Home / Romansa / Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara / Bab 3. Seperti Mimpi Buruk Untuk Arafah

Share

Bab 3. Seperti Mimpi Buruk Untuk Arafah

Author: Ucing Ucay
last update Huling Na-update: 2025-07-22 09:18:44

Dari kejauhan, Bima memerhatikan perempuan yang tengah berbaring lemah di ranjang pasien. Di sebelah wanita itu ada berdiri seorang dokter dan perawat, ketiganya terlihat berbincang banyak.

Bima harusnya menghampiri mereka dan bertanya keadaan perempuan yang diselamatkan olehnya, tetapi rasa khawatir memberikan ketidaknyamanan membuat nyali komandan militer itu ciut.

Ketika perawat Sonya —tenaga medis yang menghubungi Bima sesaat lalu, mengabarkan tentang Arafah— tidak sengaja beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu, barulah Bima bersedia mendekat.

"Suatu hal yang baik Komandan datang diwaktu visite dokter," kata Sonya menyapa. "Dokter sedang menjelaskan keadaan Mbak Arafah. Saya pikir Komandan juga perlu tau perkembangan kondisinya."

Bima lantas mengambil posisi siap—sedia mendengarkan, lumayan gugup sebab dia tidak pernah menjadi wali dari siapapun.

Sedang perempuan yang rupanya memiliki mata indah itu hanya menatap kosong ke arah Bima. Bibir dan kulitnya pucat, persis orang yang tengah sakit dan nampak begitu lemah.

"Mbak Arafah sangat beruntung karena bertemu dan diselamatkan oleh Komandan Bima," ucap Dokter yang tahu sedikit—banyak cerita penyelamatan penyintas cantik yang satu itu. "Luka yang mustinya serius mendapatkan pertolongan pertama yang tepat, sehingga kemungkinan terburuknya dapat diatasi."

Arafah lantas menatap Bima yang terlihat enggan memandangnya. Sebuah tatapan yang bermakna dalam.

"Tapi saya tetap tidak bisa jalan, Dok," sanggah perempuan yang terdengar tidak sama bahagia dan bersyukur sebab sudah dibantu. "Saya lumpuh, saya cacat sekarang. Bukankah artinya sia–sia saja menyelamatkan saya?"

Bima sontak terhenyak kala penuturan Arafah mengejutkan keheningan diantara mereka berempat.

Sesuatu yang harusnya menjadi kabar baik rupanya disalahartikan oleh perempuan berkerudung itu. Menganggap bahwa aksi heroik Bima malah menjadi mala petaka untuknya.

"Harusnya saya dibiarkan saja, harusnya saya tertimbun bersama dengan Tuan dan Nyonya saya! Saya sudah tidak punya siapa–siapa, Dokter. Sekarang kaki saya juga tidak bisa digunakan lagi, saya tidak bisa berjalan!"

"Tapi kondisi ini hanya sementara, Mbak Arafah." Dokter menyela dengan tenang dan tanpa emosi. Berusaha memperlihatkan sikap caring pada pasiennya yang tengah berduka ini.

Kehilangan nyatanya sangat berpengaruh pada seseorang, bisa membuat kepercayaan diri—keyakinan—kebanggaan pada diri sendiri mengalami masalah.

Bukan satu atau dua pasien yang mirip seperti Arafah. Oleh karenanya dokter dan perawat tersebut sudah sangat paham bagaimana cara menyikapi dan memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan Arafah—salah satunya cara mengutarakan rasa sedih, kecewa, dan amarah.

"Percaya kalau kesulitan dan kedukaan yang Mbak alami sifatnya sementara," tekan Perawat Sonya.

"Sementara?" Arafah mengintrupsi, berdecak bermaksud protes. Sebelah alisnya yang terangkat begitu menggambarkan ketidaksukaan. "Lalu berapa lama saya akan hidup dengan keadaan ini?"

Dokter dan perawat saling pandang, sebelum balasan pada akhirnya diberikan. "Setidaknya kita bisa lakukan rehabilitasi untuk mempercepat proses penyembuhan—" kata dua tenaga medis itu, saling dukung dan menguatkan.

"Setahun? Dua tahun?" Arafah mencetuskan tenggat waktu yang sekiranya menjadi jawaban dari kekhawatiran dan kecemasan yang dia rasakan.

"Mbak Arafah." Perawat Sonya yang diam pada akhirnya ikut bicara, tiada maksud melarang Arafah yang tengah meluapkan bentuk kesedihannya. Perawat cantik itu hanya ingin menenangkan Arafah yang dipastikan saat ini tidak mampu berpikir positif. 

"Dokter sudah jelaskan kalau kemungkinan Mbak bisa berjalan kembali itu besar. Jadi kita sama–sama usahakan, berikhtiar, kemudian pasrahkan hasilnya pada Yang Diatas. Percaya kalau semuanya akan indah—"

"Berusaha untuk apa?" potong Arafah tiap kali ada yang berusaha menilai baik keburukan yang menimpanya. Suara semakin meninggi. "Siapa yang bisa jamin saya bisa kembali ke keadaan seperti semula? Dokter atau Suster bisa jamin?"

"Maka dari itu Mbak harusnya optimis sembuh. Tidak ada yang tau mukjizat akan membersamai siapa, Mbak. Fakta kalau Mbak Arafah tetap hidup hingga sekarang saja sudah merupakan suatu keajaiban." Dokter bermonolog kesekian kali.

Arafah tersenyum mengejek saat lelaki bersnelli itu melontarkan sudut pandangnya. "Terima kasih banyak untuk bantuannya, Dok. Tapi saya butuh waktu sendiri, jadi tolong semuanya pergi!"

Tidak meminta dua kali, Dokter mengabulkan apa yang menjadi keinginan Arafah. Barangkali yang dibutuhkan oleh sosok malang itu ialah waktu berdamai dengan yang tlah Tuhan gariskan.

Setelah Dokter dan Perawat pergi, tersisa Komandan Bima yang tidak bergerak dari posisinya. Pria bertubuh tegap itu hanya diam memerhatikan Arafah tanpa sedikitpun mengeluarkan kata–kata.

"Anda tidak dengar apa permintaan saya tadi?" sindir perempuan yang mulanya hendak menangis, namun tidak jadi sebab dirasa masih ada yang memerhatikannya.

"Saya minta anda pergi karena saya mau sendiri!" ucap Arafah dengan nada yang lumayan lantang. "Pergi!"

Komandan Bima menatap perempuan yang memerintahnya dalam diam—tidak balik menentang. Ini adalah momen pertama kalinya ada seseorang yang berani bertindak demikian pada Bima.

Sebab selama di markas, Bimalah yang memberi perintah, bukan diperintah. Asing rasanya, namun dari itu tidak juga belajar menahan sabar.

Pria bertubuh atletis itu menarik kursi, duduk dengan santai tanpa menjawab perkataan Arafah untuk yang kali ini.

"Saya akan berpura–pura tidak dengar kalau kamu memang mau menangis. Anggap saja saya tidak ada di sini dan lakukan apapun yang kamu ingin lakukan," ujarnya tanpa menatap lawan bicara.

Sontak Arafah kesal dan menilai Bima sebagai orang tidak sopan—keras kepala—lagi angkuh. Karena menurutnya permintaan yang baru dia utarakan terlalu sederhana untuk ditolak, namun Bima dengan menyebalkannya malah melakukan hal yang bertentangan dengan keinginannya.

"Gimana saya bisa anggap kamu tidak ada sedangkan kamu berdiri dengan tubuh sebesar ini?" ketusnya, menyanggah berani. "Sekali lagi saya minta dengan baik–baik, tinggalkan saya sendiri!"

"Saya minta maaf, Arafah." Bima tiba–tiba memotong, "Saya merasa bersalah karena membuat kamu merasa buruk. Tapi tolong jangan usir saya dari sini karena saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak meninggalkan kamu sendirian."

Bima mengambil jeda. "Sejak saya temukan kamu, saya sudah berjanji pada Yang Kuasa untuk melindungi dan membantu kamu sampai akhir. Saya minta pada–Nya memberi saya kekuatan sehingga bisa menyelamatkan kamu."

Arafah sudah tidak mampu lagi menahan tangis, dia lepaskan segala bentuk emosi yang menyesakkan dadanya.

"Kenapa semua ini terjadi padaku?" tanya Arafah dalam isaknya yang pilu. "Dari sekian banyak, kenapa keluarga tempatku tinggal yang harus menerima kejahatan mereka? Sekarang aku harus bagaimana?"

Biar Bima putar—ulang kembali apa yang sudah Arafah alami. Perempuan berparas meneduhkan dengan hati yang luar biasa tegar ini merupakan seorang Tenaga Kerja Indonesia yang tinggal berstatuskan sebagai pengasuh lansia —ketika kota kecil tempatnya bekerja— dibombardir habis–habisan sebab berkonflik dengan sekelompok orang serakah yang ingin menguasai seluruh wilayah yang ada.

Arafah sama sekali tidak tahu dan tidak pernah membayangkan kehidupannya akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi penuh kedukaan ketika bangunan tempatnya bekerja runtuh terkena dampak.

Memang bukan hanya Arafah yang mengalami kemalangan, seperti kata Dokter harusnya dia bersyukur karena masih diberi kesempatan, tetapi tetap saja hatinya sangat–sangat terluka.

Dunianya menjadi gelap gulita.

"Aku sudah tidak punya siapa–siapa di sini, aku tidak tahu harus pergi kemana lagi," bisik Arafah pelan sekali. "Belum lagi dengan kondisiku ini, aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan atau tidak."

"Saya pastikan kamu akan baik–baik saja," kata Bima dengan kesungguhan dan keyakinan penuh. Menatap lembut dua mata indah perempuan yang tengah menangis memandangnya.

Bima melanjutkan setelah beberapa saat. "Ini janji saya, saya akan pastikan kamu aman dan bisa melewati ujian dari–Nya."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 99. Rindu yang Kembali

    Bima berdiri mematung di depan mobil medis. Napasnya berat, meski medan hari ini tak seberat biasanya. Dia pandangi pintu putih dengan lo9go palang merah yang samar tertimpa debu sore. Kata perawat itu—Farel—perempuan yang selama ini hanya hidup dalam sisa-sisa doanya sedang ada di dalam."Kenapa saya justru takut kalau yang ada di dalam sana benar kamu, Rafah?" gumamnya lirih, was–was kala menyebut nama itu terlalu keras—karena mungkin akan meruntuhkan tembok yang selama ini dia bangun sendiri.Bima belum bergerak. Masih ada keraguan yang menahan. Dia bukan pengecut—tidak dalam perang, tidak juga dalam perintah. Tapi perkara hati, lain lagi. Hatinya tahu benar: tak semua yang dicari harus benar-benar ditemukan. Tidak semua yang kita doakan akan datang dalam bentuk yang kita harapkan.Satu langkah. Dua langkah. Tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu mobil medis yang tertutup rapat.Lalu suara itu datang. Seruan dari radio komunikasinya—cepat, mendesak, dan tajam seperti sirine di

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 98. Dalam Radius Pertemuan

    Langit menggantung kelabu di atas barak militer Turki, seolah menyerap dingin yang diam-diam merambat ke tulang. Arafah berjalan di belakang Farel, mengenakan seragam putih bersih yang kontras dengan warna kusam tenda-tenda lapangan. Bau antiseptik dan debu tanah berpadu dalam udara yang pekat oleh suara sepatu tentara dan dentingan alat medis.Tubuh-tubuh kekar dan tegap berdiri dalam diam saat mereka lewat, seperti patung hidup yang disusun Tuhan sendiri dari ketegasan dan disiplin. Arafah memandang satu per satu wajah mereka—mata tajam, rahang tegas, bahu lapang.Hatinya tergelincir.Bima.Namanya datang seperti bisikan angin gurun, lirih namun tak bisa diabaikan. Rindu itu tidak pernah benar-benar mati, hanya berpindah tempat dalam doa-doa panjangnya. Dalam tiap denyut nadi yang dia sentuh hari ini, Arafah kembali mengingat lelaki yang tidak pernah sempat pulang sepenuhnya."Teringat seseorang?" tegur Farel, rekan sejawat Arafah yang sibuk membuka senter kecil di sakunya seraya te

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 97. Peluk Terakhir

    Udara di ruang pemulasaraan jenazah tidak berbau apa-apa, tapi bagi Bima, segalanya terasa menyengat. Bau antiseptik, bau kain kafan, bau kehilangan yang tak kasat mata. Lampu putih di atasnya terang, namun Bima merasa seperti tenggelam dalam kegelapan yang tak menyisakan arah.Di hadapannya, terbujur dua sosok yang dia kenal: istrinya, Kirana, dan buah hati mereka yang belum sempat menghirup dunia.Kirana—perempuan yang dinikahinya dalam keterpaksaan, yang berkali-kali dia tolak dengan dingin, namun tak pernah berhenti menjadi istri yang setia. Perempuan yang selalu menunduk saat dilukai, yang selalu diam saat disisihkan, namun tetap memilih mencintai dalam diam dan mendoakan dalam sunyi.Kini, Kirana berbaring tenang di atas pembaringan terakhirnya. Wajahnya tampak damai, seperti sedang tidur tanpa mimpi. Bibirnya mengulas senyum tipis. Bahkan dalam kematian, Kirana masih terlihat cantik—lebih cantik dari yang pernah Bima lihat ketika dia masih bernyawa.Bima melangkah perlahan. Tan

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 96. Di Antara Sujud dan Air Mata

    Malam menyelimuti langit Istanbul dengan pekat yang sunyi. Angin musim dingin berhembus pelan, menggigit kulit dan membungkus jalanan kota dengan udara basah. Di antara derap langkah orang-orang yang tergesa, Arafah berjalan perlahan memasuki rumah sakit, seorang diri—tanpa pengiring, tanpa pelukan suami, hanya ditemani tas kecil berisi perlengkapan bersalin dan sebuah tasbih yang selalu dia genggam sejak pagi.Langkahnya mantap walau rasa mulas mulai menggigit dari bawah perut hingga ke tulang punggung. Arafah menarik napas dalam, menahan nyeri yang datang bergulung-gulung. Seorang perawat menyambutnya di ruang depan."Arafah?" tanya si perawat, mengenalnya.Arafah tersenyum samar, membalas menggunakan bahasa Turki. "Mohon bantuannya, kontraksi sudah terasa sejak sore. Tapi baru sekarang saya datang. Saya sempat salat dan tenangin hati dulu."Perawat itu membalas senyum dan segera membawanya ke bagian kebidanan. Mereka tahu siapa Arafah—perawat tangguh yang selama ini justru membantu

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 95. Dipaksa Memilih

    Sinar senja menyusup lewat tirai renda yang menggantung malas di jendela. Warna langit meleleh menjadi jingga, seperti lukisan yang tak selesai, dan di tengah keheningan kamar mungil itu, Arafah duduk bersila di atas permadani tipis, dikelilingi baju-baju bayi berwarna pastel dan segala persiapan melahirkan yang hampir lengkap.Tangannya yang ramping melipat satu per satu pakaian mungil dengan hati-hati, menyusunnya ke dalam tas bersalin berwarna cokelat tua—satu tas sederhana, tapi baginya, mengandung harapan dan keberanian. Setiap helai pakaian seolah diselimuti dengan doa. Setiap botol kecil dan popok sekali pakai dikemas dengan keyakinan bahwa dirinya akan cukup—bahwa cinta seorang ibu akan lebih dari cukup.Pintu terbuka perlahan. Aroma antiseptik dan parfum khas dokter menyusup bersama langkah ringan seseorang."Hebat juga kamu, sudah nyiapin semuanya," ujar Amira, berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan. Suaranya lembut, namun penuh kekaguman. Dokter muda itu mengenakan j

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 94. Demi Nyawa yang Belum Bernama

    Siang itu, rumah sakit terasa lebih damai dari biasanya. Angin dari pendingin ruangan berembus lembut, membuat suasana bangsal jadi agak melamun."Alhamdulillah, Nak. Kalau kondisi aman begini, Ibu jadi bisa istirahat sebentar," gumam perempuan yang perutnya mulai menonjol, membulat indah di balik seragam longgarnya yang kini tak lagi mampu menyembunyikan kenyataan.Usia kehamilan Arafah kini telah melewati tengah semester, tetapi perawat berparas cantik itu tetap berjalan sigap di lorong rumah sakit, membawa clipboard dan stetoskop seperti biasa—seolah tak ada yang berubah.Di antara hiruk pikuk ruang IGD, panggilan darurat, dan suara monitor jantung, keberadaan Arafah tetap menjadi bagian tenang yang menyatu dalam kesibukan. Rekan-rekannya menghormatinya, memandangnya dengan simpati yang tidak berlebihan. Tak ada pertanyaan tajam, tak ada bisik-bisik yang menusuk telinga.Seluruh staff yang bekerja dengan Arafah sepakat memilih diam. Entah karena tahu diri, atau karena melihat sorot

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status