jatuh. Di gerbang markas, aku melihatnya.

Arsa sedang mengangkat galon air besar. Tanpa ragu, tanpa melihat sekitar. Keringat menempel di pelipisnya. Kaos loreng nya sedikit gelap di bagian dada.

Bukan karena gaya. Karena kerja.

Ia tidak menoleh.

Aku juga tidak memanggil.

Mata kami bertemu, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang bergerak di udara antara kami.

Sangat tipis.

Sangat halus.

Seperti tarikan napas yang ditahan terlalu lama.

Aku ingin pergi.

Aku ingin masuk rumah.

Aku ingin tidak merasa apa pun.

Tapi kakiku berhenti sendiri.

Bukan rindu.

Aku tidak mau menyebutnya rindu.

Ini hanya…

Sesuatu yang menyerupainya.

***

Malam tiba.

Damar sudah tidur lebih cepat karena besok subuh ada latihan tempur.

Rumah sunyi. Lampu kamar hanya satu menyala. Udara terlalu dingin. Aku berbaring. Menatap langit-langit. Tidak menunggu apa pun.

Aku sudah belajar hari ini:

Ketidak hadiran adalah cara paling halus untuk membuat seseorang tenggelam.

Aku mematikan lampu.

Sebelum mata benar-benar tertutup, ponselku bergetar sekali.

Satu notifikasi.

Bukan pesan.

Voice note.

Cuma 3 detik.

Aku tidak menekan tombol nya.

Tapi aku menempelkan ponsel ke dada.

Karena aku tahu. Aku tahu apa yang terdengar di dalamnya.

Napas.

Seorang Laki-laki.

Lelah.

Menahan.

Bukan kata. Bukan panggilan. Bukan permintaan. Hanya seseorang yang tidak bisa tidur, sama sepertiku.

Aku menutup mata.

Dan membiarkan sunyi menjawab semuanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Hormat dan Hasrat   Yang Membuatku Lupa Bernapas

    “Aku kangen… sekangen-kangennya.”Aku mengucapkannya begitu pelan, sampai suaraku sendiri terdengar seperti sesuatu yang samar, seperti bayangan yang berusaha bersembunyi di pinggir kesadaran. Seolah kata itu tidak benar-benar diucapkan, hanya jatuh dari dada ke mulut, tanpa peran pikiranku.Aku seharusnya tidak mengatakannya.Aku tahu. Tiap bagian dari hidupku; nama suamiku, pangkatnya, tatapan para istri perwira lain, semua adalah pagar.Dan pagar itu tinggi. Terlalu tinggi untuk dilewati. Bahkan untuk sekadar melihat keluar.Tapi rindu tidak peduli pada pagar.Rindu adalah sesuatu yang datang tanpa mengetuk, tanpa menunggu ruang, tanpa bertanya apakah ia diinginkan atau tidak.Rindu datang ketika tubuh mengingat lebih dulu daripada pikiran.Aku menutup mata.Dan seperti kemarin…rahang itu muncul dulu.Rahang yang tegas, bukan yang dipahat untuk dipamerkan,tetapi yang terbentuk karena kerja panjang, disiplin, matahari, dan kesunyian lapangan apel.Lalu mata itu, bukan mata yang ind

  • Antara Hormat dan Hasrat   Bukan Rindu Tapi Sesuatu yang Menyerupainya

    Rahangnya dulu yang muncul di kepalaku.Bukan senyumnya. Bukan suaranya.Tapi garis rahangnya yang tegas, seolah ditarik dengan penggaris oleh seseorang yang terlalu serius pada pekerjaannya.Aku belum membuka mata.Pagi belum benar-benar tiba. Tapi bayangan itu datang begitu saja, menempel seperti embun yang enggan hilang.Hidungnya.Lurus, bersih, tidak tajam seperti aktor drama, tapi seperti seseorang yang belajar bernapas teratur agar tidak gugup saat menerima perintah.Matanya.Aku bahkan tidak tahu warnanya dengan pasti. Cokelat gelap, mungkin.Tapi yang kuingat bukan warnanya, melainkan cara ia menatap tajam padaku sebelum dia menundukkan pandang, seolah menjaga sesuatu yang tidak boleh jatuh. Seolah dunia akan retak kalau ia menatap orang terlalu lama.Dan cambang tipis itu. Bayangan halus di sepanjang rahang, bukan karena ia sengaja menumbuhkannya, tapi karena hari terlalu panjang dan ia tidak sempat bercukur.Ada kelelahan yang jujur di sana.Kelelahan yang tidak pernah kul

  • Antara Hormat dan Hasrat   Yang Seharusnya Tidak Diingat

    “Kenapa wajahmu tersipu begitu ?” Aku tidak mendengar pintu kamar terbuka. Tapi tiba-tiba suamiku, Damar, sudah berdiri di belakangku, suaranya datar, namun terlalu dekat. Tangan yang memegang ponsel langsung berkeringat. Aku refleks memalingkan wajah, tapi gerakanku justru terlalu cepat,terlalu defensif. “Siapa yang kirim pesan ?” Nada suaranya tidak meninggi. Justru tenang. Dan ketenangan itu jauh lebih menakutkan daripada amarah. “Ada… grup Persit,” jawabku, suaraku terdengar seperti milik orang lain. Damar memperhatikan. Bukan menatap, mengamati. Seperti menilai taktik musuh. “Kamu terlihat gugup.” Jantungku jatuh sampai ke lutut. Aku mencoba tersenyum, tapi sudut bibirku tidak terangkat. “Aku cuma… kaget dengar suara mu mendadak.” Damar mendekat satu langkah. Bukan langkah suami. Langkah seorang komandan yang ingin memastikan sesuatu tidak melenceng. “Aku tanya sekali lagi.” “Siapa yang menghubungi kamu tadi pagi.” Hening. Aku menggenggam ponsel begitu kuat

  • Antara Hormat dan Hasrat   Pesan Itu Datang Lagi

    “Ibu, izin mohon maaf. Kenapa Ibu tidak balas WA saya semalam?”Pesan itu muncul begitu aku menyalakan ponsel.Belum sempat membuka tirai jendela, layar sudah menyala dengan nama yang tak seharusnya ada di jam sesepi ini. Nomor tanpa nama, tapi aku tahu siapa pemiliknya.Dadaku langsung dingin, sementara telapak tangan justru panas. Aku menatap huruf-huruf itu lama, seolah setiap kata bisa berubah makna kalau kulihat dari sudut berbeda.WA semalam ? Aku menerawang..Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali ada yang menungguku membalas pesan.Kolonel Damar masih di halaman, memberi perintah kepada prajurit yang membersihkan mobil dinas. Suaranya berat, jelas, dan berjarak. Sementara suaraku, hanya bergema di kepala sendiri.Kuingin menghapus pesan itu. Tapi jariku ragu di atas ikon delete. Bagaimana kalau pesan itu sebenarnya urusan pekerjaan? Bagaimana kalau Damar melihat? Tubuhku mematung di antara dua ketakutan: ketahuan dan kehilangan.Getar kecil muncul lagi; pesan kedua.“Maaf, B

  • Antara Hormat dan Hasrat   Tugas yang Tak Diminta

    Udara di aula siang itu seperti ditahan napas seratus pasang sepatu bot. Bau semir, keringat, dan kain seragam berbaur dengan panas lampu neon. Langkah-langkah berat terdengar dari ujung ruangan, bergema seperti suara waktu yang disiplin.Nara berdiri di tepi panggung, mencoba menyatu dengan dinding, tapi jantungnya berdetak tak sesuai aba-aba.“Bintara Arsa, bantu ibu-ibu menyiapkan ruang jamuan sore ini.”Suara Kolonel Damar memotong udara tajam dan bersih. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara; Nara menahan napas. Nama itu, Arsa, menyelinap ke telinganya seperti gema yang belum sempat padam sejak kemarin.“Siap, Komandan!” Suara itu dalam dan jernih, terlalu mudah diingat.Nara berusaha fokus pada catatan di tangannya, tapi huruf-huruf di kertas seperti menari. Nama itu seharusnya netral, seperti pangkat lain. Tapi di kepalanya, nama itu menyalakan sesuatu: bukan keinginan, mungkin kesadaran bahwa dirinya masih bisa bergetar.Ia menunduk, pura-pura membaca ulang daftar, menyem

  • Antara Hormat dan Hasrat   Di Bawah Bendera Kolonel

    “Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan, Nara.”Kalimat itu meluncur di udara seperti peluru kosong, tak menyakiti fisik, tapi memukul harga diri.Kolonel Damar mengucapkannya di depan puluhan prajurit yang berdiri tegak di bawah matahari. Tak ada yang berani menoleh, tapi Nara tahu semuanya mendengar. Ia berdiri di sisi lapangan, tangan menahan payung yang tak perlu, wajahnya setenang porselen. Suaminya menatap lurus ke depan, seolah yang tadi dihardik bukan istrinya sendiri.Tepuk tangan seremonial pecah sesaat kemudian. Hanya formalitas, tapi bagi Nara, bunyinya seperti tepuk tangan untuk penghinaan kecil yang sah-sah saja.Ia menunduk sopan, lalu melangkah mundur. Tanah basah setelah hujan, hak sepatunya terperosok.Sebuah tangan menahan bahunya sebelum ia sempat kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Bu.”Suara itu tenang, pelan, tapi cukup dalam untuk menembus segala kebisingan. Ia menoleh; seorang bintara muda, wajahnya bersih, seragamnya rapi tanpa cela. Nama di dada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status