แชร์

Bab 3 - Tanda Tangan

ผู้เขียน: Ayla
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-28 11:00:38

Tiga hari bukan waktu yang panjang. Tapi cukup untuk membuat hidup yang tenang berubah menjadi serangkaian keputusan yang memaksa seseorang bertanya: “Apakah ini jalan keluar, atau justru awal dari jerat baru?”

Nara menghabiskan dua malam dengan berjaga di samping ibunya yang demam karena flu ringan. Dalam kesunyian, ia duduk di lantai kamar sambil menatap berkas-berkas yang ia bawa pulang dari kantor hukum. Kadang ia membaca, kadang hanya diam dan memikirkan ayahnya.

“Mengapa Ayah tidak pernah bercerita tentang ini?” gumamnya lirih.

Kenangan tentang lelaki itu datang bagai fragmen film bisu—tertawa kecil di dapur, tangan yang kuat menggenggam setir motor tua, dan caranya mengelus rambut Nara setiap kali ia mengeluh soal hidup yang terasa tidak adil.

Dan sekarang, dari laki-laki yang sudah tiada itu, muncul keputusan yang bisa mengubah segalanya. Sebuah warisan, bukan berupa uang, tapi sebuah ikatan yang tampaknya terlalu rumit untuk dipahami.

Hari ketiga, pukul sepuluh pagi, Nara kembali ke kantor hukum Dirgantara & Partners. Ia mengenakan blus biru muda dan celana panjang kain abu-abu. Sederhana, tapi cukup formal. Rambutnya dikuncir rendah. Tidak ada riasan berlebihan. Tapi sorot matanya lebih mantap dari sebelumnya.

Raydan sudah menunggu di ruang yang sama. Kali ini ia duduk, membuka laptop di depannya. Ketika Nara masuk, ia menutupnya dan berdiri sebentar.

“Anda datang,” ucapnya, lebih sebagai pernyataan daripada sambutan.

Nara mengangguk. “Saya sudah membaca semuanya. Tidak ada yang terlewat.”

“Saya pastikan Anda bisa membatalkan kapan pun. Bahkan di minggu pertama sekalipun. Tapi begitu surat nikah keluar, kontrak berjalan dua tahun. Tidak boleh ada pelanggaran dari kedua belah pihak.”

“Termasuk tidak boleh jatuh cinta?” Nara melontarkan kalimat itu seperti ujian kecil.

Raydan menatapnya. Tidak terkejut, tapi juga tidak tertawa.

“Kita bukan tokoh dalam film romantis,” jawabnya datar. “Kita hanya dua orang dewasa yang saling setuju untuk menjalankan peran.”

Nara diam. Kata “peran” itu menggema dalam pikirannya. Begitu mirip dengan dunia teater, hanya saja panggungnya adalah kehidupan nyata—dan tidak ada penonton yang bisa ia curi simpatinya.

Prosesi tanda tangan berlangsung dengan kesaksian dari dua notaris. Hitam di atas putih. Tiga lembar dokumen hukum. Dua pasang tanda tangan.

Setelah selesai, Raydan membuka tas kerjanya dan menyerahkan sebuah amplop coklat tebal pada Nara.

“Ini sesuai perjanjian. Anda bebas menggunakannya untuk apa pun.”

Nara menerima amplop itu tanpa membukanya. Ia tidak ingin terlihat rakus. Tapi jari-jarinya sedikit bergetar.

“Setelah ini, kita harus mulai menyiapkan pernikahan,” ucap Raydan sambil kembali duduk.

“Maaf?” alis Nara terangkat.

“Kita harus membuatnya terlihat nyata. Setidaknya cukup meyakinkan untuk publik dan media. Ada beberapa pihak yang akan mengamati, terutama dari internal perusahaan.”

Nara mengangguk pelan. “Berarti kita harus pura-pura saling mencintai.”

“Tidak harus mencintai,” sahut Raydan. “Cukup terlihat saling memilih.”

Dua hari kemudian, Nara resmi menjadi tunangan Raydan Dirgantara.

Foto pertunangan diunggah oleh akun resmi perusahaan Raydan, menampilkan senyuman manis Nara yang—dalam hati—ia tahu bukan miliknya sendiri. Ia tersenyum karena harus. Karena sorotan kamera. Karena itu bagian dari naskah yang disodorkan padanya tanpa audisi.

Di dalam hatinya, ada rasa asing yang menggeliat. Bukan ketakutan. Lebih seperti keraguan yang lembut, menyusup lewat celah antara logika dan emosi.

Setelah acara kecil itu selesai, Raydan menghampirinya sambil membawa sebotol air mineral.

“Maaf, harus seperti ini. Kita akan bertemu lebih sering mulai sekarang,” katanya sambil menyerahkan botol itu.

“Sudah siap menjadi pasangan publik?” tambahnya, setengah bercanda, untuk pertama kalinya.

Nara mengambil botol itu. “Saya akan belajar. Sama seperti saya belajar untuk tidak berharap lebih dari apa yang dituliskan di atas kertas.”

Raydan menatapnya lebih lama dari biasanya. Seolah mencoba mencari tahu isi pikiran di balik mata Nara yang jernih tapi menyimpan kabut tipis. Namun ia tidak berkata apa-apa.

Malam itu, Nara kembali ke kos dan duduk di tepi ranjang. Ia membuka amplop dari Raydan. Uang. Cukup banyak untuk melunasi tunggakan rumah. Bahkan cukup untuk membawa ibunya berobat ke rumah sakit swasta jika perlu.

Tapi yang lebih mengusik adalah secarik catatan kecil di dalamnya.

"Jangan merasa terikat. Tapi juga jangan bermain api. Dua hal itu cukup untuk menjaga kita tetap waras."

Tulisan tangan Raydan. Tegas. Miring sedikit ke kiri. Penuh kontrol.

Nara menyimpan catatan itu di dalam laci meja. Bukan karena isinya penting, tapi karena tulisan tangan itu mengingatkannya bahwa di balik peran, selalu ada manusia. Dan mungkin, itu yang paling sulit: memisahkan perasaan dari peran ketika keduanya mulai bercampur seperti cat air yang tumpah.

---

Nara membuka mata sesaat setelah mengingat kembali kejadian sebelum Ia menjadi Nyonya Raydan. Dan kini, di rumah megah itu, Nara tahu perannya sudah dimulai. Ia harus tersenyum di depan kamera saat menghadiri gala amal. Harus tampak saling mencintai di depan wartawan lifestyle yang memburu potret kemesraan.

Padahal mereka tidur di kamar berbeda. Makan dalam diam. Hidup di bawah satu atap yang dibangun dari kontrak, bukan rasa.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 133 – Di Hadapan yang Telah Pergi, Aku Akhirnya Pulang

    Pagi itu mendung menggantung seperti awan-awan tua yang enggan bergerak.Nara menyetir sendiri, tanpa Raydan, tanpa Alana.Hanya satu tujuan: makam ayah.Buku memoarnya ia bawa, dibungkus kain flanel abu-abu.Di dalamnya terselip surat kecil yang belum pernah ia buka—tulisan tangan ayahnya yang ditemukan ibunya di kotak berkas lama.Nara belum pernah ke sana sejak pemakaman.Bukan karena tak peduli, tapi karena belum siap menatap nisan dan mengakui:> “Aku menyalahkanmu terlalu lama.”---Makam itu terletak di bawah pohon kamboja.Tanahnya sudah mulai rata.Batu nisannya sederhana—nama, tanggal, dan doa yang singkat.Nara duduk bersila, meletakkan bukunya pelan.> “Ayah… aku menulis buku.”“Tentang hidup yang ayah tinggalkan. Tentang aku yang belajar bertahan.Tentang cinta yang datang dengan cara yang… aneh.”“Dan aku benci mengakuinya, tapi banyak hal yang kuhadapi ternyata tak jauh berbeda dengan yang ayah alami.”Ia membuka halaman terakhir, dan mulai membacanya pelan.Suaranya pe

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 132 – Sorot Lampu dan Bayangan yang Tetap Tinggal

    Malam premiere berlangsung mewah.Karpet merah.Kilatan kamera.Wartawan berbaris.Para pemain tampil glamor dalam balutan busana rancangan desainer.Poster besar terpampang di pintu bioskop utama, dengan judul yang sama: Pulang Tidak Selalu ke Rumah.Nara berdiri di tengah keramaian itu.Wajahnya tersenyum. Tubuhnya diam.Tapi batinnya bergema: hening, nyaring, sepi, padat.> “Semua ini… terasa asing,” bisiknya pelan.Raydan di sisinya, mengenakan setelan sederhana, menoleh.“Karena ini bukan tentang kita lagi.Ini tentang kisah kita… yang kini dimiliki orang banyak.”Dan memang, saat film diputar dan layar lebar menyala,Nara tidak benar-benar menonton.Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi penonton:mereka tertawa saat adegan manis.Menangis saat adegan pertengkaran.Hening saat adegan Raydan versi layar memeluk Nara versi layar setelah pulang dari Eropa.Tapi tak satu pun dari mereka tahu:betapa nyata rasa takut yang menyelimuti setiap malam Nara selama di benua lain,betapa cang

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 131 – Kata yang Akhirnya Pulang

    Peluncuran buku “Pulang Tidak Selalu ke Rumah” diadakan di sebuah galeri kecil di jantung Jakarta.Dekorasi sederhana. Cahaya hangat.Barisan kursi penuh wajah-wajah penasaran—beberapa pembaca setia blog Nara,beberapa teman komunitas, dan…di baris depan, duduk seseorang yang tak pernah absen dalam proses penulisan: Raydan.Dan di sampingnya, mengenakan dress kuning muda yang dipilihnya sendiri, Alana menggenggam buket kecil.---Nara membuka acara dengan senyum gugup.> “Saat pertama menulis memoar ini, aku tidak tahu apa yang ingin kuceritakan.”“Apakah tentang pernikahan yang tak direncanakan?”“Atau tentang peran yang dipaksa dimainkan sebelum benar-benar siap?”> “Tapi saat menulis bab terakhir, aku sadar…”“Ini bukan buku tentang kegagalan yang dibungkus manis.”“Ini buku tentang kejujuran yang akhirnya berani bicara.”Ia lalu membuka lembar terakhir,yang selama ini hanya ia baca sendiri—hingga malam sebelum acara ini.> “Bab 23 – Orang yang Membuatku Percaya Lagi”> “Namanya

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 130 – Panggung yang Tak Pernah Mereka Minta

    Undangan itu datang lewat email dari universitas ternama.Acara seminar bertajuk “Pernikahan dan Pemulihan: Membangun Kembali Setelah Retak.”Mereka tak pernah mencari sorotan.Tapi kisah mereka—yang tersiar pelan dari mulut ke mulut melalui Rumah Pulang, melalui komunitas kecil, hingga media lokal—membuat nama Nara dan Raydan disebut-sebut sebagai pasangan yang layak bicara.Nara sempat ragu.Bukan karena ia malu, tapi karena ia tahu: bicara tentang masa lalu berarti membuka luka—yang bahkan belum sepenuhnya sembuh.> “Apa kita siap?” tanya Nara.Raydan menatapnya.“Kalau kita tunggu sampai benar-benar siap… mungkin kita enggak akan pernah datang.”---Di atas panggung, dengan mikrofon kecil di dada dan sorotan lampu putih,Nara membuka sesi itu bukan dengan teori. Tapi dengan kejujuran.> “Kami tidak menikah karena cinta.Kami menikah karena situasi. Karena syarat warisan. Karena rasa bersalah.Dan… kami tidak langsung jatuh cinta setelah itu.”> “Fase pertama kami adalah saling men

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 129 – Pohon dari Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Nara mulai menyadari sesuatu berubah di belakang rumah.Bukan secara tiba-tiba. Tapi perlahan, seperti musim yang bergeser diam-diam.Ada deru cangkul. Ada bau tanah basah.Dan ada Raydan—yang setiap pagi, setelah subuh, menyibukkan diri di taman kecil mereka.Nara sempat mengira itu bagian dari hobi barunya.Tapi ternyata lebih dalam dari itu.---Suatu siang, saat ia hendak menjemur cucian, Nara melihat sesuatu yang aneh.Di sudut taman, tersembunyi di balik semak lili paris, ada papan kayu kecil bertuliskan:> “Dari surat yang tak pernah sampai.”Penasaran, ia menyibak daun-daun yang menghalangi, dan menemukan sebuah kotak kayu kecil yang dilapisi pelapis tahan air.Di dalamnya, ada gulungan-gulungan kertas tua.Beberapa sudah lusuh, beberapa masih rapi.Saat dibuka, Nara tercekat.Itu surat.Tulisan tangan.Tulisan tangannya sendiri.---Surat-surat itu adalah draf lama yang ia tulis saat masa awal pernikahan—saat ia tak tahu harus berbicara pada siapa,saat luka terlalu malu unt

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 128 – Di Persimpangan Ambisi dan Akar

    Undangan itu datang dalam map hitam mengilap. Nama pengirimnya cukup untuk membuat siapa pun terpaku: > PT GRAHA UTAMA PRIMA – Holding Nasional Properti & Investasi Isinya singkat dan tegas: Raydan Dirgantara diundang untuk menjabat sebagai Komisaris Utama, menggantikan salah satu tokoh senior yang pensiun dini. “Ini level nasional, Ray. Gedung-gedung yang kamu lewati di Jakarta… semua ada dalam portofolio mereka.” Begitu kata rekan bisnisnya saat mereka bertemu. Raydan tidak menjawab cepat. Ia menatap map itu lama. Terlalu lama, sampai bahkan kopi yang dibawakan Nara dingin tak tersentuh. --- Di rumah, saat malam menurun perlahan, Nara bertanya lembut: > “Kamu ingin terima?” Raydan mengangkat bahu. > “Dulu aku pikir iya. Tapi sekarang… aku nggak tahu. Rumah Pulang baru jalan satu kaki. Kalau aku terima, aku harus pindah ke pusat. Harus hidup dengan dunia yang aku tinggalkan lima tahun lalu.” Nara diam. Ia tahu tawaran ini bukan sekadar jabatan. Ini adalah pintu masa

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status