Share

Keping 3

Aku menyeret koper besarku dengan malas. Sudah menjelang senja sebenarnya. Biasanya, aku suka dengan warna jingga yang menghiasi langit di kota metropolis ini. Sesaat menjelang Maghrib.

Kali ini rasanya langit tak berwarna jingga. Tapi, cokelat. Mirip kopi instan creamer yang biasa kuseduh di studio, setelah menghabiskan seporsi bakso. Hem, perutku terasa keroncongan.

Aku menatap kembali layar gawai yang berkedip-kedip hampir kehabisan baterai. Mana ini taksi online yang kupesan 30 menit lalu?

Sekarang, kota ini mungkin lebih seperti apa yang dideskripsikan Pramudya Ananta Toer, dalam novel legendarisnya, Bumi Manusia. Hanya saja, tentu lebih modern, ramai, rapi, dan rindang.

Pabrik-pabrik dengan cerobong asap tinggi, memang ada di sisi kota, mirip dengan London di abad kesembilan lalu, tentu saja minus kereta kuda. 

Trotoar penuh orang. Tapak-tapak kaki dan sepatu terdengar khas. 

Kendaraan-kendaraan bermotor lalu lalang dengan cepat dan rapat. Menyemburkan asap knalpot yang pekat dan gelap.

Aku celingukan mencari mobil Avanza putih seperti yang tertulis di aplikasi. Beberapa ojol dan kenek bis mini mengamatiku. Mungkin terasa aneh bagi mereka, aku dan koper ini duduk bersebelahan. Ukuran kami nyaris sama. Aku tersenyum geli.

Halte kecil di depan terminal ini tak sesepi dahulu. Saat kutinggalkan menuju dusunku yang kecil, berdebu, dan hijau. Sekarang tampak lebih ramai dan riuh.

Kemarin lalu, ibuku menelpon dengan penuh semangat. Suaranya yang melengking khas emak-emak masa kolonial, membuat telingaku sakit. Saat itu aku harus menulis dan mengirimkan surat lamaran kerja pada sebuah brand besar. Jadilah, kepalaku sepanjang hari berdenyut-denyut sakit.

"Anjani! Iya kan, kamu Anjani?!" seorang tukang parkir berumur sebaya denganku, yah di awal tigapuluhan menyapaku dengan antusias. Rasa-rasanya aku pernah mengenalinya. Tapi, siapa ya? Kucoba mengacak memori di kepalaku secepat kilat.

"Hei, aku Syaiful. Si Ipul, yang keren dulu. Masih ingatkan?" Katanya melepas topi lebarnya. Rambutnya yang pirang kemerahan, seperti yang kuingat dulu membuatku bisa mengingatnya.

"Ohya, hai Pul," kataku. Hampir saja lidahku yang keminggris gara-gara sering mengucapkan judul lagu-lagu Barat saat siaran mengucapkan 'Paul.'

Aku tersenyum konyol.

Ipul memberengut, "Kok begitu doang, nggak suka ketemu teman SMP?"

"Ya, enggaklah."

Aku terdiam lama, bingung juga mau ngomong apa sama si Ipul ini. Sudah lebih lima belas tahun kalau tidak salah aku tak pernah bertemu dengannya.

"Bercanda, Jaan! Jangan manyun begitu dong!"

Hiih, aku kan paling nggak suka dipanggil Jaan. Kok dia ini ingat saja sih?

"Anjani," koreksiku.

"Iya, Anjani kan nama lengkapmu?" katanya sok tahu dan ngeyel.

Aku mengetuk-ngetuk jempol kakiku yang mulai gatal dalam sepatu snickers andalanku. Lalu, berdehem dengan keras, "Anjani Rahma, itu nama lengkapku."

"Ah, sulit. Jaan!"

Ya, Tuhan mimpi apa aku semalam, bertemu makhluk seperti si Ipul ini. Ya, aku sih bukannya perempuan yang suka memasukkan teman di piramida prioritas. Namun, melihat kedegilan Ipul, rasanya aku pingin memlemparnya ke planet Mars.

"Mana suamimu, Jaan?"

"Nggak ada," kataku pendek seraya melengos. Merapikan kerudung kaosku yang telah lepek karena keringat. Aku kembali celingukan mencari-cari Avanza putih.

"Oh, maksudnya masih belum kawin ya?" Ipul terkekeh geli. Matanya yang jalang malah berkedip-kedip menatapku.

"Memang sulit, Jaan cari jodoh. Kebanyakan lihat penampakannya saja," katanya kemudian sok bijaksana.

Mendengar Ipul berkata panjang lebar tentang filosofi jodoh, mau tak mau aku tertawa keras saat ia berulang kali menyebut kata 'penampakan'. Mungkin maksudnya melihat tampilan visual seseorang. Ipul seperti kesulitan mencari diksi yang pas. Tapi biarlah. Biarkan dia senang hari ini.

"Karena aku gemuk dan jelek kan, Pul?" ucapku ringan. Seperti biasanya. Saat orang-orang menilai diriku ini. Sama sekali tanpa rasa sedih, kuanggap ini rutinitas harian saja.

"Kamu nggak jelek, Jaan. Tapi montok," jawab Ipul jujur.

Aku tertawa lepas, "Iya. Pul. Aku gemuk banget ya."

"Kayaknya nggak gitu sih. Montok itu beda dengan gemuk, Jaan."

Aku ngikik. Ya, Ipul memang polos dan lugu berbeda sekali dengan rekan-rekan kerjaku di kota. Apa ya namanya, kalau mereka itu? Pandai bermuka dua. Haha.

Ipul ini mungkin tidak mencapai kecerdasan teman-temanku di studio, yang kuingat ia berulang kali tidak naik kelas. Hingga bisa sekelas denganku. Saat itu aku duduk di  kelas, di posisi belakang bangkunya, dulu ia sering meminta traktiran di kantin. 

Dasar sableng.

Nasib burukku terselamatkan, saat kenaikan kelas. Ipul kembali tinggal kelas, aku pun menjadi cewek paling bahagia saat itu walau tidak pernah pacaran seperti gadis-gadis lain.

Sepanjang pengumuman kenaikan kelas. Aku cengar cengir di belakang panggung inagurasi. Bukan karena aku bisa meraih peringkat satu lagi, sama sekali tidak. Tapi, aku bisa terbebas dari makhluk seperti Ipul itu.

"Mana istrimu, Pul?"

"Kerja," jawabnya sedikit lesu.

"Kok lesu begitu, harusnya kamu bangga dong punya istri wanita karir," giliran aku yang mengintimidasi si Ipul.

"Ya, kan aku jadi ketahuan punya istri sama kamu Jaan, nggak bisa nggodain kamu," ucapnya lagi.

Aku kembali terkikik geli melihat preman sekolahku ini. Dulu si Ipul ini seperti makhluk paling berkuasa di sekolah. Main tonyor sana sini. Kalau sekarang, melihat nasib Ipul aku merasa kasihan juga.

"Kerja di mana Pul, istrinya?"

"Pabrik. Lagi shift pagi, jadi jam segini masih di sana."

Aku mengangguk-angguk. Kulihat Ipul memberi isyarat untuk kembali mengatur posisi parkir beberapa mobil yang memasuki area terminal. Aku mengulum senyum, setidaknya aku bisa mengisi waktuku menunggu taksi online yang kulihat .

Aku tentu tidak menceritakan pada teman lamaku, tentang keluargaku yang hancur berantakan.

Apalagi berkisah padanya bahwa aku sekarang adalah seorang janda. Aduh, rasa-rasanya lidahku kelu begitu mengingat kalau aku sekarang ini berstatus janda.

Tak mungkin kan, aku menyebut diriku ini seorang single parent? Karena, ya pernikahanku dan Argo dulu tidak menghasilkan anak.

Belum, tepatnya.

Aku menyeret koper besarku yang tampak berat. Sopir taksi online itu bapak-bapak berusia sekitar 50 tahun. Sedikit terkejut melihatku. Mungkin ia bayangkan aku ini gadis manis yang ramping semampai putih berseri menari-nari. Tapi, biarlah.

"Silakan, Mbak." Katanya ramah.

Aku sedikit lega mendengar nada suaranya, yang ramah. "Kaget, Pak?"

"Kaget kenapa, Mbak?" Ucapnya sembari membuka pintu mobil.

"Ya, dapat customer besar kayak saya ini, Pak."

"Ah, enggak sama sekali. Istri saya malah lebih guede." Jawabnya sembari memutar kemudi.

Aku tersenyum-senyum di belakang kursi, sembari memainkan gawai. Beberapa menit berlalu, mataku menyapu bersih kota metropolis yang kutinggalkan selama enam bulan ini.

Tiba-tiba gawaiku bergetar. Kupikir, ini telepon dari HRD tempat aku mengirimkan surat lamaran kerja. Ada beberapa—bukan sih tapi belasan HRD, yang kuhubungi agar aku bisa kembali bekerja.

Walau mungkin bukan menjadi announcer lagi. Tidak mengapa.

Besok ada dua tes, dan satu interview, jadi mau tak mau aku harus bersiap-siap.

"Sore, dengan Anjani di sini."

Lama tak kudengar suara di seberang, hanya hembusan napas yang berat saja.

"Sore, Jani. Kudengar kamu kembali ke Surabaya. Apa kamu butuh tumpangan? Aku bisa menjemputmu."

Ya, Tuhan. Apa sih maunya si Argo ini?

"Aku nggak butuh tumpanganmu, Go." Kataku judes.

Di sana kudengar suara tertawa mengekeh, "Syukurlah. Aku senang mendengar suaramu lagi Jani!"

"Tolong dong, jangan nelpon-nelpon terus."

"Aku nggak bisa Jani. Maaf, aku kangen suaramu."

Aduh.

Cepat-cepat kumatikan gawai sialan yang membuat mood-ku ambyar sore ini. Hatiku mencelos sebal. Mengutuk betapa lemah diriku menghadapi permainan Argo.

Ya, Tuhan. Ke mana sih akal sehatku yang dulu? []

 ---------------

Bersambung

Hello Dears, kutunggu komentar dan love-nya ya. Yuk temani Anjani di kisah ini. đź’—

Love you, xoxo

Puspitalagi  🥳🥰

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Eva Yanti
62 kg itu ngak lah gendut Jani.....berisi cantik loh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status