Tiga hari bukan waktu yang panjang. Tapi cukup untuk membuat hidup yang tenang berubah menjadi serangkaian keputusan yang memaksa seseorang bertanya: “Apakah ini jalan keluar, atau justru awal dari jerat baru?”
Nara menghabiskan dua malam dengan berjaga di samping ibunya yang demam karena flu ringan. Dalam kesunyian, ia duduk di lantai kamar sambil menatap berkas-berkas yang ia bawa pulang dari kantor hukum. Kadang ia membaca, kadang hanya diam dan memikirkan ayahnya.
“Mengapa Ayah tidak pernah bercerita tentang ini?” gumamnya lirih.
Kenangan tentang lelaki itu datang bagai fragmen film bisu—tertawa kecil di dapur, tangan yang kuat menggenggam setir motor tua, dan caranya mengelus rambut Nara setiap kali ia mengeluh soal hidup yang terasa tidak adil.
Dan sekarang, dari laki-laki yang sudah tiada itu, muncul keputusan yang bisa mengubah segalanya. Sebuah warisan, bukan berupa uang, tapi sebuah ikatan yang tampaknya terlalu rumit untuk dipahami.
Hari ketiga, pukul sepuluh pagi, Nara kembali ke kantor hukum Dirgantara & Partners. Ia mengenakan blus biru muda dan celana panjang kain abu-abu. Sederhana, tapi cukup formal. Rambutnya dikuncir rendah. Tidak ada riasan berlebihan. Tapi sorot matanya lebih mantap dari sebelumnya.
Raydan sudah menunggu di ruang yang sama. Kali ini ia duduk, membuka laptop di depannya. Ketika Nara masuk, ia menutupnya dan berdiri sebentar.
“Anda datang,” ucapnya, lebih sebagai pernyataan daripada sambutan.
Nara mengangguk. “Saya sudah membaca semuanya. Tidak ada yang terlewat.”
“Saya pastikan Anda bisa membatalkan kapan pun. Bahkan di minggu pertama sekalipun. Tapi begitu surat nikah keluar, kontrak berjalan dua tahun. Tidak boleh ada pelanggaran dari kedua belah pihak.”
“Termasuk tidak boleh jatuh cinta?” Nara melontarkan kalimat itu seperti ujian kecil.
Raydan menatapnya. Tidak terkejut, tapi juga tidak tertawa.
“Kita bukan tokoh dalam film romantis,” jawabnya datar. “Kita hanya dua orang dewasa yang saling setuju untuk menjalankan peran.”
Nara diam. Kata “peran” itu menggema dalam pikirannya. Begitu mirip dengan dunia teater, hanya saja panggungnya adalah kehidupan nyata—dan tidak ada penonton yang bisa ia curi simpatinya.
Prosesi tanda tangan berlangsung dengan kesaksian dari dua notaris. Hitam di atas putih. Tiga lembar dokumen hukum. Dua pasang tanda tangan.
Setelah selesai, Raydan membuka tas kerjanya dan menyerahkan sebuah amplop coklat tebal pada Nara.
“Ini sesuai perjanjian. Anda bebas menggunakannya untuk apa pun.”
Nara menerima amplop itu tanpa membukanya. Ia tidak ingin terlihat rakus. Tapi jari-jarinya sedikit bergetar.
“Setelah ini, kita harus mulai menyiapkan pernikahan,” ucap Raydan sambil kembali duduk.
“Maaf?” alis Nara terangkat.
“Kita harus membuatnya terlihat nyata. Setidaknya cukup meyakinkan untuk publik dan media. Ada beberapa pihak yang akan mengamati, terutama dari internal perusahaan.”
Nara mengangguk pelan. “Berarti kita harus pura-pura saling mencintai.”
“Tidak harus mencintai,” sahut Raydan. “Cukup terlihat saling memilih.”
Dua hari kemudian, Nara resmi menjadi tunangan Raydan Dirgantara.
Foto pertunangan diunggah oleh akun resmi perusahaan Raydan, menampilkan senyuman manis Nara yang—dalam hati—ia tahu bukan miliknya sendiri. Ia tersenyum karena harus. Karena sorotan kamera. Karena itu bagian dari naskah yang disodorkan padanya tanpa audisi.
Di dalam hatinya, ada rasa asing yang menggeliat. Bukan ketakutan. Lebih seperti keraguan yang lembut, menyusup lewat celah antara logika dan emosi.
Setelah acara kecil itu selesai, Raydan menghampirinya sambil membawa sebotol air mineral.
“Maaf, harus seperti ini. Kita akan bertemu lebih sering mulai sekarang,” katanya sambil menyerahkan botol itu.
“Sudah siap menjadi pasangan publik?” tambahnya, setengah bercanda, untuk pertama kalinya.
Nara mengambil botol itu. “Saya akan belajar. Sama seperti saya belajar untuk tidak berharap lebih dari apa yang dituliskan di atas kertas.”
Raydan menatapnya lebih lama dari biasanya. Seolah mencoba mencari tahu isi pikiran di balik mata Nara yang jernih tapi menyimpan kabut tipis. Namun ia tidak berkata apa-apa.
Malam itu, Nara kembali ke kos dan duduk di tepi ranjang. Ia membuka amplop dari Raydan. Uang. Cukup banyak untuk melunasi tunggakan rumah. Bahkan cukup untuk membawa ibunya berobat ke rumah sakit swasta jika perlu.
Tapi yang lebih mengusik adalah secarik catatan kecil di dalamnya.
"Jangan merasa terikat. Tapi juga jangan bermain api. Dua hal itu cukup untuk menjaga kita tetap waras."
Tulisan tangan Raydan. Tegas. Miring sedikit ke kiri. Penuh kontrol.
Nara menyimpan catatan itu di dalam laci meja. Bukan karena isinya penting, tapi karena tulisan tangan itu mengingatkannya bahwa di balik peran, selalu ada manusia. Dan mungkin, itu yang paling sulit: memisahkan perasaan dari peran ketika keduanya mulai bercampur seperti cat air yang tumpah.
---
Nara membuka mata sesaat setelah mengingat kembali kejadian sebelum Ia menjadi Nyonya Raydan. Dan kini, di rumah megah itu, Nara tahu perannya sudah dimulai. Ia harus tersenyum di depan kamera saat menghadiri gala amal. Harus tampak saling mencintai di depan wartawan lifestyle yang memburu potret kemesraan.
Padahal mereka tidur di kamar berbeda. Makan dalam diam. Hidup di bawah satu atap yang dibangun dari kontrak, bukan rasa.
Raydan bangun lebih pagi dari biasanya. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia tidak bergegas membuka laptop, tidak langsung membaca laporan, tidak mencari jadwal meeting yang harus dikejar.Yang ia lakukan: memasak sarapan.Nasi goreng sederhana. Telur mata sapi yang agak gosong di pinggir. Dan teh manis panas yang diseduh terlalu manis karena ia tidak yakin berapa sendok seharusnya.Saat Nara muncul dari balik pintu kamar, rambutnya masih setengah basah, mata masih mengantuk, ia menemukan meja makan yang berbeda dari biasanya. Bukan hanya soal menu, tapi tentang siapa yang menyusunnya. Dan niat di baliknya.“Tumben,” katanya singkat.Raydan menoleh. Ia nyaris terlihat canggung, tapi tetap menjaga gaya tenangnya yang biasa.“Mulai hari ini, aku pikir… aku mau mencoba menjadi suami. Yang beneran.”Nara duduk, mengamati piringnya. “Telurnya gosong.”Raydan tersenyum. “Cinta juga kadang gosong kalau dimasak buru-buru, kan?”Nara tak bisa menahan senyum. “Kamu baru aja nyontek
Nara tidak tidur malam itu. Setelah Raydan tertidur di sofa, tubuhnya masih setengah basah dan dilingkupi mimpi buruk yang tak bersuara, Nara berjalan pelan ke kamar kerja. Ia duduk di depan laptop dan mengetik satu nama yang sejak beberapa jam terakhir mengendap dalam pikirannya:Aluna Maheswari.Tak banyak hasil yang muncul di mesin pencarian. Tidak ada foto, tidak ada berita besar. Hanya satu tautan menuju blog lama yang tak lagi aktif. Judul terakhirnya bertanggal empat tahun lalu, dengan judul yang menyayat:“Untuk yang Tak Pernah Datang Kembali.”Nara mengeklik.Tulisan di sana adalah catatan kehilangan. Tentang seorang perempuan yang kehilangan bayinya. Tentang laki-laki yang tak bisa ia benci, karena ia terlalu ia cintai. Tentang harapan-harapan yang patah tapi tak pernah ia kutuk.Kalimat terakhirnya membekas tajam di benak Nara.“Jika dia masih hidup, mungkin hari ini dia memanggilmu Ayah. Tapi kamu memilih menjadi asing.”Nara menutup laptop. Udara di ruangan terasa lebih b
Gaun putih gading itu melekat sempurna di tubuh Nara, menjuntai anggun hingga lantai. Desainer pribadi keluarga Arsinaga yang memilihkan—katanya, supaya ia “seimbang” dengan Raydan di acara gala amal malam ini. Tapi Nara tahu, yang sesungguhnya diminta bukan hanya keindahan luar—melainkan pencitraan yang nyaris sempurna.Di depan cermin, ia menarik napas. Malam ini, bukan hanya tentang menghadiri acara. Ini tentang mempertahankan posisi, membungkam bisik-bisik yang kini mulai menggerogoti rumah tangganya.Raydan datang beberapa menit sebelum mereka berangkat. Mengenakan setelan gelap klasik, dasi perak, dan aura dingin yang biasa. Tapi saat melihat Nara, ia berhenti sebentar.“Kamu terlihat… luar biasa.”Nara tak menanggapi. “Kita akan main peran malam ini, kan? Ayo kita pastikan panggungnya megah.”Raydan menghela napas, lalu mengulurkan tangan. Mereka berjalan ke mobil dengan keheningan yang lebih tajam dari percakapan mana pun.—Gedung opera tempat gala berlangsung bagaikan istana
Nara berdiri di balkon kamarnya, menyandarkan kedua tangan di pagar besi yang mulai berembun karena sisa hujan subuh tadi. Di dalam pikirannya, kata-kata Raydan terus terulang—"Seseorang dari masa laluku yang belum selesai." Dan kini, masa lalu itu punya nama dan wajah: Nadine.Angin berembus pelan, membawa aroma mawar dari taman bawah. Tapi aroma itu tak mampu menenangkan kegundahan dalam dada Nara. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini dibangun dari kesepakatan, bukan cinta. Tapi setelah semua langkah mereka, setelah pelan-pelan mereka membuka ruang kejujuran dan rasa, kenapa bayangan perempuan lain harus muncul saat ia mulai percaya?Raydan masuk ke kamar, tak mengetuk seperti biasanya. Mungkin karena ia tahu tak ada lagi dinding formalitas di antara mereka—yang tersisa hanya diam yang menggantung, seperti benang tipis yang nyaris putus.“Nara…” katanya lirih, mendekat.Nara tak menoleh. “Apa maksudmu belum selesai?”Raydan mendesah, duduk di tepi ranjang. “Nadine… dia dulu tunan
Setelah semua kepergian, yang tersisa hanyalah keheningan. Tapi keheningan kali ini tidak menyakitkan—ia seperti jeda yang dibutuhkan setelah tangis panjang. Nara duduk di kamar, di kursi dekat jendela, menyaksikan hujan tipis menghapus sisa debu di kaca. Di belakangnya, Raydan berdiri tanpa suara, membawa secangkir teh hangat."Masih hangat," katanya, meletakkan cangkir di meja kecil. “Katanya, teh bisa menenangkan detak jantung yang terlalu sibuk berpikir.”Nara menoleh, memberi anggukan kecil. “Terima kasih.”Raydan tak langsung pergi. Ia duduk di karpet, bersandar pada ranjang, sementara hujan menyanyikan lagu tenangnya sendiri.“Dulu,” ujar Raydan tiba-tiba, “aku pikir pernikahan cuma soal kesepakatan dan tanggung jawab. Tapi hari-hari denganmu... ternyata bukan cuma soal itu.”Nara membiarkannya bicara. Ini pertama kalinya Raydan membuka ruang di antara mereka tanpa topeng atau formalitas.“Aku lihat cara kamu menghadapi keluargaku. Cara kamu menyimpan kesedihan tapi tetap berdi
Ruang tamu keluarga Wijaya pagi itu terasa seperti ruang sidang tak resmi. Para kerabat berkumpul—beberapa dengan tatapan tajam, sisanya menyembunyikan bisik-bisik di balik cangkir teh. Nara berdiri tegak di antara mereka, sementara Raydan duduk di sisi lain, diam seperti batu karang yang siap menahan gelombang.“Apa benar lelaki itu datang mencarimu semalam?” tanya Tante Lydia, nada suaranya setajam pisau dapur.Nara menahan napas. Semua mata tertuju padanya. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi tetap saja, ia tidak pernah siap menghadapi pertanyaan yang menggugat integritasnya sebagai seorang istri—meskipun pernikahan itu sendiri dibangun dari skenario yang tak sepenuhnya tulus.“Dia datang tanpa undangan. Dan dia bukan siapa-siapa lagi,” jawab Nara tegas.“Lucu,” sahut seorang sepupu Raydan. “Tapi bukankah dia mantan kekasihmu? Apa kamu pikir keluarga ini akan diam saja setelah melihatmu menangis semalam?”Nara menoleh pada Raydan. Sekilas, ia mencari sandaran—tanda bahwa dirinya tid