Share

BAB 7

Ternyata orang yang baru saja memasuki toko adalah Citra.

“Citra!” Rian dengan cepat langsung memanggilnya, gadis cantik itu tampak lesu dengan rambut panjangnya yang terurai berantakan.

Mengetahui Rian ternyata telah berada di dalam toko, Citra yang tidak bisa menyembunyikan rasa lelah di wajahnya, memaksakan senyum saat melihat Rian. “Aku kira kamu gak bakal datang Rian,” ucapnya.

“Maafin aku ya! Aku gak datang pagi tadi karena bangun kesiangan.” Rian menggelengkan kepalanya menunjukkan rasa bersalah.

“Tebakanku meleset, kukira kamu memang gak mau datang kesini.” Citra tersenyum kecut lalu melanjutkan, “Lupain aja, sekarang kita makan roti dulu!”

“Enggak usah, aku kesini lagi besok pagi aja. Kamu kayaknya kelihatan capai, jadi lebih baik kamu pulang aja!” Rian buru-buru menjawabnya, ia merasa tidak tega melihat keadaan Citra.

Tanpa menghiraukan perkataan Rian, Citra lalu merubah pandangannya ke arah gadis pelayan yang merupakan saudaranya itu dan berkata, “Dik, tolong siapin roti dan teh hangat buat aku sama Rian!”

Mengangguk paham, gadis pelayan itu langsung menuju dapur untuk menyiapkannya.

Rian dan Citra kemudian menuju ke salah satu meja untuk menunggu hidangan roti disajikan.

“Kamu hari ini ngapain aja, kok kayaknya capai banget?” Rian membuka obrolan dengan bertanya.

Citra hanya menggelengkan kepala sambil mengerucutkan bibirnya, membuatnya terlihat semakin imut dan menggemaskan.

“Udah sih, jangan pernah membohongi diri sendiri. Karena membohongi dirimu sudah jadi tugas orang lain!”

Rian yang jenaka, sengaja melemparkan candaannya dengan niat menghibur Citra yang masih terlihat lejar.

Citra sontak menutup mulutnya dengan tangan mencoba mengurangi bunyi suara ketawanya yang nyaring. Kini Citra perlahan sudah mulai menampakkan ekspresi sumringah di wajahnya.

Hidangan roti dan teh hangat mereka akhirnya tiba, keduanya langsung menikmatinya sambil lanjut mengobrol.

Rian yang telah menghabiskan rotinya terlebih dulu kemudian mengusap tisu di mulutnya sebelum kemudian berucap, “Oh iya, boleh aku minta nomor ponselmu?”

Rian masih mengingat perkataan Dodit tadi siang tentang komunikasi sebelum memulai hubungan percintaan dengan wanita. Oleh karena itu, Rian memberanikan dirinya untuk meminta nomor telepon Citra secara langsung.

Citra hanya berdehem dengan posisi tangan menopang di dagunya.

“Bukan apa-apa sih! Aku cuma khawatir nanti kamu capai mikirin aku kalau aku gak datang kesini tanpa pemberitahuan,” lanjut Rian mengeluarkan gombalannya.

“Apa kamu bilang?” Citra memukul cukup keras bahu Rian. Namun dibalik rasa kesal yang dia tunjukkan, Citra terus menahan senyum di balik bibirnya. Citra mendapati dirinya tersipu mendengar ucapan Rian barusan, pipinya terlihat memerah semerah buah delima.

“Hahaha!”

Rian tidak bisa menahan tawa melihat Citra seperti orang yang salah tingkah.

“Oke!”

Citra yang tidak keberatan jika memberikan nomor teleponnya pada Rian akhirnya menyetujuinya. Lebih-lebih lagi Citra bisa berpendapat jika Rian adalah tipe orang yang asik untuk diajak komunikasi dan juga lucu.

Mengeluarkan ponsel dari tasnya, Rian langsung mencatat angka-angka yang diucapkan Citra. Dalam hatinya Rian merasa gembira bisa mendapatkan nomor telepon gadis yang dia sukai.

Setelah selesai mencatatnya, Rian berpamitan pulang sebelum akhirnya beranjak pergi dari tempat duduknya.

“Kalau kamu besok gak datang, aku bakal pindahin toko roti ini ke depan bengkel kamu!” Citra berkelakar.

Rian hanya melingkarkan ibu jari dan telunjuk lalu mengangkat ketiga jari lainnya sebagai jawaban sebelum membuka pintu untuk keluar.

Saat sedang menyusuri jalan pulang, tiba-tiba ponsel Rian mendadak berdering. Ternyata ada panggilan dari kakaknya. Rian segera mengangkatnya.

“Hei Rian, lu sekarang dimana?”

“Gue lagi jalan ke arah pulang, emangnya ada apa kak?”

“Cepat pulang! Ayah dan ibu mau ngomong serius sama kita berdua, mereka sekarang nungguin lu pulang,” terdengar suara Alvin yang cukup panik dari ujung telepon.

Aduh, apa lagi ini?

Rian bertanya-tanya dalam hatinya, curiga jika ada sesuatu yang tidak beres.

“Oke!”

Rian lalu menutup teleponnya. Tidak mau berpikir banyak, ia langsung mempercepat langkah kakinya agar bisa segera sampai ke rumah.

Sementara di dalam rumah, terlihat sang ayah sudah duduk di sofa sambil menghisap sebatang rokok ditemani Ibu Rian yang duduk disampingnya. Alvin sendiri saat ini tampak mondar-mandir di halaman rumah menunggu kedatangan Rian, ia merasa sedikit cemas karena juga belum mengetahui apa alasan orang tuanya mendadak ingin berbicara serius dengannya serta Rian. Alvin bahkan sempat berpikir jika Rian ketahuan sedang mendekati seorang wanita.

Tidak lama setelah itu, akhirnya Rian tiba di rumahnya. Alvin yang menyambutnya langsung mengajak Rian untuk masuk ke dalam rumah.

“Duduklah!”

Ayah Rian langsung menyuruh kedua anaknya yang baru saja memasuki rumah.

“Ayah, sebenarnya apa yang mau Ayah bicarakan?” Rian memberanikan diri untuk bertanya.

Menghela napasnya sejenak, kemudian sang ayah menjawab, “Entah ini berita baik atau buruk, kalian tahu Paman Rudi? Dia menyuruh ayah dan ibu untuk mengurus pabrik ikan miliknya yang ada di Kota Ambon. Ini mendadak banget, ayah sama ibu harus segera berangkat besok pagi.”

“Kami akan meninggalkan kalian berdua dan menetap di sana selama lima bulan,” imbuh sang ibu menimpali.

Paman Rudi adalah kakak laki-laki dari Ayah Rian yang cukup kaya raya, ia mempunyai beberapa bisnis di bidang perikanan dan pertanian. Karena Paman Rudi kewalahan mengurus bisnisnya sendirian, akhirnya ia menyuruh ayah dan ibu Rian untuk mengurus salah satu bisnis perikanannya yang ada di kota Ambon.

Kota Ambon sendiri adalah salah satu kota di pesisir selatan Pulau Maluku. Jaraknya yang jauh berkilo-kilo meter dari rumah Rian yang ada di Kota Bandung, tidak memungkinkan kedua orang tuanya untuk pulang pergi selama mengurus pabrik. Dengan begitu, menetap disana dengan waktu yang cukup lama adalah hal yang tepat.

“Hah!”

Rian dan Alvin tercengang secara bersamaan setelah mendengar itu semua, kini keduanya hanya bisa saling memandang.

Di balik wajahnya yang seakan-akan tidak rela, Alvin sebenarnya sangat senang mengetahui itu. Alvin berpikir tidak akan ada lagi yang melarangnya untuk berpacaran, ia bisa menemui kekasihnya kapan pun ia mau.

Tidak terkecuali dengan Rian, hal ini tentu saja membawa angin segar bagi dirinya yang memiliki rencana menjadikan Citra sebagai seorang pacar. Di sisi lain Rian juga senang karena akhirnya kedua orang tuanya memiliki pekerjaan yang layak dan menjanjikan.

Setelah tidak ada lagi yang dibicarakan, Mereka kemudian melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Rian yang badannya lengket dan bau setelah bekerja seharian langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya.

Seperti apa yang telah direncanakan, keesokan paginya kedua orang tua Rian berangkat menuju Kota Ambon untuk mengurus pabrik ikan milik Paman Rudi. Mereka berdua pergi menggunakan pesawat dari Bandara Husein Sastranegara.

Sementara di Harvest Bakery, Rian sedang asik mengenyam roti gratis yang diberikan Citra, ia terlihat sangat menikmatinya. Memang sejak pertama kali Rian mencicipi roti di Harvest Bakery, ia tidak bisa membohongi lidahnya jika roti dari toko ini sangat enak dibandingkan dengan roti lainnya yang pernah dia makan sebelumnya.

Rian masih sibuk mengunyah rotinya ketika kemudian Citra datang menghampirinya. “Rian, mau bantuin aku gak?”

“Of course, apa yang bisa aku bantu?” Rian menaikkan dagunya bersedia memberi bantuan.

“Nanti malam aku mau belanja bahan-bahan roti di Griya Supermarket, karena saudaraku gak bisa ikut, aku berharap kamu mau ikut sama aku!”

Citra memandang Rian dengan tatapan memohon. Walaupun Citra baru beberapa hari yang lalu mengenali Rian, tapi dia telah menganggapnya layaknya seorang kawan yang telah lama kenal. Oleh sebab itu, Citra tidak merasa sungkan untuk meminta bantuan kepada Rian.

“Pasti, aku juga gak keberatan kalau harus nemenin kamu belanja pakaian dalam. Hahaha!” Rian tertawa kecil, ia dengan percaya diri melontarkan guyonan itu karena tahu Citra bukanlah tipe orang yang gampang tersinggung.

“Kurang ajar!”

Citra menarik rambut Rian dengan gemas, tentu saja bukan karena Citra geram dengan ucapan Rian, bagaimanapun ia paham itu hanyalah candaan belaka.

“Oke, nanti sore aku jemput kamu di bengkel!” pinta Citra.

“It’s okay, kalau gak ada lagi aku bakal balik ke bengkel.”

Rian langsung menuju bengkel karena tidak lama lagi dia harus bekerja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status