Share

Keping 3

Penulis: Puspitalagi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-06 12:15:59

Aku menyeret koper besarku dengan malas. Sudah menjelang senja sebenarnya. Biasanya, aku suka dengan warna jingga yang menghiasi langit di kota metropolis ini. Sesaat menjelang Maghrib.

Kali ini rasanya langit tak berwarna jingga. Tapi, cokelat. Mirip kopi instan creamer yang biasa kuseduh di studio, setelah menghabiskan seporsi bakso. Hem, perutku terasa keroncongan.

Aku menatap kembali layar gawai yang berkedip-kedip hampir kehabisan baterai. Mana ini taksi online yang kupesan 30 menit lalu?

Sekarang, kota ini mungkin lebih seperti apa yang dideskripsikan Pramudya Ananta Toer, dalam novel legendarisnya, Bumi Manusia. Hanya saja, tentu lebih modern, ramai, rapi, dan rindang.

Pabrik-pabrik dengan cerobong asap tinggi, memang ada di sisi kota, mirip dengan London di abad kesembilan lalu, tentu saja minus kereta kuda. 

Trotoar penuh orang. Tapak-tapak kaki dan sepatu terdengar khas. 

Kendaraan-kendaraan bermotor lalu lalang dengan cepat dan rapat. Menyemburkan asap knalpot yang pekat dan gelap.

Aku celingukan mencari mobil Avanza putih seperti yang tertulis di aplikasi. Beberapa ojol dan kenek bis mini mengamatiku. Mungkin terasa aneh bagi mereka, aku dan koper ini duduk bersebelahan. Ukuran kami nyaris sama. Aku tersenyum geli.

Halte kecil di depan terminal ini tak sesepi dahulu. Saat kutinggalkan menuju dusunku yang kecil, berdebu, dan hijau. Sekarang tampak lebih ramai dan riuh.

Kemarin lalu, ibuku menelpon dengan penuh semangat. Suaranya yang melengking khas emak-emak masa kolonial, membuat telingaku sakit. Saat itu aku harus menulis dan mengirimkan surat lamaran kerja pada sebuah brand besar. Jadilah, kepalaku sepanjang hari berdenyut-denyut sakit.

"Anjani! Iya kan, kamu Anjani?!" seorang tukang parkir berumur sebaya denganku, yah di awal tigapuluhan menyapaku dengan antusias. Rasa-rasanya aku pernah mengenalinya. Tapi, siapa ya? Kucoba mengacak memori di kepalaku secepat kilat.

"Hei, aku Syaiful. Si Ipul, yang keren dulu. Masih ingatkan?" Katanya melepas topi lebarnya. Rambutnya yang pirang kemerahan, seperti yang kuingat dulu membuatku bisa mengingatnya.

"Ohya, hai Pul," kataku. Hampir saja lidahku yang keminggris gara-gara sering mengucapkan judul lagu-lagu Barat saat siaran mengucapkan 'Paul.'

Aku tersenyum konyol.

Ipul memberengut, "Kok begitu doang, nggak suka ketemu teman SMP?"

"Ya, enggaklah."

Aku terdiam lama, bingung juga mau ngomong apa sama si Ipul ini. Sudah lebih lima belas tahun kalau tidak salah aku tak pernah bertemu dengannya.

"Bercanda, Jaan! Jangan manyun begitu dong!"

Hiih, aku kan paling nggak suka dipanggil Jaan. Kok dia ini ingat saja sih?

"Anjani," koreksiku.

"Iya, Anjani kan nama lengkapmu?" katanya sok tahu dan ngeyel.

Aku mengetuk-ngetuk jempol kakiku yang mulai gatal dalam sepatu snickers andalanku. Lalu, berdehem dengan keras, "Anjani Rahma, itu nama lengkapku."

"Ah, sulit. Jaan!"

Ya, Tuhan mimpi apa aku semalam, bertemu makhluk seperti si Ipul ini. Ya, aku sih bukannya perempuan yang suka memasukkan teman di piramida prioritas. Namun, melihat kedegilan Ipul, rasanya aku pingin memlemparnya ke planet Mars.

"Mana suamimu, Jaan?"

"Nggak ada," kataku pendek seraya melengos. Merapikan kerudung kaosku yang telah lepek karena keringat. Aku kembali celingukan mencari-cari Avanza putih.

"Oh, maksudnya masih belum kawin ya?" Ipul terkekeh geli. Matanya yang jalang malah berkedip-kedip menatapku.

"Memang sulit, Jaan cari jodoh. Kebanyakan lihat penampakannya saja," katanya kemudian sok bijaksana.

Mendengar Ipul berkata panjang lebar tentang filosofi jodoh, mau tak mau aku tertawa keras saat ia berulang kali menyebut kata 'penampakan'. Mungkin maksudnya melihat tampilan visual seseorang. Ipul seperti kesulitan mencari diksi yang pas. Tapi biarlah. Biarkan dia senang hari ini.

"Karena aku gemuk dan jelek kan, Pul?" ucapku ringan. Seperti biasanya. Saat orang-orang menilai diriku ini. Sama sekali tanpa rasa sedih, kuanggap ini rutinitas harian saja.

"Kamu nggak jelek, Jaan. Tapi montok," jawab Ipul jujur.

Aku tertawa lepas, "Iya. Pul. Aku gemuk banget ya."

"Kayaknya nggak gitu sih. Montok itu beda dengan gemuk, Jaan."

Aku ngikik. Ya, Ipul memang polos dan lugu berbeda sekali dengan rekan-rekan kerjaku di kota. Apa ya namanya, kalau mereka itu? Pandai bermuka dua. Haha.

Ipul ini mungkin tidak mencapai kecerdasan teman-temanku di studio, yang kuingat ia berulang kali tidak naik kelas. Hingga bisa sekelas denganku. Saat itu aku duduk di  kelas, di posisi belakang bangkunya, dulu ia sering meminta traktiran di kantin. 

Dasar sableng.

Nasib burukku terselamatkan, saat kenaikan kelas. Ipul kembali tinggal kelas, aku pun menjadi cewek paling bahagia saat itu walau tidak pernah pacaran seperti gadis-gadis lain.

Sepanjang pengumuman kenaikan kelas. Aku cengar cengir di belakang panggung inagurasi. Bukan karena aku bisa meraih peringkat satu lagi, sama sekali tidak. Tapi, aku bisa terbebas dari makhluk seperti Ipul itu.

"Mana istrimu, Pul?"

"Kerja," jawabnya sedikit lesu.

"Kok lesu begitu, harusnya kamu bangga dong punya istri wanita karir," giliran aku yang mengintimidasi si Ipul.

"Ya, kan aku jadi ketahuan punya istri sama kamu Jaan, nggak bisa nggodain kamu," ucapnya lagi.

Aku kembali terkikik geli melihat preman sekolahku ini. Dulu si Ipul ini seperti makhluk paling berkuasa di sekolah. Main tonyor sana sini. Kalau sekarang, melihat nasib Ipul aku merasa kasihan juga.

"Kerja di mana Pul, istrinya?"

"Pabrik. Lagi shift pagi, jadi jam segini masih di sana."

Aku mengangguk-angguk. Kulihat Ipul memberi isyarat untuk kembali mengatur posisi parkir beberapa mobil yang memasuki area terminal. Aku mengulum senyum, setidaknya aku bisa mengisi waktuku menunggu taksi online yang kulihat .

Aku tentu tidak menceritakan pada teman lamaku, tentang keluargaku yang hancur berantakan.

Apalagi berkisah padanya bahwa aku sekarang adalah seorang janda. Aduh, rasa-rasanya lidahku kelu begitu mengingat kalau aku sekarang ini berstatus janda.

Tak mungkin kan, aku menyebut diriku ini seorang single parent? Karena, ya pernikahanku dan Argo dulu tidak menghasilkan anak.

Belum, tepatnya.

Aku menyeret koper besarku yang tampak berat. Sopir taksi online itu bapak-bapak berusia sekitar 50 tahun. Sedikit terkejut melihatku. Mungkin ia bayangkan aku ini gadis manis yang ramping semampai putih berseri menari-nari. Tapi, biarlah.

"Silakan, Mbak." Katanya ramah.

Aku sedikit lega mendengar nada suaranya, yang ramah. "Kaget, Pak?"

"Kaget kenapa, Mbak?" Ucapnya sembari membuka pintu mobil.

"Ya, dapat customer besar kayak saya ini, Pak."

"Ah, enggak sama sekali. Istri saya malah lebih guede." Jawabnya sembari memutar kemudi.

Aku tersenyum-senyum di belakang kursi, sembari memainkan gawai. Beberapa menit berlalu, mataku menyapu bersih kota metropolis yang kutinggalkan selama enam bulan ini.

Tiba-tiba gawaiku bergetar. Kupikir, ini telepon dari HRD tempat aku mengirimkan surat lamaran kerja. Ada beberapa—bukan sih tapi belasan HRD, yang kuhubungi agar aku bisa kembali bekerja.

Walau mungkin bukan menjadi announcer lagi. Tidak mengapa.

Besok ada dua tes, dan satu interview, jadi mau tak mau aku harus bersiap-siap.

"Sore, dengan Anjani di sini."

Lama tak kudengar suara di seberang, hanya hembusan napas yang berat saja.

"Sore, Jani. Kudengar kamu kembali ke Surabaya. Apa kamu butuh tumpangan? Aku bisa menjemputmu."

Ya, Tuhan. Apa sih maunya si Argo ini?

"Aku nggak butuh tumpanganmu, Go." Kataku judes.

Di sana kudengar suara tertawa mengekeh, "Syukurlah. Aku senang mendengar suaramu lagi Jani!"

"Tolong dong, jangan nelpon-nelpon terus."

"Aku nggak bisa Jani. Maaf, aku kangen suaramu."

Aduh.

Cepat-cepat kumatikan gawai sialan yang membuat mood-ku ambyar sore ini. Hatiku mencelos sebal. Mengutuk betapa lemah diriku menghadapi permainan Argo.

Ya, Tuhan. Ke mana sih akal sehatku yang dulu? []

 ---------------

Bersambung

Hello Dears, kutunggu komentar dan love-nya ya. Yuk temani Anjani di kisah ini. 💗

Love you, xoxo

Puspitalagi  🥳🥰

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
masih kurang beratmu jani. pas utk janda yg belum move on beratmu itu 75
goodnovel comment avatar
Eva Yanti
62 kg itu ngak lah gendut Jani.....berisi cantik loh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 84b

    Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 84a

    Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 83b

    Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 83a

    Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 82b

    Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 82a

    Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status