Share

Keping 2

Author: Puspitalagi
last update Last Updated: 2022-12-06 12:14:39

Enam bulan berlalu dengan cepat. Aku menyepi di sebuah dusun nan tenang, yang agak jauh dari hiruk pikuk metropolitan seperti Surabaya yang panas, sibuk, dan berdebu. 

 Kanigoro, hanya sebuah dusun sepi di pinggiran Pasuruan. Sawah masih membentang luas. Ibu-ibu masih banyak yang sekadar turun menjadi buruh tani. Matun, atau membantu saat panen. 

Jika pagi, aktivitas sudah dimulai sejak sebelum Subuh. Anak kecil dan bapak-bapak mengumandangkan pujian dari langgar atau mushola kecil terdekat. 

Suasana begitu riuh. Ramah namun terkadang juga sedikit mengganggu, itu karena aku sangat tidak suka jika privasiku terganggu. Di dusun, berita cepat sekali menyebar. Bisik-bisik pun akan mengular seperti api melalap rumput kering. 

"Lho, An. Katanya kamu cerai ya? Sayang banget, An. Namanya juga lelaki kadang khilaf." 

"An, sepertinya kamu kelamaan di desa, apa nggak kerja jadi penyiar lagi di Surabaya?"

"Kok bisa, Mas Argo yang ngganteng itu selingkuh ya, padahal orangnya kayak sopan pinter gitu." 

"Apa mungkin kamu yang kurang maksimal melayani Mas Argo yang ngganteng banget itu, An?"

"Nggak pengen rujuk An? Susah lo cari suami keren kayak Mas Argomu, itu." 

"Mungkin Anjani ini pingin suami yang sugeeh (kaya banget), iya tho An? Seperti Romlah yang dapat jodoh Ustaz Said, lelaki Arab yang kaya raya itu." 

Kaya raya dan berumur enampuluh tiga tahun. Koreksiku dalam hati.

Romlah yang malang. Tapi ia tampak bahagia. Romlah baru berusia duapuluh tiga dan dianggap perawan tua di dusunku ini. Ya, begitulah. 

Apalagi, aku yang menjanda di usia tigapuluhan. Mungkin mereka menganggapku fosil t-rex.  

Aku hanya tersenyum masam. Iya, cuma itu yang bisa kulakukan.

"Kadang yang kita dengar nggak perlu harus diomongkan, nggih Ibu-Ibu yang cantik," tukasku sesaat saat aku bertemu pasukan ghibah itu di warung sayur. 

"Ya, pantesan saja Mas Argo yang nggantengnya sundul langit itu ninggalin kamu, An. Lha wong kamu modelnya judes begini. Mana tahan kupingnya tiap hari, ya nggak Buk-Ibuk?" Yu Sumi melirik sengit ke arahku yang sedang mengangsur lembaran uang limapuluh ribu ke Ummi Maryam--pemilik warung. 

"Iya, Yu Sumi. Betul itu. Dari dulu kan Anjani ini pinter ngoceh. Kalau nggak begitu, mana bisa dia jadi penyiar. Penyiar yang nganggur ya sekarang, An?" Onah menatap wajahku dengan mata beloknya yang terkesan melotot setiap waktu. 

"Permisi nggih, saya banyak kerjaan," tukasku cepat. Lalu bersegera menjauh dari warung sayur neraka itu.  

Dasar tukang ghibah! Teriakku dalam hati memacu langkah menuju rumah. 

"Anjani? Makin ayu saja, sekarang, Neng," Pak Untung yang sedang menuntun kerbau raksasa di pematang sawah masih sempat-sempatnya menyapaku dengan bahasa seperti itu. 

Aku hanya menutup rapat mulutku. Aku baru memahami, kenapa Pak Untung bertubuh tambun itu terkesan begitu genit padaku. Juga beberapa laki-laki kadaluarsa di dusunku. Semua bermanis-manis muka.   

Padahal, sebelumnya mereka sama sekali tak akan mau menoleh padaku. Karena aku dianggap terlalu modern di kampung udik dan terpencil di ujung dunia ini. Terlalu keminter dan susah diatur. Beda dengan perempuan desa yang nerimo dan patuh.  

"Neng, An. Butuh tumpangan nggak?" Kini giliran Mang Agus, ojol depan rumahku yang sibuk dengan pekerjaannya di kecamatan terdekat.  

Aku menggeleng kuat.  

"Jauh loh, Neng An. Bisa bengkak kakinya entar," goda Mang Agus sekali lagi.  

Aku nyengir mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bagaimana kalau Yu Sumi mendengar ini? Bisa kena serangan jantung perempuan bermulut tajam itu.  

"Yu Sumi masih di warung sayur, Mang. Bisa dijemput tuh katanya nunggu Mamang di sana," ucapku dusta. Sembari melangkah kuat meninggalkan jalanan berdebu. Kulihat Mang Agus menepuk jidatnya keras-keras.  

"Waduh!" Teriaknya.  

Aku meringis, dasar tua bangka kegenitan! 

Di depan rumah yang entah kenapa semakin terasa sepi. Ibuku sedang duduk dengan Bapak, menunggu kedatanganku. Apa Ibu sudah tak sabar menumis sayur Kembang Kates (bunga Pepaya) ini ya. Kok sepertinya ada yang janggal.  

"Nduk, duduklah dahulu," Bapak memberi isyarat setelah aku mencium tangan beliau. Agak was-was aku duduk dengan khidmat. 

"Nggih, Bapak," sahutku perlahan. Aku melirik Ibu yang terdiam seperti berpikir sangat keras.  

"Sudah setengah tahun, Jani di rumah saja, Nduk." Bapak memulai pembicaraan. Pipinya yang berkerut dalam tampak menua, semakin hari. Tubuh Bapak juga seperti kehilangan daging, apa Bapak merasa sedih punya anak yang gagal dalam pernikahan seperti aku?  

"Bapak nggak keberatan, Jani di rumah saja. Karena ini juga rumah Jani. Selain Masmu yang kerja di Jakarta. Bapak dan Ibu sayang sama Jani," Bapak berhenti sejenak.  

"Tapi Jani juga harus tetap hidup. Ndak apa-apa gagal sementara. Kelak Jani akan menemukan pengganti lain. Jani, bakatmu tidak bisa dikembangkan di dusun sepi dan berdebu seperti ini, Nduk."  

"Maafkan Jani, Pak, Bu. Jani hanya menyusahkan," racauku perlahan, sementara tanpa dibendung air mataku menetes satu-satu membasahi kerudung abu-abuku yang kusut dan lepek.  

Apa Bapak dan Ibu mengusirku dari rumah ini? Apa beliau ini malu memiliki anak gadis seorang janda sepertiku?  

"Kamu kudu (harus) move on, Nduk!" Ibu yang sedari tadi terdiam meremas tanganku, "itu kan yang dulu kamu bilang sama Marina, teman kecilmu yang dulu pernah menjanda?"  

Aku mengusap mataku yang tiba-tiba berembun. Tak bisa jelas kulihat wajah Bapak dan Ibuku. Sepertinya duniaku hancur oleh peristiwa laknat itu. Lalu aku terus menerus bersembunyi di dusun terpencil ini.  

Menghilang dari dunia. Duniaku dahulu yang riuh dan dinamis. Aku hanya bersembunyi begitu saja, hingga setengah tahun seperti sekejap mata.  

"Jani nggak sanggup kalau harus ke Surabaya lagi, Jani nggak pingin ketemu Mas Argo lagi, Bu." Aku terisak begitu keras hingga Ibu menepuk-nepuk tubuhku kemudian menarikku di pelukannya. 

"Argo itu masa lalu, Nduk. Kamu nggak perlu takut sama masa lalu. Hanya bagian dari episode hidup. Ndak perlu disesali, cukup dijadikan kenangan," Bapak menghembuskan napas dalam-dalam.  

Ah, Bapak. Bagaimana mungkin aku tidak mengingat laki-laki yang pernah bersamaku selama tujuh tahun? Berbagi duka dan selimut. Berbagi tawa dan tangis. Namun, dengan tega membelah hatiku hingga berkeping-keping.  

Hingga kini pun rasa nyeri masih menghantuiku demikian jelas. Aku merasa tak memiliki jiwa. Kosong melompong seperti rumah tua.  

"Jani, nggak kangen siaran lagi, Nduk?" Wajah Ibuku yang masih tampak ayu di usia lima puluh tujuh tersenyum menatapku dalam.  

Bunyi gemerisik angin meniup pohon-pohon randu yang berjajar di halaman masuk rumahku. Ada jalan khusus setapak yang agak panjang. Di kanan kiri tanaman perdu terawat rapi sebagai pagar hidup.  

Aku menghirup udara di sekitarku yang terasa menyesakkan. Kedua orang tuaku tak menginginkan aku berada di sini. Aku mencoba memahami jalan pikiran Bapak dan Ibuku.  

Aku tidak sakit hati. Aku cuma sedih. Menyandang predikat janda tanpa anak di usia yang tidak muda lagi memang menyulitkan. Aku merasa semakin simpati pada para perempuan tak beruntung di luar sana.  

Apakah aku hanya mengasihani kondisiku saat ini? Oh, aku tidak tahu. Aku tidak mengerti. Mungkin aku ini perempuan penuh dosa yang harus disucikan sedemikian rupa dengan ujian seperti ini.  

Ya. Aku memang banyak dosa. Pendosa menjijikkan yang suaminya harus tidur dengan orang lain.  

"Kangen, Bu. Tapi Jani juga nggak mungkin siaran di Pro Blue lagi. Bisa-bisa Jani ketemu selingkuhan Mas Argo, Bu."  

Bibir Bapak dan Ibu berdesis seperti mengucapkan kata-kata istighfar.  

"Kenapa harus terpenjara gara-gara Argo? Itu cuma alasan kamu ndak bisa move on, Nduk. Kamu susah melepas laki-laki itu dari ingatanmu. Kamu masih kepikiran terus. Masih nggak mau nerima kenyataan kalau Argo itu cuma masa lalumu," Ibuku seperti mengomel panjang.  

Ya. Mungkin begitu Bu. Keadaanku sekarang. Aku tidak bisa berdamai dengan siapapun, bahkan dengan hatiku ini.  

"Nggih, Bu. Maafin Jani," aku kembali tersedu sampai bahuku berguncang lagi. Ibu menarikku di pelukannya.  

"Bangun, Nduk. Hadapi kenyataan. Jangan sembunyi terus."  

"Ya, sudah. Sudah, mending Dhuha dulu sana, Nduk," Bapak akhirnya menutup dialog yang membuat posisiku serba salah itu.  

Aku berjalan menyusuri lorong rumah tua berarsitektur Joglo ini. Orang tuaku tidak kaya, hanya keluarga biasa. Dulu Bapak bekerja sebagai kepala madrasah menengah dan kini sudah pensiun. Harusnya, aku tidak merepotkan mereka dengan masalahku yang serba rumit dan ruwet.  

Harusnya, aku menjadi anak yang tahu diri dan mandiri seperti Kangmasku yang sekarang kerja di Jakarta. Saudaraku satu-satunya. 

OOO

Dulu, saat aku membaca novel ataupun menonton film tentang perjuangan perempuan single, rasanya tampak mudah dan indah.  

Julia Roberts dalam Erin Brockovich begitu mengesankan. Janda muda beranak tiga yang bisa membongkar skandal limbah. Sementara aku?  

Ah. Tak terkatakan dalam posisi ini. 

Aku merasa seluruh dunia menelanjangiku. Mengarahkan telunjuk padaku.  

Kini, ketika aku merasakannya sendiri. Rasa-rasanya aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja terjadi.  

Kenapa harus aku? Kenapa rumah tanggaku hancur? Apa salahku? 

Begitu pikiranku hingga bulan mungkin tak berbentuk bulat lagi. Aku tertawa pahit. Menertawakan diri sendiri yang lemah dan tak kuat menatap kenyataan di depan mata. Aku mengambil kudapan di ujung nakas.  

Sekarang September, beratku 62 kg dengan tinggi 160 cm. Gendut dan gemuk. Single, ditinggal suami tercinta selingkuh. Tak punya pekerjaan. Menganggur menumpang di rumah orang tua yang hidup sederhana. 

Sungguh tak tahu diri.  

Aku mengunyah kue dan gorengan yang dibuat Ibuku. Membayangkan mungkin nasibku akan jadi perempuan tua, sendirian, lalu mati tanpa siapa-siapa. Sungguh mengerikan.  

Aku bergidik.  

Sesaat berlalu, hingga gawaiku yang saat ini sudah lama sekali tak berbunyi, tiba-tiba menyalak demikian keras. Ohya, aku sudah mengganti ringtonenya dengan suara kucing, menurut Bapak akan aneh jika orang dusun mendengar suara kuntilanak dari gawaiku. 

Kubuka dengan cepat. Sebait pesan mengambang di layarnya yang jernih. 

"Jani, bagaimana kabarmu? Apa kau butuh pekerjaan? Ini Argo. Sahabatmu. Mohon dibalas."  

Jantungku berdentam begitu keras. Sementara, tanganku gemetaran. Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? []

Bersambung, Dear. Tinggalkan jejak dan love ya. 🥰

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Halabeu News
mesti nyebelin banget yg diomongin cewek yg salah melulu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 84b

    Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 84a

    Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 83b

    Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 83a

    Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 82b

    Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 82a

    Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status