Angin malam menyapu lembut kulit putih seorang lelaki yang tengah menerima panggilan telepon. Dengan wajah risau ia menggaruk rambutnya yang tak gatal, lalu mendesah pelan kala mendengar mamanya tak berhenti mengoceh di seberang. Tadinya ia berniat mematikan sambungan telepon secara sepihak, tetapi sepertinya itu agak kurang ngajar. Bagaimanapun juga wanita yang meneleponnya saat ini adalah ibu kandungnya.
“Udah aku bilang berkali-kali, aku gak mau nikah, Ma,” jawab lelaki itu dengan satu tarikan napas panjang.
“Terus kapan kamu mau nikah? Umur kamu udah diambang batas wajar buat punya sebuah keluarga. Apa kamu gak pingin ngeliat mama nimang seorang cucu?”
Lelaki itu menghela napas kasar. Akhir-akhir ini mamanya selalu mendesak perihal tentang pernikahan. Jujur saja, ia sebenarnya malas untuk menanggapi. Baginya persoalan cinta adalah sebuah konflik rumit yang menakutkan. Jika manusia sudah terjerembab ke dalam kisah asmara, mereka tidak akan bisa keluar dengan mudah, apalagi jika beberapa di antaranya mengalami efek samping seperti patah hati dan gagal move on, dampaknya akan sangat buruk.
“Jangan bilang kamu masih nunggu wanita itu kembali sampai sekarang?”
“Ma, aku gak-”
“Cukup! Mama gak mau dengar penolakan lagi. Sabtu besok kamu harus dateng ke rumah, mama berniat ngadain kencan buta buat kamu.”
Tut!
Sambungan telepon terputus. Laki-laki itu mengepalkan sebelah tangannya hingga buku-buka jarinya nampak memutih. Sialan! Apakah ini memang takdirnya? Menikah dengan seseorang yang dikenal dari kencan buta? Tapi ... bukankah itu sama saja dengan perjodohan? Ugh! Menyebalkan. Sepertinya ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana mamanya.
Udara semakin dingin. Laki-laki itu menutup pintu balkon dengan rapat, lalu kembali masuk ke dalam apartemen. Saat itu ia belum sadar jika seorang gadis berpakaian kemeja kotak-kotak biru kini tengah berdiri di hadapannya sembari tersenyum lebar.
“Paman!” panggil gadis itu tanpa melunturkan senyum yang terpasang di raut wajahnya.
“Hmm?”
“Ayo kita nikah!” ucapnya mantap, tanpa ada keraguan ataupun perasaan malu yang terselip di setiap perkataannya.
Tubuh lelaki itu sempat terpaku selama beberapa detik. Ponsel yang ada dalam genggaman tangannya bahkan tak lagi menarik perhatiannya. Ia menatap gadis yang berdiri di depannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
“Paman! Kenapa kamu diam?” tanya gadis itu, seolah menunggu jawaban dari ajakannya barusan.
“Kamu nguping pembicaranku barusan?” Bukannya memberikan jawaban, ia malah bertanya balik dengan nada dingin.
“Eum ... itu, aku gak sengaja dengar tadi, sumpah. Ayolah paman, bukankah kamu juga ogah dijodohkan? Nikahi saja aku, sebagai imbalannya kamu hanya perlu mengizinkan aku tinggal di apartemen ini.” Gadis itu berusaha merayu, diam-diam ia berdoa agar ide gilanya kali ini dapat membantunya meringankan beban hidup.
“Gak!” Tolaknya singkat. Tak tertarik dengan rencana sinting gadis itu, ia memutuskan untuk pergi mengambil sekaleng bir dingin di kulkas. Sementara gadis itu membuntuti langkahnya dari belakang. Ia belum menyerah untuk membujuk.
“Ck! Pemikiranmu sempit, paman. Padahal pernikahan ini bisa menguntungkan kedua belah pihak. Mamamu gak bakalan lagi nuntut soal pernikahan, kamu bisa lanjutin hidup seperti hari-hari biasanya. Aku juga bisa mendapatkan persetujuan untuk tinggal di apartemen ini. Kita Cuma perlu bersandiwara untuk sementara waktu.”
"Udah aku bilang berkali-kali, aku gak mau nikah, Ma." Nyaris seluruh percakapan yang dibicarakan Ferrel dengan orang di seberang yang tak lain adalah mamanya ikut disimak oleh Nirbita. Gadis itu tersenyum licik usai mendapatkan ide cermelang. Ia tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan dirinya dari takdir sengsara ini. Nirbita lekas mundur dari tempat persembunyiannya menguping menuju sofa semula. Begitu Ferrel menutup balkon dan hendak berjalan menuju kamarnya, barulah ia muncul di hadapan lelaki itu. "Paman!" panggil Nirbita tanpa melunturkan senyum yang terpasang di raut wajahnya. "Hmm?" "Ayo kita nikah!" ucapnya mantap, tanpa ada keraguan ataupun perasaan malu yang terselip di setiap perkataannya. Tubuh Ferrel sempat terpaku selama beberapa detik. Ponsel yang ada dalam genggaman tangannya bahkan tak lagi menarik perhatiannya. Ia menatap dalam gadis yang berdiri di depannya tanpa mengeluarkan sepatah ka
Bulir-bulir air hujan yang keruh menyerap sepatu tali Nirbita saat gadis itu tak sengaja menginjak sebuah lubang datar yang digenangi air hujan. Kali ini Nirbita mencoba berjalan lebih waspada dan teliti. Dengan ponsel yang ada di genggaman tangannya, mata gadis itu tak berhenti menatap sekeliling, seakan tengah menyari sesuatu. "Ck! Sebenernya tempatnya ada di mana, sih? Kok kayaknya jauh banget, ya." Nirbita bermonolog. Gadis itu ingin melihat sebuah apartemen yang ia temukan di salah satu situs internet. Dari beberapa foto dan nominal biaya sewa yang dicantumkan membuat Nirbita berpikir matang-matang dan memutuskan untuk melihatnya secara langsung. Ia rasa ini adalah tempat yang cocok untuknya. Semoga saja sesuai dengan ekspetasi. Sayangnya, tanpa disadari ada seseorang yang mengekori langkah Nirbita sejak tadi. Tubuh orang itu cukup tinggi dengan jaket hitam yang dikenakannya. Aksesoris seperti kacamata hitam dan juga masker seolah memang sengaja di
Pagi harinya Ferrel baru menyadari jika ada yang berbeda dari apartemennya. Tumpukan kardus yang belum dirapikannya kini tak lagi terlihat. Ruangan menjadi lebih leluasa dan nyaman dipandang mata. Tapi ... siapa yang telah menyentuh barang-barang miliknya tanpa izin?Pikiran Ferrel langsung tertuju pada Nirbita. Jika bukan gadis itu siapa lagi? Tidak mungkin Riyan rajin berkunjung lantas membenahkan barang-barang miliknya, bukan? Lagi pula hanya gadis itu satu-satunya orang yang tahu kata sandi apartemennya.Haruskah ia mengucapkan terima kasih jika bertemu dengan Nirbita? Tapi ... Ferrel rasa mungkin tak perlu. Lagian ... ia tak tahu alasan gadis itu memindahkan barang-barang miliknya. Apakah niat Nirbita murni karena ingin menolong atau ... ada maksud tertentu yang membuatnya bersikap baik kepada Ferrel?"Hmmm ... hmmm ... hmmm...."
Sejak berkumpul Noel tak berhenti dibuat heran dengan sikap Helen. Perempuan itu tak mau berhenti menangis sedari tadi. Entah apa sebabnya. Noel yang tadinya berniat menjahili pun menjadi urung karena merasa tak enak."Len, udah dong, nangisnya," pinta Noel hati-hati. Ia melirik untaian tisu yang berserakan di depannya. Astaga! Sungguh, Noel tak ingin memungut barang seperti itu. Membayangkan betapa lengket dan kentalnya lendir hidung Helen yang menempel di tisu dan bersentuhan dengan jemarinya membuat ia bergedik ngeri. Namun, jika tidak diambil, cepat atau lambat petugas kebersihan yang lewat pasti akan mengomelinya.Noel celingukan, menunggu kehadiran Nirbita yang sempat izin untuk membeli camilan. Kenapa gadis itu belum juga kembali?Pasrah, Noel memutuskan untuk duduk diam sembari memerhatikan Helen yang menyembunyikan wajah dengan kedua telapak t
Nirbita berkacak pinggang mengamati keadaannya saat ini. Lagi-lagi ia mempermalukan dirinya sendiri demi bisa mendapatkan persetujuan untuk tinggal di apartemen milik Ferrel selama tiga hari. Nirbita pun tak habis pikit mengapa ia mengambil solusi seperti ini. Tapi ... gadis itu benar-benar bingung dan tak tahu harus bagaimana sekarang. Jika ia kembali pada Helen, temannya itu pasti akan curiga dan tahu dirinya telah ditipu oleh Rey. Meski sadar jika kepribadiannya cukup menyebalkan, Nirbita tak ingin merepotkan Helen terus-terusan. Yang terbesit di otaknya hanya memohon pada Ferrel untuk menempati apartemennya selama tiga hari. Dalam waktu singkat itu pula, Nirbita bertekad mencari pinjaman uang dan menyewa sebuah apartemen dengan anggaran deposit rendah. Semoga saja ia bisa menemukan tempat tinggal yang ramah biaya.Ada 2 tempat yang bisa dijadikan kamar dalam apartemen ini. Kamar milik Ferrel berada di bagian ujung, letaknya deka
Waktu seakan berhenti ketika manik mata mereka saling tatap. Untuk pertama kalinya, Ferrel dan Nirbita berinteraksi cukup lama meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Keduanya terasa canggung berada di situasi seperti ini."Ekhem! Kamu..." Ferrel berdekhem. Tadinya ia ingin mengajukan pertanyaan, nahas, mendadak isi kepalanya kosong."Ah, permisi, Pak. Maaf, tapi ... apakah Rey ada di rumah?" tanya Nirbita gusar. Kalau boleh memilih, ia ingin kabur segera dari lelaki yang ada di hadapannya sekarang. Sungguh, Nirbita tak bisa melupakan kejadian di mana dirinya melakukan hal gila sewaktu di kafe. Meski tak mengenalnya, tetap saja gadis itu merasa malu."Rey? Maksud kamu pemilik apartemen sebelumnya?" tanya Ferrel.Dahi Bitna membentuk garis samar. Entah kenapa mendadak perasaannya tidak