Andra bermaksud memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Ada telepon genggam, kacamata anti radiasi, dan kotak bekal berisi kudapan yang sudah tandas. Namun, telepon di mejanya tiba-tiba berdering.
“Rara, bisa ke sini sebentar? Sekarang,” perintah suara di seberang sana.
Siapa lagi yang memanggilnya "Rara" kalau bukan si bos workaholic? Padahal, gadis itu sudah menuliskan di formulir data karyawan bahwa nama panggilannya adalah Andra.
Tanpa menunggu jawaban darinya, lelaki itu meletakkan gagang telepon. Andra tahu, dia tidak punya pilihan selain segera menampakkan diri di depannya.
Jangan bilang ada tugas tambahan lagi. Mau pulang jam berapa? Andra mengeluh dalam hati. Akan tetapi, diraihnya note book dan pulpen sebelum beranjak ke samping kubikelnya.
“Ada apa ya, Pak?” sapa Andra di depan pintu.
“Masuk. Kamu belum mau pulang kan?” Bram seakan tidak menyadari bahwa tampang Andra sudah kusut masai.
“Sebenarnya sudah mau pulang, Pak,” jawab Andra jujur. Cacing-cacing di perutnya sudah memprotes minta diberi makan.
“Sebentar. Jangan pulang dulu. Saya masih ada tugas buat kamu,” pinta lelaki itu. Benar-benar tidak peduli bahwa ini sudah terlalu malam untuk menahan anak buahnya.
“Tugas apa? Harus selesai sekarang?” Andra menjatuhkan bokong ke kursi berwarna abu-abu.
Lelaki itu malah menyeringai. “Kenapa, sih? Kok buru-buru amat? Ada janji kencan, ya?”
Kencan? Sejak kapan? “Enggak, kok, Pak. Cuma kan ini sudah lewat jam kantor,” seloroh gadis itu sembari membuka note book nya. Isyarat agar Bram tidak banyak berbasa-basi. Pipinya menggembung dengan mulut mengerucut.
Kalau saja lelaki itu bukan atasannya, pasti sudah terang-terangan dia menolak. Apakah orang ini tidak bisa sedikit sensitif? Apakah dia menganggap Andra robot yang tidak bisa capek?
Bram terdiam mendengar jawaban Andra. Entah mengapa darahnya malah berdesir melihat gadis itu mengomel. Bukannya menyeramkan, dia malah terlihat menggemaskan.
“Tolong dicatat,” ujar Bram akhirnya sambil menggerakkan jari telunjuk untuk menegaskan instruksinya. “Bulan depan saya ada kunjungan ke Surabaya. Buatkan saya jadwal selama di sana. Tanggal pastinya nanti saya kabari.”
Andra terperangah sebelum akhirnya menyahut, “Bukannya itu tugas Mbak Alena, ya, Pak?”
“Alena sedang sibuk. Kemarin saya minta dia me-review SOP procurement. Saya nggak mau pekerjaan itu tertunda.” Bram memajukan tubuhnya. Meletakkan kedua sikunya di atas meja.
“Oh, begitu.”
“Beberapa orang membuat saya sakit kepala. Menurut kamu apa yang harus saya lakukan? Saya berpikir untuk mengajukan rotasi ke bagian lain. Untuk saat ini rasanya tidak memungkinkan. Saya sedang tidak punya banyak waktu untuk mengelola masalah pembagian tugas lagi. Kalau mereka mau bekerjasama, semestinya semua bisa lebih mudah,” ungkap Bram.
Lelaki itu memejam sambil menggeleng. Baru kali ini Andra mendapati Bram menjadi seekspresif ini. Mungkin, dia memang benar-benar sudah penat dan butuh didengarkan.
Jauh di lubuk hati, Andra setuju dengan yang diucapkan Bram. Rupanya, sang atasan juga merasakan hal yang sama dengan dirinya. Ya, sejak Andra bergabung di tim ini setahun lalu, gadis itu bisa merasakan aura yang tidak sehat. Seperti ada permusuhan yang tersembunyi. Entah antara siapa dengan siapa. Sebagai orang baru, Andra hanya bisa mengamati saja.
Bunyi mesin printer dari ruang staff mengisi keheningan. Bram seperti merenung. Dari sela kerai jendela, Andra bisa melihat gelap telah menyelimuti langit Jakarta.
“Untuk urusan ke Surabaya nanti, hanya Pak Bram sendiri? Purpose-nya?” tanya Andra sigap. Kalau dibiarkan, pembicaraan mereka bisa melantur ke mana-mana. Sementara, gadis itu merasa sudah tak sanggup berlama-lama di sini.
“Saya pergi dengan Ranggi dan techinical manager yang baru. Kamu tahu kan? Mungkin kamu sudah dengar, ada mesin potong busa yang bermasalah. Memang usianya sudah cukup tua. Produksi kita jadi terhambat. Banyak produk yang gagal. Buang-buang bahan baku. Belum lagi sempat ada insiden yang membuat seorang pekerja terluka. Jadi, sekalian evaluasi. Mungkin kita butuh untuk menyediakan yang baru. Nah, saya juga mau nanti kamu mulai belajar sama Ranggi soal mesin-mesin yang kita punya.” Bram memaparkan rencananya sambil memerhatikan Andra yang tampak serius mencatat.
Sebenarnya, Andra ingin mempertanyakan lagi rencana Bram soal dirinya yang harus mempelajari tugas Ranggi. Mengapa bos workaholic ini senang sekali menambah pekerjaannya? Apakah Andra kurang overload? Akan tetapi, Andra mengenyampingkan keinginan itu. Dia akan melakukannya nanti, suatu hari, kapan-kapan. Yang jelas, ketika keadaannya sudah memungkinkan.
“Ada lagi, Pak?” tanya Andra dengan kalem. Padahal, kepalanya sudah mau pecah.
Bram menarik napas panjang. Ada beban yang seakan terangkat. Memandangi Andra cukup menghibur hatinya. Gadis itu tidak pernah menyadari.
“Itu saja, Ra. Eh, ada satu lagi. Email-kan ke factory head di sana point-point yang mau dibicarakan. Nanti saya kirim melalui chat detilnya ke kamu. Jangan lupa tembusan ke Pak Krisna. Juga para peserta meeting lainnya. Siapa saja yang akan ikut nanti kamu pastikan dengan Ranggi. Kasih ke saya dulu draft-nya. Jangan langsung dikirim, ya,” papar Bram lagi.
“Masih ada lagi, Pak?”
“Satu lagi. Kamu ikut training supply chain management, ya, Ra. Saya sudah minta Alena untuk mendaftarkan kamu ke organisasi rekanan kita. Jadwalnya bisa kamu minta sama dia. Peminatnya selalu membludak. Susah, lho, dapat kelasnya. Kalau kamu sudah diinfokan beritahu saya.”
Kali ini, Andra dibuat terpana. Pasalnya, Andra pernah mendengar desas-desus bahwa dia direkrut hanya untuk ditendang. Konon, Bram terpaksa menerima Andra karena belum menemukan orang yang pas. Ternyata, atasannya itu memberi dia kesempatan untuk berkembang.
“Oke, Pak,” sahut Andra semringah. Gadis itu merasa seolah-olah seisi ruangan dipenuhi bunga-bunga. “Masih ada lagi?”
“Sudah cukup. Nanti kamu tidak jadi pulang,” pungkas Bram kemudian mematikan laptop dan merapikan mejanya.
“Baiklah kalau begitu,” sahut Andra seraya bangkit dari duduknya.
“Terima kasih, ya, Ra.”
Andra baru saja hendak melewati pintu kaca ruangan Bram. Dia terhenti ketika ucapan itu menyapa telinganya. Gadis itu memutar tubuhnya dan membalas, “No problem, Sir.”
Senyuman yang mengembang di wajah gadis itu, menghadirkan kehangatan di benak Bram. Membuat lelaki itu ikut menarik kedua sudut bibirnya. Entah kapan terakhir kali Bram bisa tersenyum selepas ini.
"Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b
Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit
Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal
Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling
Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar
Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha
Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha