Share

5. Kapan Menyusul?

Jakarta, 19 Januari 2013

Malam itu di sebuah ballroom gedung di kawasan Jakarta Selatan. Harris Setiawan menghampiri Bram. Bram berdiri sendirian di samping meja minuman. Lelaki itu tengah menyesap segelas infuse water.

Bram bukan enggan bersosialisasi dengan para kerabat dan saudara. Dia hanya sedang tidak berminat untuk berbasa-basi. Terlebih, sang ayah tampak kurang berkenan dengan kehadirannya. Padahal, Bram datang hanya demi Talitha, adiknya semata wayang. Gadis itu sedang berpamitan ke rest room untuk membenahi dandanannya.

"Hei, Bram! Apa kabar? Sendirian aja. Mana calonnya? Kapan nih nyusul Satria?" sapanya sambil menjabat tangan Bram.

Istri lelaki itu hanya tersenyum di sampingnya. Wajahnya teduh dan ayu. Dia mengenakan kebaya berwarna biru elektrik dengan jarik dan selendang batik hitam yang tampak serasi. Rautnya mengingatkan Bram pada sang ibu. Perempuan yang tidak layak untuk ditipu.

"Hei, Om Harris. Apa kabar? Nyusul apa nih, Om?" Bram balik bertanya sebelum menyesap minumannya yang kedua.

Sebenarnya, Bram paling malas menjawab pertanyaan seperti itu. Bukan hanya Bram, semua lajang di jagad raya juga akan merasakan hal yang sama. Pertanyaan yang dilontarkan Harris amat membosankan. Dia tidak habis pikir, mengapa orang senang sekali mengulangnya di segala kesempatan.

Apa mereka tidak jemu mendapat jawaban yang sama setiap saat? Apa mereka tidak dapat memikirkan hal lain? Bagaimana bila seseorang membalas, “Kalau Anda, kapan akan berpulang kepada Tuhan?” Beruntung sekali, sangat jarang orang yang punya nyali untuk menanyakannya. Tentu saja karena itu bisa dianggap terlalu lancang dan tidak sensitif. Walaupun, tak ada bedanya dengan pertanyaan, “Kapan akan menikah?”

Harris malah terkekeh. "Ya, nikahlah, Bram. Kamu ini suka pura-pura bodoh."

"Saya merasa belum siap, Om," sahut Bram sambil tersenyum penuh arti. "Tidak terbayang kalau mesti sembunyi-sembunyi pergi ke Lakawon Island bersama perempuan lain."

Wajah Harris mendadak merah padam. Lelaki berkumis lebat itu paham apa yang dibicarakan Bram. Dia langsung berpamitan dan menarik sang istri menuju meja prasmanan.

Apakah pernikahan adalah hal terbaik yang terjadi pada seseorang? Jika memang begitu, mengapa banyak orang menjalani kehidupan kedua karena pernikahan? Salah satu contohnya adalah Harris Setiawan.

Dia adalah salah seorang relasi Baswara Prawiradirga, sang ayah. Lelaki itu petinggi di sebuah perusahaan pertambangan minyak. Semua orang mengira hidupnya sempurna. Keluarganya harmonis dan jauh dari konflik. Saat liburan tahun baru, Bram tak sengaja bertemu dengannya di Lakawon Island. Harris bersama seorang wanita muda. Yang jelas, dari gerak-gerik mereka, tidak mungkin wanita itu punya hubungan keluarga dengan Harris.

Bram menggeleng mengingat peristiwa itu. Dia sengaja memilih Lakawon Island agar tidak perlu berurusan dengan siapa pun yang dikenalnya. Dia sedang ingin menyendiri. Tanpa diduga, Bram malah bertemu dengan Harris. Sudah pasti, lelaki berusia enam puluhan itu juga tidak berencana tertangkap basah olehnya.

Bram mengedarkan pandangan ke sekeliling. Alunan gamelan masih mengiringi suasana bahagia di ruangan. Entah ada berapa orang lajang yang sudah diteror dengan sebuah pertanyaan klise. Padahal, orang-orang berpasangan pun pasti tidak nyaman jika diungkit segala cacat rumah tangganya.

Dari semua tamu yang datang, Bram dapat menunjuk siapa-siapa saja yang menjalani kehidupan seperti Harris. Bram bukannya tidak ingin berbagi hidup dengan seseorang, tetapi berada di lingkungan seperti ini telah mengacaukan persepsinya tentang pernikahan. .

Sang pengantin pria yang sedang duduk di pelaminan pun tak jauh berbeda. Satria, kakaknya yang kedua, benar-benar telah membuat Bram marah. Dia menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang disembunyikannya dari pandangan orang lain. Bram memilih menikahi perempuan lain yang dijodohkan oleh ayah mereka. Demi gelar power couple. Bram tahu bahwa kakaknya itu masih menemui perempuan rahasianya. Mereka bahkan telah memiliki seorang anak.

Bram tidak mau seperti orang-orang itu. Dia takut akan menjadi seperti mereka. Mengkhianati seorang perempuan yang sudah memberikan seluruh hidupnya. Lalu, dibenci oleh anak-anaknya. Atau menghadapi kemungkinan lain seperti menjalani pernikahan yang penuh kepura-puraan. Bukankah itu mengerikan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status