Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 2 - Surat Wasiat

Share

Bab 2 - Surat Wasiat

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-05-28 11:00:34

Dua minggu setelah pernikahan, Nara berdiri di depan kaca besar di ruang tamu rumah Reydan. Rambutnya masih basah, pipinya pucat. Ia terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan sesuatu. Atau sedang menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba.

Namun, Nara tahu persis apa yang ia tunggu: akhir.

“Kenapa kau menyetujuinya?” suara dalam benaknya kembali bertanya.

Ia memejamkan mata. Menarik napas perlahan. Lalu membuka lembaran ingatan yang mencoba ia kunci rapat-rapat sejak hari itu.

---

Pagi itu, udara Jakarta mengambang seperti biasa—lembap, malas, dan mengandung bau aspal basah dari hujan semalam. Tapi bagi Nara Ayuningtyas, semuanya terasa terlalu terang. Terlalu nyata. Terlalu sunyi, justru karena semuanya masih terus berjalan, padahal dunia miliknya seolah baru saja berhenti.

Sudah dua bulan sejak kepergian Ayah. Lelaki yang tak banyak bicara, tapi selalu tahu cara membuat rumah kecil mereka terasa cukup hangat di tengah dunia yang terus mengabarkan betapa mahalnya segalanya. Dan sejak hari itu, Nara tahu bahwa hidup tak memberi waktu untuk berduka terlalu lama.

Tagihan datang seperti arus sungai yang tak mengenal kata mundur. Satu per satu surat utang, pemberitahuan dari bank, ancaman penyitaan. Ibunya tak tahu, tentu. Nara menyimpan semuanya di laci kerjanya. Ia selalu tersenyum di meja makan, masih membuat teh hangat setiap pagi untuk sang ibu yang mulai sering lupa hari.

Sampai kemudian sebuah telepon datang. Dari kantor hukum Dirgantara & Partners.

“Saya diminta menyampaikan bahwa klien kami, Tuan Raydan Dirgantara, ingin bertemu Ibu Nara Ayuningtyas secara langsung. Ada hal penting berkaitan dengan surat wasiat mendiang Haji Wirya Dirgantara,” suara perempuan di seberang terdengar tenang dan terlatih.

Nara terdiam sesaat, merasa nama-nama itu lebih cocok muncul di kolom bisnis sebuah majalah ekonomi, bukan dalam percakapan teleponnya yang biasa diwarnai permintaan revisi artikel atau pengiriman invoice.

“Saya tidak mengenal siapa pun dari keluarga Dirgantara,” ucap Nara.

“Saya paham. Tapi ini permintaan langsung dari pewaris utama. Hanya Anda yang disebut dalam klausul khusus surat wasiat.”

Ruang pertemuan kantor hukum itu terlalu mewah untuk disebut ruangan. Dinding kaca tinggi memperlihatkan pemandangan kota dari lantai tiga puluh. Karpetnya tebal, seperti menolak sepatu-sepatu yang terlalu sederhana untuk menginjaknya. Di ujung ruangan, seorang pria berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela.

“Terima kasih sudah datang,” katanya, tanpa menoleh. Suaranya dalam dan jernih, tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak bersahabat.

Nara diam sejenak, lalu duduk di kursi yang disiapkan. “Saya datang karena penasaran. Bukan karena saya punya banyak waktu luang.”

Lelaki itu berbalik. Tubuhnya tinggi, postur tegak seperti orang yang sudah terbiasa memimpin ruangan. Wajahnya tenang, hampir datar, seperti ukiran dalam batu. Tidak ada kesombongan. Tapi juga tidak ada keramahan.

“Ayah saya, Haji Wirya Dirgantara, mewariskan seluruh saham utama PT Dirgantara Lestari kepada saya. Tapi ada satu syarat.”

Nara menunggu.

“Saya harus menikah. Dalam waktu tiga bulan setelah surat wasiat dibacakan. Dan menikah bukan dengan siapa saja, tapi dengan nama yang disebutkan secara eksplisit.”

Jeda.

“Nara Ayuningtyas.”

Nara tertawa kecil, pendek, tidak menyembunyikan sinisme.

“Maaf. Ini lucu. Apakah saya sedang berada dalam sinetron sore yang salah?”

Raydan menggeser sebuah map biru ke arahnya. “Anda bisa membaca langsung. Saya tidak punya alasan untuk bercanda.”

Nara menatap nama ayahnya di halaman depan surat itu. Segel notaris resmi. Semua tampak sah. Terlalu sah untuk sesuatu yang tampak tidak masuk akal.

“Ayah saya kenal dengan ayah Anda?” tanyanya pelan.

“Saya sendiri tidak tahu. Tapi berdasarkan catatan, mereka pernah terlibat dalam proyek perumahan kecil dua puluh tahun lalu. Nama ayah Anda tercantum sebagai konsultan anggaran. Mungkin ada cerita yang tidak saya tahu.”

Nara meremas jemarinya di bawah meja. Ini terlalu asing, terlalu cepat, dan terlalu absurd untuk ditelan tanpa rasa getir.

“Dan Anda ingin menikah dengan saya... hanya karena surat ini?”

Raydan mengangguk. “Bukan menikah dalam pengertian konvensional. Tapi dalam pengertian legal. Kita menandatangani perjanjian pernikahan kontrak. Dua tahun. Setelah itu, kita bercerai. Anda bebas. Saya mendapatkan hak penuh atas perusahaan. Anda mendapatkan kompensasi.”

“Berapa?”

“Satu miliar rupiah, lunas di awal. Ditambah pembayaran bulanan selama dua tahun.”

Nara tak langsung menjawab. Ia menghabiskan sisa waktu pertemuan dengan membaca dokumen itu perlahan. Matanya menelusuri setiap pasal, bahkan yang terasa absurd sekalipun. Ia tidak ingin terlihat terkejut, meski hatinya berdebar seperti ingin meledak.

Bagian dari dirinya ingin melempar map itu ke lantai dan keluar. Tapi bagian lain mengingat wajah ibunya yang kini hanya hidup dari pensiun almarhum suami dan tabungan yang menipis. Rumah mereka di Rawamangun sudah disita bank, hanya belum dieksekusi. Dan ia sendiri belum bisa membayar uang sewa kos bulan depan.

Ia menutup map itu perlahan.

“Berikan saya waktu tiga hari.”

Raydan mengangguk.

Malam itu, Nara duduk di meja makan sendirian. Ibunya sudah tertidur. Ia membuka laptop dan mengetik nama Raydan Dirgantara. Hasil pencarian membanjir: pewaris perusahaan properti terbesar ketiga di Indonesia, lulusan luar negeri, single, tidak banyak tersorot media. Sosok yang lebih sering muncul di majalah bisnis ketimbang akun gosip selebritas.

“Kenapa aku?” gumamnya pelan.

Tapi hidup, katanya pada dirinya sendiri, bukan soal siapa yang pantas. Melainkan siapa yang bisa bertahan cukup lama untuk membuat pilihan—bahkan jika pilihan itu sama sekali tidak masuk akal.

Nara menatap berkas di meja. Di situlah namanya tercetak rapi, berjejer di samping nama seorang pria yang bahkan belum ia kenal dua jam lalu.

Dalam hidup, kadang yang kau butuhkan bukan cinta di awal.

Tapi keberanian untuk memerankan sesuatu yang tak pernah kau bayangkan akan menjadi milikmu—meski hanya sementara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 133 – Di Hadapan yang Telah Pergi, Aku Akhirnya Pulang

    Pagi itu mendung menggantung seperti awan-awan tua yang enggan bergerak.Nara menyetir sendiri, tanpa Raydan, tanpa Alana.Hanya satu tujuan: makam ayah.Buku memoarnya ia bawa, dibungkus kain flanel abu-abu.Di dalamnya terselip surat kecil yang belum pernah ia buka—tulisan tangan ayahnya yang ditemukan ibunya di kotak berkas lama.Nara belum pernah ke sana sejak pemakaman.Bukan karena tak peduli, tapi karena belum siap menatap nisan dan mengakui:> “Aku menyalahkanmu terlalu lama.”---Makam itu terletak di bawah pohon kamboja.Tanahnya sudah mulai rata.Batu nisannya sederhana—nama, tanggal, dan doa yang singkat.Nara duduk bersila, meletakkan bukunya pelan.> “Ayah… aku menulis buku.”“Tentang hidup yang ayah tinggalkan. Tentang aku yang belajar bertahan.Tentang cinta yang datang dengan cara yang… aneh.”“Dan aku benci mengakuinya, tapi banyak hal yang kuhadapi ternyata tak jauh berbeda dengan yang ayah alami.”Ia membuka halaman terakhir, dan mulai membacanya pelan.Suaranya pe

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 132 – Sorot Lampu dan Bayangan yang Tetap Tinggal

    Malam premiere berlangsung mewah.Karpet merah.Kilatan kamera.Wartawan berbaris.Para pemain tampil glamor dalam balutan busana rancangan desainer.Poster besar terpampang di pintu bioskop utama, dengan judul yang sama: Pulang Tidak Selalu ke Rumah.Nara berdiri di tengah keramaian itu.Wajahnya tersenyum. Tubuhnya diam.Tapi batinnya bergema: hening, nyaring, sepi, padat.> “Semua ini… terasa asing,” bisiknya pelan.Raydan di sisinya, mengenakan setelan sederhana, menoleh.“Karena ini bukan tentang kita lagi.Ini tentang kisah kita… yang kini dimiliki orang banyak.”Dan memang, saat film diputar dan layar lebar menyala,Nara tidak benar-benar menonton.Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi penonton:mereka tertawa saat adegan manis.Menangis saat adegan pertengkaran.Hening saat adegan Raydan versi layar memeluk Nara versi layar setelah pulang dari Eropa.Tapi tak satu pun dari mereka tahu:betapa nyata rasa takut yang menyelimuti setiap malam Nara selama di benua lain,betapa cang

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 131 – Kata yang Akhirnya Pulang

    Peluncuran buku “Pulang Tidak Selalu ke Rumah” diadakan di sebuah galeri kecil di jantung Jakarta.Dekorasi sederhana. Cahaya hangat.Barisan kursi penuh wajah-wajah penasaran—beberapa pembaca setia blog Nara,beberapa teman komunitas, dan…di baris depan, duduk seseorang yang tak pernah absen dalam proses penulisan: Raydan.Dan di sampingnya, mengenakan dress kuning muda yang dipilihnya sendiri, Alana menggenggam buket kecil.---Nara membuka acara dengan senyum gugup.> “Saat pertama menulis memoar ini, aku tidak tahu apa yang ingin kuceritakan.”“Apakah tentang pernikahan yang tak direncanakan?”“Atau tentang peran yang dipaksa dimainkan sebelum benar-benar siap?”> “Tapi saat menulis bab terakhir, aku sadar…”“Ini bukan buku tentang kegagalan yang dibungkus manis.”“Ini buku tentang kejujuran yang akhirnya berani bicara.”Ia lalu membuka lembar terakhir,yang selama ini hanya ia baca sendiri—hingga malam sebelum acara ini.> “Bab 23 – Orang yang Membuatku Percaya Lagi”> “Namanya

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 130 – Panggung yang Tak Pernah Mereka Minta

    Undangan itu datang lewat email dari universitas ternama.Acara seminar bertajuk “Pernikahan dan Pemulihan: Membangun Kembali Setelah Retak.”Mereka tak pernah mencari sorotan.Tapi kisah mereka—yang tersiar pelan dari mulut ke mulut melalui Rumah Pulang, melalui komunitas kecil, hingga media lokal—membuat nama Nara dan Raydan disebut-sebut sebagai pasangan yang layak bicara.Nara sempat ragu.Bukan karena ia malu, tapi karena ia tahu: bicara tentang masa lalu berarti membuka luka—yang bahkan belum sepenuhnya sembuh.> “Apa kita siap?” tanya Nara.Raydan menatapnya.“Kalau kita tunggu sampai benar-benar siap… mungkin kita enggak akan pernah datang.”---Di atas panggung, dengan mikrofon kecil di dada dan sorotan lampu putih,Nara membuka sesi itu bukan dengan teori. Tapi dengan kejujuran.> “Kami tidak menikah karena cinta.Kami menikah karena situasi. Karena syarat warisan. Karena rasa bersalah.Dan… kami tidak langsung jatuh cinta setelah itu.”> “Fase pertama kami adalah saling men

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 129 – Pohon dari Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Nara mulai menyadari sesuatu berubah di belakang rumah.Bukan secara tiba-tiba. Tapi perlahan, seperti musim yang bergeser diam-diam.Ada deru cangkul. Ada bau tanah basah.Dan ada Raydan—yang setiap pagi, setelah subuh, menyibukkan diri di taman kecil mereka.Nara sempat mengira itu bagian dari hobi barunya.Tapi ternyata lebih dalam dari itu.---Suatu siang, saat ia hendak menjemur cucian, Nara melihat sesuatu yang aneh.Di sudut taman, tersembunyi di balik semak lili paris, ada papan kayu kecil bertuliskan:> “Dari surat yang tak pernah sampai.”Penasaran, ia menyibak daun-daun yang menghalangi, dan menemukan sebuah kotak kayu kecil yang dilapisi pelapis tahan air.Di dalamnya, ada gulungan-gulungan kertas tua.Beberapa sudah lusuh, beberapa masih rapi.Saat dibuka, Nara tercekat.Itu surat.Tulisan tangan.Tulisan tangannya sendiri.---Surat-surat itu adalah draf lama yang ia tulis saat masa awal pernikahan—saat ia tak tahu harus berbicara pada siapa,saat luka terlalu malu unt

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 128 – Di Persimpangan Ambisi dan Akar

    Undangan itu datang dalam map hitam mengilap. Nama pengirimnya cukup untuk membuat siapa pun terpaku: > PT GRAHA UTAMA PRIMA – Holding Nasional Properti & Investasi Isinya singkat dan tegas: Raydan Dirgantara diundang untuk menjabat sebagai Komisaris Utama, menggantikan salah satu tokoh senior yang pensiun dini. “Ini level nasional, Ray. Gedung-gedung yang kamu lewati di Jakarta… semua ada dalam portofolio mereka.” Begitu kata rekan bisnisnya saat mereka bertemu. Raydan tidak menjawab cepat. Ia menatap map itu lama. Terlalu lama, sampai bahkan kopi yang dibawakan Nara dingin tak tersentuh. --- Di rumah, saat malam menurun perlahan, Nara bertanya lembut: > “Kamu ingin terima?” Raydan mengangkat bahu. > “Dulu aku pikir iya. Tapi sekarang… aku nggak tahu. Rumah Pulang baru jalan satu kaki. Kalau aku terima, aku harus pindah ke pusat. Harus hidup dengan dunia yang aku tinggalkan lima tahun lalu.” Nara diam. Ia tahu tawaran ini bukan sekadar jabatan. Ini adalah pintu masa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status