Share

Apartemen Unit 131
Apartemen Unit 131
Penulis: Didnole

Prolog

Angin malam menyapu lembut kulit putih seorang lelaki yang tengah menerima panggilan telepon. Dengan wajah risau ia menggaruk rambutnya yang tak gatal, lalu mendesah pelan kala mendengar mamanya tak berhenti mengoceh di seberang. Tadinya ia berniat mematikan sambungan telepon secara sepihak, tetapi sepertinya itu agak kurang ngajar. Bagaimanapun juga wanita yang meneleponnya saat ini adalah ibu kandungnya. 

“Udah aku bilang berkali-kali, aku gak mau nikah, Ma,” jawab lelaki itu dengan satu tarikan napas panjang.

“Terus kapan kamu mau nikah? Umur kamu udah diambang batas wajar buat punya sebuah keluarga. Apa kamu gak pingin ngeliat mama nimang seorang cucu?”

Lelaki itu menghela napas kasar. Akhir-akhir ini mamanya selalu mendesak perihal tentang pernikahan. Jujur saja, ia sebenarnya malas untuk menanggapi. Baginya persoalan cinta adalah sebuah konflik rumit yang menakutkan. Jika manusia sudah terjerembab ke dalam kisah asmara, mereka tidak akan bisa keluar dengan mudah, apalagi jika beberapa di antaranya mengalami efek samping seperti patah hati dan gagal move on, dampaknya akan sangat buruk.

“Jangan bilang kamu masih nunggu wanita itu kembali sampai sekarang?”

“Ma, aku gak-”

“Cukup! Mama gak mau dengar penolakan lagi. Sabtu besok kamu harus dateng ke rumah, mama berniat ngadain kencan buta buat kamu.” 

Tut!

Sambungan telepon terputus. Laki-laki itu mengepalkan sebelah tangannya hingga buku-buka jarinya nampak memutih. Sialan! Apakah ini memang takdirnya? Menikah dengan seseorang yang dikenal dari kencan buta? Tapi ... bukankah itu sama saja dengan perjodohan? Ugh! Menyebalkan. Sepertinya ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana mamanya.

Udara semakin dingin. Laki-laki itu menutup pintu balkon dengan rapat, lalu kembali masuk ke dalam apartemen. Saat itu ia belum sadar jika seorang gadis berpakaian kemeja kotak-kotak biru kini tengah berdiri di hadapannya sembari tersenyum lebar.

“Paman!” panggil gadis itu tanpa melunturkan senyum yang terpasang di raut wajahnya.

“Hmm?” 

“Ayo kita nikah!” ucapnya mantap, tanpa ada keraguan ataupun perasaan malu yang terselip di setiap perkataannya.

Tubuh lelaki itu sempat terpaku selama beberapa detik. Ponsel yang ada dalam genggaman tangannya bahkan tak lagi menarik perhatiannya. Ia menatap  gadis yang berdiri di depannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

“Paman! Kenapa kamu diam?” tanya gadis itu, seolah menunggu jawaban dari ajakannya barusan.

“Kamu nguping pembicaranku barusan?” Bukannya memberikan jawaban, ia malah bertanya balik dengan nada dingin.

“Eum ... itu, aku gak sengaja dengar tadi, sumpah. Ayolah paman, bukankah kamu juga ogah dijodohkan? Nikahi saja aku, sebagai imbalannya kamu hanya perlu mengizinkan aku tinggal di apartemen ini.” Gadis itu berusaha merayu, diam-diam ia berdoa agar ide gilanya kali ini dapat membantunya meringankan beban hidup.

“Gak!” Tolaknya singkat. Tak tertarik dengan rencana sinting gadis itu, ia memutuskan untuk pergi mengambil sekaleng bir dingin di kulkas. Sementara gadis itu membuntuti langkahnya dari belakang. Ia belum menyerah untuk membujuk.

“Ck! Pemikiranmu sempit, paman. Padahal pernikahan ini bisa menguntungkan kedua belah pihak. Mamamu gak bakalan lagi nuntut soal pernikahan, kamu bisa lanjutin hidup seperti hari-hari biasanya. Aku juga bisa mendapatkan persetujuan untuk tinggal di apartemen ini. Kita Cuma perlu bersandiwara untuk sementara waktu.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status