Seorang perawat keluar dari sebuah ruangan khusus dengan senyum merekah di wajah, memegang dua kantung darah yang didapat susah payah.
"Sudah?” tanya Bima gegas menghampiri sahabat seperjuangan yang berjalan dengan langkah kecil, menuntun untuk duduk di kursi tunggu.
"Gak liat apa kau wajahku sudah pucat begini loh?! Masih tanya sudah apa belum," sindir Reno. "Habis sudah tenagaku rasanya."
Sementara yang di sindir mengulum senyum. Senyum tipis segaris, namun sukses menambah pesona lelaki berapas tampan tersebut. "Terimakasih, ya. Kau memang lelaki—maksudku prajurit sejati!"
"Kalau sudah begini baru kau puji aku!" oceh Reno dengan bibir cemberut. "Omong-omong siapa wanita yang kau tolong itu, Bim? Kenal kau sama dia?"
"Hanya tau nama," balas Bima pendek.
"Kukira calon," cicit Reno disertai kekehan pelan, ada unsur ejekan dalam kalimatnya sebab tau selama ini sang komandan anti berpasang–pasangan.
Bima mendengkus. "Calon apanya? Aku baru sampai di sini loh kalau kau lupa."
Reno lantas menguatkan tawanya. "Pasalnya kau peduli sekali padanya. Seperti ada ikatan batin—cocok kalian."
Kepala Bima menggeleng lesu. "Semua saja kau jodoh–jodohkan denganku."
"Ceritalah. Bagaimana bisa kau temukan dia?" pancing Reno yang penasaran.
"Setelah kita tukar jaga, aku langsung pergi. Baru sampai blok depan tiba-tiba serangan itu muncul dan wanita itu terpental. Tidak ada yang peduli jadi kutolong saja dia, kubawa dia ke sini. Kau tau? Rupanya dia TKI," tutur Bima menjelaskan kronologis kejadian pada Reno.
"TKI? Astaga, malang sekali." Reno menghela nafas, tidak sangka kalau korban yang rekannya selamatkan berasal dari Negara asal mereka. "Kenapa bisa ada di distrik konflik begini?"
Bima mengangkat bahu, kode jawaban bahwa dirinya juga tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu.
"Ya sudahlah kalau begitu aku mau kembali ke markas," pamit Reno seraya menepuk pundak Bima. "Kapanpun kau butuh sesuatu atau sedang perlu bantuan, kau telpon saja aku."
"Hati-hati," pesan Bima. "Terimakasih sekali lagi soal donor darahnya."
Tangan Reno memberi hormat dengan kaki menyentak selayaknya memberi hormat pada komandan. Bima terkekeh dengan tangan mengibas mengusir sahabatnya yang selalu bertingkah konyol dan berhasil membuatnya tertawa.
Seperginya Reno, Bima terhanyut dalam lamunan panjang perihal wanita yang beberapa jam lalu dia selamatkan. Lampu ruang operasi masih menyala, tanda kalau kegiatan yang berlangsung di dalamnya belum selesai. Bima menunggu dengan sabar, menanti tim medis memberi kabar.
Tepat ketika Dokter bedah keluar, Bima sontak mendekat dan bertanya. Gurat wajah cemas masih tergambar jelas di mukanya. Bima—tidak pernah setakut dan sekhawatir ini. Setelah sekian lama dia kembali merasakan eurofia tegang luar biasa.
"B–bagaimana, Dok? Apa dia selamat?"
Dokter sempat menatap Bima sebentar. "Komandan siapanya?"
Bima terhenyak, diam—sulit mengutarakan jawaban. "Saya yang selamatkan dan bawa dia ke sini. S–saya walinya."
Baru setelah mendengar jawaban Bima, Dokter tadi lantas menjelaskan perihal keadaan yang sebenar–benarnya terkait pasien yang dia tangani.
"Operasi pasien Arafah berjalan lancar. Berkat Tuhan Yang Maha Kuasa kami berhasil menyelamatkan nyawanya. Untuk sementara, kami masih harus observasi keadaan umum dan efek dari anastesinya." Dokter mengungkap berita dengan nada lega. "Periode 48 jam pertama setelah operasi adalah masa paling kritis. Kita sama–sama bantu doa."
Kabar baik tersebut juga membuat Bima ikut melantunkan syukur.
Dokter mempersilahkan Bima untuk masuk ke dalam ruang Recovery Doom —Post Anesthesia Care Unit— ruang pemulihan. Ruangan ini merupakan tempat pasien yang baru menjalani operasi dipantau secara ketat sampai kondisinya stabil dan membaik.
Di ruang pemulihan, pasien akan dipantau tanda-tanda vital, keluhan, perdarahan, atau masalah lainnya selama 2–3 jam. Observasi rutin pasca anestesi dilakukan untuk menilai pasien dan mendeteksi kemunduran klinis.
Rasanya canggung karena Bima benar–benar tidak mengenal Arafah. Lagi–lagi dia hanya tau nama, berharap wanita asing ini dapat pulih dan kembali sehat—sadar penuh seperti sebelumnya.
"Tuhan pelantarakan saya untuk membantu kamu, Arafah. Maha Baik Dia yang memberimu keselamatan." Bima berbisik pelan tepat di sebelah wanita bernama Arafah tersebut.
Karena tidak tahu harus melakukan apa, Bima menemani Arafah sembari membaca ayat–ayat suci Al–Qur'an. Bima pernah mendengar di kajian bahwasanya bacaan Al-Quran memberikan efek menenangkan.
Tidak hanya cekatan dalam berperang melawan musuh, Bima terkenal cakap dan pandai soal urusan agama. Hubungannya dengan Sang Pencipta terjalin baik, membuat Bima semakin dikagumi serta disegani oleh pasukannya. Pemuda itu dinilai sempurna dari segala sisi, idaman banyak kaum hawa yang mendamba untuk diimami.
"Sus, saya harus kembali ke Barak karena ada urusan mendadak. Apa saya boleh minta tolong dikabari saat pasien atas nama Arafah sadar?" pinta Bima sopan. "Saya dengan Komandan Bima, sudah saya tinggalkan nomor yang bisa dihubungi."
Perawat yang berjaga dengan senang hati menerima permintaan tolong Bima. Bima yang mudah akrab dengan orang lain cepat dikenal oleh tiap staff di hari pertamanya menjadi komandan di distrik konflik tersebut.
Alasan kepergian Bima meninggalkan rumah sakit dan Arafah adalah menemui anak buahnya. Mencari informasi terkait tempat tinggal Arafah yang rupanya sudah rata dengan tanah.
"Tidak ada satupun yang selamat? Yakin kalian?" tanya Bima, memastikan sekali lagi. Air mukanya sontak berubah sedih kala mendengar kabar duka yang diterima.
Bawahannya itu mengiyakan dengan tegas. Mereka sudah pastikan berita yang diteruskan pada Bima adalah berita yang valid.
"Seluruh keluarga pemilik rumah ini dipastikan meninggal dunia, Ndan. Hanya saja—" ucapan perwira itu terhenti, dia diam memandang awas ke atasan yang dia segani.
Bima buru–buru menanggapi, menimpali kalimat yang dilontarkan dengan tidak sabaran. "Hanya apa?" sergahnya.
"Orang yang bekerja —merawat dua lansia di rumah ini— kabarnya selamat karena jenazahnya tidak ditemukan. Saksi mata terakhir melihat dia keluar rumah tepat beberapa saat setelah ledakan terjadi. Kemungkinan selamat, tapi tidak ada yang tau. Wallahualam."
"Arafah?" gumam Bima bersuara rendah. "Dia selamat, dia benar–benar wanita yang beruntung."
Para bawahan Bima tidak mengerti dengan perkataan sang Komandan hanya diam, menunggu perintah lanjutan.
"Kalau begitu terimakasih. Terus follow up keadaan lapangan pada saya," pesan Bima. "Kabarkan apapun yang terjadi dan jangan segan meminta bantuan. Di sini, prioritas utama kita adalah melindungi warga sipil. Mengerti?"
Bima, dalam keributan yang ada di kepala, diam–diam mencemaskan perihal Arafah untuk yang kali kesekian.
Belum pernah Bima merasa seiba ini usai mendengar berita hilangnya keluarga dari korban konflik. Dia dan Arafah seolah terikat oleh nasib yang sama.
"Kasihan sekali Arafah, artinya dia sudah tidak punya tempat tinggal dan yang dituju lagi," kata Bima bermonolog seorang diri. "Hilang pekerjaan dan rumah diwaktu yang bersamaan. Dia pasti sangat sedih jika tau."
Nantinya saat Arafah tahu majikan tempatnya bekerja telah damai di surga —meninggalkannya sendirian— semoga Bima ada di sana dan bisa menghiburnya.
Baru beberapa menit memikirkan tentang Arafah, ponsel yang Bima gunakan dalam keadaan genting dan darurat saja itu tiba–tiba bergetar.
"Hallo, Komandan Bima. Saya Suster Sonya, perawat di Rumah Sakit Indonesia. Pasien yang Komandan titip sebelumnya, atas nama Arafah, alhamdulillah sudah sadarkan diri. Sekarang tengah diperiksa dan diobservasi oleh Dokter," terang suara lembut dari balik gawai.
Bima mengerjap. "Saya segera ke sana!" ujarnya, bersemangat.
Bima berdiri mematung di depan mobil medis. Napasnya berat, meski medan hari ini tak seberat biasanya. Dia pandangi pintu putih dengan lo9go palang merah yang samar tertimpa debu sore. Kata perawat itu—Farel—perempuan yang selama ini hanya hidup dalam sisa-sisa doanya sedang ada di dalam."Kenapa saya justru takut kalau yang ada di dalam sana benar kamu, Rafah?" gumamnya lirih, was–was kala menyebut nama itu terlalu keras—karena mungkin akan meruntuhkan tembok yang selama ini dia bangun sendiri.Bima belum bergerak. Masih ada keraguan yang menahan. Dia bukan pengecut—tidak dalam perang, tidak juga dalam perintah. Tapi perkara hati, lain lagi. Hatinya tahu benar: tak semua yang dicari harus benar-benar ditemukan. Tidak semua yang kita doakan akan datang dalam bentuk yang kita harapkan.Satu langkah. Dua langkah. Tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu mobil medis yang tertutup rapat.Lalu suara itu datang. Seruan dari radio komunikasinya—cepat, mendesak, dan tajam seperti sirine di
Langit menggantung kelabu di atas barak militer Turki, seolah menyerap dingin yang diam-diam merambat ke tulang. Arafah berjalan di belakang Farel, mengenakan seragam putih bersih yang kontras dengan warna kusam tenda-tenda lapangan. Bau antiseptik dan debu tanah berpadu dalam udara yang pekat oleh suara sepatu tentara dan dentingan alat medis.Tubuh-tubuh kekar dan tegap berdiri dalam diam saat mereka lewat, seperti patung hidup yang disusun Tuhan sendiri dari ketegasan dan disiplin. Arafah memandang satu per satu wajah mereka—mata tajam, rahang tegas, bahu lapang.Hatinya tergelincir.Bima.Namanya datang seperti bisikan angin gurun, lirih namun tak bisa diabaikan. Rindu itu tidak pernah benar-benar mati, hanya berpindah tempat dalam doa-doa panjangnya. Dalam tiap denyut nadi yang dia sentuh hari ini, Arafah kembali mengingat lelaki yang tidak pernah sempat pulang sepenuhnya."Teringat seseorang?" tegur Farel, rekan sejawat Arafah yang sibuk membuka senter kecil di sakunya seraya te
Udara di ruang pemulasaraan jenazah tidak berbau apa-apa, tapi bagi Bima, segalanya terasa menyengat. Bau antiseptik, bau kain kafan, bau kehilangan yang tak kasat mata. Lampu putih di atasnya terang, namun Bima merasa seperti tenggelam dalam kegelapan yang tak menyisakan arah.Di hadapannya, terbujur dua sosok yang dia kenal: istrinya, Kirana, dan buah hati mereka yang belum sempat menghirup dunia.Kirana—perempuan yang dinikahinya dalam keterpaksaan, yang berkali-kali dia tolak dengan dingin, namun tak pernah berhenti menjadi istri yang setia. Perempuan yang selalu menunduk saat dilukai, yang selalu diam saat disisihkan, namun tetap memilih mencintai dalam diam dan mendoakan dalam sunyi.Kini, Kirana berbaring tenang di atas pembaringan terakhirnya. Wajahnya tampak damai, seperti sedang tidur tanpa mimpi. Bibirnya mengulas senyum tipis. Bahkan dalam kematian, Kirana masih terlihat cantik—lebih cantik dari yang pernah Bima lihat ketika dia masih bernyawa.Bima melangkah perlahan. Tan
Malam menyelimuti langit Istanbul dengan pekat yang sunyi. Angin musim dingin berhembus pelan, menggigit kulit dan membungkus jalanan kota dengan udara basah. Di antara derap langkah orang-orang yang tergesa, Arafah berjalan perlahan memasuki rumah sakit, seorang diri—tanpa pengiring, tanpa pelukan suami, hanya ditemani tas kecil berisi perlengkapan bersalin dan sebuah tasbih yang selalu dia genggam sejak pagi.Langkahnya mantap walau rasa mulas mulai menggigit dari bawah perut hingga ke tulang punggung. Arafah menarik napas dalam, menahan nyeri yang datang bergulung-gulung. Seorang perawat menyambutnya di ruang depan."Arafah?" tanya si perawat, mengenalnya.Arafah tersenyum samar, membalas menggunakan bahasa Turki. "Mohon bantuannya, kontraksi sudah terasa sejak sore. Tapi baru sekarang saya datang. Saya sempat salat dan tenangin hati dulu."Perawat itu membalas senyum dan segera membawanya ke bagian kebidanan. Mereka tahu siapa Arafah—perawat tangguh yang selama ini justru membantu
Sinar senja menyusup lewat tirai renda yang menggantung malas di jendela. Warna langit meleleh menjadi jingga, seperti lukisan yang tak selesai, dan di tengah keheningan kamar mungil itu, Arafah duduk bersila di atas permadani tipis, dikelilingi baju-baju bayi berwarna pastel dan segala persiapan melahirkan yang hampir lengkap.Tangannya yang ramping melipat satu per satu pakaian mungil dengan hati-hati, menyusunnya ke dalam tas bersalin berwarna cokelat tua—satu tas sederhana, tapi baginya, mengandung harapan dan keberanian. Setiap helai pakaian seolah diselimuti dengan doa. Setiap botol kecil dan popok sekali pakai dikemas dengan keyakinan bahwa dirinya akan cukup—bahwa cinta seorang ibu akan lebih dari cukup.Pintu terbuka perlahan. Aroma antiseptik dan parfum khas dokter menyusup bersama langkah ringan seseorang."Hebat juga kamu, sudah nyiapin semuanya," ujar Amira, berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan. Suaranya lembut, namun penuh kekaguman. Dokter muda itu mengenakan j
Siang itu, rumah sakit terasa lebih damai dari biasanya. Angin dari pendingin ruangan berembus lembut, membuat suasana bangsal jadi agak melamun."Alhamdulillah, Nak. Kalau kondisi aman begini, Ibu jadi bisa istirahat sebentar," gumam perempuan yang perutnya mulai menonjol, membulat indah di balik seragam longgarnya yang kini tak lagi mampu menyembunyikan kenyataan.Usia kehamilan Arafah kini telah melewati tengah semester, tetapi perawat berparas cantik itu tetap berjalan sigap di lorong rumah sakit, membawa clipboard dan stetoskop seperti biasa—seolah tak ada yang berubah.Di antara hiruk pikuk ruang IGD, panggilan darurat, dan suara monitor jantung, keberadaan Arafah tetap menjadi bagian tenang yang menyatu dalam kesibukan. Rekan-rekannya menghormatinya, memandangnya dengan simpati yang tidak berlebihan. Tak ada pertanyaan tajam, tak ada bisik-bisik yang menusuk telinga.Seluruh staff yang bekerja dengan Arafah sepakat memilih diam. Entah karena tahu diri, atau karena melihat sorot