“Dengan ini, saya nyatakan kalian sah sebagai suami dan istri.”
Kalimat itu terdengar begitu ringan, hampir biasa. Seolah ikrar itu bukan simpul dari banyak keputusan yang terpaksa, bukan pula janji yang digantungkan di langit-langit kenyataan yang abu-abu. Tapi bagi Nara, kalimat itu adalah palu ketiga—setelah kematian ayahnya dan surat perjanjian—yang memantapkan dunia dalam poros baru.
Raydan berdiri tegak di sampingnya. Jas abu-abu arang membalut tubuhnya seperti tameng. Ia tampak sempurna dalam kamera, dalam pandangan para undangan yang dipilih dengan sangat hati-hati: kolega, dua orang sahabat dekat, dan tentu saja sang pengacara yang memastikan semuanya berjalan “profesional”.
Nara mengenakan gaun putih gading tanpa renda. Ia menolak untuk memakai veil. Tidak ada pengiring. Tidak ada keluarga. Ibunya tidak hadir—bukan karena tak diundang, tapi karena tidak tahu. Nara memilih untuk merahasiakan semuanya hingga ia yakin pernikahan ini tidak akan menyakitkan siapa pun, selain dirinya sendiri.
Resepsi kecil digelar di sebuah ruangan hotel bintang lima yang disulap sehangat mungkin. Piano klasik mengalun pelan. Makanan disajikan dalam piring-piring porselen mengilap. Semua tampak seperti potongan dari kisah cinta elegan. Padahal di balik senyuman tamu-tamu berjas mahal itu, Nara tahu ada pandangan penuh tanya.
“Selamat, Ray. Nyonya Dirgantara ternyata bukan hanya cantik, tapi juga... tenang.”
Salah satu kolega Raydan berbicara sambil tertawa kecil, menggoda. Nada suaranya ringan, tapi matanya mengukur.Nara membalas dengan senyum sopan. Ia sudah belajar caranya mengangguk tanpa terlihat ragu, tertawa tanpa merasa geli.
Raydan menanggapi semua percakapan dengan kepiawaian seorang aktor utama. Ia merangkul bahu Nara sesekali, memperkenalkan dirinya sebagai “istri yang penuh kejutan” dan menyelipkan candaan ringan yang membuat suasana terlihat natural.
Namun, saat semua tawa menghilang dan kamera terakhir berhenti berkedip, yang tersisa hanyalah dua orang asing yang kini tinggal di bawah satu atap.
Malam itu, di apartemen penthouse Raydan yang terlalu besar untuk dua orang yang baru saja bersumpah demi kebutuhan, mereka berdiri dalam diam.
Nara menyentuh pot tanaman kecil di dekat jendela. “Saya akan tidur di kamar tamu, jika tidak keberatan.”
Raydan melepas dasi dan meletakkannya di sandaran sofa. “Kamar sebelah sudah disiapkan. Ada lemari tambahan juga. Kamu bisa letakkan barang-barang di sana.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”Beberapa detik hening. Mereka seperti dua planet yang saling mengorbit tanpa gravitasi, masing-masing menjaga jarak agar tidak saling berbenturan.
Nara menghela napas pelan. “Apa yang terjadi jika seseorang... tahu bahwa ini tidak nyata?”
Raydan menoleh, ekspresinya berubah sedikit lebih gelap. “Itu tidak boleh terjadi.”
“Tapi jika?” tekan Nara.
“Jika ada yang tahu, semuanya batal. Kamu kehilangan kompensasi, aku kehilangan warisan perusahaan. Dan seluruh ini akan dianggap... penipuan hukum.”
Nara menatap mata Raydan. “Jadi kita harus hidup seperti pasangan sungguhan.”
“Kita harus terlihat seperti pasangan sungguhan. Itu saja.”
Hari-hari setelah pernikahan diisi dengan rutinitas palsu yang makin lama makin terasa nyata. Mereka sarapan bersama, kadang dalam diam, kadang diselingi obrolan ringan tentang pekerjaan. Nara mulai mengenal sisi Raydan yang tak tampak di balik jas dan rapat-rapat bisnis: caranya menyukai kopi tanpa gula, kebiasaannya mendengarkan musik jazz saat malam, dan fakta bahwa ia menyirami tanaman di balkon sendiri setiap Minggu pagi.
Di sisi lain, Raydan mulai tahu Nara adalah pecinta buku yang bisa membaca lima novel dalam seminggu, lebih memilih teh jahe daripada teh melati, dan tidak pernah tidur tanpa mematikan lampu meja.
Perbedaan-perbedaan kecil itu seperti retak halus di kaca, menciptakan pola yang tidak terlihat oleh mata orang luar—tapi terasa, perlahan, dalam hati masing-masing.
Suatu malam, setelah makan malam bersama di dapur apartemen, Raydan menyodorkan sebuah amplop putih ke hadapan Nara.
“Apa ini?”
“Kalender wawancara. Mulai minggu depan, kita akan tampil di dua media. Salah satunya majalah gaya hidup.”Nara membelalakkan mata. “Untuk apa?”
“Untuk membangun narasi.”
“Jadi, kita harus... menjual cerita ini?”Raydan mengangguk pelan. “Kita sedang menulis kisah fiksi yang harus dipercaya dunia nyata. Mau tak mau, itu bagian dari kontrak.”
Nara membuka amplop itu perlahan. Daftar tanggal, media, dan nama-nama wartawan yang akan datang ke apartemen mereka. Semuanya tersusun rapi, seperti plot cerita yang tidak meninggalkan ruang untuk improvisasi.
Raydan bangun lebih pagi dari biasanya. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia tidak bergegas membuka laptop, tidak langsung membaca laporan, tidak mencari jadwal meeting yang harus dikejar.Yang ia lakukan: memasak sarapan.Nasi goreng sederhana. Telur mata sapi yang agak gosong di pinggir. Dan teh manis panas yang diseduh terlalu manis karena ia tidak yakin berapa sendok seharusnya.Saat Nara muncul dari balik pintu kamar, rambutnya masih setengah basah, mata masih mengantuk, ia menemukan meja makan yang berbeda dari biasanya. Bukan hanya soal menu, tapi tentang siapa yang menyusunnya. Dan niat di baliknya.“Tumben,” katanya singkat.Raydan menoleh. Ia nyaris terlihat canggung, tapi tetap menjaga gaya tenangnya yang biasa.“Mulai hari ini, aku pikir… aku mau mencoba menjadi suami. Yang beneran.”Nara duduk, mengamati piringnya. “Telurnya gosong.”Raydan tersenyum. “Cinta juga kadang gosong kalau dimasak buru-buru, kan?”Nara tak bisa menahan senyum. “Kamu baru aja nyontek
Nara tidak tidur malam itu. Setelah Raydan tertidur di sofa, tubuhnya masih setengah basah dan dilingkupi mimpi buruk yang tak bersuara, Nara berjalan pelan ke kamar kerja. Ia duduk di depan laptop dan mengetik satu nama yang sejak beberapa jam terakhir mengendap dalam pikirannya:Aluna Maheswari.Tak banyak hasil yang muncul di mesin pencarian. Tidak ada foto, tidak ada berita besar. Hanya satu tautan menuju blog lama yang tak lagi aktif. Judul terakhirnya bertanggal empat tahun lalu, dengan judul yang menyayat:“Untuk yang Tak Pernah Datang Kembali.”Nara mengeklik.Tulisan di sana adalah catatan kehilangan. Tentang seorang perempuan yang kehilangan bayinya. Tentang laki-laki yang tak bisa ia benci, karena ia terlalu ia cintai. Tentang harapan-harapan yang patah tapi tak pernah ia kutuk.Kalimat terakhirnya membekas tajam di benak Nara.“Jika dia masih hidup, mungkin hari ini dia memanggilmu Ayah. Tapi kamu memilih menjadi asing.”Nara menutup laptop. Udara di ruangan terasa lebih b
Gaun putih gading itu melekat sempurna di tubuh Nara, menjuntai anggun hingga lantai. Desainer pribadi keluarga Arsinaga yang memilihkan—katanya, supaya ia “seimbang” dengan Raydan di acara gala amal malam ini. Tapi Nara tahu, yang sesungguhnya diminta bukan hanya keindahan luar—melainkan pencitraan yang nyaris sempurna.Di depan cermin, ia menarik napas. Malam ini, bukan hanya tentang menghadiri acara. Ini tentang mempertahankan posisi, membungkam bisik-bisik yang kini mulai menggerogoti rumah tangganya.Raydan datang beberapa menit sebelum mereka berangkat. Mengenakan setelan gelap klasik, dasi perak, dan aura dingin yang biasa. Tapi saat melihat Nara, ia berhenti sebentar.“Kamu terlihat… luar biasa.”Nara tak menanggapi. “Kita akan main peran malam ini, kan? Ayo kita pastikan panggungnya megah.”Raydan menghela napas, lalu mengulurkan tangan. Mereka berjalan ke mobil dengan keheningan yang lebih tajam dari percakapan mana pun.—Gedung opera tempat gala berlangsung bagaikan istana
Nara berdiri di balkon kamarnya, menyandarkan kedua tangan di pagar besi yang mulai berembun karena sisa hujan subuh tadi. Di dalam pikirannya, kata-kata Raydan terus terulang—"Seseorang dari masa laluku yang belum selesai." Dan kini, masa lalu itu punya nama dan wajah: Nadine.Angin berembus pelan, membawa aroma mawar dari taman bawah. Tapi aroma itu tak mampu menenangkan kegundahan dalam dada Nara. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini dibangun dari kesepakatan, bukan cinta. Tapi setelah semua langkah mereka, setelah pelan-pelan mereka membuka ruang kejujuran dan rasa, kenapa bayangan perempuan lain harus muncul saat ia mulai percaya?Raydan masuk ke kamar, tak mengetuk seperti biasanya. Mungkin karena ia tahu tak ada lagi dinding formalitas di antara mereka—yang tersisa hanya diam yang menggantung, seperti benang tipis yang nyaris putus.“Nara…” katanya lirih, mendekat.Nara tak menoleh. “Apa maksudmu belum selesai?”Raydan mendesah, duduk di tepi ranjang. “Nadine… dia dulu tunan
Setelah semua kepergian, yang tersisa hanyalah keheningan. Tapi keheningan kali ini tidak menyakitkan—ia seperti jeda yang dibutuhkan setelah tangis panjang. Nara duduk di kamar, di kursi dekat jendela, menyaksikan hujan tipis menghapus sisa debu di kaca. Di belakangnya, Raydan berdiri tanpa suara, membawa secangkir teh hangat."Masih hangat," katanya, meletakkan cangkir di meja kecil. “Katanya, teh bisa menenangkan detak jantung yang terlalu sibuk berpikir.”Nara menoleh, memberi anggukan kecil. “Terima kasih.”Raydan tak langsung pergi. Ia duduk di karpet, bersandar pada ranjang, sementara hujan menyanyikan lagu tenangnya sendiri.“Dulu,” ujar Raydan tiba-tiba, “aku pikir pernikahan cuma soal kesepakatan dan tanggung jawab. Tapi hari-hari denganmu... ternyata bukan cuma soal itu.”Nara membiarkannya bicara. Ini pertama kalinya Raydan membuka ruang di antara mereka tanpa topeng atau formalitas.“Aku lihat cara kamu menghadapi keluargaku. Cara kamu menyimpan kesedihan tapi tetap berdi
Ruang tamu keluarga Wijaya pagi itu terasa seperti ruang sidang tak resmi. Para kerabat berkumpul—beberapa dengan tatapan tajam, sisanya menyembunyikan bisik-bisik di balik cangkir teh. Nara berdiri tegak di antara mereka, sementara Raydan duduk di sisi lain, diam seperti batu karang yang siap menahan gelombang.“Apa benar lelaki itu datang mencarimu semalam?” tanya Tante Lydia, nada suaranya setajam pisau dapur.Nara menahan napas. Semua mata tertuju padanya. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi tetap saja, ia tidak pernah siap menghadapi pertanyaan yang menggugat integritasnya sebagai seorang istri—meskipun pernikahan itu sendiri dibangun dari skenario yang tak sepenuhnya tulus.“Dia datang tanpa undangan. Dan dia bukan siapa-siapa lagi,” jawab Nara tegas.“Lucu,” sahut seorang sepupu Raydan. “Tapi bukankah dia mantan kekasihmu? Apa kamu pikir keluarga ini akan diam saja setelah melihatmu menangis semalam?”Nara menoleh pada Raydan. Sekilas, ia mencari sandaran—tanda bahwa dirinya tid