Beranda / Zaman Kuno / Asmaraloka Sang Putri Pusaka / Bab 54 Perpisahan di Persimpangan

Share

Bab 54 Perpisahan di Persimpangan

Penulis: Fei Adhista
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-28 22:50:44

Jalan setapak itu akhirnya membawa mereka ke persimpangan, satu jalur menuju ke luar hutan, arah persembunyian Rakai dan satu jalur lain kembali ke Pasren. Kabut makin tebal, udara dingin menusuk, dan suara hutan malam terdengar seperti bisikan.

Arum berhenti. Tatapannya beralih pada Raras. “Di sini kita berpisah. Aku harus kembali ke Pasren. Ada tugasku sendiri yang tak bisa kutinggalkan.”

Raras melipat tangan di dada, lalu melangkah mendekat. “Ih, baru kenal sebentar sudah putus. Kamu ini gampang banget.”

Arum mendesah, menahan kesal. “Gusti Raras…”

Namun tiba-tiba Raras meraih tangannya dan memeluknya erat-erat. Arum sempat kaku, matanya membelalak, sementara Sitira di samping hampir tersedak ludah sendiri.

“Terima kasih ya, Arum. Tapi mulai sekarang… jangan berharap bisa bersaing sama aku.” Raras menyeringai nakal, wajahnya mendekat. “Soalnya, aku nggak bakal rela dimadu. Rakai cukup satu istri aja, dan itu aku.”

Arum terdiam, wajahnya dingin tapi pipinya nyaris merona enta
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 105

    Perjalanan Raras memasuki lembah yang sunyinya tidak wajar. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, membuat udara terasa berat.Rakai berjalan paling depan, matanya tajam mengawasi setiap pergerakan.Raras dan Alin berada di tengah, sementara Reyas dan Arya berjalan di belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti.“Aneh…” gumam Arya. “Burung pun tidak bersuara.”Rakai hendak menanggapi—ketika tiba-tiba suara gemuruh dari arah barat memecah kesunyian.DUAAARRR!!!Tanah bergetar. Burung-burung beterbangan panik.Raras menahan langkah.“Apa itu?” bisiknya.Tidak lama setelah itu, mereka melihat asap tebal mengepul dari tanah rendah di depan.“Cepat! Ikuti aku!” Rakai berlari menuruni lereng.Di dasar lembah…mereka menemukan sepasang kakek-nenek sedang berjuang menyelamatkan sesuatu.Sebuah gerobak penuh rumput kering terbakar, sementara di bawahnya seekor sapi muda terjebak dalam belitan kayu patah.Api menyala keemasan, menjilat udara.Kakeknya batuk-batuk, mencoba memadamkan ap

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 104

    Benteng Wiru masih basah oleh hujan ketika kabar itu jatuh seperti petir di ruang pribadi Putri Wening.Pintu kamar dibuka terburu-buru. Dua pengawal masuk sambil berlutut.“Gusti Putri… Putri Ajeng tidak ada di penginapan.”Suara pengawal itu gemetar.“Kereta yang membawa Arya dan rombongannya… disergap. Mereka menghilang.”Wening berdiri perlahan dari kursi riasnya.Gerakan itu begitu pelan hingga udara seakan menahan napas.Wajahnya tetap cantik.Tetap anggun. Namun matanya kosong.“Ulangi.”Suaranya datar. Berbahaya.Pengawal kedua menelan ludah. “Gusti… wanita bernama Ajeng—”“Ajeng…!!” Wening menjerit mendadak.Cermin di meja rias bergetar.Pengawal langsung tersungkur semakin rendah.Wening melangkah maju, gaunnya menyapu lantai batu.“Apa tadi kau bilang? Ajeng menghilang?”Pengawal mengangguk dengan tubuh sepenuhnya gemetar.Tangan Wening terangkat—BRUK!Ia menyapu segala isi meja riasnya hingga berjatuhan ke lantai, sisir perak, wadah bedak, perhiasan kecil, semua hancur ber

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 103

    Hujan semakin deras. Api unggun kecil yang tadi menerangi wajah Arya kini hampir padam, menyisakan cahaya jingga yang goyah.Rakai belum sepenuhnya melepaskan Raras dari pelukannya ketika suara langkah lain terdengar dari balik pepohonan.Suara serak Alin memanggil pelan:“Gusti… Raras…”Raras menoleh cepat, mata membesar lega.“Alin!”Tapi kelegaannya langsung berubah kaku begitu ia melihat siapa yang berdiri di samping Alin.Reyas.Dengan pakaian basah kuyup, rambut berantakan, dan tatapan penuh kewaspadaan.Seolah bersiap jika ada yang menyerangnya.Dan memang… ada.Rakai mematung sedetik. Napasnya terputus.Tatapannya turun ke tangan Alin. Lalu ke wajah Reyas yang berdiri menjaganya.Tatapan itu berubah gelap.Seperti bayangan badai.“Kau…” suara Rakai rendah, hampir seperti geraman binatang yang terpojok.Reyas menegakkan badan. “ Gusti!"Hanya satu kata, tapi cukup untuk membuat amarah Rakai meledak.Tanpa aba-aba, Rakai menerjang.Tinju pertamanya melesat ke pipi Reyas.BRAK!R

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 102

    Udara malam terasa menggigit. Embusan angin membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru diguyur hujan. Di antara keremangan dan kabut tipis, Raras melangkah lebih cepat dari seharusnya. Adrenalin yang masih tersisa membuat dada dan napasnya naik-turun, tapi justru membuat lidahnya semakin lincah.“Reyas,” gerutunya tanpa menoleh, menyibak ranting dengan satu kibasan tangan, “aku ingin memastikan satu hal.”Reyas mengikuti setengah langkah di belakang, membawa obor kecil yang cahayanya terus bergetar diterpa angin. Ia tak menjawab, karena pengalaman memberitahunya bahwa sebuah jawaban bisa memicu ceramah selama sepuluh menit berikutnya.Raras berhenti, menoleh lebar, alisnya naik sebelah.“Orang normal,” ujarnya, menekankan setiap suku kata, “kalau mau bicara, ya bicara. Bukan menyergap dari belakang, ngiket orang, terus membiarkan aku tidur di lantai dingin seperti umbi-umbian yang siap dijemur.”Alin yang berjalan di tengah hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan. Bahunya s

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 101

    Raras terbangun dengan kepala berdenyut, udara dingin dan bau tanah basah mengisi hidungnya. Tubuhnya bersandar pada tiang kayu, kedua tangan diikat ke belakang dengan tali kasar yang mengiritasi kulitnya.Alin terikat tak jauh darinya, wajahnya pucat tetapi matanya masih menyala.“Gusti Raras… Jenengan sadar?” bisik Alin pelan.Raras mengangguk kecil, menelan rasa perih di bibirnya. “Kita di mana?”“Diculik,” Alin menelan ludah. “Tapi mereka tidak menyentuh apa-apa… hanya mengikat kita dan meninggalkan penjaga di luar.”Raras memejamkan mata sejenak, mengatur napas. “Mereka bukan bandit biasa,” katanya lirih. “Tali yang dipakai ini simpulnya… simpul prajurit.”“Tapi… siapa yang ingin menculik kita? Apa Wening yang—”“Jangan sebut namanya keras-keras.”Raras melirik celah dinding bambu, memastikan tidak ada bayangan mendekat.Hujan masih tipis, menetes dari celah atap. Suara gaduh para penculik terdengar samar dari luar: mereka berbicara pelan, tidak ada tawa kasar, tidak ada ancaman…

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 100

    Kabut turun rendah, membuat suara langkah kuda terdengar lebih jelas dari biasanya. Arya menggenggam kendali kereta lebih kuat. Alin duduk di sampingnya, wajah pucat tetapi tenang. Sementara Raras berada di dalam, berusaha menenangkan napasnya yang belum juga stabil.Raras baru ingin membuka tirai ketika Arya tiba-tiba berkata pelan:“Jangan keluar. Ada sesuatu.”Alin menegakkan punggung.Arya menarik kudanya berhenti.Di depan mereka, empat lelaki berjubah gelap muncul dari balik pepohonan. Mereka tidak berbicara, hanya berdiri diam, seperti bayangan pepohonan yang tiba-tiba hidup.Arya turun dari kereta dengan gerak perlahan, satu tangan memegang gagang keris.“Punten… ada perlu apakah menghadang kami?”Tidak ada jawaban.Hanya satu gerakan kecil.Sesuatu melesat dari arah samping, anak panah kecil.“Tunduk, Alin!”Arya menangkis dengan bilah kerisnya. Dentuman logam terdengar tajam.Dari sisi lain jalan, empat orang tambahan keluar.Lalu dua lagi dari belakang.Sepuluh.Jumlah yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status