Jakarta, 7 Februari 2018 "Langsung pulang, Ra. Jangan keluyuran. Sudah malam." Andra terhenyak mendengar suara parau yang menyapa pendengarannya. Gadis itu menoleh ke arah si empunya. Lelaki itu sedang menatap lurus ke pintu lift. Mereka hanya berdua saja di dalam. Berdiri bersisian dengan jarak sehasta. Kebetulan, seluruh karyawan lantai 7 memang sudah membubarkan diri. Termasuk staff yang tadinya masih tersisa di procurement. Begitu pula dengan karyawan di lantai lain. Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya. Apa gerangan yang ada di benak lelaki itu? Mengapa dia jadi perhatian begini? Bukankah tadi, Bram menahan Andra di ruangannya? Seperti tidak mau tahu bahwa gadis itu sudah penat. "Iya, Pak. Saya juga sudah mengantuk," jawab Andra tanpa tedeng aling-aling. Bram malah terkekeh. Matanya terpaku pada Tag Heuer chronograph dengan steel strap yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.50. "Baru jam segini sudah mengantuk." Lagi-lagi, Andra menengok. Dalam hati, gadis itu m
Jakarta, 19 Januari 2013 “Mas Bram! Ayo ganti seragam dulu. Nanti kan mau foto keluarga.” Bram tersentak ketika seorang gadis memanggilnya. Serta merta lelaki itu meletakkan gelas di tangannya. Hampir saja isinya tumpah mengenai setelan jas hitam yang dia pakai. Tanpa memedulikan kerepotannya, sang gadis menggamit lengan Bram. Menggiring lelaki itu ke ruang ganti. “Jangan seret-seret Mas kaya gini, dong, Dek,” protes Bram. “Biarin!” "Nanti kamu dikira pacaran sama om-om, lho!" Gadis itu tergelak mendegar gurauan Bram. "Nggak apa-apa. Siapa suruh sembarangan mengambil kesimpulan?" Gadis yang ternyata adalah Talitha itu memperlambat langkahnya. Senyum cerianya mengembang pada wajah-wajah yang menyapa. Malam itu, Talitha mengenakan kebaya kutu baru berwarna keemasan dan kain batik perpaduan warna coklat tua dan krem. Rambut gadis itu ditata dengan sanggul Jawa klasik. Sama seperti para wanita lain yang merupakan keluarga inti dari pihak kedua mempelai. Mereka berjalan
Jakarta, 7 Februari 2018 Terjangan jarum-jarum bening dari langit baru saja mereda. Namun, genangan yang tersisa di sepanjang permukaan aspal menjadikan arus lalu lintas sedikit merayap. Pandangan yang terhalau embun membuat kendaraan harus bergerak perlahan. Menjaga jarak aman dengan kendaraan lain. Sementara, bunyi klakson bersahutan meningkahi udara malam yang lebih dingin dari biasanya. Dari belakang kemudi, Bram mengatur temperatur pendingin. Ekor matanya menangkap Andra bersidekap di sampingnya. Sesekali, gadis itu menguap. Ada iba menyelinap ke relung pria itu. Blouse yang dikenakan Andra sedikit basah akibat menerobos hujan di parkiran tadi. Bram khawatir kalau dia jatuh sakit. “Kamu ngantuk, Ra?” Bram mengakhiri kebisuan di antara mereka sejak hampir setengah jam lalu. “Ngantuk, Pak,” sahut Andra singkat. Dalam hati gadis itu bergumam, “Pasti dia mau menyindir lagi.” Suara seorang reporter laki-laki menghilang dari radio. Digantikan dengan Lovesong dari The Cure. D
Jakarta, 6 Agustus 2001 "Kalau kamu bukan anakku, sudah kukirim kamu ke penjara!" hardik Baswara Prawiradirga. Pria itu berdiri sambil menodongkan telunjuk pada seorang laki-laki muda di hadapannya. Pemuda berusia 21 tahun itu duduk bersandar di salah satu sisi sofa panjang dari kulit berwarna coklat tua. Rambutnya ikal tergerai sedikit melewati bahu. Cuping hidung mancungnya dihiasi sebentuk anting perak. Sebagaimana telinga kirinya.Dia menatap Baswara tanpa ekspresi. Membuat bara di dada orang tua itu kian meletup-letup. "Sabar, Mas," bujuk Adhilangga Prawiradirga, sang adik, seraya menepuk-nepuk bahunya. "Kita selesaikan masalah ini baik-baik." "Bagaimana aku bisa sabar? Anak ini harus diberi pelajaran!" Baswara mengepalkan tangan kanannya. "Tenang, Mas! Tenang! Jangan sampai semua tambah runyam!" Adhil membimbing sang kakak agar kembali ke tempat duduknya: sebuah kursi besar yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Kemudian, lelaki berusia awal 40 an itu berpaling kepada kepon
Jakarta, 8 Februari 2018 “Hai, Ndra. Bram ada di ruangan?” sapa seorang perempuan. Aroma bunga-bungaan bercampur kayu-kayuan seketika memenuhi udara. Begitu Andra mengangkat kepala dari layar laptop, matanya bersirobok dengan Imelda Cakrawangsa. Perempuan itu tahu-tahu sudah berdiri di depan mejanya. Pagi itu, Imel mengenakan slip dress satin berwarna marun yang jatuh di atas lutut. Bagian atas gaunnya cukup rendah sehingga menampakkan belahan dadanya. Sebuah kalung emas dengan liontin bertatahkan berlian menghias leher jenjangnya. Blazer hitam menyelamatkan penampilannya agar lebih pantas. Di usianya yang sudah kepala empat, Imel terlihat memesona. Kulitnya halus terawat. Putih seperti porselen. Imel terlihat beberapa tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Ketika masih duduk di bangku perguruan tinggi, perempuan itu sempat menjadi model iklan produk kosmetik. Wajahnya pernah menghiasi halaman media cetak dan layar televisi. Perusahaan kosmetik itu tidak salah memilihnya. “Ada, B
Jakarta, 6 Agustus 2001 "Bram, maaf kalau menurutmu Om ikut campur. Apa tidak sebaiknya kamu jelaskan alasanmu? Om tahu kamu tidak akan melakukan sesuatu tanpa ada penyebabnya." Adhil bertutur hati-hati. Adhilangga bermaksud melerai pertikaian sang kakak dengan putranya. Sebisa mungkin pria berambut cepak itu ingin berada di posisi netral. "Aku yakin Om Adhil pasti sudah tahu alasannya," sahut Bram. Pemuda itu bertahan dengan pendiriannya. Sama seperti sang ayah, sejak awal memasuki ruangan, wajahnya terlihat suram. "Jadi, aku tidak perlu menghamburkan perkataanku." Baswara tercenung menyimak pembicaraan adik dan anak laki-lakinya. Sepertinya, Adhil sudah mengetahui apa yang dia disembunyikan selama ini. Keluarga besar Prawiradirga sudah mengendus sepak terjangnya. Baswara tidak menyadarinya. Lelaki itu sudah bermain api. Sebelum almarhumah Hapsari divonis terkena leukemia. Adhil sendiri tidak menyangka sang kakak bisa berbuat seperti itu. Yang diketahuinya, rumah tangga Baswara
Jakarta, 8 Februari 2018 Setelah menyelesaikan urusannya dengan Bram, Imel meninggalkan ruang procurement. Perempuan itu menyunggingkan senyum sekilas ketika melewati meja Andra. Gadis itu membalas. Dengan senyum terpaksa. Sementara itu, tangannya mengangkat telepon yang berdering. “Ra, sudah selesai?” Suara Bram menyapa begitu gagang telepon menempel di telinga Andra. “Sudah 70%, Pak. Pak Bram perlu sekarang?” Andra menyahut sambil menggeser-geser mouse di tangannya. “Selesaikan setelah makan siang saja. Kamu kerjakan yang lain dulu. Saya ada meeting di luar siang ini. Sore baru kembali.” Tenggorokan Andra seperti tercekat. Jantungnya seakan mencelos. Sungguh aneh. Seharusnya dia senang Bram memundurkan tenggat waktu pekerjaannya. Gadis itu malah kecewa. “Maksudnya, meeting dengan Bu Imel?” tanya Andra pada diri sendiri. Ah, mengingat nama itu seakan mengisap habis semua semangatnya. “Baik, Pak. Oh, iya. Kontrak baru pengadaan kain untuk pabrik Surabaya belum ditandatangani.”
Jakarta, 8 Februari 2018 Sepasang mata mengawasi ketika Andra beranjak menuju ruangan Bram. Tuh benar, kan? Pasti di antara mereka ada apa-apa. Cara Bram memperlakukan gadis itu begitu berbeda. Beberapa kali Alena mendengar dengan telinganya sendiri. Betapa mesranya nada suara Bram setiap kali berbicara dengan Andra. Seperti berbicara dengan seorang kekasih. Bertolak belakang ketika berbicara dengannya dan para kolega yang lain. Tegas dan menjaga jarak. Meskipun, sudah lebih ramah dari sebelumnya. Perempuan itu kerap menerka-nerka. Apakah Andra benar-benar polos atau berlagak bodoh? Bagaimana bisa gadis itu tidak menyadari perhatian Bram padanya? Pasti dia hanya berpura-pura. Andra selalu mengingkari apa yang tampak jelas di mata Alena. Juga beberapa kawan-kawannya yang lain. Memaksa gadis itu agar berterus terang adalah perbuatan sia-sia. Dia akan bungkam seribu bahasa. “Nggak ada yang istimewa, Mbak. Semua diperlakukan sama. Aku juga dimarahi kalau salah,” sanggah Andra. Sore