Home / Romansa / Asmara dalam Prahara / 7. For a Family Portrait

Share

7. For a Family Portrait

Author: Nina Milanova
last update Last Updated: 2021-09-30 22:44:03

Jakarta, 19 Januari 2013

“Mas Bram! Ayo ganti seragam dulu. Nanti kan mau foto keluarga.”

Bram tersentak ketika seorang gadis memanggilnya. Serta merta lelaki itu meletakkan gelas di tangannya. Hampir saja isinya tumpah mengenai setelan jas hitam yang dia pakai.

Tanpa memedulikan kerepotannya, sang gadis menggamit lengan Bram. Menggiring lelaki itu ke ruang ganti.

“Jangan seret-seret Mas kaya gini, dong, Dek,” protes Bram.

“Biarin!”

"Nanti kamu dikira pacaran sama om-om, lho!"

Gadis itu tergelak mendegar gurauan Bram. "Nggak apa-apa. Siapa suruh sembarangan mengambil kesimpulan?"

Gadis yang ternyata adalah Talitha itu memperlambat langkahnya. Senyum cerianya mengembang pada wajah-wajah yang menyapa.

Malam itu, Talitha mengenakan kebaya kutu baru berwarna keemasan dan kain batik perpaduan warna coklat tua dan krem. Rambut gadis itu ditata dengan sanggul Jawa klasik. Sama seperti para wanita lain yang merupakan keluarga inti dari pihak kedua mempelai.

Mereka berjalan berdampingan menikmati waktu kebersamaan yang kian menipis. Benar saja, beberapa tamu mengira mereka adalah sepasang kekasih.

"Dasar kamu tuh!" Bram menjentik kening Talitha. "Pantas belum punya pacar. Cueknya kelewatan!"

Di kantor dan di mana-mana, Bram boleh jadi sosok yang mengintimidasi. Tidak ada yang berani memperlakukan dia seenaknya. Namun, bagi sang adik, itu tidak berlaku.

Dalam keluarga Baswara Prawiradirga, Talitha Priskanara Prawiradirga adalah tuan putri. Segala keinginannya harus dituruti. Maklum, selain bungsu, dia adalah anak perempuan satu-satunya.

Bagi Bram sendiri, Talitha adalah separuh hidupnya. Semenjak kematian sang ibu, adiknya itu adalah satu-satunya tempat mencurahkan kasih sayang.

Saat Hapsari meninggal dunia karena leukemia, Talitha belum genap 7 tahun, sedangkan Bram baru saja merayakan ulang tahun yang ke 17.

Sementara, di mata Talitha, Bram adalah seorang kakak yang penuh perhatian. Lelaki itu juga tempatnya bermanja. Sekaligus, orang yang akan dicarinya bila membutuhkan sedikit nasihat. Tak peduli orang-orang di luar sana menganggapnya sebagai sosok pemberang, pembangkang, dingin dan ketus.

"Jangan salahin Litha, dong. Mas Bram yang salah."

"Kok jadi Mas Bram yang salah?"

"Iya. Sebenarnya, sempat ada beberapa laki-laki yang coba dekatin Litha. Tapi, Litha bingung mau minta pendapat ke siapa. Ke Bapak nggak mungkin. Bapak kan sibuk banget. Ke Mas Arya? Jawabannya pasti 'Terserah kamu aja, Tha.' Kalau tanya Mas Satria, sudah pasti yang penting kaya raya, loyal, dan supel. Biar bisa jadi temannya bersenang-senang. Duh! Litha kan jadi pusing!" Gadis berhidung bangir dan bermata bulat itu menepuk dahinya sendiri. "Akhir-akhir ini, Mas Bram susah banget diajak ngobrol. Sibuk terus."

Serbuan kalimat yang diucapkan Talitha membuat Bram tertegun. Ada rasa berdosa yang tiba-tiba menghampiri. Bukankah Bram sudah berjanji pada ibunya untuk selalu menjaga dan membimbing Talitha? Bagaimana bisa kalau sekadar ada bagi gadis itu saja begitu sulit?

Urusan pekerjaan di perusahaan milik keluarga Cakrawangsa sudah menyita waktunya. Memang, sekembalinya Bram dari Amerika, dia langsung direkrut oleh ayah dari kawan SMA nya. Gunawan Cakrawangsa, sang pemilik pemilik perusahaan, menawari posisi sebagai pemimpin di divisi procurement.

“Mas tidak ikut foto, ya," tegas Bram. Sekaligus, mencoba mengalihkan pembicaraan. Tenggorokannya tercekat. Dadanya terasa dihimpit sebuah batu besar.

“Lho, memang kenapa?”

“Masih ada Mas Arya, kan?”

Keduanya menyeruak orang-orang yang berdiri menghalangi jalan. Membuat beberapa pasang mata memerhatikan meraka dengan ekspresi bermacam-macam. Namun, gadis bertubuh semampai itu tidak mengindahkan.

Beberapa keluarga dan kerabat yang menyadari kehadiran Bram melambai ke arahnya. Bram hanya mengangguk sembari melempar senyum terbaiknya.

“Waktu nikahan Mas Arya, Mas Bram juga nggak ada. Kapan Mas Bram mau ikut foto keluarga lagi?”

“Nanti, kalau Litha yang menikah,” sahut Bram getir.

Seingat Bram, terakhir kali mereka berfoto dalam satu frame keluarga adalah 13 tahun lalu. Saat wisuda Arya, kakak sulung mereka.

Sebuah foto yang memilukan menurut Bram. Bagaimana tidak? Melihat rumah tanpa kehadiran Hapsari sudah cukup membuat lubang di hatinya. Apalagi kalau harus memandangi foto mereka tanpa sang ibu.

Lalu, muncul satu lagi alasan yang membuat Bram kian enggan jika wajahnya harus terpampang dalam bingkai foto keluarga Baswara Prawiradirga. Siapa lagi kalau bukan Rahayu? Perempuan yang dinikahi ayahnya selepas kematian sang ibu.

Jika saja Rahayu bukan penyebab rumah tangga orang tuanya berantakan, mungkin tak jadi soal. Namun, perempuan itu telah merampas hati sang ayah jauh hari sebelum ibunya tiada.

“Mas Bram nggak mau pakai seragam yang Litha buat, ya?" Pendar kecewa melingkupi wajah ayu gadis itu. "Litha jahit sendiri, lho, sampai tidur larut terus tiap hari.”

Seperti almarhumah ibu mereka, Talitha memang tertarik pada dunia fashion. Bukan untuk menjadi model tetapi designer pakaian.

Selepas SMA, gadis itu mengambil jurusan fashion design di sebuah sekolah design ternama. Untuk menyenangkan hati sang ayah, dia juga mengambil jurusan akuntansi di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Berkat otak cemerlang dan kepiawaiannya dalam membagi waktu, Talitha tidak kesulitan menjalani semuanya. Malahan nilainya selalu di atas rata-rata. Setahun ini, gadis itu sudah menyandang gelar Sarjana Ekonomi dengan predikat cum laude. Dengan bekal ilmu yang dimilikinya, Talitha membantu mengelola rumah mode milik almarhumah sang ibu.

Untuk mendukung sang adik, Satria dan mempelai wanitanya memercayakan urusan seragam pesta pernikahan pada gadis itu. Talitha diberik kebebasan menentukan segalanya. Mulai dari warna, bahan, dan modelnya. Untuk pengerjaan, dia dibantu oleh beberapa orang karyawan di rumah mode milik almarhumah Hapsari.

"Mas ganti baju saja tapi tidak ikut foto keluarga," tawar Bram. Lelaki itu berharap Talitha bisa mengerti.

“Kalau Mas Bram nggak ikut, Litha juga nggak mau!” balas Talitha.

Gadis itu menghela napas. Dilepaskannya tangan Bram dari pelukannya.

Talitha menatap sang kakak dengan rasa marah dan bingung yang bercampur jadi satu. Talitha tidak bisa memahami mengapa Bram begitu keras kepala. Sama seperti ayah mereka.

Bram terhenyak mendapati perubahan sikap adiknya. Talitha selalu bersungguh-sungguh dengan perkataannya.

Mana bisa membiarkan Talitha tidak ikut foto keluarga? Baswara bisa murka. Sudah cukup rentetan persoalan ditimpakan oleh ayahnya itu. Bram tidak menginginkannya makin beranak pinak.

Apalagi, kalau sampai Talitha juga terkena masalah. Bram tidak bisa membayangkan. Terlebih, mereka tidak tinggal satu rumah. Bagaimana Bram bisa membela Talitha?

Bram menyerah. Dia memilih untuk mengesampingkan ego. Meskipun, lelaki itu tak ingin jatuh harga diri di hadapan sang ayah dan istrinya. Bram hanya bisa pasrah jika harus menyaksikan seringai penuh kemenangan di wajah renta lelaki itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Asmara dalam Prahara   End of The Road

    "Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b

  • Asmara dalam Prahara   126. Selebrasi

    Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit

  • Asmara dalam Prahara   125. Takdir Asmara

    Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal

  • Asmara dalam Prahara   124. Puncak Prahara 2

    Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling

  • Asmara dalam Prahara   123. Puncak Prahara 1

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar

  • Asmara dalam Prahara   122. Hantu dari Masa Lalu

    Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status