Setelah kepergian Green dan Langit, Alta tak bisa berpikir apa-apa. Ia merasa seperti kehilangan sebagian dirinya. Harapannya untuk membangun keluarga impian bersama Green telah pupus, hancur tak tersisa. Tak ada lagi yang tertinggal selain kenangan dan penyesalan. Alta menyesal? Tentu saja, setelah Green bersikap tegas dan meninggalkannya, barulah ia sadar bahwa selama ini ia telah menyia-nyiakan wanita sebaik Green. Dari sekian banyak penyesalan yang menghampiri Alta, ada satu hal yang membuat dirinya menitikkan air mata, “Ibu, maaf Alta udah gagal jagain Green. Ser, maafin gue,” lirihnya sambil menekurkan kepala. Alta teringat janjinya pada almarhumah Melan dan Sera, baginya itu bukan hanya janji biasa, melainkan sebuah amanat yang harus dijalankan, dan Alta telah gagal menjaga dan menjalankan amanat itu.
Sepintas Alta terbayang wajah dan senyum terakhir Melan saat menitipkan anak semata wayangnya, belum lagi Sera. Sahabat Green itu berharap dirinya bisa menema
Regita masih berada di dalam kamar, fokusnya pun masih tertuju pada layar monitor dan novel di tangannya. Tadi, setelah mendapat pesan balasan dari Langit ia semakin bersemangat mengerjakan tugas dari dosen tampan itu. ia bertekad akan menyelesaikan tugas tersebut hari ini juga. Beruntungnya ia telah selesai membaca novel yang akan diresensi, sehingga tak membutuhkan waktu terlalu lama untuk menyelesaikan tugas itu.Regita memang tak begitu pandai dalam hal komunikasi, tapi kemampuannya dalam dunia literasi tak usah diragukan lagi. Selain menjadi mahasiswa, ia juga aktif mengikuti seminar tentang kepenulisan, beberapa karyanya telah terbit di berbagai platform online. Regita yang memang tak terlalu suka berinteraksi dengan lingkungan sekitar, memilih menuangkan gagasan, ekspresi dan perasaannya melalui tulisan. Tak banyak yang tahu akan hal itu mengingat ia pun tak punya banyak teman. Gadis berkacamata tebal itu dikenal sebagai kutu buku di kampusnya. Disaat sedikit sekali da
“Ayah, bunda tiba-tiba kepikiran Green. Bunda telepon Green dulu deh.” Kalila mengambil ponselnya hendak menelepon Green. “Bun, udah malem, besok pagi aja telepon Greennya.” Jerry melarang istrinya yang hendak menghubungi Green karena khawatir akan mengganggu wanita itu.“Yah.., gak bisa, perasaan bunda gak enak banget.” Kalila bersikeras untuk menelepon Green karena merasa ada sesuatu yang tengah terjadi pada calon menantunya.“Kalau bunda telepon sekarang yang ada malah ganggu Green, besok aja ya.” Jerry masih berusaha membujuk istrinya agar menghubungi Green esok hari saja. Kalila melihat jam di ponselnya, benar juga kata Jerry, waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 wib, kemungkinan besar Green sudah lelap dalam tidurnya. Tapi, ia merasa sangat khawatir.“Yaudah deh, bunda telepon Langit aja.”Jerry menghela napas panjang, sifat keras kepala Kalila terkadang membuat wanita itu sulit diberi
Alta masih berkutat dengan pikirannya tentang Green, sejak Green memutuskan untuk berpisah, Alta merasa tak bisa memikirkan hal lain. Kepala dan hatinya hanya tertuju pada Green, pada janjinya terhadap Melan dan Sera, dan pada penyeselan yang tak berkesudahan. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Pada akhirnya, sepintar apa pun menyimpan kebohongan akan ketahuan juga. Itulah yang terjadi saat ini, Alta tak diberi waktu untuk mempersiapkan semuanya. Bagi Alta, semua yang terjadi terlalu tiba-tiba, Alta belum siap kehilangan Green, dan tidak akan pernah siap meskipun ada Reina di sisinya.Sambil memandang laut dan deburan ombak, Alta menekuk lututnya, pandangannya lurus ke depan. Saat tengah berkutat dengan pikirannya, tiba-tiba seorang wanita duduk di samping Alta. “Lo Alta, kan?” tanya Sindi yang melihat Alta tengah duduk sendiri sambil menatap laut.Sindi yang sedang berjalan-jalan bersama adiknya melihat Alta, ia memutuskan untuk menghampiri Alta yang
Green sudah kembali berada di kamarnya, kepala Green berdenyut, bukan karena migrain atau sakit lainnya, melainkan masalah hidup yang seolah terus bermunculan yang membuat kepalanya serasa mau pecah. Kondisi hatinya saja belum pulih, lukanya saja belum kering, kini masalah baru kembali muncul. Ucapan Kalila yang memintanya bertunangan dengan Langit terngiang-ngiang di kepala.“Mau ya sayang tunangan sama Langit?”Pertanyaan itu terus berputar di kepala Green. Ingin sekali Green menjawab kalau dia tak mau, dia juga tidak mencintai Langit, tapi lagi-lagi sorot memohon yang terpancar dari mata Kalila membuat Green tak tega mengecewakan ibu dari seorang laki-laki yang sama sekali tak dicintainya. Alhasil, Green hanya menjawab kalau dia butuh waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu, Kalila setuju dan mau menunggu. Lalu bagaimana dengan Langit? Langit tak jadi mengatakan yang sebenarnya, sandiwara mereka sudah terlalu dalam masuk dalam hati Kalila. Buk
Daren yang hendak pulang selepas meminjam buku di perpustakaan kampus mendapati Reina tengah duduk sendirian di taman. Mulanya Daren tak peduli, ia terus melenggang menuju motornya. Tapi matanya tak bisa diajak berkompromi, tanpa sengaja Daren mengamati Reina, wajah wanita itu sembab seperti habis menangis. Daren menghampiri Reina, niatnya untuk meledek wanita selingkuhan sahabatnya itu. “Ngapa lo duduk di sini sendiran?” tanya Daren dengan nada songong. “Bukan urusan lo!” bentak Reina galak. Daren tergelak, kemudian duduk di samping Reina tanpa meminta persetujuan wanita itu lebih dulu. “Dicampakkin, kan, lo sama Alta? Bego sih, mau aja jadi selingkuhan!” Tangan Reina terkepal, rasanya ingin sekali ia menonjok dan menyumpal mulut Daren agar tak banyak bicara, kepalanya sudah cukup berdenyut karena kelakuan Alta, sekarang ditambah lagi ucapan Daren yang sangat kurang ajar menurutnya. Melihat Reina mengepalkan tangannya, Daren membuka suara lag
“Bi Ruri.., Pak Ardi, Mang Ujang..,” teriak Cherry memanggil seluruh pekerja di rumah Langit.“Ya, Non,” jawab Bi Ruri lebih dulu. Mang Ujang dan Pak Ardi menyusul di belakangnya, mereka berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh. “Ada apa, Non? Ada tikus, kah? Ada kecoa, kah?” Pak Ardi heboh sendiri, sementara Mang Ujang menatap Cherry dengan tatapan meminta penjelasan.“Kalian semua, tolong denger ini baik-baik.” Cherry memberikan instruksi pada seluruh manusia yang berada di hadapannya. “Saya mau keluar. Kalau Kak Langit nanya, bilang aja saya lagi kerja kelompok, mungkin pulangnya agak maleman.”Pak Ardi dan Bi Ruri mengangguk-anggukan kepala, tanda bahwa mereka paham. Sementara Mang Ujang masih diam, ia melihat penampilan Cherry yang sedikit terbuka dan terbilang seksi itu dengan tatapan penuh curiga. “Non, maaf kalau Mang Ujang lancang, emang sebenernya Non Che
“Oke, saya setuju.”Langit tersenyum lebar. “Pilihan yang bagus, Green,” tutur Langit sambil memberikan bolpoint pada Green.Tanpa berlama-lama, Green membubuhkan tanda tangan di atas materai yang tertera namanya kemudian mengembalikan bolpoint itu pada Langit. “Ya mau gimana, saya emang butuh kerjaan. Lagipula saya sangat yakin, saya yang akan jadi pemenangnya,” ujar Green dengan rasa percaya diri yang tinggi.“Baiklah, kita lihat nanti ya.” Langit merasa tertantang dengan pernyataan Green barusan, semangatnya untuk menaklukan seorang Green semakin menggebu-gebu.Green mengangguk pelan. “Jadi, kapan saya bisa mulai kerja?’“Senin, nanti malam saya akan kasih detail pekerjaan yang harus kamu kerjakan.”Jika waktu itu Langit hanya menjelaskan garis besarnya, maka nanti malam ia akan berikan detailnya. Green kembali mengangguk, setidaknya satu masalah Green telah teratasi.
Tepat pukul 19.00 wib, Langit dan Green tiba di gang sempit menuju rumah Green. Sedari tadi Green tak henti tersenyum, ia sangat bahagia bisa bertemu dan bermain dengan Rubi dan kawan-kawan. Mereka membuat Green sedikit lupa pada kesedihan dan patah hatinya. Hal itu disadari Langit, Langit yakin saat ini suasana hati Green sudah lebih baik bahkan sangat baik.“Ekhem, seneng banget kayaknya.” Suara deheman itu menyadarkan Green bahwa saat ini ia masih berada di mobil Langit.“Eh, udah sampe, ya?” Green hendak melepas safety beltnya, namun Langit lebih dulu melakukan itu.“Gak usah berlebihan, saya bisa sendiri!” Bukannya mengucapkan terima kasih, Green malah berbicara dengan nada ketus pada Langit.“Iya, iya, yang apa-apa bisa sendiri, giliran galau tetep aja butuh saya,” sindir Langit.Green yang tahu Langit menyindirnya menatap tajam Langit. “