Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan.
Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas. "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas. "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain. "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai." "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus. "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum. "Aduh, nggak jadi deh." "Bercanda. Aku percaya kamu bisa menjaganya dengan baik." Aku dan Richard berpisah jalan di lift. Aku menggunakan lift rakyat jelata sedangkan Richard menggunakan lift eksklusif di sayap belakang gedung. Begitu tiba di lantai limabelas Wahyu langsung menatapku penuh arti. Aku mengernyit. "Gimana date-nya? Seru dong?" tanya Wahyu yang mendadak sudah menarik kursinya ke sebelahku. "Apaan sih! Balik sana! Gue banyak kerjaan nih, butuh fokus." Aku mengibaskan tangan seperti mengusir lalat. "Aaaaahhh gitu banget sama teman! Bagi cerita dikit lah. Siapa tahu bisa gue jadiin inspirasi novel." Wahyu mencolok rusukku dengan telunjuk. Aku mengikik geli, "Nggak ada cerita. Dasar biang gosip." "Jika dua manusia berlawanan jenis berdekatan dalam waktu lama pasti ada yang terjadi, Bro. Ceritain aja nggak usah malu-malu. Kita kan saudara," bujuk Wahyu. "Saudara dari Hong Kong!" Aku tertawa dengan kekonyolan sahabatku yang satu ini. Gombalnya tiada ampun. Melihat Daniel berderap mendekat Wahyu cepat-cepat kembali ke mejanya. Aku menyukuri dalam hati. "Pemotretan lancar?" tanya Daniel. Matanya melihat kamera DSLR di mejaku. "Lancar. Semuanya kooperatif," kataku sambil memindahkan file foto dari kamera ke laptop. "Bagus. Sepertinya Richard yang paling kooperatif ya." "Harus dong. Ini kan proyek dia," tukasku. "Kalau ada hambatan atau kesulitan kasih tahu saya," kata Daniel sebelum meninggalkan meja kami. "Iyaaa," sahutku seenaknya. Sisa hari ini kugunakan untuk menyortir dan mengedit foto. Meskipun kamera digital membutuhkan usaha minim untuk memotret, tetap saja hasil akhirnya masih butuh sedikit sentuhan. Wahyu pulang terlebih dahulu. Aku belum beranjak karena sedang tanggung. Tinggal lima foto yang perlu kupercantik. Dering handphone membuatku terlonjak. Aku menatapnya sengit. Nama Richard terpampang di layar. Aduh, masa setelah seharian bersama aku masih harus melapor? "Ya?" Aku menjepit handphone di bahu. "Hazel? Apakah kamu akan naik?" "Aku sedang edit foto. Sedikit lagi selesai." Tidak ada suara. Aku melihat layar, masih menyala kok. "Halo?" Aku memastikan. "Aku turun sekarang." "Nggak usah!" seruku panik. "Kenapa? Ada yang kamu sembunyikan?" "Nggak! Tapi tunggu sebentar lagi! Aku ke atas!" "Aku hampir sampai kok." Kepalaku melongok dari atas partisi. Sosok tinggi ramping ganteng itu terlihat berjalan santai menuju kantorku. Aku benar-benar panik. Meskipun di kantor tinggal segelintir orang tapi kehadiran Richard tetap bisa menimbulkan chaos. Dia berjalan seolah tidak ada orang lain. Matanya mencari-cari seperti elang mencari mangsa. Aku terpaksa mengangkat tangan supaya Richard tidak nyasar. Wajahnya berubah cerah saat melihatku. "Nggak usah turun...," desisku. "Sekalian lihat keadaan disini." Richard melayangkan pandangan berkeliling, "Nyaman juga suasananya." "Desainer butuh tempat nyaman untuk bekerja," sahutku ringan. Richard membungkuk dengan satu tangan bertumpu di meja. Dia memperhatikan apa yang sedang kukerjakan di laptop. Aku risih setengah mati karena Richard berdiri sangat dekat. Aku memundurkan kursi. Richard tersentak karena roda kursiku menggilas kakinya. Aku meringis. Apakah hidupku berakhir hari ini? "Hazel, aku nggak tahu kamu sengaja atau tidak. Kamu bilang saja kalau nggak nyaman kuperhatikan," gerutu Richard. "Maaf. Nggak sengaja." Aku cengengesan. Richard menarik kursi Wahyu dan duduk santai di sebelahku. Aku yang kepanasan. Wajahku pasti memerah. "Fotonya di-edit semua?" tanya Richard. Lengannya bersandar di kursiku. "Nggak semua, cuma sebagian yang sudah dipilih." Aku sengaja menggerakkan mouse dengan berisik. Kesal. "Kamu biasa bekerja seribut ini? Atau karena ada aku?" Aku menggerutu tidak jelas. "Apa?" tanya Richard. "Nggak apa-apa." Aku menghela nafas. Hatiku berdoa semoga pencobaan ini cepat berakhir. Jam di laptopku sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Manusia di sebelahku betah loh duduk selama setengah jam hanya memperhatikanku bekerja! Dia tidak mundur meskipun aku sudah bergerak ke segala arah. Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam? "Kupikir sebaiknya kita berada di satu lantai untuk mempermudah pekerjaan," kata Richard memecah keheningan. "Maksudnya?" Perasaanku tidak enak. "Kamu pindah ke kantorku." "Apa??" Aku menoleh sengit. Richard mundur sejengkal sambil mengangkat tangan siap menangkis. Oh, aku belum senekat itu memukul bosku. Aku masih mencintai pekerjaan dan gajiku. "Ada ruangan tak terpakai di seberang ruanganku. Kamu bisa menempatinya." "Tapi kenapa? Kantorku kan disini?" "Ehm... Karena sepertinya kita akan menghabiskan waktu bersama lebih banyak." Aku melongo.Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai duapuluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah! "Hazel, besok kamu pindah ke lantai duapuluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari. "Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak. Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan." "Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu. "Lo ikut pindah aja?" usulku. "Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai limabelas, Bro." Wahyu tertawa. "Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap. "Terima kasih banyak, tapi NO." "Kamu okay, Hazel?
Keesokan hari... Aku sengaja ke lantai limabelas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan. "Hai Bro, penghuni lantai duapuluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you." "Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?" "Nggak mungkin dan nggak mau." "Teman macam apa lo?" "Teman yang menyayangi nyawanya." "Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan." Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?" Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya. Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas. 
Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore? "Kok panas ya?" cetusku. "AC-nya dingin kok," jawab Richard. Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja. "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum. "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga. "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes. "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati." "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?" "Nggak kayak begini," gerutuku. "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat
Sabtu sore ini aku bersiap untuk kencan ganda dengan Wahyu dan gebetannya. Aku tidak berdandan, tidak pula berpakaian cantik. Tujuanku menemani Wahyu hanya untuk melihat warna hati lelaki yang mendekati. Aku janjian dengan Wahyu di depan club malam. Begitu melihatku Wahyu melambaikan tangan. Jeritannya dapat terdengar dalam radius sepuluh meter. "Hush, heboh amat sih. Ntar dikira gue selebriti lagi." Aku menghampiri Wahyu. "Dia belum sampai, Bro. Aduh, gue tegang nih. Lo udah siap? Gimana penampilan gue?" Wahyu tampak cantik dengan dandanan dan pakaian maksimal. "Siap apa? Tempur?" Aku tertawa, "Santai aja, Bro. Pasang tampang cool dong kayak biasa." "Hih, mana bisa? Tangan gue dingin nih." Wahyu menggenggam tanganku. "Buset, dingin banget!" Tidak lama dua orang lelaki muda menghampiri kami. Meskipun belum berkenalan tapi aku tidak suka m
Seumur hidupku hingga saat ini tidak ada seorang pun yang curiga pada kacamata bingkai perak yang kupakai. Lensanya cuma plastik biasa tanpa plus, minus, atau silinder. Tidak ada yang tahu kacamataku berfungsi sebagai filter akan penglihatanku. Sampai saat ini cuma Wahyu yang tahu. Makanya dia meminta pertolonganku untuk melihat ketulusan Dion. Entah berkat atau kutukan, sejak kecil aku bisa melihat warna hati seseorang. Dalam penglihatanku warna hati itu seperti sepasang sayap, dan warnanya macam-macam tergantung pada isi hati orang tersebut. Aku bahkan telah belajar menafsirkan warna-warna yang kulihat itu. "Heh, bengong aja!" Wahyu menendang kakiku. Aku meringis, "Ujung sepatu lo keras amat sih??" "Halah, buat lo yang sabuk biru taekwondo tendangan segitu mah nggak ada apa-apanya, Bro!" Wahyu tertawa. "Tetap aja bikin memar," gerutuku sambil mengusap tul
Setelah ancaman resign-ku kemarin Richard tidak lagi bersikap arogan, tapi tetap saja dia membujukku untuk menerima kartu akses ke lantai duapuluh satu. Hanya karena Bernard juga memegang salah satu duplikat kartu lah aku menerimanya. "Hazel, ayo makan siang. Aku mau bicarakan sesuatu denganmu," ajak Richard. "Hah? Memangnya jam berapa...?" gumamku. "Setengah satu." Aku mengernyit, pantas saja perutku terasa lapar. "Aku tunggu di--" "Nggak usah, aku mau ke kantin saja." Aku membetulkan kacamataku yang merosot. "Oke. Sehabis makan siang kita bicara sebentar." Aku mengangguk. Otakku masih melekat di pekerjaan. Richard naik ke atas sementara aku turun ke kantin. Aku berharap masih bisa bertemu Wahyu. "HEEEEEIIIIIII PENGHUNI LANTAI DUAPULUHHH!!!" Aku menutupi wa
Aku memutuskan untuk fokus pada satu perusahaan terlebih dulu daripada memaksakan diri untuk mengerjakan ketiganya sekaligus. Sekarang aku sudah tidak perlu berusaha untuk tidak bertemu Richard, kan? Kuakui, dinding kaca dengan pemandangan langit membuat pikiranku lebih jernih. Gagasan datang dengan cepat dibandingkan ketika aku bekerja di lantai limabelas. Aku bebas memutar lagu apa saja tanpa terganggu oleh celotehan Wahyu. Kadang kalau sudah teramat bosan aku akan mengobrol dengan Bernard. "Oh, jadi hari Minggu kemarin kamu sampai tidak pergi ke pantai saking lelahnya?" kata Bernard. "Betul banget. Biasanya aku bisa nongkrong seharian tuh. Mudah-mudahan Minggu ini bisa pergi." Bernard mengangguk. "Ngomong-ngomong selama ini kamu selalu sendirian di kantor dong? Richard kan sering keluar?" tanyaku penasaran. "Aku sudah terbiasa. Kalau bosan aku tinggal ku
Bernard terkejut melihat wajahku yang sekeruh air kobokan. Dia pasti terheran-heran karena tadi aku keluar dengan wajah cerah, eh satu jam kemudian berubah seratus delapanpuluh derajat. "Hai Bernard..., sudah makan siang...?" tanyaku. "Sudah. Bagaimana di kantin? Aman?" "Hmmm...." gumamku. "Oke." Aku tidak dapat menceritakan obrolanku dengan Wahyu karena akan berdampak bagi banyak orang. Biarlah kusimpan sendiri. Mood-ku untuk bekerja sudah lenyap. Aku merebahkan diri di sofa oranye dan memeluk bantal. Kucoba melupakan obrolan tadi. Percuma! Wajah Daniel terbayang-bayang di pelupuk mataku. Aku ingin sekali memojokkan dan menamparnya bolak-balik dengan sandal jepit yang diolesi cabai rawit. Aku mengendap-endap ke depan, hampir membuat Bernard terkena serangan jantung karena muncul di sampingnya t