Sebuah kecupan singkat yang hampir setiap hari dilakukan sebagai tanda pamit. Gadis itu berbalik seraya melontarkan senyum cerah ditemani lambaian tangan. Kelopak yang semakin menyipitkan berkat mengukir lengkungan sempurna di bibirnya,
Setelah puas memberi salam pamit, tanpa ragu dia melangkah keluar rumah dan bergegas masuk ke dalam mobil.
Dikemudikannya mobil hitam itu menuju salah satu gedung bertingkat,
15 menit kemudian.
Kendaraan beroda empat berhenti tepat di depan apartemen. Mendapati sosok familiar tengah berjalan dari dalam gedung.
Tin...
Tin...Nyaring klakson berhasil mengalihkan perhatian, reflek gadis itu menatap kaca mobil yang perlahan terbuka hingga memperlihatkan senyuman pada wajah pengemudi di dalamnya
"Ayo masuk!" tegas Thea, tengah berusaha menyadarkan gadis tadi dari lamunan.
Pasalnya dia tak henti menatap setiap inci kendaraan dengan kedua manik membulat sempurna. "Wih, mobil baru?"
"Baru apaan?! Udah lebih satu bulan, cuma jarang aku pake aja----ayo cepetan masuk."
"Iya iya, sabar!" seru Manda segera memindahkan kaki jenjangnya lalu melangkah masuk demi meletakkan diri pada kursi kosong di sebelah Thea.
"Kemana dulu nih?" Mengangkat alis, sekilas menoleh ke arah lain.
"Belanja! Butik Royalti lagi ngeluarin baju edisi terbatas." sahut Manda antusias,
"Oke. Ayo kesana!"
Sesuai persetujuan, kedua lengan Thea segera memutar setir untuk membawa mobil sport hitam itu ke rantai jalan dan mengantar mereka ke satu butik terbesar di kota M.
Seperti biasa tepat setelah kaki beralas heels itu menapak ke dalam gedung, mereka berdua akan menyusuri seluruh bagian butik untuk menghabiskan uang dalam jumlah besar hanya demi beberapa baju.
"Thea, seriously? Kamu beneran beli baju jelek kayak gitu?" celetuk Manda menerbitkan raut penuh kaget serta kerutan alis yang tengah mempertanyakan keputusan temannya. Tak henti melontarkan tatapan penuh tanda tanya pada Thea,"Masa sih jelek? kainnya bagus kok. Ini 10 juta lo!" sanggah Thea telah melirik patok harga yang tertempel pada gaun tadi.
"Ya i know, but---modelnya kek kampungan gitu!" gumam Manda merendahkan suara, menatap ragu setiap motif yang tertera di atas kain.
"Ya emang itu tujuannya. Mankanya aku beli baju ini!" Sekilas mengangkat kedua bahu sambil tersenyum puas, merasa senang karena telah menjalankan satu langkah awal dalam rencana.
"Hah? Tunggu! J-jangan bilang selera kamu turun. Kamu ketularan virus kampungan dari mana.." gerutu Manda dengan raut panik,
"Hus--diam! Tahan ocehanmu, lebih baik kita lanjut belanja dulu. Setelah itu aku bakal ceritain se-mu-a-nya," sahutnya berhasil membujuk sekaligus mencegah reaksi berlebihan Manda.
30 menit kemudian,
Kedua gadis tadi memutuskan untuk mengunjungi salah satu cafe yang terletak di dekat butik. Sesuai janji tanpa ragu Thea bercerita tentang percakapan yang terjadi pagi tadi, sekaligus rencana perjodohannya.
"Apa! Perjodohan?" sontak Amanda menepuk meja dengan keras,
Depakkan tadi berhasil menimbulkan suara yang menjadi pusat perhatian juga mengundang sorot mata beberapa pengunjung.
"Aw, sakit!" rintihnya, mengusap cepat telapak tangan yang terasa nyeri.
"Aduh--jangan keras keras dong kalo ngomong!" gertak Thea membulatkan kedua mata,
"Maaf maaf. Aku kaget denger ceritamu! jadi reflek mukul meja," Menekuk bibir setelah membela diri lalu segera membenarkan posisi duduknya.
Kembali melekatkan pandangan demi mendengar kelanjutan cerita dari mulut Thea, "Ya--aku tadi juga kaget! Waktu nenek ngomong gitu,"
"Terus? udah kamu tolak?"
"Ng…" Menggelengkan kepala, sembari menyesalkan sesuap es krim ke dalam mulut.
"Hah? enggak?!" sontak Manda terbelalak,
Ucapan yang begitu mengejutkan seperti kilat petir yang menyambar di siang hari. Merasa ragu dengan kebenaran tadi, bahkan yakin kalau seorang Thea tidak akan pernah setuju pada perjodohan seperti itu.
"B-berarti kamu mau dinikahin sama pria ga jelas?"
"Ya, ga mau lah! ogah banget. Aku itu terpaksa--soalnya nenek ngancem ga bakal ngasih uang lagi,"
"Terus gimana? Bukannya kalian disuruh ketemuan dulu," seru Manda penasaran,
"Tenang aja, aku udah mikirin soal itu! Pokoknya aku bakal bikin dia kapok terus takut untuk nerima perjodohan ini." lugas Thea menyeringai,
"Wih, gimana caranya?"
"Tunggu aja--nanti kamu bakal tau sendiri. Tapi aku butuh bantuanmu! Nanti aku numpang ke apartemen, terus minjem---makeup sama wig kamu ya?"
Pukul 18.00Ruang berselimut aroma lily ditemani sinar cahaya lampu yang menerangi seluruh tempat. Terasa hawa sejuk mengelilingi berkat sebuah benda pendingin di sudut kamar,
Tanpa mengingkari perkataan, gadis itu kini tengah menempatkan diri pada kursi rias di depan kaca. Lebih tepatnya mereka kini sedang berada di tempat tinggal Manda,
Sebuah apartemen mewah yang hanya mampu ditempati orang kalangan kelas atas,
"Manda! Mana wignya?!" pekik Thea menoleh ke arah gadis yang sedang sibuk mengobrak abrik satu lemari kaca.
"Ih. Bentar dong! Jangan buru buru, nanti malah makin lama." ocehnya memasang punggung, enggan mengalihkan muka demi menyelesaikan tugas.
Sorot mata seketika berhenti mencari, sesudah menatap sebuah kotak di sudut bawah lemari. Segera meraih dan mengamati benda di dalamnya hingga mendapati banyak rambut palsu dengan berbagai model yang berbeda.
"Kamu mau wig model gimana? Lurus---keriting--gelombang. Panjang--atau pendek," tanya Manda begitu sigap menjelaskan.
Gadis itu berdiri dengan kedua tangan terangkat secara bergiliran demi menunjukkan satu persatu wig tadi, sedangkan Thea sigap mengamati model rambut melalui cermin.
"Itu itu. Aku pilih yang keriting panjang!" seru Thea menodongkan telunjuk ke arah cermin.
"Ini?"
"Iya, itu!" Mengangguk pasti,
Setelah menetapkan pilihan, tanpa ragu Manda melangkah mendekat demi menyerahkan salah satu rambut palsu miliknya tadi ke hadapan Thea.
"Nih--" sedikit jengkel,
"Ye, wajahmu kenapa kayak ga suka gitu? Apa ga ikhlas minjemin ini," tuduhnya menekuk bibir.
"Bukan kayak gitu! Aku ikhlas--tapi agak curiga. Lagian kenapa sih, pake siap siap sekarang? orang ketemuannya masih lama.."
"Ngapain juga pake rambut palsu?!" cicit Manda memasang raut kesal,
"Ck--udah deh. Nanti dulu tanyanya, sekarang aku mau coba beberapa make up. Nanti kamu bantu pilih ya? Soalnya aku harus terlihat menor, biar kayak gadis kampung yang jelek dan kuno."
"Oh, aku paham. Pantesan kamu minjem riasan sama pake wig! Jadi kamu mau bikin dia ilfeel sama penampilanmu?" Mengangguk bahagia,
"Yap! Jaman sekarang kan, hal pertama yang dinilai adalah penampilan--fisik. Kalo aku tampil jelek, dia pasti ogah untuk nerusin perjodohan!"
"Bener, bener! Yaudah sini. Aku bantuin! Gimana kalo kamu aku rias kayak pemulung.." lugasnya antusias,
"Ya gak gitu juga! Nanti kelihatan banget kalo disengaja. Aku mau rias kayak orang jelek pada umumnya," seru Thea menjelaskan.
"Yaudah, terserah. Aku mau beres beres aja!" dengus Manda berbalik,
Tersentak kaget ketika mendapati begitu banyak barang berserakan di atas lantai, sampai membuat gadis itu lupa bahwa dalang dari senua kekacauan adalah dirinya sendiri.
"Yah--kamarku jadi kayak kapal pecah," rengek Manda menekuk bibir, membuat seseorang tersindir.
"Hehe, gapapa ya? sekali kali--bantuin temen," sanggah Thea tertawa kecil,
"Hng. Iya deh gapapa, ini lagi berusaha ikhlas. Udah ga ada barang lain yang mau kamu pinjem kan?"
"Nggak ada,"
***Bersambung."Kalo gitu, mau aku beresin dulu.." seru Manda segera berjalan ke arah kekacauan. Dengan satu helaan nafas tangannya mulai terulur untuk mengambil satu persatu benda yang tergeletak di atas lantai lalu meletakkannya kembali ke tempat yang tepat. 30 menit kemudian. Seluruh ruangan terlihat rapi dan kembali bersih sama seperti sebelum kedatangan Thea. Seorang gadis tengah berbaring manja di atas ranjang sambil menikmati tontonan televisi sedangkan di sisi lain terlihat sosok yang telah menyelesaikan riasannya, "Tara---udah siap!" Berbalik menghadap ke arah Manda demi menunjukkan hasil tangan, "Coba lihat. Gimana menurutmu?" celetuk Thea perlahan melangkah semakin mendekatkan diri ke samping tempat tidur. "Buset, jelek banget!" sontaknya menutup mulut yang sekilas menganga karena terkejut, Dengan kedua manik membulat sempurna, gadis tadi mengamati setiap inci dari hasil karya polesan yang menempel di wajah Thea. Begi
"Jangan bohong. Barusan nenek dapat telpon, dan katanya pria itu ga ngeliat kamu ada disana." seru nenek meninggikan suara, "Pria man.." "....." Gadis itu tertegun menghentikan ucapannya, sekilas mengingat salah satu kejadian yang terbesit dalam benak. "Saya mencari gadis baju kuning," "Hhh. Sial! Aku yakin tadi denger kalo pria tua itu bilang, nyari gadis baju kuning!" "Kebetulan nenek ngasih baju kuning polos. Terus dia barusan menelpon dan tiba tiba nenek nelpon aku--" "Arhg, tapi masa nenek nyariin jodoh tua kek gitu sih?! Aku ga salah lihat. Mukanya kek seumuran bahkan lebih tua dari nenek!" gerutu Thea dalam hati. "Ngga!! aku harus pergi sekarang," Berkat rasa panik gadis itu memilih untuk segera beranjak dari tempat duduk dan melangkah pergi, namun tidak sengaja menabrak salah satu karyawan. Membuat beberapa pesanan yang dibawa berserakan ke atas lantai, "Maaf…" ucap karyawan itu dengan kepala t
Sinar terang serta gambar penuh warna memenuhi layar, bunyi bising yang ditimbulkan berhasil memenuhi seluruh ruang. Kedua gadis itu terlihat begitu khidmat menatap acara show sembari menikmati makanan di piring masing masing, "The.." "Hm?" Mengangkat alis dengan raut penuh tanda tanya, "Terus, tadi nenekmu tahu kalau kau kabur?" "Enggak! nenek kira aku ga dateng, soalnya pria itu ga ngeliat gadis baju kuning." sahutnya santai memasukkan sesuap makanan ke dalam mulut, "Terus aku juga belum sempet bilang. Tiba tiba aku matiin telpon nenek, saking kagetnya." ucap Thea sambil menikmati rasa yang menjalar di setiap kunyahan, "Lah terus---sekarang gimana? Kalo nenek tanya, kamu bakal jawab apa?" "Ga tau, kayaknya aku ga mau pulang dulu. Aku numpang ya?" celetuk Thea memasang raut polos dengan sorot penuh harap, "Gampang. Tinggal aja selama yang kau mau, gratis kok!" "Hehe, makasih!" ujarnya tersenyum lebar, merasa le
Pukul 20.00 Di tempat yang sama, sofa panjang itu terisi dua gadis dengan kesibukan masing masing. Thea terlihat begitu antusias menatap iklan melalui layar televisi sedangkan Manda sedang sibuk mengokak atik benda dalam pangkuannya, "Oh ya. Kamu lulusan administrasi bisnis kan?" "He.em," gumam Thea mengangguk sambil mengunyah sisa snack yang ada di dalam mulut, "Kenapa emangnya?" "Mm, gimana kalo kamu kerja di kantor pamanku! Dia lagi butuh asisten pribadi." tawar Manda, "Asisten pribadi? Mm, emangnya harus lulusan administrasi bisnis?" "Ya enggak sih. Tapi setidaknya kamu ga terlalu sulit buat belajar jadi asisten pribadi." sahut Manda menjelaskan. "Bener juga sih. Kayaknya cocok, berapa gajinya?" Sedikit menaruh antusias pada harapan yang akan melepaskan sebagian beban hidup. "10 juta per bulan," "Lumayan--" angguk Thea menekuk bibir, "Lumayan jidatmu! Kalo di dunia kantor, gaji segitu u
"Huh, untung sama sama karyawan baru. Kalo ngga! Udah aku pukul pake ini," gerutu Thea dalam hati, mencengkram erat setumpuk dokumen serta map tadi lalu diletakkannya ke atas meja. "Cepat keluar! aku mau membuat kopi. Awas saja, kalo kamu belum pergi saat aku kembali!" seru Thea memberi tatapan sinis. Dengan cepat melangkah keluar lalu bergegas mencari ruangan yang bisa ia gunakan untuk membuat secangkir minuman serta menyiapkan sepiring kudapan sesuai anjuran Manda. Namun langkah Thea berhenti setelah berpapasan dengan karyawan wanita, segera menoleh dan menatap lekat nampan berisi hidangan di atasnya. "Tunggu, kau mau kemana?" Siapa sangka satu pertanyaab berhasil menghentikan langkah karyawan tadi, perlahan Thea melangkah mendekat dan menatap sekilas secangkir kopi hitam serta piring kecil berisi kue kering. "Siapa kau---kenapa menghentikanku? Apa kau tidak lihat kalau aku sedang menyiapkan ini semua untuk Pak Nathan," ketusnya te
"Keem.." "Cukup!" tegas Nathan menghentikan ocehan gadis itu, Sedikit merasa muak setelah mendengar jawaban tak sesuai harapan, dengan cepat tangannya beraluh membuka salah satu rak meja demi mengambil sebuah ipad. Segera disodorkan ke hadapan Thea, "Di dalam sini ada banyak file tentang rencana perjalanan, pertemuan dan beberapa catatan rapat tahun lalu." "Sekarang kamu siapkan kertas dan bolpoin, pilih 5 file lalu buat salinannya masing masing file 5 salinan." "T-tulis? semua yang tadi Bapak bilang, harus ditulis?" gumam Thea dengan raut terkejut, Setelah berkhayal mendapat beban tugas penuh hormat seperti pertunjukan dalam film, dia justru melaksanakan tugas remeh yang bahkan mampu dikerjakan oleh seorang bocah kecil. "Iya. Apa kamu tidak bisa menulis?" lugasnya dingin, "B-bisa!" "Lalu tunggu apalagi? Cepat kerjakan." "Saya ga bawa alat tulis." gumam Thea lirih sebelum menggigit bibir bawah,
"Sepertinya kemampuanmu sangat buruk. Saya kasih tambahan waktu, 3 jam harus selesai." ucap Nathan memalingkan muka,dan meraih berkas yang tadi gadis itu kerjakan. 3 jam kemudian. "Ehrg. Jariku sakit banget!" gerutu Thea, Berulang kali menjambak rambutnya untuk melupakan rasa sakit yang ia rasa. "Hhh, sampe mual lihat tulisan ini..Bosen woy, capek juga!" teriak gadis itu dalam hati, Tap. Ditaruhnya bolpoin tadi lalu Thea beranjak dari atas lantai,membawa buku itu dan disodorkan ke hadapan Nathan. "Ini Pak, sudah selesai.." Laki laki itu melirik sekilas ke arah tulisan yang ada di atas kertas. "Nanti malam latihan menulis, perbaiki gaya tulisannya. Ini terlalu jelek dan membuat sakit mata saya." ketus Nathan "Sial! mataku juga sakit.." celetuk Thea dalam hati, Mengepalkan kedua tangannya dengan erat,berusaha menahan emosi karena perkataan laki laki itu. "Ambil dan pelajari buku pedoman tul
"......" detiknya berlalu karena membisu, Thea terdiam sambil berulang kali membuka tutup telapak tangan kanan yang terasa nyeri. Seakan tengah berusaha memberi relaksasi bagi kelima jarinya, Ini pertama kali dia merasa begitu letih, mungkin wajar karena pengalaman pertama. Perlahan pandangannya beralih pada gadis yang masih setia memeluk selimut tebal, "Man. Ayo bangun! aku udah siap berangkat," ucap Thea mengeraskan suara. "Ng.." "Iya iya, ini aku bangun." gumam Manda perlahan membuka mata seraya menatap gadis di depannya dengan tatapan kosong. "Ayo!" seru Thea sekali lagi demi mempersi