Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 51 – Tempat untuk Pohon Itu Tumbuh

Share

Bab 51 – Tempat untuk Pohon Itu Tumbuh

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-06-05 22:40:08

Hari Minggu pagi, mereka menyusuri jalan kecil di pinggiran Jakarta. Udara masih lembap oleh sisa hujan semalam, dan suara burung terdengar dari rumpun bambu.

Di tangan Nara, pot tanah liat dari Desa Sukajaya tetap dibawa. Bibit pohon mangga itu belum ditanam.

“Kenapa kamu bawa hari ini?” tanya Raydan sambil menyetir pelan.

Nara menjawab, “Karena kalau kita menemukan tempat yang tepat, aku ingin tahu apakah pohon ini juga merasa cocok untuk tumbuh di sana.”

Raydan tak membalas. Tapi senyumnya menyimpan persetujuan.

Mereka melihat tiga rumah hari itu.

Yang pertama terlalu modern.

Yang kedua terlalu sempit.

Yang ketiga… kosong.

Bukan kosong karena tidak berpenghuni. Tapi kosong seperti ruang yang sedang menunggu sesuatu untuk dihidupi.

Rumah itu berdiri di tepi jalan kecil. Halamannya luas, tanahnya masih merah. Tak ada pagar. Tapi ada pohon jambu liar tumbuh di belakang.

Nara turun lebih dulu. Ia mengitari rumah itu seperti seseorang yang sedang menyimak, bukan menilai.

Lalu ia berka
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 120 – Tiga Nama di Atas Pasir Parangtritis

    Ketika kereta berhenti di Stasiun Tugu Yogyakarta,angin pagi menyambut mereka dengan aroma nostalgia dan rempah-rempah dari pedagang kaki lima.Raydan menarik koper besar dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam tangan Alana.Nara berjalan di samping mereka, wajahnya menyimpan senyum tipis yang tak ia sadari tumbuh sejak turun dari kereta.Yogyakarta.Kota yang pernah mereka lewati dalam perjalanan masing-masing.Kali ini, mereka datang sebagai keluarga.Tujuan pertama: Malioboro.Alana terpukau oleh segala hal—kuda delman yang dihias pita warna-warni,pemusik jalanan dengan suara serak lembut,dan toko-toko kecil yang menjual kaus bertuliskan “Jogja Istimewa.”Nara memperhatikan putrinya seolah melihat dirinya sendiri saat masih remaja.Matanya berbinar.Langkahnya cepat.Dan tiap hal kecil menjadi cerita.Mereka makan gudeg di warung tua yang dindingnya dipenuhi foto presiden dan seniman lama.Raydan, seperti biasa, mengambil foto diam-diam saat Nara sedang tertawa

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 119 – Reuni yang Tak Pernah Benar-Benar Usai

    Nara menerima undangan itu dalam bentuk email yang nyaris terlewat.Judulnya sederhana:“REUNI ANGKATAN 2000 – SMA PELITA NUSANTARA”Subjudulnya: Saatnya Mengenang, Memaafkan, dan Melanjutkan.Ia membaca pelan-pelan, seperti sedang menelusuri kenangan—bukan sekadar baris informasi.SMA Pelita Nusantara.Tempat di mana dirinya pernah merasa menjadi versi yang tak pernah cukup.Raydan menemukan istrinya duduk di meja makan,sambil menatap layar ponsel yang tak kunjung disentuh.“Undangan reuni?”Raydan mengenali ekspresi itu—tatapan kosong ke masa lalu.Nara mengangguk.“Kenapa ya... rasanya seperti membuka kotak yang udah lama dikunci?Padahal itu cuma reuni.”Raydan duduk di sebelahnya.“Kotak itu kamu kunci, karena dulu kamu kira kamu harus berubah dulu buat bisa dilihat.”Ia diam sebentar, lalu menambahkan,“Tapi sekarang, kamu bisa datang sebagai dirimu yang utuh.”Tiga hari kemudian, Nara berdiri di depan cermin.Gaun semi-formal warna hijau sage membalut tubuhnya.Tidak terlalu

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 118 – Malam Sebelum Ijab Kabul

    Di ruang tamu rumah mereka yang sederhana,Alana duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.Ia membawa kamera kecil, tripod mungil, dan sebuah buku catatan.Hari itu, ia menyebut kegiatan ini:“Wawancara Keluarga: Cinta, Konflik, dan Cara Mereka Bertahan.”Nara dan Raydan sempat tertawa kecil mendengar judulnya,tapi begitu kamera menyala,senyap merayap perlahan.Pertanyaan pertama Alana cukup sederhana:“Apa yang paling kalian ingat dari malam sebelum pernikahan kalian?”Seketika, Nara terdiam.Raydan mengerutkan alis.Dan setelah beberapa detik, Nara berkata pelan,“Malam itu, aku ingin membatalkan semuanya.”Alana membelalakkan mata.“Serius?”Raydan menoleh pelan ke arah istrinya.Ekspresi di wajahnya seperti seseorang yang tahu cerita itu,tapi tak pernah mendengarnya sejelas ini.Nara menarik napas.“Waktu itu, sehari sebelum ijab kabul, aku duduk di depan cermin.Aku melihat wajahku sendiri,dan yang kulihat adalah seseorang yang terlalu muda,terlalu takut, dan tidak sepenuh

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 117 – Ruang yang Tidak Lagi Hanya Sunyi

    Hari itu, Nara bangun lebih awal dari biasanya.Jam lima pagi, langit masih remang.Tapi udara sudah menggendong aroma kayu dan embun.Ia berdiri di depan jendela,melihat kabut tipis menggantung di halaman belakang.Raydan belum bangun.Alana juga masih terlelap.Tapi Nara sudah merasa hari ini berbeda.Bukan karena ada sesuatu yang akan terjadi.Tapi karena ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya.Sudah lama sekali ia tidak merasa damai hanya karena pagi.Dulu, pagi selalu berarti daftar tugas,suara-suara dalam kepala,dan rutinitas yang berjalan tanpa henti.Tapi hari ini, pagi datang dengan tenang.Seperti pelukan yang tak menuntut.Dan Nara menuliskan satu kalimat di notes kecil di meja:“Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku merasa cukup. Tapi hari ini, aku tidak merasa kekurangan.”Sore harinya, Raydan pulang membawa sesuatu.Bukan bunga. Bukan hadiah.Tapi satu papan nama kecil, dari kayu pinus bekas rak tua.Tulisannya:“Tempat Kita Pulang”— dengan font tangan Rayd

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 116 – Raydan dan Nara Belajar Mengucapkan Rindu Tanpa Kata

    Hari itu, hujan turun dengan irama tak tentu.Kadang deras. Kadang rintik. Kadang hening tiba-tiba.Seperti hubungan yang sudah lama berjalan: tidak lagi selalu jelas, tapi tetap terasa.Raydan sedang duduk di bengkel kecil miliknya, merakit lampu baca.Nara di dapur, mencoba resep baru yang ia temukan dari kliping majalah lama.Tak ada percakapan pagi itu.Tapi keduanya merasakan sesuatu yang sama:ada yang bergeser. Bukan dalam cinta. Tapi dalam cara mencintai.Beberapa waktu belakangan,mereka semakin sering diam bersamaan.Bukan karena tak punya yang dibicarakan,tapi karena kata-kata tak lagi perlu membuktikan apa-apa.Namun sore itu, Nara membuka suara terlebih dulu.“Dan, menurut kamu... kita masih romantis nggak sih?”Raydan tertawa pelan.Suaranya seperti kopi panas: tidak mengejutkan, tapi menenangkan.“Romantis? Hmm… romantisnya bentuk baru, mungkin.”Nara menoleh. “Bentuk baru gimana?”Raydan berpikir sebentar, lalu menjawab:“Dulu kita romantis karena saling bikin kejutan

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 115 – Surat untuk Seseorang yang Belum Ada

    Hari itu, cuaca abu-abu. Langit seperti enggan memberi hujan, tapi juga tak mau cerah. Di dalam “Pelan Saja”, Alana duduk di ruang tengah, sendiri. Tak ada pengunjung hari ini. Tak ada agenda.Hanya ada satu meja kayu, secangkir teh hangat, dan sebuah halaman kosong di jurnalnya. Ia membuka halaman baru. Menuliskan tanggal. Lalu menulis dengan tinta pelan, hampir seperti berbisik:Untuk Kamu yang Belum Ada, Tapi Mungkin Akan Datang“Aku tidak tahu kamu siapa. Tidak tahu kamu dari mana, atau bagaimana kamu akan menatapku untuk pertama kali.Tapi hari ini, aku menulis surat untukmu. Bukan karena aku menunggumu. Tapi karena aku ingin menyambutmu—jika nanti kita bertemu.Aku ingin kamu tahu, bahwa aku bukan orang yang mudah dicintai. Aku terbiasa menjadi rumah untuk orang lain. Tapi aku sendiri, masih belajar bagaimana membiarkan seseorang tinggal cukup lama tanpa takut dihancurkan.Aku kadang terlalu diam. Bukan karena tidak peduli. Tapi karena aku terbiasa mendengar bany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status