Masuk“Kenapa wajahmu tersipu begitu ?”
Aku tidak mendengar pintu kamar terbuka. Tapi tiba-tiba suamiku, Damar, sudah berdiri di belakangku, suaranya datar, namun terlalu dekat. Tangan yang memegang ponsel langsung berkeringat. Aku refleks memalingkan wajah, tapi gerakanku justru terlalu cepat,terlalu defensif. “Siapa yang kirim pesan ?” Nada suaranya tidak meninggi. Justru tenang. Dan ketenangan itu jauh lebih menakutkan daripada amarah. “Ada… grup Persit,” jawabku, suaraku terdengar seperti milik orang lain. Damar memperhatikan. Bukan menatap, mengamati. Seperti menilai taktik musuh. “Kamu terlihat gugup.” Jantungku jatuh sampai ke lutut. Aku mencoba tersenyum, tapi sudut bibirku tidak terangkat. “Aku cuma… kaget dengar suara mu mendadak.” Damar mendekat satu langkah. Bukan langkah suami. Langkah seorang komandan yang ingin memastikan sesuatu tidak melenceng. “Aku tanya sekali lagi.” “Siapa yang menghubungi kamu tadi pagi.” Hening. Aku menggenggam ponsel begitu kuat hingga buku jariku memutih. “Tidak ada.” Kali ini, aku tahu aku berbohong bukan pada Damar. Tapi pada diriku sendiri. Damar diam beberapa detik sebelum berkata pelan: “Kalau ada sesuatu, bilang.” Sesuatu. Kata itu menggantung seperti tuduhan yang belum punya bentuk. Tapi aku merasakannya. Di tulang. Di tenggorokan. Di napas yang terasa sempit. Aku hanya mengangguk. “Sarapan sudah siap.” Aku berjalan duluan. Bukan karena aku ingin. Tapi karena kalau aku tinggal sedetik lebih lama, aku takut tubuhku sendiri akan mengungkapkan sesuatu yang bahkan pikiranku belum berani akui Tidak ada yang mengatakan apa pun di meja makan. Hanya denting sendok beradu dengan piring, dan jam dinding yang berjalan terlalu pelan. “Aku ada inspeksi batalyon,” katanya akhirnya. “Sampai sore?” “Entah,” jawabnya. “Tergantung situasi.” Aku mengangguk, seolah itu jawaban standar yang sudah kuduga. Padahal di dalam dadaku, ada sesuatu yang jatuh pelan, seperti gelas yang pecah tanpa suara. Bukan karena dia tidak pulang sore. Tapi karena tidak ada satu pun pertanyaan tentang aku. Bukan, “Kamu tidur nyenyak?” Bukan, “Kamu baik-baik saja?” Bukan, “Ada yang kamu butuhkan?” Aku bisa duduk di sini atau tidak, baginya sama saja. Komandan menyelesaikan sarapannya. Komandan mengambil topi dinas. Komandan berangkat. Namun yang tinggal di rumah ini adalah aku, bukan prajurit, bukan Ibu Ketua Persit, bukan siapa-siapa. Hanya aku. Dan meja makan dingin. Aku menyalakan ponsel lagi. Pesan itu masih ada. “Ibu, izin mohon maaf. Kenapa Ibu tidak balas WA saya semalam?” Tidak ada nama. Tidak ada foto profil. Tidak ada tanda apa-apa. Tapi tubuhku mengingat suara itu lebih baik daripada pikiranku. Aku menghapus pesan itu. Layar menjadi kosong. Tapi dadaku tidak ikut bersih. Aku memejamkan mata. “Ini hanya kasihan,” bisikku pada diri sendiri. “Hanya simpati. Hanya perhatian manusiawi. Hanya sedikit hangat setelah bertahun-tahun dingin.” Namun tidak ada yang menjawab. Keheningan itu justru terasa seperti pengakuan. *** Pukul sepuluh, grup WA Istri Perwira Batalyon kembali ribut. Bu Vivi: “Besok bakti sosial di panti asuhan ya. Semua hadir.” Bu Ratna: “Logistik tetap Arsa. Sudah biasa dia urus.” Kata itu muncul lagi. Arsa. Aku merasakan sesuatu di dadaku mengembang, bukan senang, bukan takut. Lebih seperti detak yang lupa cara berhenti. Aku mengetik pelan. “Siap, Bu.” Lalu kututup ponsel secepat mungkin, seolah layar itu bisa membakar kulitku. *** Rumah dinas itu sunyi. Aku menyapu lantai, membuka jendela, mengganti taplak meja. Bukan karena ada yang perlu dibersihkan. Tapi karena aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan dengan tangan-tanganku. Ada jam kosong di siang hari yang biasanya kuisi dengan menunggu Damar pulang. Namun hari ini, aku tidak menunggu. Aku hanya diam. Dan diam ternyata jauh lebih berisik daripada percakapan apa pun. Aku mencoba membuat teh. Tapi ketika sendok menyentuh cangkir, aku mengingat sesuatu. Suara. “Siap, Bu.” Lembut. Namun ada kekuatan yang tidak bisa dijelaskan. Aku menutup kedua telingaku. Bukan telingaku yang harus kututup. Tapi dadaku. Di sore hari, sebuah suara memanggil dari luar pagar. “Bu Naraaa!” Itu suara Bu Vivi. Aku keluar, menahan napas agar suaraku terdengar biasa. “Ada apa, Bu?” Bu Vivi tersenyum, tapi matanya mengamati. Matanya bukan milik teman. Matanya milik pengawas sosial. “Kamu baik kan? Kayaknya kamu pucat.” Aku tersenyum. Terlalu cepat. “Kurang tidur.” “Oh.” Dia mengangguk pelan, seolah mencatat sesuatu. Ada jeda. Jeda yang menggantung. Jeda yang terasa seperti gosip yang belum lahir. “Besok jangan terlambat ya. Biar tidak jadi perhatian.” Aku mengangguk. Tapi kata terakhir itu menetes seperti pisau kecil. Perhatian. Rumah tangga di dunia perwira bukan sekadar rumah tangga. Ia adalah panggung. Dan aku merasa panggung itu mulai menyorotku. Aku menutup pagar pelan. Tangan masih dingin. *** Malam datang tanpa suara. Aku duduk di ruang tengah, lampu hanya satu yang menyala. Udara lembut bergerak dari kipas. Jam berdetak, tapi rasanya seperti memindahkan waktu dengan paksa. Aku membuka ponsel Bukan untuk membaca pesan. Tapi untuk memastikan tidak ada pesan. Dan justru karena tidak ada pesan, dadaku terasa kosong. Bukan kosong yang lapang. Kosong yang menarik ke dalam, seperti sumur gelap yang tidak terlihat dasarnya. Aku memegangi tepi sofa. Napas perlahan menjadi satu-satunya hal yang terdengar. “Ini bukan rindu,” kataku pada diriku sendiri. Tapi jika bukan rindu, Lalu kenapa tubuhku mengingat lebih cepat dari pikiranku? Kenapa kulitku bereaksi terhadap suara? Kenapa jantungku menunggu sesuatu yang tidak seharusnya kutunggu? Aku memejamkan mata. Dan dalam gelap itu yang datang bukan wajahnya. Yang datang adalah nada suaranya. “Siap, Bu.” Pelan. Hormat. Namun mengikat. Seolah aku adalah sesuatu yang penting untuk dijaga. Seolah seseorang, akhirnya, menganggap keberadaanku terasa. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sentuhan. Ada pesan yang kubalas Ada pesan yang sengaja tak kubalas. Tapi ada satu pesan yang paling berbahaya: pesan yang tidak datang. Karena justru itu yang membuatku menunggu.“Aku kangen… sekangen-kangennya.”Aku mengucapkannya begitu pelan, sampai suaraku sendiri terdengar seperti sesuatu yang samar, seperti bayangan yang berusaha bersembunyi di pinggir kesadaran. Seolah kata itu tidak benar-benar diucapkan, hanya jatuh dari dada ke mulut, tanpa peran pikiranku.Aku seharusnya tidak mengatakannya.Aku tahu. Tiap bagian dari hidupku; nama suamiku, pangkatnya, tatapan para istri perwira lain, semua adalah pagar.Dan pagar itu tinggi. Terlalu tinggi untuk dilewati. Bahkan untuk sekadar melihat keluar.Tapi rindu tidak peduli pada pagar.Rindu adalah sesuatu yang datang tanpa mengetuk, tanpa menunggu ruang, tanpa bertanya apakah ia diinginkan atau tidak.Rindu datang ketika tubuh mengingat lebih dulu daripada pikiran.Aku menutup mata.Dan seperti kemarin…rahang itu muncul dulu.Rahang yang tegas, bukan yang dipahat untuk dipamerkan,tetapi yang terbentuk karena kerja panjang, disiplin, matahari, dan kesunyian lapangan apel.Lalu mata itu, bukan mata yang ind
Rahangnya dulu yang muncul di kepalaku.Bukan senyumnya. Bukan suaranya.Tapi garis rahangnya yang tegas, seolah ditarik dengan penggaris oleh seseorang yang terlalu serius pada pekerjaannya.Aku belum membuka mata.Pagi belum benar-benar tiba. Tapi bayangan itu datang begitu saja, menempel seperti embun yang enggan hilang.Hidungnya.Lurus, bersih, tidak tajam seperti aktor drama, tapi seperti seseorang yang belajar bernapas teratur agar tidak gugup saat menerima perintah.Matanya.Aku bahkan tidak tahu warnanya dengan pasti. Cokelat gelap, mungkin.Tapi yang kuingat bukan warnanya, melainkan cara ia menatap tajam padaku sebelum dia menundukkan pandang, seolah menjaga sesuatu yang tidak boleh jatuh. Seolah dunia akan retak kalau ia menatap orang terlalu lama.Dan cambang tipis itu. Bayangan halus di sepanjang rahang, bukan karena ia sengaja menumbuhkannya, tapi karena hari terlalu panjang dan ia tidak sempat bercukur.Ada kelelahan yang jujur di sana.Kelelahan yang tidak pernah kul
“Kenapa wajahmu tersipu begitu ?” Aku tidak mendengar pintu kamar terbuka. Tapi tiba-tiba suamiku, Damar, sudah berdiri di belakangku, suaranya datar, namun terlalu dekat. Tangan yang memegang ponsel langsung berkeringat. Aku refleks memalingkan wajah, tapi gerakanku justru terlalu cepat,terlalu defensif. “Siapa yang kirim pesan ?” Nada suaranya tidak meninggi. Justru tenang. Dan ketenangan itu jauh lebih menakutkan daripada amarah. “Ada… grup Persit,” jawabku, suaraku terdengar seperti milik orang lain. Damar memperhatikan. Bukan menatap, mengamati. Seperti menilai taktik musuh. “Kamu terlihat gugup.” Jantungku jatuh sampai ke lutut. Aku mencoba tersenyum, tapi sudut bibirku tidak terangkat. “Aku cuma… kaget dengar suara mu mendadak.” Damar mendekat satu langkah. Bukan langkah suami. Langkah seorang komandan yang ingin memastikan sesuatu tidak melenceng. “Aku tanya sekali lagi.” “Siapa yang menghubungi kamu tadi pagi.” Hening. Aku menggenggam ponsel begitu kuat
“Ibu, izin mohon maaf. Kenapa Ibu tidak balas WA saya semalam?”Pesan itu muncul begitu aku menyalakan ponsel.Belum sempat membuka tirai jendela, layar sudah menyala dengan nama yang tak seharusnya ada di jam sesepi ini. Nomor tanpa nama, tapi aku tahu siapa pemiliknya.Dadaku langsung dingin, sementara telapak tangan justru panas. Aku menatap huruf-huruf itu lama, seolah setiap kata bisa berubah makna kalau kulihat dari sudut berbeda.WA semalam ? Aku menerawang..Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali ada yang menungguku membalas pesan.Kolonel Damar masih di halaman, memberi perintah kepada prajurit yang membersihkan mobil dinas. Suaranya berat, jelas, dan berjarak. Sementara suaraku, hanya bergema di kepala sendiri.Kuingin menghapus pesan itu. Tapi jariku ragu di atas ikon delete. Bagaimana kalau pesan itu sebenarnya urusan pekerjaan? Bagaimana kalau Damar melihat? Tubuhku mematung di antara dua ketakutan: ketahuan dan kehilangan.Getar kecil muncul lagi; pesan kedua.“Maaf, B
Udara di aula siang itu seperti ditahan napas seratus pasang sepatu bot. Bau semir, keringat, dan kain seragam berbaur dengan panas lampu neon. Langkah-langkah berat terdengar dari ujung ruangan, bergema seperti suara waktu yang disiplin.Nara berdiri di tepi panggung, mencoba menyatu dengan dinding, tapi jantungnya berdetak tak sesuai aba-aba.“Bintara Arsa, bantu ibu-ibu menyiapkan ruang jamuan sore ini.”Suara Kolonel Damar memotong udara tajam dan bersih. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara; Nara menahan napas. Nama itu, Arsa, menyelinap ke telinganya seperti gema yang belum sempat padam sejak kemarin.“Siap, Komandan!” Suara itu dalam dan jernih, terlalu mudah diingat.Nara berusaha fokus pada catatan di tangannya, tapi huruf-huruf di kertas seperti menari. Nama itu seharusnya netral, seperti pangkat lain. Tapi di kepalanya, nama itu menyalakan sesuatu: bukan keinginan, mungkin kesadaran bahwa dirinya masih bisa bergetar.Ia menunduk, pura-pura membaca ulang daftar, menyem
“Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan, Nara.”Kalimat itu meluncur di udara seperti peluru kosong, tak menyakiti fisik, tapi memukul harga diri.Kolonel Damar mengucapkannya di depan puluhan prajurit yang berdiri tegak di bawah matahari. Tak ada yang berani menoleh, tapi Nara tahu semuanya mendengar. Ia berdiri di sisi lapangan, tangan menahan payung yang tak perlu, wajahnya setenang porselen. Suaminya menatap lurus ke depan, seolah yang tadi dihardik bukan istrinya sendiri.Tepuk tangan seremonial pecah sesaat kemudian. Hanya formalitas, tapi bagi Nara, bunyinya seperti tepuk tangan untuk penghinaan kecil yang sah-sah saja.Ia menunduk sopan, lalu melangkah mundur. Tanah basah setelah hujan, hak sepatunya terperosok.Sebuah tangan menahan bahunya sebelum ia sempat kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Bu.”Suara itu tenang, pelan, tapi cukup dalam untuk menembus segala kebisingan. Ia menoleh; seorang bintara muda, wajahnya bersih, seragamnya rapi tanpa cela. Nama di dada







