LOGINDari kejauhan, Bima memerhatikan perempuan yang tengah berbaring lemah di ranjang pasien. Di sebelah wanita itu ada berdiri seorang dokter dan perawat, ketiganya terlihat berbincang banyak.
Bima harusnya menghampiri mereka dan bertanya keadaan perempuan yang diselamatkan olehnya, tetapi rasa khawatir memberikan ketidaknyamanan membuat nyali komandan militer itu ciut.
Ketika perawat Sonya —tenaga medis yang menghubungi Bima sesaat lalu, mengabarkan tentang Arafah— tidak sengaja beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu, barulah Bima bersedia mendekat.
"Suatu hal yang baik Komandan datang diwaktu visite dokter," kata Sonya menyapa. "Dokter sedang menjelaskan keadaan Mbak Arafah. Saya pikir Komandan juga perlu tau perkembangan kondisinya."
Bima lantas mengambil posisi siap—sedia mendengarkan, lumayan gugup sebab dia tidak pernah menjadi wali dari siapapun.
Sedang perempuan yang rupanya memiliki mata indah itu hanya menatap kosong ke arah Bima. Bibir dan kulitnya pucat, persis orang yang tengah sakit dan nampak begitu lemah.
"Mbak Arafah sangat beruntung karena bertemu dan diselamatkan oleh Komandan Bima," ucap Dokter yang tahu sedikit—banyak cerita penyelamatan penyintas cantik yang satu itu. "Luka yang mustinya serius mendapatkan pertolongan pertama yang tepat, sehingga kemungkinan terburuknya dapat diatasi."
Arafah lantas menatap Bima yang terlihat enggan memandangnya. Sebuah tatapan yang bermakna dalam.
"Tapi saya tetap tidak bisa jalan, Dok," sanggah perempuan yang terdengar tidak sama bahagia dan bersyukur sebab sudah dibantu. "Saya lumpuh, saya cacat sekarang. Bukankah artinya sia–sia saja menyelamatkan saya?"
Bima sontak terhenyak kala penuturan Arafah mengejutkan keheningan diantara mereka berempat.
Sesuatu yang harusnya menjadi kabar baik rupanya disalahartikan oleh perempuan berkerudung itu. Menganggap bahwa aksi heroik Bima malah menjadi mala petaka untuknya.
"Harusnya saya dibiarkan saja, harusnya saya tertimbun bersama dengan Tuan dan Nyonya saya! Saya sudah tidak punya siapa–siapa, Dokter. Sekarang kaki saya juga tidak bisa digunakan lagi, saya tidak bisa berjalan!"
"Tapi kondisi ini hanya sementara, Mbak Arafah." Dokter menyela dengan tenang dan tanpa emosi. Berusaha memperlihatkan sikap caring pada pasiennya yang tengah berduka ini.
Kehilangan nyatanya sangat berpengaruh pada seseorang, bisa membuat kepercayaan diri—keyakinan—kebanggaan pada diri sendiri mengalami masalah.
Bukan satu atau dua pasien yang mirip seperti Arafah. Oleh karenanya dokter dan perawat tersebut sudah sangat paham bagaimana cara menyikapi dan memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan Arafah—salah satunya cara mengutarakan rasa sedih, kecewa, dan amarah.
"Percaya kalau kesulitan dan kedukaan yang Mbak alami sifatnya sementara," tekan Perawat Sonya.
"Sementara?" Arafah mengintrupsi, berdecak bermaksud protes. Sebelah alisnya yang terangkat begitu menggambarkan ketidaksukaan. "Lalu berapa lama saya akan hidup dengan keadaan ini?"
Dokter dan perawat saling pandang, sebelum balasan pada akhirnya diberikan. "Setidaknya kita bisa lakukan rehabilitasi untuk mempercepat proses penyembuhan—" kata dua tenaga medis itu, saling dukung dan menguatkan.
"Setahun? Dua tahun?" Arafah mencetuskan tenggat waktu yang sekiranya menjadi jawaban dari kekhawatiran dan kecemasan yang dia rasakan.
"Mbak Arafah." Perawat Sonya yang diam pada akhirnya ikut bicara, tiada maksud melarang Arafah yang tengah meluapkan bentuk kesedihannya. Perawat cantik itu hanya ingin menenangkan Arafah yang dipastikan saat ini tidak mampu berpikir positif.
"Dokter sudah jelaskan kalau kemungkinan Mbak bisa berjalan kembali itu besar. Jadi kita sama–sama usahakan, berikhtiar, kemudian pasrahkan hasilnya pada Yang Diatas. Percaya kalau semuanya akan indah—"
"Berusaha untuk apa?" potong Arafah tiap kali ada yang berusaha menilai baik keburukan yang menimpanya. Suara semakin meninggi. "Siapa yang bisa jamin saya bisa kembali ke keadaan seperti semula? Dokter atau Suster bisa jamin?"
"Maka dari itu Mbak harusnya optimis sembuh. Tidak ada yang tau mukjizat akan membersamai siapa, Mbak. Fakta kalau Mbak Arafah tetap hidup hingga sekarang saja sudah merupakan suatu keajaiban." Dokter bermonolog kesekian kali.
Arafah tersenyum mengejek saat lelaki bersnelli itu melontarkan sudut pandangnya. "Terima kasih banyak untuk bantuannya, Dok. Tapi saya butuh waktu sendiri, jadi tolong semuanya pergi!"
Tidak meminta dua kali, Dokter mengabulkan apa yang menjadi keinginan Arafah. Barangkali yang dibutuhkan oleh sosok malang itu ialah waktu berdamai dengan yang tlah Tuhan gariskan.
Setelah Dokter dan Perawat pergi, tersisa Komandan Bima yang tidak bergerak dari posisinya. Pria bertubuh tegap itu hanya diam memerhatikan Arafah tanpa sedikitpun mengeluarkan kata–kata.
"Anda tidak dengar apa permintaan saya tadi?" sindir perempuan yang mulanya hendak menangis, namun tidak jadi sebab dirasa masih ada yang memerhatikannya.
"Saya minta anda pergi karena saya mau sendiri!" ucap Arafah dengan nada yang lumayan lantang. "Pergi!"
Komandan Bima menatap perempuan yang memerintahnya dalam diam—tidak balik menentang. Ini adalah momen pertama kalinya ada seseorang yang berani bertindak demikian pada Bima.
Sebab selama di markas, Bimalah yang memberi perintah, bukan diperintah. Asing rasanya, namun dari itu tidak juga belajar menahan sabar.
Pria bertubuh atletis itu menarik kursi, duduk dengan santai tanpa menjawab perkataan Arafah untuk yang kali ini.
"Saya akan berpura–pura tidak dengar kalau kamu memang mau menangis. Anggap saja saya tidak ada di sini dan lakukan apapun yang kamu ingin lakukan," ujarnya tanpa menatap lawan bicara.
Sontak Arafah kesal dan menilai Bima sebagai orang tidak sopan—keras kepala—lagi angkuh. Karena menurutnya permintaan yang baru dia utarakan terlalu sederhana untuk ditolak, namun Bima dengan menyebalkannya malah melakukan hal yang bertentangan dengan keinginannya.
"Gimana saya bisa anggap kamu tidak ada sedangkan kamu berdiri dengan tubuh sebesar ini?" ketusnya, menyanggah berani. "Sekali lagi saya minta dengan baik–baik, tinggalkan saya sendiri!"
"Saya minta maaf, Arafah." Bima tiba–tiba memotong, "Saya merasa bersalah karena membuat kamu merasa buruk. Tapi tolong jangan usir saya dari sini karena saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak meninggalkan kamu sendirian."
Bima mengambil jeda. "Sejak saya temukan kamu, saya sudah berjanji pada Yang Kuasa untuk melindungi dan membantu kamu sampai akhir. Saya minta pada–Nya memberi saya kekuatan sehingga bisa menyelamatkan kamu."
Arafah sudah tidak mampu lagi menahan tangis, dia lepaskan segala bentuk emosi yang menyesakkan dadanya.
"Kenapa semua ini terjadi padaku?" tanya Arafah dalam isaknya yang pilu. "Dari sekian banyak, kenapa keluarga tempatku tinggal yang harus menerima kejahatan mereka? Sekarang aku harus bagaimana?"
Biar Bima putar—ulang kembali apa yang sudah Arafah alami. Perempuan berparas meneduhkan dengan hati yang luar biasa tegar ini merupakan seorang Tenaga Kerja Indonesia yang tinggal berstatuskan sebagai pengasuh lansia —ketika kota kecil tempatnya bekerja— dibombardir habis–habisan sebab berkonflik dengan sekelompok orang serakah yang ingin menguasai seluruh wilayah yang ada.
Arafah sama sekali tidak tahu dan tidak pernah membayangkan kehidupannya akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi penuh kedukaan ketika bangunan tempatnya bekerja runtuh terkena dampak.
Memang bukan hanya Arafah yang mengalami kemalangan, seperti kata Dokter harusnya dia bersyukur karena masih diberi kesempatan, tetapi tetap saja hatinya sangat–sangat terluka.
Dunianya menjadi gelap gulita.
"Aku sudah tidak punya siapa–siapa di sini, aku tidak tahu harus pergi kemana lagi," bisik Arafah pelan sekali. "Belum lagi dengan kondisiku ini, aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan atau tidak."
"Saya pastikan kamu akan baik–baik saja," kata Bima dengan kesungguhan dan keyakinan penuh. Menatap lembut dua mata indah perempuan yang tengah menangis memandangnya.
Bima melanjutkan setelah beberapa saat. "Ini janji saya, saya akan pastikan kamu aman dan bisa melewati ujian dari–Nya."
Dua tahun kemudian, aroma laut Uskudar berganti dengan wangi tanah basah di pinggiran kota Bogor. Rumah yang mereka tempati kini jauh dari keramaian, dikelilingi pohon kopi dan ladang kecil yang menguning saat musim panen tiba. Bima, yang sudah pensiun dari dinas militernya, lebih sering mengenakan kaos polos dan celana pendek, berjalan tanpa alas kaki sambil menggendong bayi kecil di pundaknya."Pelan, Pak Komandan. Bayinya belum bisa dikasarin," seru Arafah dari dapur."Namanya bukan kasar, ini latihan jadi tentara," jawab Bima sambil mencium pipi bayi itu, yang langsung tertawa renyah.Anak perempuan mereka, Aksara, kini berusia 11 bulan. Lahir dengan rambut hitam tebal dan tatapan yang penuh rasa ingin tahu, seperti Arafah. Tapi setiap kali dia tertidur di dada Bima, tak ada yang bisa menyangkal bahwa dia juga punya ketenangan yang hanya dimiliki oleh ayahnya.Bima masih ingat hari itu—seperti napas pertama setelah tenggelam terlalu lama. Aksara baru lahir dua minggu. Kulitnya mas
Udara pagi di Uskudar masih dingin saat suara langkah kaki kecil menggema dari arah rumah putih itu. Panca, bocah lima tahun dengan rambut acak dan tawa khas yang memecah sunyi, berlari-lari kecil menuju taman belakang. Di tangannya ada dua gelas susu cokelat, satu untuk dirinya, satu lagi untuk orang yang tak henti dia sebut sebagai "ayah."Bima menyambutnya dengan senyum yang tidak lagi menyimpan ragu. Dia duduk di bangku taman yang sama, tempat melamar Arafah malam–malam sebelumnya. Matanya menatap langit yang mulai membiru, lalu beralih ke wajah anak itu—wajah yang kini tak asing, tak lagi mengundang pertanyaan."Aku bawa ini, Ayah," kata Panca bangga."Terima kasih, Nak," jawab Bima. Kata 'Nak' meluncur begitu saja, ringan dan hangat seperti matahari pagi yang mulai naik.Tak lama, Arafah muncul dari balik pintu kaca, membawa selimut dan roti panggang yang baru matang. Dia tak lagi mengenakan baju rumah, tapi sebuah sweater panjang warna lembut dan rok sederhana. Berkerudung sepe
Bima menatap Panca yang berlari-lari kecil di taman yang tak jauh dari rumah. Tawanya lepas, seakan dunia tidak memiliki beban sedikit pun di bahunya. Bocah itu berlari menuju ayunan dan meminta Bima untuk mendorongnya lebih tinggi.Bima tersenyum samar, berjalan ke belakang Panca, lalu mendorong ayunan perlahan. Setiap tawa bocah itu adalah suara yang menenangkan, tetapi sekaligus menyakitkan bagi Bima—karena dia baru mendengar suara itu sekarang, lima tahun terasa begitu terlambat.Di sisi lain, Arafah duduk di bawah pohon, memperhatikan mereka dari jauh. Dia mengira melihat Bima dan Panca bersama akan membuatnya merasa takut. Dia mengira, jika Bima mulai terlibat dalam hidup mereka, dirinya akan merasa cemas bahwa dia akan kehilangan putranya. Namun, kenyataannya, melihat mereka bersama justru menimbulkan perasaan lain—perasaan yang jauh lebih dalam dari sekadar ketakutan. Kerinduan. Lima tahun, Arafah hidup dalam ketidakberadaan Bima di sisinya. Lima tahun, dia membangun din
Sejak hari itu—hari ketika mata Bima bersirobok dengan masa lalu yang tak pernah benar–benar dia kubur—waktu seolah berjalan begitu pelan. Pertemuannya dengan Arafah di Masjid Biru telah mengguncang segala yang selama ini dia usahakan untuk dikubur dalam-dalam: kenangan, cinta, dan luka yang tidak pernah sembuh.Bima menyimpan pertemuan itu rapat–rapat di dalam dada, seperti bara yang tak padam. Namun malam-malam di Istanbul tak memberinya cukup ruang untuk tenang. Kenyataan bahwa perempuan itu masih hidup telah mengaduk isi jiwanya. Terlebih saat menyadari kemungkinan besar bahwa anak itu—anak bernama Panca—mungkin adalah darah dagingnya.Di sebuah penginapan kecil di pinggiran Eminönü, Bima duduk membisu di balkon, membiarkan dingin senja menempel di kulit. Cahaya matahari terakhir mengalir ke sela dedaunan, seolah mencoba menyelinap ke celah hatinya yang tertutup rapat.Bima mengangkat ponsel dan menekan nama yang telah lama menjadi tempatnya bersandar—dokter Yudha. Sambungan tersa
Sudah tiga kali Bima melangkahkan kaki ke Masjid Biru, namun baru kali ini hatinya terasa benar–benar kosong.Kunjungan pertama, niat awalnya hanya ingin mencari damai. Menyendiri dari riuh dunia yang terasa asing sejak kepergian Arafah, Kirana, juga putranya yang tak sempat mengenal dunia. Namun, di sela langkah para pengunjung yang saling berpapasan, Bima melihatnya—sosok perempuan berkerudung putih. Sekilas, cukup untuk mengguncang dadanya. Wajah itu, bahu yang sedikit miring ke kiri, gerak bibir yang pelan saat membaca ayat—semuanya menyerupai Arafah. Tapi seperti bayangan, perempuan itu lenyap sebelum sempat dia pastikan.Kedua kalinya, Bima datang membawa harapan kecil yang nyaris tak bernama. Di pelataran masjid, seorang bocah lelaki dia selamatkan. Bocah itu menoleh dan tersenyum, menyapa dengan nama yang terlalu manis untuk dilupakan."Namaku Panca," katanya riang. Ada yang aneh di wajahnya—seperti cermin yang menampakkan masa lalu. Alisnya, garis rahang, cara diamemiringkan
Sejak hari itu—hari ketika Bima mengira melihat siluet Arafah di antara ribuan jamaah Masjid Biru—Istanbul tidak lagi terasa sama.Ada yang berubah. Bukan pada langitnya, bukan pula pada arsitektur masjid yang tetap megah menantang waktu. Tapi pada dadanya. Pada sesuatu yang tiap sore datang sebagai degup yang tak mau diam, sebagai tanya yang menggantung di ujung-ujung langit senja.Maka setiap kali tugas berakhir, ketika suara tembakan dan perintah komando sudah berubah jadi bisikan-bisikan azan, Bima selalu kembali ke sana.Ke Masjid Biru.Bukan hanya untuk bersujud, melainkan untuk berharap. Barangkali Tuhan berkenan menyusun ulang waktu. Barangkali takdir kali ini tak berlalu.Sore itu, langkah Bima mengarah ke tempat wudhu di sisi utara masjid. Hujan turun perlahan, tak deras, tapi cukup membuat bebatuan marmar di sekitar masjid jadi licin. Bima baru saja menggulung lengan bajunya ketika matanya menangkap sosok kecil berlari-lari di antara keran wudhu.Seorang anak lelaki kecil—r







