Seorang wanita susah payah menggerakkan kursi roda di koridor rumah sakit yang terbilang masih sepi. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi, dimana operasi CITTO Komandan Bima tlah selesai sejak tengah malam tadi.
Arafah berniat memeriksa Bima yang masih diobservasi dan dipantau oleh dokter di ruang pemulihan—recovery room— kemudian berniat mampir ke mushola kecil di dekat kantin untuk melaksanakan shalat sunnah tahajjud.
Sebagaimana yang dilakukan Bima ketika dirinya terbaring lemah dan dalam kondisi terburuk, Arafah hendak berbuat hal yang sama. Bermunajad kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesembuhan dan keselamatan pria yang tlah banyak berjasa dan membantunya.
"Permisi," sapa pria yang tidak sengaja bertemu dengan Arafah di tempat ibadah. "Mbak Arafah?" sapanya, memanggil nama perempuan yang terkejut menatap balik ke arahnya.
"Ya, saya?" ucap Arafah seraya mengangguk samar. Perempuan yang tidak dapat bergerak bebas sebab keterbatasan kakinya itu lantas bersikap waspada, "Maaf, ini siapa?"
Pria yang ditanya membalas dengan tersenyum sopan. Terdengar hela nafas dari arahnya. "Akhirnya kita bertemu. Saya sudah sangat lama mencari Mbak Arafah," katanya berterus–terang.
Atas pernyataan itu Arafah mulai menebak–nebak siapakah pemuda bertubuh tinggi nan tegap yang sesaat lalu menegurnya. Karena Arafah memang tidak punya banyak kenalan di negara asing tempatnya bekerja ini.
"Mau bertemu saya untuk apa, ya?"
"Mbak nggak ingat saya? Kita sempat bertemu—ya walau momennya sangat cepat dan sebentar."
Semakin dijelaskan, Arafah bukannya langsung tahu dan dapat jawaban, justru malah makin bingung lagi penasaran.
"Saat itu Mbak sedang bersama Komandan Bima. Saya menyesal sudah mengganggu dengan membawa kabar soal tertembaknya rekan kami, Kopral Wisnu," terangnya dengan suara serak.
Arafah refleks beroh ria. Wajah waspadanya berubah lebih tenang. "Kopral Arga?" duganya.
"Mbak ingat nama saya?!" seru pemuda itu, exited. "Syukurlah. Saya benar–benar sudah lama menanti waktu bisa bertemu lagi dengan Mbak Arafah. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan dan berikan."
"Tentang apa itu?" Perempuan bermata teduh itu balik bertanya, mendadak gugup tanpa alasan menunggu bawahan Bima menyampaikan apa yang dia punya.
Kopral Arga terlihat mengambil nafas, menyiapkan diri untuk lebih leluasa bercerita. "Saya ingin berterima kasih pada Mbak karena sudah menjadi pendonor dan menyukseskan operasi Komandan Bima. Terima kasih sudah bersedia berkorban demi Komandan."
Arafah sontak menggeleng. "Aku enggak lakuin apa–apa, kok. Aku cuma bantu semampuku."
"Tapi dengan begitu Komandan bisa selamat," sergah Arga dengan nada syukur yang begitu kental.
Arga menunduk dalam, menyurahkan apa yang ada di dalam hatinya. "Sejak kabar rekan kami yang tertembak dan gugur di medan perang, Komandan benar–benar terpukul. Dia sama sekali tidak memberi tubuhnya waktu untuk beristirahat dan selalu memimpin oprasi militer yang berlangsung."
Arafah hanya mendengarkan dengan seksama, diam mengunci bibirnya.
Pantas saja Bima tidak pernah berkunjung ke rumah sakit atau sekadar menjenguknya. Bertukar kabar atau paling tidak bertemu walau sebentar.
Arafah sudah menaruh curiga kalau Bima adalah pembohong yang ingkar pada janji dan menolak menepati apa yang dia katakan terakhir kali.
Rupanya semua yang dilakukan pria itu punya alasan, tidak semerta–merta ingin memutuskan hubungan.
"Komandan Bima bekerja lebih keras dari sebelumnya, dia memimpin dan melindungi kami semua. Dia benar–benar terpukul sampai tidak mau hal buruk tersebut terulang. Hingga pada akhirnya—" Kopral Arga mengambil jeda, suaranya semakin lirih dan bergetar hebat.
"Saya hampir terkena tembakan, saya berhasil selamat karena Komandan. Dia merelakan dirinya sendiri demi menyelamatkan saya, demi agar tidak ada lagi korban jiwa," sambung bawahan Bima.
Bima menjadi pelindung dari peluru yang ditujukan pada Arga—meski tahu resikonya adalah kehilangan nyawa.
"Padahal saya sudah mengatakan untuk jangan pernah berkorban demi saya, jangan bertaruh nyawa hanya demi melindungi saya. Tapi Komandan—"
"Dia sudah melakukan hal yang benar," sergah Arafah memotong cepat. "Komandan Bima, dia membuat keputusan yang tepat dan sangat berani."
Kopral Arga menatap perempuan yang menjadi tempat pertamanya berkeluh kesah atas semua yang terjadi itu dengan mata berkaca–kaca. Kalau saja pemuda itu bukan seorang prajurit, maka dia pasti sudah leluasa menangis dan menumpahkan rasa sedihnya.
"Kopral Arga, aku pikir kamu harus tahu cerita tentangku." Arafah mengambil kesempatan hening untuk mulai ikut bercerita.
"Alasan kenapa aku masih sehat dan hidup sampai detik ini juga karena Komandan Bima," ujarnya penuh kelembutan. "Dia adalah orang yang Tuhan kirimkan untuk memberi keajaiban kepada sekitarnya."
Arga mengangguk setuju. "Semua yang berkaitan dengan Komandan selalu tentang hal–hal positif. Kami semua menjadi saksi betapa dia berhasil menjadi pemimpin yang baik."
Setelah lama bercerita, Kopral Arga tiba–tiba mengeluarkan sesuatu dari kantong kemejanya. "Ada yang Komandan ingin titipkan untuk Mbak tepat sehari sebelum insiden tembakan terjadi."
Arafah yang terkejut lantas melebarkan mata. "A–apa ini?" tanyanya, ragu membuka.
"Kalung. Komandan Bima yang temukan di lokasi gedung tempat tinggal Mbak Arafah sebelum runtuh." Pemuda beralis tebal itu menjelaskan. "Katanya ini benda penting punya Mbak."
Arafah tertegun, menatap lama liontin yang di belakangnya terdapat nama Arafah. Kalung pemberian Ibunda sedari dia kecil.
"Dia menepati janjinya," bisik Arafah disertai senyum haru. Mata hanzelnya ikut berkaca–kaca. "Dia berjanji menemukan kalung ini saat aku tidak sengaja bercerita kehilangan benda peninggalan yang sangat berharga bagiku."
Kopral Arga tersentuh dengan apa yang disampaikan Arafah. "Sejauh mengenal Komandan, dia memang tidak pernah ingkar."
"Itu berarti dia juga akan segera bangun," tukas Arafah menanamkan keyakinan di hati. "Aku yakin dia akan sadar dan berkumpul dengan kita lagi."
Kopral Arga mengaamiinkan, lantas keduanya berdoa bersama atas kesembuhan Bima.
Tepat ketika Arafah dan Arga menjenguk kembali Bima yang masih diobservasi, kabar baik mereka dapati. Bima mulai sadar, pulih dan berhasil melewati masa kritisnya—membuat semua orang mengucap syukur dan bernafas lega.
Arafah mendapat kesempatan bertemu setelah para bawahan satu persatu melihat Bima secara bergantian.
Ketika perempuan yang masih mengenakan kursi roda itu masuk, Bima semula bermuka masam lantas memasang ekspresi senang bukan kepalang.
"Arafah?!" panggilnya berseru girang. "Akhirnya tiba digiliranmu! Saya sudah lama menunggu mereka selesai, sudah sampai lelah dan bosan."
Arafah tertawa. "Memangnya tahu kalau aku akan kemari?" selidiknya sembari menyipitkan mata.
Bima mengangguk seraya tersenyum tipis. "Tentu saja."
"Asal tebak?"
"Mereka sudah beritahu saya semuanya, Arafah. Kalau ada malaikat cantik yang Tuhan kirim sebagai penyelamat untuk saya."
Wajah Arafah merona tanpa alasan. "Malaikat cantik darimana!"
Karena tawa Arafah yang begitu merdu, Bima juga tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. "Terima kasih, Arafah. Berkat bantuan kamu, oprasi saya berhasil dan berjalan dengan lancar."
"Bukan berkatku, Komandan. Tapi memang Allah Subhanawata'ala–lah yang ijinkan," koreksi sosok yang begitu berjasa bagi Bima.
Mata sayu Bima memandang Arafah dengan takjub. "Barangkali takdir membuat saya selamat karena masih ada hal yang musti saya lakukan. Janji yang harus ditepati, misalnya."
"Janji?" ucap Arafah yang malah dibuat bingung. "Janji apa?"
"Janji untuk mengabdi—melindungi dan menjaga kamu. Janji yang saya ucap kepada Yang Maha Kuasa saat menemukan kamu kala itu."
Bima berdiri mematung di depan mobil medis. Napasnya berat, meski medan hari ini tak seberat biasanya. Dia pandangi pintu putih dengan lo9go palang merah yang samar tertimpa debu sore. Kata perawat itu—Farel—perempuan yang selama ini hanya hidup dalam sisa-sisa doanya sedang ada di dalam."Kenapa saya justru takut kalau yang ada di dalam sana benar kamu, Rafah?" gumamnya lirih, was–was kala menyebut nama itu terlalu keras—karena mungkin akan meruntuhkan tembok yang selama ini dia bangun sendiri.Bima belum bergerak. Masih ada keraguan yang menahan. Dia bukan pengecut—tidak dalam perang, tidak juga dalam perintah. Tapi perkara hati, lain lagi. Hatinya tahu benar: tak semua yang dicari harus benar-benar ditemukan. Tidak semua yang kita doakan akan datang dalam bentuk yang kita harapkan.Satu langkah. Dua langkah. Tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu mobil medis yang tertutup rapat.Lalu suara itu datang. Seruan dari radio komunikasinya—cepat, mendesak, dan tajam seperti sirine di
Langit menggantung kelabu di atas barak militer Turki, seolah menyerap dingin yang diam-diam merambat ke tulang. Arafah berjalan di belakang Farel, mengenakan seragam putih bersih yang kontras dengan warna kusam tenda-tenda lapangan. Bau antiseptik dan debu tanah berpadu dalam udara yang pekat oleh suara sepatu tentara dan dentingan alat medis.Tubuh-tubuh kekar dan tegap berdiri dalam diam saat mereka lewat, seperti patung hidup yang disusun Tuhan sendiri dari ketegasan dan disiplin. Arafah memandang satu per satu wajah mereka—mata tajam, rahang tegas, bahu lapang.Hatinya tergelincir.Bima.Namanya datang seperti bisikan angin gurun, lirih namun tak bisa diabaikan. Rindu itu tidak pernah benar-benar mati, hanya berpindah tempat dalam doa-doa panjangnya. Dalam tiap denyut nadi yang dia sentuh hari ini, Arafah kembali mengingat lelaki yang tidak pernah sempat pulang sepenuhnya."Teringat seseorang?" tegur Farel, rekan sejawat Arafah yang sibuk membuka senter kecil di sakunya seraya te
Udara di ruang pemulasaraan jenazah tidak berbau apa-apa, tapi bagi Bima, segalanya terasa menyengat. Bau antiseptik, bau kain kafan, bau kehilangan yang tak kasat mata. Lampu putih di atasnya terang, namun Bima merasa seperti tenggelam dalam kegelapan yang tak menyisakan arah.Di hadapannya, terbujur dua sosok yang dia kenal: istrinya, Kirana, dan buah hati mereka yang belum sempat menghirup dunia.Kirana—perempuan yang dinikahinya dalam keterpaksaan, yang berkali-kali dia tolak dengan dingin, namun tak pernah berhenti menjadi istri yang setia. Perempuan yang selalu menunduk saat dilukai, yang selalu diam saat disisihkan, namun tetap memilih mencintai dalam diam dan mendoakan dalam sunyi.Kini, Kirana berbaring tenang di atas pembaringan terakhirnya. Wajahnya tampak damai, seperti sedang tidur tanpa mimpi. Bibirnya mengulas senyum tipis. Bahkan dalam kematian, Kirana masih terlihat cantik—lebih cantik dari yang pernah Bima lihat ketika dia masih bernyawa.Bima melangkah perlahan. Tan
Malam menyelimuti langit Istanbul dengan pekat yang sunyi. Angin musim dingin berhembus pelan, menggigit kulit dan membungkus jalanan kota dengan udara basah. Di antara derap langkah orang-orang yang tergesa, Arafah berjalan perlahan memasuki rumah sakit, seorang diri—tanpa pengiring, tanpa pelukan suami, hanya ditemani tas kecil berisi perlengkapan bersalin dan sebuah tasbih yang selalu dia genggam sejak pagi.Langkahnya mantap walau rasa mulas mulai menggigit dari bawah perut hingga ke tulang punggung. Arafah menarik napas dalam, menahan nyeri yang datang bergulung-gulung. Seorang perawat menyambutnya di ruang depan."Arafah?" tanya si perawat, mengenalnya.Arafah tersenyum samar, membalas menggunakan bahasa Turki. "Mohon bantuannya, kontraksi sudah terasa sejak sore. Tapi baru sekarang saya datang. Saya sempat salat dan tenangin hati dulu."Perawat itu membalas senyum dan segera membawanya ke bagian kebidanan. Mereka tahu siapa Arafah—perawat tangguh yang selama ini justru membantu
Sinar senja menyusup lewat tirai renda yang menggantung malas di jendela. Warna langit meleleh menjadi jingga, seperti lukisan yang tak selesai, dan di tengah keheningan kamar mungil itu, Arafah duduk bersila di atas permadani tipis, dikelilingi baju-baju bayi berwarna pastel dan segala persiapan melahirkan yang hampir lengkap.Tangannya yang ramping melipat satu per satu pakaian mungil dengan hati-hati, menyusunnya ke dalam tas bersalin berwarna cokelat tua—satu tas sederhana, tapi baginya, mengandung harapan dan keberanian. Setiap helai pakaian seolah diselimuti dengan doa. Setiap botol kecil dan popok sekali pakai dikemas dengan keyakinan bahwa dirinya akan cukup—bahwa cinta seorang ibu akan lebih dari cukup.Pintu terbuka perlahan. Aroma antiseptik dan parfum khas dokter menyusup bersama langkah ringan seseorang."Hebat juga kamu, sudah nyiapin semuanya," ujar Amira, berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan. Suaranya lembut, namun penuh kekaguman. Dokter muda itu mengenakan j
Siang itu, rumah sakit terasa lebih damai dari biasanya. Angin dari pendingin ruangan berembus lembut, membuat suasana bangsal jadi agak melamun."Alhamdulillah, Nak. Kalau kondisi aman begini, Ibu jadi bisa istirahat sebentar," gumam perempuan yang perutnya mulai menonjol, membulat indah di balik seragam longgarnya yang kini tak lagi mampu menyembunyikan kenyataan.Usia kehamilan Arafah kini telah melewati tengah semester, tetapi perawat berparas cantik itu tetap berjalan sigap di lorong rumah sakit, membawa clipboard dan stetoskop seperti biasa—seolah tak ada yang berubah.Di antara hiruk pikuk ruang IGD, panggilan darurat, dan suara monitor jantung, keberadaan Arafah tetap menjadi bagian tenang yang menyatu dalam kesibukan. Rekan-rekannya menghormatinya, memandangnya dengan simpati yang tidak berlebihan. Tak ada pertanyaan tajam, tak ada bisik-bisik yang menusuk telinga.Seluruh staff yang bekerja dengan Arafah sepakat memilih diam. Entah karena tahu diri, atau karena melihat sorot