Share

Bab 1

Dentuman musik terdengar hingga ke seluruh pejuru ruangan. Club malam hari itu terlihat sangat ramai. Lautan manusia dengan pakaian terbuka asyik berjoget ria mengikuti alunan lagu. Pancaran sinar warna-warni dari lampu yang menyoroti lantai gensot membuat suasana menjadi semakin riuh. Nampaknya semua orang yang meliukkan tubuhnya di sana tidak peduli lagi dengan siapa mereka berdansa. Teman, pacar, orang asing, semuanya campur baur menjadi satu. Beberapa di antara mereka yang punya niat licik bahkan ikut menari-nari, mencuri kesempatan dalam situasi yang menguntungkan.

Sementara itu, di sudut ruangan terdapat seorang gadis berpakaian kemeja kotak-kotak hitam. Dengan wajah memerah dan mulut meracau tak jelas, ia berusaha meneguk anggur yang isinya tinggal beberapa tetes. Sembari meletakkan botol anggur yang kosong, telapak tangannya menggebrak meja cukup keras, seolah dirinya tengah melampiaskan emosi karena tak bisa lagi menikmati alkohol mampu mengendalikan nalurinya.

“Pelayan, tolong beri aku sebotol lagi,” ucap gadis itu mabuk. Belum ada hitungan menit, tubuhnya sudah tumbang dengan posisi terduduk dan kepala tenggelam di depan meja. Ia benar-benar semaput usai mengonsumsi anggur sebanyak dua botol.

“Ck, kenapa dia minum banyak hari ini?” temannya yang menyulut sebatang rokok bergumam. Mau tak mau ia harus membawa gadis itu pulang ke rumahnya malam ini. Ia sedikit kesal tidak bisa minum hingga mabuk hari ini. Tapi dirinya mengerti bagaimana perasaan gadis itu sekarang. Terkena sial sekaligus dalam satu waktu bukanlah suatu hal yang bisa dianggap remeh. Satu momen apes saja bisa mematahkan semangat manusia dalam sekejap, apalagi jika momen buruk itu bercabang, dampaknya akan sangat buruk.

***

“Nirbita, bangun!”

Padahal bokongnya sudah ditepuk berulang kali, tapi gadis itu masih saja bergelayut manja di atas kasur, membuat temannya mendesah kasar.

“NIRBITA WANGBIT SUWIGYO!”

Nirbita—perempuan yang membungkus tubuh mungilnya dengan selimut itu mendadak terbangun setelah mendengar nama lengkapnya disebut. Ia melirik malas temannya yang berusaha menahan tawa.

“Lo pasti ngira ketiduran di kampus, kan?”

“Sialan lo, Len. Lagian kenapa bangunin gue, sih?!” ujarnya sewot.

Helen membeliakkan matanya. Astaga! Mengapa ia bisa berteman dengan Nirbita yang selalu bersikap seenak jidatnya? Bodohnya, tanpa Helen sadari ia bahkan sudah terbiasa dengan perlakuan buruk Nirbita yang seperti itu.

“Lo tanya kenapa?! Astaga Nirbita! Denger ya, lo semalem mabuk berat, akhirnya gue bawa lo ke rumah. Semalem lo ngotot dan marah mau tidur di kasur sendiri, akhirnya gue ngalah tidur di sofa. Sekarang udah jam sembilan pagi, gue udah nyapu, ngepel, bahkan nyiapin sarapan, tapi lo masih belum bangun. Padahal ini rumah gue, tapi gue merasa lo majikan dan gue pembantunya,” celoteh Helen panjang-lebar, mengeluarkan unek-unek yang ia tahan sejak kemarin malam.

Alih-alih minta maaf sembari merayu Helen agar tidak marah, Nirbita malah mengacuhkan kicauan Helen. Yang diabaikan hanya bisa tersenyum paksa sembari mengelus dadanya perlahan. Helen sudah tak heran lagi mendapati reaksi cuek Nirbita.

“Cepet mandi, abis itu turun ke bawah buat sarapan.” Helen melempar handuk berwarna jingga hingga mengenai wajah Nirbita. Setelah itu ia menyeret tungkai kakinya keluar dari dalam kamar.

Sepeninggalan Helen, Nirbita melirik penampilannya dari pantulan cermin yang ada di sampingnya. Ia tertawa miris menyaksikan keadaannya yang mengenaskan. Rambut acak-acakan, muka teler, pun kemeja kotak-kotak hitamnya yang kini didominasi sengatan alkohol adalah bukti bahwa kemarin ia benar-benar butuh asupan alkohol untuk meringankan beban penderitaan yang dipikulnya.

***

Kepulan asap yang dihasilkan dari sup ayam sampai ke indra penciuman Nirbita. Perempuan itu lekas menuruni anak tangga dan menghampiri kursi meja makan. Ada Helen yang tengah sibuk meletakkan nasi beserta lauk pauk di sana. Ia menyodorkan sebuah piring bersih kepada Nirbita kala mengamati kedua bola mata gadis itu berbinar terang ketika melihat ada banyak makanan di atas meja.

Tak lama kemudian Helen ikut duduk, lalu menyendok makanan sesuai kebutuhannya. Bunyi denting logam yang saling beradu di meja makan memecahkan atmosfer sunyi di antara mereka.

“O, iya. Gue punya kabar baik buat lo.” Helen memulai topik pembicaraan.

“Apaan?” tanya Nirbita datar. Jujur saja, setelah banyak indisen buruk yang menimpanya kemarin, ia sama sekali tak tertarik untuk melakukan apa pun saat ini.

“Rey bilang sama gue kalo dia mau beli apartemen baru, soalnya apartemen yang sekarang terlalu jauh dari tempat magang. Nah, kebetulan apartemen lamanya belum ada yang minat, lo bisa tinggal di situ kalo mau. Khusus buat lo dia gak bakalan minta uang deposit, tapi syaratnya lo harus rajin bersihin tempat itu,” ujar Helen. Rey adalah kekasihnya, mereka sudah bersama selama dua tahun. Tadi pagi kedua insan itu sempat melakukan komunikasi lewat telepon, Rey bercerita bahwa ia berencana menyewakan apartemennya kepada orang lain sebab ia berniat mencari apartemen baru yang dekat tempat kerjanya. Helen yang kebetulan ingat bahwa Nirbita sedang kesusahan mencari tempat tinggal berusaha membujuk kekasihnya supaya meniadakan deposit jika Nirbita tertarik menempati apartemen itu.

“Se- serius? Gue gak perlu bayar deposit?” tanya Nirbita terbata.

“Hmmm. Emangnya lo mau bayar depositnya? Dengan keadaan kayak gini?” pertanyaan Helen lebih mirip sebuah penghinaan. Bukan bermaksud merendahkan, faktanya memang begitu.

Nirbita Wangbit Suwigyo. Gadis muda berumur 21 tahun yang berstatus sebagai mahasiswa jurusan sastra Indonesia semester tiga. Mencari pekerjaan paruh waktu sembari berkuliah sudah menjadi kebiasaan baginya. Nirbita tumbuh dengan makanan sisa dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Seperti yang ia lakukan di rumah Helen saat ini.

Kedua orang tuanya telah tiada sejak Nirbita berumur sebelas tahun. Untungnya bibi Nagyo— satu-satunya kerabat yang Nirbita miliki bersedia mengasuh dirinya. Sayang, pada saat dirinya duduk di bangku kelas dua SMA, bibi Nagyo tewas karena kecelakaan mobil hingga harus merengut nyawanya. Semejak saat itu, Nirbita benar-benar harus menelan pahitnya kehidupan seorang diri. Ia selalu berusaha menghidupi dirinya dari gaji pekerja paruh waktu yang dihasilkan. Meski jumlahnya kadang tak seberapa, tapi itu selalu cukup untuk menolong dirinya sendiri. Mempunyai pekerja sampingan tak selalu buruk baginya. Kadang, jika nominal upah yang diberikan besar, ia akan meneraktir Helen makan atau mengajak teman baiknya itu pergi jalan-jalan.

Namun, Nirbita merasa akhir-akhir ini adalah masa tersulit baginya.

Pengeluaran uangnya sekarang sedang kritis. Tempo hari ia diusir oleh induk semang karena belum membayar uang sewa rumah. Tak hanya itu, saat mengikuti kelas mata kuliah siang ia lupa membawa tugas yang wajib dikumpulkan hari itu, alhasil Nirbita terkena omelan dari dosennya. Kesialannya semakin menjadi tatkala Nirbita memergoki pacarnya berselingkuh dengan kakak tingkatnya. Sungguh malang nasibnya. Nirbita bahkan bertanya-tanya mengapa momen itu harus terjadi di hari yang sama. Apakah dosanya sangat banyak sehingga Tuhan dan semesta bersekongkol untuk menguji dirinya?

“Gue saranin, mendingan lo ambil apartemen itu. Suka atau enggak sama tempatnya urusan belakangan. Kapan lagi lo bisa sewa tempat tinggal yang bebas deposit? Nanti kalo pengeluaran lo udah membaik, lo bisa cari tempat tinggal yang lebih bagus lagi,” saran Helen sembari mengunyah potongan daging ayam.

Pergerakan rahang Nirbita yang mengunyah nasi terhenti. Apa yang dikatakan Helen ada benarnya. Ia hanya akan memperumit keadaan jika menolak tawaran sebagus ini.

“Iya, gue mau kok! Duh, pacar lo baik banget, sih.” Tanpa pikir panjang Nirbita langsung menerima tawaran itu. Ia mengacungkan jempolnya ke arah Helen, seakan memberi pujian pada sikap kekasih temannya yang murah hati.

“Untungnya lo sama Rey saling kenal, jadi gue gak terlalu susah buat bujuk dia.” Helen memutar bola matanya. Ia ingat betul bagaimana reaksi terkejut Rey di seberang telepon ketika dirinya menyebut nama Nirbita.

Jangan salah sangka, hubungan Nirbita dan Rey tidak seperti yang kalian pikirkan. Tidak ada dusta dan pengkhianatan di sini, apalagi kasus orang ketiga. Hubungan keduanya murni sebatas teman. Ada satu hari di mana Rey terlihat kesusahan sebab ia harus memilih roti Jepang. Lelaki itu mengucapkan sumpah serapah pada diri sendiri karena lupa bertanya pada Helen merek apa yang biasanya ia pakai. Nirbita yang kebetulan tak sengaja melintas sempat terdiam beberapa detik, ragu-ragu ia bertanya kepada Rey apakah lelaki itu kekasih temannya atau bukan, sebab Nirbita pikir wajah Rey sama persis dengan laki-laki yang pernah Helen kenalkan padanya lewat foto sebagai kekasih.

Nirbita seperti malaikat yang menyelamatkan Rey hari itu. Tanpa bantuannya lelaki itu mungkin akan semakin bingung memilih roti Jepang.

“Nanti biar gue bilangin ke Rey kalo lo minat tinggal di apartemennya,” kata Helen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status