Share

BAB 8

“Hei, Rian!” panggil Dodit setelah melihat Rian memasuki bengkel.

Rian yang mendengar Dodit memanggilnya, langsung buru-buru menghampirinya. “Gua baru aja dari Harvest Bakery dan gua juga udah dapat nomor handpone Citra, mantap gak?”

“Wah gila sih! Gua gak ngira lu bakal dapat secepat itu, bahkan lebih cepat dari cowok yang baru dapat kabar kalau ceweknya lagi sendirian di rumah,” kata Dodit dengan diksi lucunya.

“Ya, tapi kayaknya lebih cepat dari pemerintah kita yang mengatasi pandemi pada waktu itu deh,” balas Rian. “Terus, apalagi yang harus gua lakuin?”

Dodit menyalakan sebatang rokoknya sebelum kemudian menjelaskan. “Langkah selanjutnya ente harus bisa ngajak Citra hangout, entah ke pantai atau tempat wisata lainnya. Karena dengan mengajaknya berlibur, wanita itu akan menganggap lu orang yang bisa membuatnya bahagia.”

“Kira-kira gua harus ngajak Citra kemana ya?” Rian menggaruk alisnya merasa bingung.

“Kayaknya ke pemakaman umum di Cikadut aja deh, hahaha...” Dodit tertawa keras memegangi perutnya. “Di Bandung ini ada banyak tempat wisata, dan anehnya lu masih bingung.”

Rian hanya cemberut mendengar Dodit meledeknya. Sebenarnya Rian benar-benar bingung karena jarang sekali berlibur ke tempat wisata di sekitar Bandung, bahkan terakhir kali dia pergi ke tempat-tempat semacam itu ketika masih berumur dua belas tahun.

“Begini aja, karena besok gua sama pacar gua mau liburan ke Bukit Cukul, gimana kalau lu ajak Citra buat ikut?” usul Dodit.

Berpikir sejenak, kemudian Rian langsung menjawab, “Oke, gua coba. Semoga Citra mau ikut!”

Rian sudah sering mendengar tentang Bukit Cukul yang terletak di Pangalengan, bukit sekaligus kebun teh itu menyuguhkan pemandangan cantik dengan bukit yang bergelombang, ditambah rumputnya yang berwarna hijau mempersembahkan nuansa alami dan asri dari bukit itu. Dengan demikian, Rian berpikir pasti Citra pasti senang jika diajak berlibur ke Bukit Cukul.

Hari sudah sore ketika kemudian terlihat sebuah mobil Honda Brio berwarna putih berhenti di depan bengkel, tentu saja pemilik mobil itu adalah Citra yang akan menjemput Rian untuk menemaninya ke Griya Supermarket untuk membeli bahan-bahan roti.

Rian yang tahu jika Citra telah datang lalu menghampirinya. “Kamu kayaknya kesini terlalu cepat, beri aku lima menit buat mandi dan ganti baju!”

“Huuh... dasar tukang terlambat, cepat!” dengus Citra.

“Lebih baik terlambat daripada terjorok.” Rian terkekeh dan langsung berlari menuju kamar mandi bengkel. Rian tidak mau terlihat kumal saat berada di samping Citra.

Kurang dari lima menit, Rian akhirnya kembali dengan keadaan yang sudah rapi dan wangi. Keduanya pun langsung menaiki mobil menuju ke supermarket dengan Rian yang menjadi pengemudi.

Di dalam mobil.

“Kenapa gedung itu kelihatan miring?” Rian tiba-tiba bertanya pada Citra sambil menunjuk gedung yang memang tampak miring di pinggir jalan.

“Gak tau!”

“Mungkin karena terpesona sama senyuman kamu!”

Rian dengan cepat mengaitkannya dengan sebuah gombalan, dia seolah-olah mempunyai seribu ide gombalan di dalam otaknya yang siap dikeluarkan kapan pun.

Citra lagi-lagi harus tersipu mendengar gombalan Rian, reflek tangannya segera menutupi pipinya yang sudah memerah. Tapi itu tidak bertahan lama, Citra lalu tersadar dan langsung memukul lengan Rian.

“Fokus nyetir aja dan jangan banyak omong!” pinta Citra dengan wajah cemberut.

Tidak lama setelah itu akhirnya mereka berdua tiba di Griya Supermarket.

“Kayaknya aku nunggu di parkiran aja deh!” kata Rian yang masih berada di dalam mobil. Ia tidak pernah tertarik untuk memasuki tempat-tempat ramai seperti mal.

“Aku nyuruh kamu ikut buat nemenin aku, bukan buat jadi sopir!”

Dengan lembut Citra menarik tangan Rian. Keduanya pun langsung memasuki supermarket.

Bahan roti yang ingin dibeli Citra cukup beragam seperti tepung, gula bubuk, baking powder dan lainnya. Karena kebutuhan toko roti yang banyak, butuh waktu lama bagi mereka untuk memilih-milih.

“Citra, aku mau ke toilet sebentar ya!” Rian yang sudah tidak tahan ingin buang air besar, meminta izin pada Citra untuk ke kamar kecil.

“Ok!”

Tidak lama setelah Rian pergi, tiba-tiba ada sesosok pria berbadan jangkung yang mengenakan jaket hoodie menghampiri Citra. Pria itu tampak sendiri.

“Citra!” panggilnya.

Citra yang masih memilih bahan-bahan roti, sontak langsung menoleh saat mendengar namanya dipanggil.

Radit!

Kedua mata Citra terbuka lebar saat mengetahui siapa pria yang menghampirinya, ekspresi tidak senang bisa tergambar di wajah cantiknya.

“Radit, mau apa lagi kamu nemuin aku?” Citra mendengus kesal.

“Citra, jujur aku masih suka sama kamu! Sampai sekarang aku belum bisa move on dari kamu, aku masih mau jadi pacar kamu!” Pria itu mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Citra, tapi dengan cepat Citra menepisnya.

“Enggak, kamu cuma mencintai tubuhku! Lebih baik kamu cari pacar seorang pelacur yang bisa kamu pakai semaumu!”

Citra bersungut-sungut.

Benar saja. Radit adalah mantan pacar Citra, baru satu bulan yang lalu mereka berpisah. Citra-lah yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka berdua karena ia tidak bisa menerima sifat Radit yang mempunyai ketertarikan seksual berlebihan, lebih tepatnya berotak mesum. Radit sering kali meminta foto Citra yang menunjukkan payudaranya dan tidak jarang ia juga selalu mengajak Citra untuk berhubungan badan. Tapi untungnya itu semua belum pernah terjadi karena Citra dengan tegas selalu menolak sampai akhirnya memutuskannya.

“Maafin aku, aku janji gak bakal ngulangin itu lagi. Percaya sama aku!” kata Radit memohon, tangannya sudah menggenggam erat pergelangan tangan Citra.

“Lepas!” Citra berteriak pelan. Namun teriakannya tidak dihiraukan oleh Radit yang semakin keras menggenggam tangan Citra.

“Aku bakal lepasin kalau kamu mau jadi pacarku lagi!” pinta Radit.

Sejurus kemudian, Rian yang telah selesai buang air kecil langsung berlari setelah dari kejauhan melihat Citra tampak sedang diganggu oleh seseorang pria.

“Maaf, Mas! Ini ada apa ya?” Rian buru-buru bertanya pada Radit.

Belum sempat Radit menjawab, Citra yang sudah melepaskan genggaman dari tangan Radit langsung memeluk lengan Rian lalu berkata, “Sayang! Ini ada laki-laki kurang ajar yang gangguin aku.”

Rian bisa merasakan tubuhnya bergetar setelah mendengar Citra menyebutnya dengan sebutan mesra seperti itu.

Buset, apa-apaan ini? Bisa-bisanya dia manggil gua pake sebutan ‘sayang’.

Citra lalu menghadap Radit dan berkata, “Ini pacar aku yang baru! Jadi kamu mau apa sekarang?”

Radit yang mendengar itu langsung menaikkan kedua alisnya, menatap ke arah Rian dan Citra dengan tatapan tak percaya.

Begitu pun dengan Rian yang semakin terperanjat mendengar ucapan Citra barusan, perasaannya campur aduk antara bahagia sekaligus bingung.

Citra kemudian mencubit kecil punggung Rian dari belakang seolah-olah sedang mengisyaratkan sesuatu. Namun Rian yang tidak paham maksud tersebut hanya terdiam tanpa bereaksi apa pun.

“Ngomong!” Citra menggerakan mulutnya tanpa mengeluarkan suara.

Rian sekilas memahaminya lalu dengan gagap berkata, “I−iya, saya Rian pacarnya Citra!”

Rian pun langsung mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan Radit. Akan tetapi Radit tidak menghiraukannya sedikit pun, ia masih diam mematung dengan tatapannya yang kosong.

“Oke, kayaknya kita harus cepat pulang sayang!” Citra langsung menarik tangan Rian untuk pergi.

“Tunggu!” sergah Radit menghentikan langkah kaki keduanya.

Radit lalu berkata, “Ok, sekarang aku mundur dan janji gak bakal ganggu hidup kamu lagi. Tapi yang harus kamu tahu, aku pernah mencintaimu dengan tulus, Citra!” Ia lalu menoleh kepada Rian, “Suatu hari lu pasti tau alasan kenapa gua selalu minta hal-hal yang gak senonoh sama Citra!”

Selesai menghabiskan kata-katanya, Radit langsung pergi dengan senyum palsu yang tersungging di bibirnya.

“Citra, please! Tolong kamu jelasin apa maksud dari ini semua?”

Rian benar-benar tidak paham dengan apa yang barusan terjadi, dari Citra yang menganggapnya seorang pacar hingga kata-kata yang tadi diucapkan oleh Radit.

“Udah nanti aja aku jelasin di mobil!” ucap Citra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status