Beranda / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 4 – Ujian Pertama

Share

Bab 4 – Ujian Pertama

Penulis: Ayla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 11:00:41

Gaun biru malam yang dikenakan Nara terasa terlalu pas di tubuhnya. Bukan karena ukurannya, tapi karena malam ini, segalanya harus terlihat sempurna. Tatanan rambutnya ditarik ke belakang dalam sanggul longgar, memperlihatkan leher jenjang dan sorot mata yang ia latih di depan cermin sejak dua jam lalu—mata yang harus terlihat bahagia, tidak ragu, tidak bertanya.

Di lantai bawah, ballroom Hotel Seraphine dipenuhi lampu kristal dan deretan meja bundar berlapis linen putih. Para tamu datang satu per satu, dengan jas mahal dan gaun-gaun yang berkilau seperti musim penghargaan. Ini bukan hanya gala amal—ini adalah panggung unjuk kekuasaan, tempat reputasi dibangun dari sorotan dan bisikan.

Raydan datang menjemputnya di pintu ruang rias. Mengenakan setelan hitam berpotongan tegas dan dasi perak tipis, ia terlihat seperti pria dalam iklan parfum mewah—dingin, tak tersentuh, dan menyimpan rahasia dalam diam.

“Kamu siap?” tanyanya, menawarkan lengan.

Nara menatapnya sejenak. “Siap terlihat seperti istri sempurna, jika itu yang dimaksud.”

Raydan tak tersenyum, tapi sorot matanya melunak sepersekian detik. “Malam ini penting. Akan banyak mata. Termasuk yang ingin melihat kita gagal.”

“Kalau begitu, mari kita beri mereka pertunjukan,” balas Nara, menyematkan tangannya di lengan Raydan.

Mereka turun ke ballroom dengan langkah yang selaras, seolah sudah berlatih bertahun-tahun. Kamera-kamera dari media yang diundang menyorot tanpa henti, kilatan lampu menyapu gaun dan dasi seperti badai cahaya. Di tengah gemuruh itu, Nara berusaha tersenyum—tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk terlihat alami.

Di tengah ruangan, seorang wanita setengah baya dengan mata tajam dan rambut disanggul tinggi menyambut mereka.

“Tante Dira,” sapa Raydan datar. “Ini Nara.”

Tatapan wanita itu menusuk, menelusuri dari kepala hingga ujung kaki, seolah ingin mencari celah pada kulit Nara yang tampak sempurna di permukaan.

“Akhirnya, bisa melihat perempuan yang membuat keponakanku berpikir cepat-cepatan menikah,” ucapnya dengan nada menggantung. “Kau cantik. Tapi aku harap kecantikanmu tidak menutupi hal-hal lain.”

Nara menahan napas, membalas dengan senyum tipis. “Terima kasih, Tante. Saya akan berusaha jadi bagian dari keluarga ini—setidaknya, sebaik yang saya bisa.”

“Semoga ‘berusaha’ itu cukup.”

Raydan menyentuh punggung Nara pelan, memberi isyarat untuk lanjut ke tamu-tamu lain. Setelah beberapa menit berbasa-basi, mereka duduk di meja utama. Nara mencoba mengenali wajah-wajah penting yang diperkenalkan Raydan—CEO, komisaris, duta lembaga sosial. Semuanya bersuara lembut tapi penuh makna ganda.

“Bagaimana rasanya jadi Nyonya Dirgantara?” tanya salah satu tamu, wanita muda dengan gaun merah menyala dan bibir merah merona.

Nara tersenyum, mengambil napas sejenak. “Seperti membaca novel yang tak kau pilih sendiri, tapi entah kenapa... kamu tak bisa berhenti membacanya.”

Jawaban itu membuat wanita itu terdiam, dan Raydan menoleh ke arah Nara, alisnya terangkat samar. Bukan marah. Lebih seperti... terkesan.

Beberapa jam berlalu. Makanan disajikan dalam porsi kecil yang terlalu mahal untuk ukuran yang bisa membuat kenyang. Musik kuartet mengalun. Para tamu menari dalam gaya klasik yang diharapkan dari kalangan mereka.

Raydan mengulurkan tangan. “Kita harus menari. Setidaknya satu lagu. Mereka memperhatikan.”

Nara menatap ruangan sebentar. “Aku tidak terlalu bisa.”

“Aku bisa.”

Mereka melangkah ke tengah lantai dansa. Tangan Raydan menyentuh pinggang Nara. Tangan Nara berada di pundaknya, ringan tapi tegang. Gerakan mereka tidak sempurna, tapi cukup menyatu untuk menyamarkan ketegangan itu.

“Apa kamu... menikmati ini?” tanya Nara pelan, nyaris hanya terdengar oleh keduanya.

“Menikmati apa?”

“Menjadi tokoh utama dalam cerita yang bahkan tidak kamu tulis sendiri.”

Raydan menatap ke depan. “Aku terbiasa jadi orang yang menjalankan rencana. Tapi cerita ini... ya, kadang terasa seperti hal yang keluar dari kendali.”

Nara menarik napas. “Tapi kamu tetap melanjutkannya.”

“Karena aku tidak pernah berhenti di tengah.”

Mereka berputar pelan. Di kejauhan, Tante Dira masih memperhatikan. Wartawan memotret. Musik hampir usai.

Lagu berakhir. Nara melepaskan tangan Raydan perlahan, seperti membuka pintu setelah badai. Mereka kembali ke tempat duduk. Lalu seorang pria muda menghampiri meja mereka—Ardi, sepupu Raydan, yang dari tadi tak berhenti menatap ke arah mereka.

“Aku ingin berdansa dengan Nara. Boleh, Ray?”

Raydan menatapnya dingin. “Tanyakan pada Nara.”

Nara menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi. Ia berdiri, menolak membuat keributan. Ardi menuntunnya ke lantai dansa, tapi langkahnya terlalu dekat, terlalu cepat. Tangan di pinggangnya bukan sekadar menyentuh, tapi seperti ingin mengklaim.

“Jadi, kamu yang menjerat Raydan?” bisik Ardi, bibirnya terlalu dekat.

“Aku tidak menjerat siapa pun,” jawab Nara tenang. “Kalau dia terjerat, mungkin karena dia ingin.”

Ardi tertawa kecil. “Kau pintar menjawab. Tapi hati-hati. Keluarga ini tidak mudah menerima pendatang.”

“Aku tidak ingin diterima. Aku hanya ingin dihormati.”

Lagu selesai. Nara berbalik, melangkah ke arah Raydan tanpa berpamitan. Ia duduk, mengambil gelas air putih, dan meneguknya perlahan.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Raydan.

“Ya. Hanya sedikit lelah berpura-pura.”

Raydan tak menjawab. Tapi kali ini, ketika kamera kembali mengarah pada mereka, ia menggenggam tangan Nara di atas meja. Bukan karena ada kontrak. Tapi karena, entah bagaimana, ia ingin meyakinkan bahwa malam ini bukan hanya tentang peran.

Nara membalas genggaman itu. Tak seerat yang dibayangkan orang, tapi cukup untuk membuat satu foto esok hari menghiasi halaman depan majalah bisnis—dengan tajuk:

“Pasangan Paling Misterius Jakarta: Romansa, Kekuatan, dan Rahasia di Baliknya.”

Dan di balik rahasia itu, ada dua hati yang mulai menari di ruang antara naskah dan kenyataan.

Ayla

masih dalam tahap revisi

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 88 — Mengurai Kebahagiaan, Menenun Ulang Rumah yang Hampir Retak

    Matahari New York pagi itu menelusup lembut melewati celah tirai. Di ruang keluarga kecil mereka, aroma kopi bercampur dengan wangi sabun bayi.Nara berdiri di dapur, menyiapkan sarapan, sementara suara Alana yang mulai belajar mengoceh mengisi ruangan dengan nyanyian polos yang hanya bisa dipahami ibu dan ayahnya.Raydan muncul dari kamar, matanya sedikit bengkak — sisa begadang semalam memikirkan proposal merger yang baru saja mereka lewati.Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda.Wajahnya tak lagi berat. Matanya menyimpan semacam kelegaan baru. Seperti orang yang baru saja menemukan jalan keluar dari lorong gelap yang panjang.Ia mengecup kepala Nara dari belakang."Terima kasih, Na..."Nara tersenyum kecil. "Untuk?""Untuk jadi peta di tengah labirin egoku."Setelah semua badai itu, mereka kini memasuki fase yang jauh lebih sunyi — namun justru lebih berbahaya:Fase stabilitas.Fase di mana manusia sering lupa belajar bersyukur. Fase di mana kebahagiaan perlahan berubah menjad

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 87 – Meja Keputusan

    Musim dingin mulai menggigit. New York berbalut putih kelabu, dan jalanan 5th Avenue mulai dipenuhi lampu Natal. Tapi di ruang makan kecil mereka malam itu, udara justru terasa lebih dingin daripada di luar jendela.Raydan meletakkan map hitam di atas meja. Di dalamnya: draft perjanjian merger dari salah satu konglomerasi properti terbesar di Asia.Nara menatap berkas itu lama, seolah bisa membaca bukan hanya angka, tapi juga konsekuensi yang tersembunyi di balik tiap kalimat legalitas."Ini tawaran yang tak akan datang dua kali, Na," ujar Raydan pelan. Suara yang tak sepenuhnya tenang, meski berusaha terdengar rasional.Nara mengangguk. "Aku tahu."Beberapa minggu sebelumnya, konsorsium bisnis besar bernama Andara Global Holding menghubungi Raydan.Mereka menawarkan:Suntikan dana segar dalam jumlah besar.Dukungan jaringan bisnis global.Skala ekspansi yang bisa mempercepat proyek Raydan hingga tiga kali lipat.Tapi...Dengan konsekuensi: sebagian saham harus dilepas, kontrol manaj

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 86 – Ketika Cinta Harus Bertahan Bukan di Atas Janji, Tapi Di Atas Neraca Keuangan

    Musim gugur mulai menua. Daun-daun maple di Central Park menguning rapuh, berjatuhan pelan seperti detik-detik waktu yang berjalan tanpa suara. Di apartemen mereka, keheningan terasa lebih padat dari biasanya.Bukan karena tak ada percakapan. Tetapi karena kini ada sesuatu yang mulai mengendap: kekhawatiran soal angka.Setelah keputusan Raydan mempertahankan idealismenya, beberapa investor memilih mundur secara diam-diam. Board internal mengecil. Dana operasional mulai ketat. Proyek yang semula diproyeksikan selesai dalam delapan belas bulan, kini harus direvisi ulang hingga dua puluh empat bulan. Bahkan beberapa properti yang sudah masuk tahap perencanaan terpaksa ditunda.Raydan menatap laporan keuangan sore itu, matanya berkabut."Aku tak pernah membayangkan, beratnya membuat keputusan benar bisa seperti ini," bisiknya lirih.Nara meletakkan secangkir kopi di sampingnya, duduk perlahan. Tak banyak bicara. Tapi genggamannya pada bahu Raydan mengirim pesan sederhana: aku ada di si

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 85 – Ketika Jalan Mimpi Membelah Antara Kompromi dan Kejujuran

    Langit New York malam itu terasa seperti kanvas gelap yang kehilangan bintangnya. Kota tetap sibuk, lampu-lampu tetap menyala, dan suara sirene tetap berirama; namun di dalam apartemen minimalis mereka di lantai tiga puluh, keheningan memeluk dengan cara yang jauh lebih bising.Raydan duduk di depan jendela, menatap pantulan dirinya sendiri di balik kaca. Di belakangnya, Nara muncul membawa secangkir teh chamomile, meletakkannya di meja kecil, tanpa banyak suara."Ada yang menghubungimu lagi?" tanya Nara, suaranya nyaris seperti bisikan angin.Raydan hanya mengangguk pelan. "Dari board. Mereka ingin final decision minggu ini."Nara duduk di hadapannya. Mata mereka saling bertaut, tapi seakan masing-masing tengah berdialog dengan batinnya sendiri.Beberapa bulan terakhir, langkah Raydan di perusahaan warisan ayahnya bagai menapaki tali tipis yang direntangkan di atas jurang ambisi dan idealisme. Apa yang awalnya sekadar sebuah mimpi memperbaiki wajah properti kota, kini mulai diseret o

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 84 – Raydan Kembali Membangun Pilar Dirinya yang Hampir Hilang

    Beberapa bulan sejak mereka pindah ke New York:Nara menjalankan posisi barunya dengan cemerlang.Alana tumbuh sehat, mulai masuk daycare internasional.Lingkungan baru, rumah baru, ritme baru.Dari luar, semua tampak berjalan baik. Tapi di dalam batin Raydan:*"Aku bahagia melihat mereka bahagia.Tapi di mana ruangku sendiri?"*Suatu malam, saat acara gala dinner kantor Nara, Raydan kembali hanya menjadi "pendamping diplomat perempuan global."Setiap orang memuji Nara:“You’re truly inspirational, Ms. Nara!”“Your vision changes the policy game.”Raydan tersenyum, ikut bangga. Tapi di dalam hatinya, suara kecil berbisik:“Kapan aku kembali punya panggungku sendiri?”Raydan kembali melakukan sesi pribadi bersama Ibu Ratna lewat video call.“Bu…Aku takut kehilangan diriku sendiri, bukan kehilangan rumah tangga kami.”Ibu Ratna menjawab lembut:“Raydan, selama ini kamu pandai menjadi penopang.Tapi tiang rumah juga butuh pondasi sendiri untuk tetap kuat."“Mungkin sudah waktunya kamu

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 83 – Saat Rumah Mulai Stabil, Tapi Bayang-Bayang Masa Depan Mulai Menghantui Lagi

    Empat bulan setelah melahirkan:Bayi mereka — yang diberi nama Alana Rayani — mulai tertawa, berguling, dan belajar mengoceh.Tangis kolik berkurang.Pola tidur mulai lebih stabil.Nara dan Raydan mulai sedikit bernapas lega.“Lihat senyum dia, Dan…” bisik Nara suatu malam.“Senyumnya kayak milikmu, Na. Matanya kayak punya aku.”“Tapi kekuatannya kayak kita berdua.”Setelah masa cuti, tawaran profesional mulai berdatangan lagi pada Nara:Proposal kolaborasi internasional baru di Brussel.Kesempatan duduk di board global policy.Undangan menjadi keynote speaker di berbagai forum.Nara mulai berdebat dengan dirinya sendiri:"Apakah aku siap kembali ke arena? Apakah aku mengorbankan mimpiku kalau terlalu lama berhenti?"Muncul tekanan halus dari lingkungan,Dari keluarga besar:“Jangan sampai karier mengalahkan anakmu ya, Na.”“Kasihan Alana nanti kalau harus terus ikut bolak-balik negara.”Dari lingkungan profesional:“Jika kamu menunda proyek ini, peluang leadership global bisa tertu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status