Jakarta, 6 Agustus 2001 "Kalau kamu bukan anakku, sudah kukirim kamu ke penjara!" hardik Baswara Prawiradirga. Pria itu berdiri sambil menodongkan telunjuk pada seorang laki-laki muda di hadapannya. Pemuda berusia 21 tahun itu duduk bersandar di salah satu sisi sofa panjang dari kulit berwarna coklat tua. Rambutnya ikal tergerai sedikit melewati bahu. Cuping hidung mancungnya dihiasi sebentuk anting perak. Sebagaimana telinga kirinya.Dia menatap Baswara tanpa ekspresi. Membuat bara di dada orang tua itu kian meletup-letup. "Sabar, Mas," bujuk Adhilangga Prawiradirga, sang adik, seraya menepuk-nepuk bahunya. "Kita selesaikan masalah ini baik-baik." "Bagaimana aku bisa sabar? Anak ini harus diberi pelajaran!" Baswara mengepalkan tangan kanannya. "Tenang, Mas! Tenang! Jangan sampai semua tambah runyam!" Adhil membimbing sang kakak agar kembali ke tempat duduknya: sebuah kursi besar yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Kemudian, lelaki berusia awal 40 an itu berpaling kepada kepon
Jakarta, 8 Februari 2018 “Hai, Ndra. Bram ada di ruangan?” sapa seorang perempuan. Aroma bunga-bungaan bercampur kayu-kayuan seketika memenuhi udara. Begitu Andra mengangkat kepala dari layar laptop, matanya bersirobok dengan Imelda Cakrawangsa. Perempuan itu tahu-tahu sudah berdiri di depan mejanya. Pagi itu, Imel mengenakan slip dress satin berwarna marun yang jatuh di atas lutut. Bagian atas gaunnya cukup rendah sehingga menampakkan belahan dadanya. Sebuah kalung emas dengan liontin bertatahkan berlian menghias leher jenjangnya. Blazer hitam menyelamatkan penampilannya agar lebih pantas. Di usianya yang sudah kepala empat, Imel terlihat memesona. Kulitnya halus terawat. Putih seperti porselen. Imel terlihat beberapa tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Ketika masih duduk di bangku perguruan tinggi, perempuan itu sempat menjadi model iklan produk kosmetik. Wajahnya pernah menghiasi halaman media cetak dan layar televisi. Perusahaan kosmetik itu tidak salah memilihnya. “Ada, B
Jakarta, 6 Agustus 2001 "Bram, maaf kalau menurutmu Om ikut campur. Apa tidak sebaiknya kamu jelaskan alasanmu? Om tahu kamu tidak akan melakukan sesuatu tanpa ada penyebabnya." Adhil bertutur hati-hati. Adhilangga bermaksud melerai pertikaian sang kakak dengan putranya. Sebisa mungkin pria berambut cepak itu ingin berada di posisi netral. "Aku yakin Om Adhil pasti sudah tahu alasannya," sahut Bram. Pemuda itu bertahan dengan pendiriannya. Sama seperti sang ayah, sejak awal memasuki ruangan, wajahnya terlihat suram. "Jadi, aku tidak perlu menghamburkan perkataanku." Baswara tercenung menyimak pembicaraan adik dan anak laki-lakinya. Sepertinya, Adhil sudah mengetahui apa yang dia disembunyikan selama ini. Keluarga besar Prawiradirga sudah mengendus sepak terjangnya. Baswara tidak menyadarinya. Lelaki itu sudah bermain api. Sebelum almarhumah Hapsari divonis terkena leukemia. Adhil sendiri tidak menyangka sang kakak bisa berbuat seperti itu. Yang diketahuinya, rumah tangga Baswara
Jakarta, 8 Februari 2018 Setelah menyelesaikan urusannya dengan Bram, Imel meninggalkan ruang procurement. Perempuan itu menyunggingkan senyum sekilas ketika melewati meja Andra. Gadis itu membalas. Dengan senyum terpaksa. Sementara itu, tangannya mengangkat telepon yang berdering. “Ra, sudah selesai?” Suara Bram menyapa begitu gagang telepon menempel di telinga Andra. “Sudah 70%, Pak. Pak Bram perlu sekarang?” Andra menyahut sambil menggeser-geser mouse di tangannya. “Selesaikan setelah makan siang saja. Kamu kerjakan yang lain dulu. Saya ada meeting di luar siang ini. Sore baru kembali.” Tenggorokan Andra seperti tercekat. Jantungnya seakan mencelos. Sungguh aneh. Seharusnya dia senang Bram memundurkan tenggat waktu pekerjaannya. Gadis itu malah kecewa. “Maksudnya, meeting dengan Bu Imel?” tanya Andra pada diri sendiri. Ah, mengingat nama itu seakan mengisap habis semua semangatnya. “Baik, Pak. Oh, iya. Kontrak baru pengadaan kain untuk pabrik Surabaya belum ditandatangani.”
Jakarta, 8 Februari 2018 Sepasang mata mengawasi ketika Andra beranjak menuju ruangan Bram. Tuh benar, kan? Pasti di antara mereka ada apa-apa. Cara Bram memperlakukan gadis itu begitu berbeda. Beberapa kali Alena mendengar dengan telinganya sendiri. Betapa mesranya nada suara Bram setiap kali berbicara dengan Andra. Seperti berbicara dengan seorang kekasih. Bertolak belakang ketika berbicara dengannya dan para kolega yang lain. Tegas dan menjaga jarak. Meskipun, sudah lebih ramah dari sebelumnya. Perempuan itu kerap menerka-nerka. Apakah Andra benar-benar polos atau berlagak bodoh? Bagaimana bisa gadis itu tidak menyadari perhatian Bram padanya? Pasti dia hanya berpura-pura. Andra selalu mengingkari apa yang tampak jelas di mata Alena. Juga beberapa kawan-kawannya yang lain. Memaksa gadis itu agar berterus terang adalah perbuatan sia-sia. Dia akan bungkam seribu bahasa. “Nggak ada yang istimewa, Mbak. Semua diperlakukan sama. Aku juga dimarahi kalau salah,” sanggah Andra. Sore
Jakarta, 8 Februari 2018 Bram menyusuri tempat parkir sebuah hotel bintang lima. Dia melewatkan beberapa panggilan dari Imel di telepon genggamnya. Perempuan itu pasti sudah menunggunya. Hotel itu adalah salah satu klien terbesar dari Cakrawangsa Persada Group. Semua set tempat tidur, juga sofa, meja, serta kursi di setiap ruangan, dipasok dari Cakrawangsa Furniture. Sementara tirai, bedding set, taplak meja, dan karpet, disuplai oleh Cakrawangsa Textile. Sebenarnya, Bram enggan jika harus bersinggungan dalam acara bernuansa non formal dengan Imel. Sebisa mungkin, Bram ingin berada sejauh-jauhnya dari perempuan itu. Bukan hanya karena Imel telah bersuami. Lelaki itu juga tidak ingin membuka jalan bagi Imel untuk kembali masuk ke hidupnya. Hubungan mereka saat ini hanyalah sebatas rekan kerja. Sebagai pemilik perusahaan dan pegawainya. Tidak lebih dari itu. Apalagi, rumah tangga Imel sedang dihantam badai. Bram tidak ingin terlibat di dalam pusarannya. Tujuan Bram menginjakkan
Jakarta, 9 Oktober 2001 "Kamu sinting, ya, Bram?! Aku mana berani? Keluargamu kan bukan orang sembarangan! Kalau sampai mereka tahu bapakku menjadikan kamu sopir pribadinya, bisa mampus lah!" umpat Stanley sambil mendorong bahu Bram. Siang itu mereka tak sengaja berpapasan di depan pintu masuk gedung milik Cakrawangsa Persada. Bram baru selesai melakukan sesi wawancara. Sedangkan Stanley hendak menemui ayahnya untuk suatu keperluan.Stanley nyaris tidak mengenali Bram. Penampilannya sudah berubah. Bram memangkas rambut gondrongnya dengan gaya klasik belah pinggir. Anting-anting yang biasa menghiasi telinga dan cuping kiri hidungnya pun sudah tidak terlihat. Pemuda itu mengenakan pakaian rapi ala para pencari kerja. Kemeja dan celana bahan fit body membungkus tubuhnya. Bukan lagi celana jeans belel yang sobek di bagian lutut. Yang dipadu plus jaket kulit atau kemeja flanel kebesaran.Tampaknya, takdir mempertemukan kembali dua orang pemuda itu. Mereka tidak berjumpa sejak lulus seko
Jakarta, 8 Februari 2018 "Kalau sudah selesai makan malam, ke sini ya. Ibu mau bicara," pinta Bu Rima ketika Andra menjawab panggilan di telepon genggamnya. "Ada apa ya, Bu? Saya ke sana sekarang aja, ya?" "Ya, sudah." Gadis itu bangkit dari kasur tanpa dipan yang baru saja dia ganti spreinya. Dia mengikat rambutnya menjadi satu ke belakang. Sambil bersidekap Andra beranjak meninggalkan kamar. Malam itu dia mengenakan celana dan kaos lengan panjang. Di luar hujan belum reda sejak sore. Udara Jakarta terasa lindap. Membuat orang ingin bergelung di dalam selimut. Untung saja Bram sedang sibuk menghubungi seorang suplier dari Italia menjelang pukul 18.00 tadi. Andra jadi bisa menyelinap diam-diam untuk pulang lebih dulu. Kalau tidak, mungkin saat ini dia baru keluar dari kantor. Bu Rima sendiri yang membuka pintu setelah Andra mengucap salam. Aroma bunga lili tercium dari tubuh perempuan berusia awal 50 an itu. Bu Rima baru selesai mandi rupanya. "Yuk, sini ngobrol di dalam," ajak