Share

Chapter 5 : I Will Survive

    Mataku berkunang-kunang. Untung Wahyu menyeretku untuk makan siang, kalau tidak aku pasti melewatkan jam istirahat lagi. Wahyu memesankan makanan untukku yang sedang klenger.

    "Bro, baru kali ini gue lihat elo kerja ngebut banget? Ngejar komisi apa gimana?" Wahyu kembali ke meja dengan dua piring nasi Padang.

    "Biar cepat selesai Bro, jadi gue nggak usah ketemu-ketemu Richard lagi." Aku langsung menyuap nasi. Aroma gulai kikil membuat cacing perutku mengganas.

    "Ooo pantasan. Gue pikir lo membabi-buta karena komisinya cukup untuk beli mobil. Rupanya begitu. Baiklah. Bisa dimengerti."

    Aku tertawa, "Gue nggak butuh mobil dari Richard."

    Wahyu tersedak. Matanya mendelik.

    "Kenapa lo? Masa gitu aja tersedak? Nggak mungkin kan Richard mendadak nongol di belakang gue?"

    Wahyu meringis sambil mengangguk samar.

    Sejuta topan badai! Aku memaki dalam hati menggunakan segala bahasa manusia yang kutahu. 

    "Kalian ngomongin saya?" kata sebuah suara berat nan seksi di belakangku.

    Mataku mencari-cari jalur tercepat untuk melarikan diri. Wahyu memasang wajah termanisnya untuk Richard. Bagus! Alihkan perhatian Richard sementara aku pergi.

    "Hazel? Mau kemana?"

    Tubuhku membeku. Aku menarik kembali kakiku yang sudah terjulur menjauh dari kursi.

    "Nggak. Lurusin kaki doang." Aku tertawa gelisah.

    "Tumben petinggi mampir ke kantin rakyat jelata. Pak Richard mencari Hazel? Silakan duduk, silakan duduk," cerocos Wahyu.

    Aku menendang tulang kering Wahyu sekuat tenaga tapi temanku itu mengaduh pun tidak. Aktingnya hebat sekali.

    "Tidak. Saya cuma lewat saja. Lanjutkan makan siang kalian." Richard melempar senyum menawan. "Hazel, jangan lupa nanti sore. Jangan sampai kemalaman lagi."

    "Iyaaa." sahutku.

    Sepasang mata Wahyu mengikuti sosok Richard dengan berbinar seperti remaja jatuh cinta. Aku geleng-geleng kepala.

    Sepeninggal Richard, Wahyu menendang kakiku. Wajahnya penuh dendam. Aku tertawa terbahak-bahak.

    "Sial lo! Mau patahin kaki gue??" gerutu Wahyu.

    "Kenapa baru sekarang berasa sakitnya?? Asli deh, akting lo pantas dapat piala Oscar!" Perutku sakit karena tertawa.

    "Gue bilangin Richard nanti! Aduhh... Gue belum asuransiin kaki gue yang indah ini Bro!"

    Aku dan Wahyu menghabiskan jam istirahat dengan tertawa habis-habisan. Aku memang butuh tertawa dan tidak ada orang yang dapat membuatku tertawa seperti Wahyu. Untung aku punya teman seperti dia.

    Kembali ke meja kami masing-masing...

    Pekerjaan kembali menyita perhatianku. Aku bahkan tidak memperhatikan Wahyu yang bernyanyi I Will Survive, padahal suaranya keras membahana. Aku juga tidak menyadari Daniel berdiri di sisi mejaku sampai dia mengeluarkan suara.

    "Sudah berapa alternatif yang kamu buat?" tanya Daniel.

    "Aduh, ampun. Kenapa semua orang hobi menyelinap dari belakang sih?" gerutuku. "Baru satu."

    Daniel mengamati layout yang terpampang di laptopku, "Coba kamu kombinasikan dengan warna yang tidak senada. Misalnya karena ini dominan silver dan hitam, kenapa nggak munculkan warna cerah di antaranya?"

    Aku mengangguk perlahan, "Oke, nanti kumasukkan di alternatif kedua."

    "Richard aman?" tanya Daniel.

    Kepala Wahyu muncul dari balik partisi. Dia menguping dengan baik.

    "Aman. Dia bahkan memberi beberapa masukan," kataku.

    "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Tanpa berkata lebih lanjut Daniel meninggalkan mejaku.

    Jam dinding menunjukkan pukul enam. Sebenarnya aku enggan melapor pada Richard karena perkembangan desainku belum terlalu banyak sejak kemarin. Namun perintah atasan tidak boleh diabaikan.

    Aku sedang mencetak beberapa halaman desain saat handphoneku berbunyi. Aku bingung, nomor siapa ini? Kok tidak ada di daftar kontakku?

    "Halo?" Rasa penasaran membuatku menjawab panggilan telepon itu.

    "Hei, kamu berencana lembur lagi?"

    "Ini siapa?" Aku seperti pernah mendengar suara ini, tapi dimana ya?

    Hening.

    "Kamu nggak simpan nomorku??"

    Aku menepuk jidat, mati aku! "Richard?"

    "Kamu kemari jam berapa? Perlu kujemput?"

    "Nggak perlu! Aku naik sekarang!" Tanpa menunggu jawaban aku memutus percakapan.

    Tergesa-gesa aku mengumpulkan kertas dan menjejalkannya di map plastik. Aku berlari secepat mungkin menuju lantai duapuluh. Tiba di depan Bernard aku kembali menyadari bahwa kakiku memakai sandal jepit.

    "Langsung ke ruangan Pak Richard saja." Bernard tersenyum.

    "Oke, terima kasih."

    Semoga pembicaraan kami tidak berlangsung lama karena aku mau melanjutkan pekerjaan. Aku mengetuk pintu ruangan Richard dengan keras.

    "Masuk!"

    Aku membuka pintu. Richard sedang mengerjakan entah apa di laptopnya. Aku melangkah sepelan mungkin dan duduk manis.

    "Laporan hari ini." Aku meletakkan map di tengah meja.

    "Hmm...sebentar." Richard bertopang dagu. Wajahnya tampak serius.

    Aku mengamati diam-diam. Ganteng sih. Menyenangkan untuk mata. Sayang dia bosku. Aku mengalihkan pandangan saat Richard melirikku.

    "Aku sedang melihat foto-foto perusahaan. Tadi pagi aku menyuruh orang untuk mengambilnya dari sudut berbeda, tapi sepertinya kurang memuaskan." Richard memutar laptopnya ke arahku, "Bagaimana menurutmu?"

    Aku memanjangkan leher. Bagiku foto-foto yang ditunjukkan terlihat hampir sama. Aku menggigit bibir, bagaimana cara menyampaikannya? Pandangan kami bertemu, Richard sedang memperhatikanku!

    "Ehm...." Aku berdehem, "Sepertinya aku harus foto sendiri."

    "Begitu  juga yang kupikirkan." Richard tersenyum.

    Seketika aku terhanyut dalam tatapannya yang berbinar. Astaga. Setelah ini aku harus meminta Wahyu membenturkan kepalaku ke tembok. Otakku mulai dicemari Richard!

    "Hello? Kok bengong?" Richard melambaikan tangan di depan wajahku.

    Refleks aku mendorong kursiku mundur. Richard terkejut dengan gerakanku yang mendadak.

    "Maaf, refleks..." Wajahku merah padam karena malu. Kupikir Richard hendak menjangkauku.

    "Kumaafkan." Richard tersenyum geli, "Bagaimana kalau besok pagi kita berkunjung ke tiga tempat ini? Bisa bawa kamera? Kalau nggak pinjam punyaku."

    "Besok pagi jam berapa?"

    "Jam sembilan tepat. Aku akan memberitahu Daniel bahwa besok aku meminjammu."

    "Oke lah. Aku nggak perlu bawa apa-apa kalau gitu."

    Richard masih membahas desain yang kubawa, diselingi obrolan tidak penting di mana dia berusaha memancingku untuk bercerita tentang kehidupan pribadi.

    Aku merasa Richard sengaja mengulur waktu supaya malam terlalu larut untukku pulang sendiri. Dia sih enak, mau istirahat tinggal naik satu lantai ke penthouse.

    "Nggak berasa sudah jam delapan lewat. Kamu pulang sendiri?" tanya Richard. Wajahnya tampak prihatin.

    "Iya. Pulang sendiri." Aku menegaskan.

    "Ayo." Richard berdiri dan berjalan ke pintu.

    "Kemana??" Aku terbengong.

    "Kuantar pulang."

    "Ehh nggak perlu! Aku bisa naik ojek!" Tergesa-gesa aku merapikan kertas di meja Richard.

    "Hazel, aku yang bertanggungjawab karena kamu pulang malam. Gimana kalau kamu bertemu penjahat di jalan?"

    Aku mendengus. Alasan saja! Sendirinya juga penjahat. Aku menahan tawa karena teringat insiden pertemuan pertama kami.

    "Aku ambil tas dulu," kataku.

    "Oke. Kutunggu di bawah."

    Mataku menipu atau aku melihat Richard mengerling? Jantungku berdebar kencang. Eit, jangan salah, bukan karena kerlingan Richard tapi karena berlari turun tangga.

    Sekejap mata aku sudah duduk manis di dalam mobil Richard. Semoga malam ini aku tidak tercekik sabuk pengaman lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status