Share

02. Rencana Thea.

Sebuah kecupan singkat yang hampir setiap hari dilakukan sebagai tanda pamit. Gadis itu berbalik seraya melontarkan senyum cerah ditemani lambaian tangan. Kelopak yang semakin menyipitkan berkat mengukir lengkungan sempurna di bibirnya, 

Setelah puas memberi salam pamit, tanpa ragu dia melangkah keluar rumah dan bergegas masuk ke dalam mobil. 

Dikemudikannya mobil hitam itu menuju salah satu gedung bertingkat, 

15 menit kemudian.

Kendaraan beroda empat berhenti tepat di depan apartemen. Mendapati sosok familiar tengah berjalan dari dalam gedung.

Tin...

Tin...

Nyaring klakson berhasil mengalihkan perhatian, reflek gadis itu menatap kaca mobil yang perlahan terbuka hingga memperlihatkan senyuman pada wajah pengemudi di dalamnya 

"Ayo masuk!" tegas Thea, tengah berusaha menyadarkan gadis tadi dari lamunan.

Pasalnya dia tak henti menatap setiap inci kendaraan dengan kedua manik membulat sempurna. "Wih, mobil baru?"

"Baru apaan?! Udah lebih satu bulan, cuma jarang aku pake aja----ayo cepetan masuk."

"Iya iya, sabar!" seru Manda segera memindahkan kaki jenjangnya lalu melangkah masuk demi meletakkan diri pada kursi kosong di sebelah Thea.

"Kemana dulu nih?" Mengangkat alis, sekilas menoleh ke arah lain.

"Belanja! Butik Royalti lagi ngeluarin baju edisi terbatas." sahut Manda antusias,

"Oke. Ayo kesana!"

Sesuai persetujuan, kedua lengan Thea segera memutar setir untuk membawa mobil sport hitam itu ke rantai jalan dan mengantar mereka ke satu butik terbesar di kota M.

Seperti biasa tepat setelah kaki beralas heels itu menapak ke dalam gedung, mereka berdua akan menyusuri seluruh bagian butik untuk menghabiskan uang dalam jumlah besar hanya demi beberapa baju.

"Thea, seriously? Kamu beneran beli baju jelek kayak gitu?" celetuk Manda menerbitkan raut penuh kaget serta kerutan alis yang tengah mempertanyakan keputusan temannya. Tak henti melontarkan tatapan penuh tanda tanya pada Thea,

"Masa sih jelek? kainnya bagus kok. Ini 10 juta lo!" sanggah Thea telah melirik patok harga yang tertempel pada gaun tadi.

"Ya i know, but---modelnya kek kampungan gitu!" gumam Manda merendahkan suara, menatap ragu setiap motif yang tertera di atas kain.

"Ya emang itu tujuannya. Mankanya aku beli baju ini!" Sekilas mengangkat kedua bahu sambil tersenyum puas, merasa senang karena telah menjalankan satu langkah awal dalam rencana.

"Hah? Tunggu! J-jangan bilang selera kamu turun. Kamu ketularan virus kampungan dari mana.." gerutu Manda dengan raut panik,

"Hus--diam! Tahan ocehanmu, lebih baik kita lanjut belanja dulu. Setelah itu aku bakal ceritain se-mu-a-nya," sahutnya berhasil membujuk sekaligus mencegah reaksi berlebihan Manda.

30 menit kemudian,

Kedua gadis tadi memutuskan untuk mengunjungi salah satu cafe yang terletak di dekat butik. Sesuai janji tanpa ragu Thea bercerita tentang percakapan yang terjadi pagi tadi, sekaligus rencana perjodohannya.

"Apa! Perjodohan?" sontak Amanda menepuk meja dengan keras,

Depakkan tadi berhasil menimbulkan suara yang menjadi pusat perhatian juga mengundang sorot mata beberapa pengunjung.

"Aw, sakit!" rintihnya, mengusap cepat telapak tangan yang terasa nyeri.

"Aduh--jangan keras keras dong kalo ngomong!" gertak Thea membulatkan kedua mata,

"Maaf maaf. Aku kaget denger ceritamu! jadi reflek mukul meja," Menekuk bibir setelah membela diri lalu segera membenarkan posisi duduknya.

Kembali melekatkan pandangan demi mendengar kelanjutan cerita dari mulut Thea, "Ya--aku tadi juga kaget! Waktu nenek ngomong gitu,"

"Terus? udah kamu tolak?"

"Ng…" Menggelengkan kepala, sembari menyesalkan sesuap es krim ke dalam mulut.

"Hah? enggak?!" sontak Manda terbelalak,

Ucapan yang begitu mengejutkan seperti kilat petir yang menyambar di siang hari. Merasa ragu dengan kebenaran tadi, bahkan yakin kalau seorang Thea tidak akan pernah setuju pada perjodohan seperti itu.

"B-berarti kamu mau dinikahin sama pria ga jelas?"

"Ya, ga mau lah! ogah banget. Aku itu terpaksa--soalnya nenek ngancem ga bakal ngasih uang lagi,"

"Terus gimana? Bukannya kalian disuruh ketemuan dulu," seru Manda penasaran, 

"Tenang aja, aku udah mikirin soal itu! Pokoknya aku bakal bikin dia kapok terus takut untuk nerima perjodohan ini." lugas Thea menyeringai,

"Wih, gimana caranya?"

"Tunggu aja--nanti kamu bakal tau sendiri. Tapi aku butuh bantuanmu! Nanti aku numpang ke apartemen, terus minjem---makeup sama wig kamu ya?"

Pukul 18.00

Ruang berselimut aroma lily ditemani sinar cahaya lampu yang menerangi seluruh tempat. Terasa hawa sejuk mengelilingi berkat sebuah benda pendingin di sudut kamar,

Tanpa mengingkari perkataan, gadis itu kini tengah menempatkan diri pada kursi rias di depan kaca. Lebih tepatnya mereka kini sedang berada di tempat tinggal Manda,

Sebuah apartemen mewah yang hanya mampu ditempati orang kalangan kelas atas,

"Manda! Mana wignya?!" pekik Thea menoleh ke arah gadis yang sedang sibuk mengobrak abrik satu lemari kaca.

"Ih. Bentar dong! Jangan buru buru, nanti malah makin lama."  ocehnya memasang punggung, enggan mengalihkan muka demi menyelesaikan tugas.

Sorot mata seketika berhenti mencari, sesudah menatap sebuah kotak di sudut bawah lemari. Segera meraih dan mengamati benda di dalamnya hingga mendapati banyak rambut palsu dengan berbagai model yang berbeda.

"Kamu mau wig model gimana? Lurus---keriting--gelombang.  Panjang--atau pendek," tanya Manda begitu sigap menjelaskan.

Gadis itu berdiri dengan kedua tangan terangkat secara bergiliran demi menunjukkan satu persatu wig tadi, sedangkan Thea sigap mengamati model rambut melalui cermin.

"Itu itu. Aku pilih yang keriting panjang!" seru Thea menodongkan telunjuk ke arah cermin.

"Ini?"

"Iya, itu!" Mengangguk pasti,

Setelah menetapkan pilihan, tanpa ragu Manda melangkah mendekat demi menyerahkan salah satu rambut palsu miliknya tadi ke hadapan Thea.

"Nih--" sedikit jengkel,

"Ye, wajahmu kenapa kayak ga suka gitu? Apa ga ikhlas minjemin ini," tuduhnya menekuk bibir.

"Bukan kayak gitu! Aku ikhlas--tapi agak curiga. Lagian kenapa sih, pake siap siap sekarang? orang ketemuannya masih lama.."

"Ngapain juga pake rambut palsu?!" cicit Manda memasang raut kesal,

"Ck--udah deh. Nanti dulu tanyanya, sekarang aku mau coba beberapa make up. Nanti kamu bantu pilih ya? Soalnya aku harus terlihat menor, biar kayak gadis kampung yang jelek dan kuno."

"Oh, aku paham. Pantesan kamu minjem riasan sama pake wig! Jadi kamu mau bikin dia ilfeel sama penampilanmu?" Mengangguk bahagia,

"Yap! Jaman sekarang kan, hal pertama yang dinilai adalah penampilan--fisik. Kalo aku tampil jelek, dia pasti ogah untuk nerusin perjodohan!"

"Bener, bener! Yaudah sini. Aku bantuin! Gimana kalo kamu aku rias kayak pemulung.." lugasnya antusias,

"Ya gak gitu juga! Nanti kelihatan banget kalo disengaja. Aku mau rias kayak orang jelek pada umumnya," seru Thea menjelaskan.

"Yaudah, terserah. Aku mau beres beres aja!" dengus Manda berbalik,

Tersentak kaget ketika mendapati begitu banyak barang berserakan di atas lantai, sampai membuat gadis itu lupa bahwa dalang dari senua kekacauan adalah dirinya sendiri.  

"Yah--kamarku jadi kayak kapal pecah," rengek Manda menekuk bibir, membuat seseorang tersindir.

"Hehe, gapapa ya? sekali kali--bantuin temen," sanggah Thea tertawa kecil,

"Hng. Iya deh gapapa, ini lagi berusaha ikhlas. Udah ga ada barang lain yang mau kamu pinjem kan?"

"Nggak ada,"

***Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status