/ Romansa / Apa Warna Hatimu? / Chapter 6 : Kerjasama Yang Baik

공유

Chapter 6 : Kerjasama Yang Baik

작가: Giovanna Bee
last update 최신 업데이트: 2021-09-24 15:44:59

    Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan.

    Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas.

    "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas.

    "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain.

    "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai."

    "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus.

    "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum.

    "Aduh, nggak jadi deh."

    "Bercanda. Aku percaya kamu bisa menjaganya dengan baik."

    Aku dan Richard berpisah jalan di lift. Aku menggunakan lift rakyat jelata sedangkan Richard menggunakan lift eksklusif di sayap belakang gedung.

    Begitu tiba di lantai limabelas Wahyu langsung menatapku penuh arti. Aku mengernyit. 

    "Gimana date-nya? Seru dong?" tanya Wahyu yang mendadak sudah menarik kursinya ke sebelahku.

    "Apaan sih! Balik sana! Gue banyak kerjaan nih, butuh fokus." Aku mengibaskan tangan seperti mengusir lalat.

    "Aaaaahhh gitu banget sama teman! Bagi cerita dikit lah. Siapa tahu bisa gue jadiin inspirasi novel." Wahyu mencolok rusukku dengan telunjuk.

    Aku mengikik geli, "Nggak ada cerita. Dasar biang gosip."

    "Jika dua manusia berlawanan jenis berdekatan dalam waktu lama pasti ada yang terjadi, Bro. Ceritain aja nggak usah malu-malu. Kita kan saudara," bujuk Wahyu.

    "Saudara dari Hong Kong!" Aku tertawa dengan kekonyolan sahabatku yang satu ini. Gombalnya tiada ampun.

    Melihat Daniel berderap mendekat Wahyu cepat-cepat kembali ke mejanya. Aku menyukuri dalam hati.

    "Pemotretan lancar?" tanya Daniel. Matanya melihat kamera DSLR di mejaku.

    "Lancar. Semuanya kooperatif," kataku sambil memindahkan file foto dari kamera ke laptop.

    "Bagus. Sepertinya Richard yang paling kooperatif ya." 

    "Harus dong. Ini kan proyek dia," tukasku.

    "Kalau ada hambatan atau kesulitan kasih tahu saya," kata Daniel sebelum meninggalkan meja kami.

    "Iyaaa," sahutku seenaknya.

    Sisa hari ini kugunakan untuk menyortir dan mengedit foto. Meskipun kamera digital membutuhkan usaha minim untuk memotret, tetap saja hasil akhirnya masih butuh sedikit sentuhan.

    Wahyu pulang terlebih dahulu. Aku belum beranjak karena sedang tanggung. Tinggal lima foto yang perlu kupercantik.

    Dering handphone membuatku terlonjak. Aku menatapnya sengit. Nama Richard terpampang di layar. Aduh, masa setelah seharian bersama aku masih harus melapor?

    "Ya?" Aku menjepit handphone di bahu.

    "Hazel? Apakah kamu akan naik?"

    "Aku sedang edit foto. Sedikit lagi selesai."

    Tidak ada suara. Aku melihat layar, masih menyala kok.

    "Halo?" Aku memastikan.

    "Aku turun sekarang."

    "Nggak usah!" seruku panik.

    "Kenapa? Ada yang kamu sembunyikan?"

    "Nggak! Tapi tunggu sebentar lagi! Aku ke atas!"

    "Aku hampir sampai kok."

    Kepalaku melongok dari atas partisi. Sosok tinggi ramping ganteng itu terlihat berjalan santai menuju kantorku. Aku benar-benar panik. Meskipun di kantor tinggal segelintir orang tapi kehadiran Richard tetap bisa menimbulkan chaos. Dia berjalan seolah tidak ada orang lain. Matanya mencari-cari seperti elang mencari mangsa.

    Aku terpaksa mengangkat tangan supaya Richard tidak nyasar. Wajahnya berubah cerah saat melihatku. 

    "Nggak usah turun...," desisku.

    "Sekalian lihat keadaan disini." Richard melayangkan pandangan berkeliling, "Nyaman juga suasananya."

    "Desainer butuh tempat nyaman untuk bekerja," sahutku ringan.

    Richard membungkuk dengan satu tangan bertumpu di meja. Dia memperhatikan apa yang sedang kukerjakan di laptop. Aku risih setengah mati karena Richard berdiri sangat dekat. 

    Aku memundurkan kursi. Richard tersentak karena roda kursiku menggilas kakinya. Aku meringis. Apakah hidupku berakhir hari ini?

    "Hazel, aku nggak tahu kamu sengaja atau tidak. Kamu bilang saja kalau nggak nyaman kuperhatikan," gerutu Richard.

    "Maaf. Nggak sengaja." Aku cengengesan.

    Richard menarik kursi Wahyu dan duduk santai di sebelahku. Aku yang kepanasan. Wajahku pasti memerah.

    "Fotonya di-edit semua?" tanya Richard. Lengannya bersandar di kursiku.

    "Nggak semua, cuma sebagian yang sudah dipilih." Aku sengaja menggerakkan mouse dengan berisik. Kesal.

    "Kamu biasa bekerja seribut ini? Atau karena ada aku?"

    Aku menggerutu tidak jelas.

    "Apa?" tanya Richard.

    "Nggak apa-apa." Aku menghela nafas. Hatiku berdoa semoga pencobaan ini cepat berakhir.

    Jam di laptopku sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Manusia di sebelahku betah loh duduk selama setengah jam hanya memperhatikanku bekerja! Dia tidak mundur meskipun aku sudah bergerak ke segala arah.

    Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?

    "Kupikir sebaiknya kita berada di satu lantai untuk mempermudah pekerjaan," kata Richard memecah keheningan.

    "Maksudnya?" Perasaanku tidak enak.

    "Kamu pindah ke kantorku."

    "Apa??" Aku menoleh sengit.

    Richard mundur sejengkal sambil mengangkat tangan siap menangkis. Oh, aku belum senekat itu memukul bosku. Aku masih mencintai pekerjaan dan gajiku.

    "Ada ruangan tak terpakai di seberang ruanganku. Kamu bisa menempatinya."

    "Tapi kenapa? Kantorku kan disini?"

    "Ehm... Karena sepertinya kita akan menghabiskan waktu bersama lebih banyak."

    Aku melongo.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 151 : Meminta Restu (2)

    Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 150 : Meminta Restu

    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 149 : Melamar

    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius

    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 147 : Bagian Hidupku

    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 146 : Skandal Besar

    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status