Home / Romansa / Asmara dalam Prahara / 6. Roller Coaster

Share

6. Roller Coaster

Author: Nina Milanova
last update Last Updated: 2021-09-26 16:38:56

Jakarta, 7 Februari 2018

"Langsung pulang, Ra. Jangan keluyuran. Sudah malam."

Andra terhenyak mendengar suara parau yang menyapa pendengarannya. Gadis itu menoleh ke arah si empunya. Lelaki itu sedang menatap lurus ke pintu lift.

Mereka hanya berdua saja di dalam. Berdiri bersisian dengan jarak sehasta.

Kebetulan, seluruh karyawan lantai 7 memang sudah membubarkan diri. Termasuk staff yang tadinya masih tersisa di procurement. Begitu pula dengan karyawan di lantai lain.

Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya. Apa gerangan yang ada di benak lelaki itu? Mengapa dia jadi perhatian begini? Bukankah tadi, Bram menahan Andra di ruangannya? Seperti tidak mau tahu bahwa gadis itu sudah penat.

"Iya, Pak. Saya juga sudah mengantuk," jawab Andra tanpa tedeng aling-aling.

Bram malah terkekeh. Matanya terpaku pada Tag Heuer chronograph dengan steel strap yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.50. "Baru jam segini sudah mengantuk."

Lagi-lagi, Andra menengok. Dalam hati, gadis itu mendongkol. Apa maunya bos menyebalkan ini? Rasanya, baru beberapa saat lalu dia membuatku besar kepala. Sekarang, mulai menyindir lagi.

Bram bergeming dengan gesture-nya semula. Lelaki itu memasukkan sebelah tangan ke saku celananya. Sementara, tangan yang satu lagi menjinjing tas laptop.

Andra menghela napas, lalu balas tertawa kecil. "Nggak tahu, nih, Pak. Belakangan ini energi saya cepat habis."

Ucapannya membuat Bram tertohok dan berpaling. Didapatinya Andra sedang menunduk. Menatap layar telepon genggamnya.

Dalam hati Bram bertanya-tanya. Apakah gadis itu berkata jujur atau sedang menyindir. Memang, sudah dua bulan ini, Bram melimpahkan tambahan pekerjaan pada Andra. Toh, dia juga sudah mengajukan kenaikan gaji untuknya. Ketika Andra menilik rekening akhir bulan nanti, hatinya pasti berbunga-bunga.

Bram tahu, dia dikenal sebagai atasan yang semena-mena. Seakan senang merampas seluruh waktu para anak buahnya. Namun, itu semua sepadan dengan kompensasi yang diberikan. Lagipula, bukan keinginan Bram menyusahkan mereka. Kebutuhan perusahaan yang mengharuskan begitu.

"Makanya, kalau pagi olah raga. Jangan tidur lagi sehabis subuh," tukas Bram. Tepat ketika lift mencapai loby.

"Iya, Pak." Andra menyahut singkat. Gadis itu sudah kehabisan motivasi untuk mendebat Bram.

Pintu lift terbuka. Bram mempersilakan Andra keluar lebih dulu. Lelaki itu segera menyusulnya.

Lobi masih dipenuhi oleh puluhan orang. Sebagian duduk di sofa yang tersedia. Sebagian berdiri di beberapa area. Sebagian menunggu hujan reda. Sebagian menunggu jemputan.

Bram tidak sadar kalau kota ini dilanda hujan sejak satu jam lalu. Lelaki itu terlalu larut dalam pekerjaannya.

"Kamu pulang naik apa?" Pertanyaan Bram menghentikan langkah Andra. Tadinya, gadis itu bermaksud menuju pelataran.

"Sudah pesan taksi, Pak."

"Batalkan saja!"

Mulut Andra menganga mendengar perintah lelaki itu. Sekarang mau apa lagi makhluk tampan ini? "Tapi, Pak...?"

"Kamu mau sampai kos jam berapa kalau menunggu taksi datang?"

"Nggak sampai satu jam biasanya."

Beberapa pasang mata mengawasi mereka. Menatap iri pada kedekatan gadis berponi dan bertubuh mungil pada Bram. Siapa pun tahu lelaki itu adalah salah satu incaran para karyawati lajang di kantor ini.

"Coba saya lihat!" Bram mengulurkan tangan. Meminta gawai yang dipegang Andra.

"Nggak perlu, Pak. Lima belas menit lagi taksinya datang."

Andra jadi tidak nyaman. Baru kali ini ada orang yang memaksa ingin melihat isi ponselnya. Terlebih, orang itu bukanlah keluarga atau pasangannya.

"Saya mau bicara dengan driver-nya." Bram merendahkan nada suaranya.

Setelah berpikir sejenak, Andra memberikan telepon genggamnya. Meskipun jengah, Andra juga penasaran. Ingin tahu apa yang bakal disampaikan oleh lelaki itu.

"Pak Bram mau minta driver-nya jadi pembalap?" tebak Andra.

Bram tidak menyahut. Lelaki itu langsung menghubungi si pengemudi melalui aplikasi.

"Maaf, saya batalkan, ya, Pak. Sudah ada yang menjemput saya," tukas Bram begitu tersambung. Tak lupa, lelaki itu menekan menu "cancel" setelah percakapan usai.

Andra kembali dibuat terperangah dengan ulah lelaki itu. Seenaknya saja membatalkan taksi online yang dipesannya. Sudah ada yang menjemput katanya. Jemputan dari alam gaib?!

"Lho, Pak, kenapa di-cancel? Saya pulangnya gimana?" protes Andra sengit.

Sekarang, gadis itu sudah tidak peduli lagi dengan posisi mereka sebagai bos dan anak buahnya. Andra tidak terima dengan apa yang dilakukan Bram. Apa lelaki itu tahu kalau Andra susah payah memperoleh taksi? Sudah empat driver menolaknya.

Bram tidak menggubris omelan Andra. Dikembalikannya gawai gadis itu sambil berkata, "Jangan panik begitu, dong, Ra. Kamu pulang bersama saya."

Tanpa berbasa-basi lagi, Bram langsung beranjak menuju pintu keluar. Lelaki itu tidak bisa memikirkan cara lain untuk memastikan Andra pulang bersamanya. Andra pasti menolak dengan berbagai alasan. Bram sudah letih untuk berbantah-bantahan hari ini.

"Ya, Tuhan. Masih berapa banyak cobaan yang harus hamba lalui hari ini?" Andra mengadu dalam hati.

Dengan lesu, gadis itu mengekori Bram menuju tempat parkir di halaman gedung. Mirip seorang anak yang baru saja dimarahi sang ayah karena mendapat nilai buruk di sekolah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Asmara dalam Prahara   End of The Road

    "Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b

  • Asmara dalam Prahara   126. Selebrasi

    Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit

  • Asmara dalam Prahara   125. Takdir Asmara

    Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal

  • Asmara dalam Prahara   124. Puncak Prahara 2

    Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling

  • Asmara dalam Prahara   123. Puncak Prahara 1

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar

  • Asmara dalam Prahara   122. Hantu dari Masa Lalu

    Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status