Aksi menghindari Indah masih dilakukan Arsya sejak rombongan orang catering memasukkan meja dan menatanya seperti jamuan pesta di ruang tamu mungil wanita itu. Laporan tentang kantong belanja yang dikembalikan, diikuti dengan kabar bahwa buah-buahan dan cake tidak kembali. Sewaktu menerima laporan itu, Arsya baru selesai makan malam bersama keluarganya. Satu jam sebelum pulang biasanya ia dan ayahnya duduk menikmati secangkir kopi di teras samping, sambil mengobrol banyak hal. Arsya menjawab panggilan telepon di sebelah Pak Ari Subianto yang sedang mengangkat cangkir dan menyeruput isinya. “Kalau sudah selesai ditinggal aja, nggak apa-apa. Orang yang di sana pasti selalu update kabar. Yang paling penting cateringnya harus on time. Jangan ngaret. Harus pas di waktu yang ditentukan. Oke, terima kasih.” Arsya mengakhiri pembicaraan dan meletakkan ponsel di meja. “Siapa, Bang? Kenapa ngomongin catering? Presdir perusahaan tambang ngurusin catering juga?” Pak Ari Subianto memandang putr
Arsya diam sesaat memandang sepasang mata Indah yang tergenang air mata. “Kamu sadar ngomong apa barusan?” Indah menelan ludah. “Sadar, Pak.” “Karena sakit hati dengan apa yang dikatakan suami kamu barusan?” Arsya melirik Panca yang masih memandang ke arah mereka. “Bisa jadi,” jawab Indah. “Saya akan kirim pengacara untuk membantu proses gugatan cerai yang akan kamu layangkan. Paling lama tiga hari dari sekarang. Sebelum itu saya minta kamu memikirkan keputusan itu matang-matang. Saya nggak mau kamu menyesal atau mundur di hari H.” Arsya mengatupkan bibir seraya mengawasi air mata Indah yang sudah menggantung; bersiap jatuh ke pipi. Indah lalu berpura-pura menunduk menepuk bagian depan roknya. Ia mengerjapkan mata untuk menghalau cairan hangat itu. “Rasanya saya nggak perlu mikir sampai tiga hari. Saya udah yakin, Pak.” Telunjuknya mengusap pipi dengan sangat cepat. Tapi tidak cukup cepat untuk menyembunyikan air mata yang jatuh. “Baik. Sebelum topik ini dilanjutkan saya harus ng
“Kenapa ke sini? Kalau cuma mau tanda tangan itu, kan, bisa ketemu di luar.” Indah mengangkat Alif yang tadi ia pangku ke dalam dekapan.Arsya memandang meja catering dan menunjuknya. “Masakannya enak?”“Enak. Makasih banyak. Pertanyaan saya tadi, Pak. Kalau cuma tanda tangan itu, kita bisa ngobrol di luar. Saya nggak enak ….” Indah baru saja akan mengatakan bahwa ia tidak enak kalau Bu Anum atau tetangga melihat Arsya masuk ke rumah. Tapi rupanya Bu Anum yang sedang bersiap pulang keluar dari kamar. Indah menekuk wajahnya menjadi sangat serius.“Saya mau lihat Alif sebelum mengajak mamanya ngobrol di luar.” Arsya ikut duduk di lantai, tak sampai semeter dari Indah.“Selamat malam, Pak,” ucap Bu Anum.“Malam,” sahut Arsya tersenyum.“Saya bisa jaga Alif kalau Bapak dan Mbak Indah mau keluar.”“Nah, begitu. Terima kasih. Saya ada sedikit urusan bersama Mama Alif. Bukan sekarang, tapi sebentar lagi. Sekarang saya mau lihat Alif yang katanya sudah pintar mengenali mamanya. Begitu, kan?”
Indah melirik ponsel yang panggilannya baru saja ia matikan. Untung saja, pikirnya. Tidak terbayang kalau Panca tahu bahwa ia dibantu atasannya dalam mengurus perceraian. Sumpah serapah dan hinaan Panca pasti bisa membuatnya muntah.“Saya bukan menemui laki-laki itu seperti kata Bapak barusan. Saya mau bicara di telepon.” Indah menunjukkan ponselnya pada Arsya.“Kalau begitu,” secepat kilat Arsya meraih ponsel Indah dan memblokir kontak Panca tanpa persetujuan, “kita blokir aja. Kontak ini tidak penting lagi buat kamu.”“Pak,” mulut Indah setengah ternganga, “tapi itu bapak anak saya. Bagaimana juga Alif itu anaknya. Kalau Alif membutuhkan suatu donor, saya bisa menghubungi papanya.” Lift yang isinya hanya mereka berdua sudah tertutup dan bergerak turun ke lantai dasar. “Kamu yakin laki-laki itu mau mendonor untuk Alif? Entah apa pun itu? Kamu nilai sendiri. Lagipula … sebelum tanda tangan harusnya kamu baca surat kuasa itu. Saya tidak akan mengizinkan kamu mendatangi dia karena itu
Bukan sulit membuat Panca babak belur siang itu. Ruang meeting kecil bisa jadikan sasana untuk menghajar Panca yang bertubuh tidak terlalu tinggi. Walau Panca melawan dengan sekuat tenaga pun, belum tentu pria itu bisa menang karena Arsya memiliki beberapa medali judo yang diperolehnya sejak masa kuliah. Arsya hanya menghadiahi satu pukulan pada Panca karena tidak mau pria itu mati atau babak belur di kantornya. Arsya mengingat apa yang selalu dikatakan seorang Ari Subianto padanya, “Abang adalah wujud perusahaan itu sendiri. Apa yang Abang lakukan; baik atau buruk, semua akibatnya akan dirasakan langsung oleh ribuan karyawan. Jangan pernah berbuat dosa lalu minta dikasihani sebagai konsekuensinya.”“Kau berani main pukul karena aku ada di lantai ini, kan? Kau cuma berkuasa di sini?” Suara Panca memantul di ruang meeting.“Anda baik-baik saja karena berada di sini,” sahut Arsya. “Bagaimana? Anda sudah tenang? Saya akan memanggil Indah kalau Anda sudah siap bicara dengan tenang.”“Man
Sudah lebih dari seminggu Panca berada di luar pulau untuk menyelesaikan proyek baru perusahaan. Bukan hanya senang karena dipercaya memimpin proyek besar, Panca juga bahagia karena selain naik jabatan, ia juga mengalami kenaikan gaji yang lumayan. Mayang yang ikut bahagia menyebutnya sebagai ‘beda istri, beda rezeki.’Kepergian seminggu itu memang menyelesaikan pekerjaan kantor, tapi menyisakan banyak sekali PR masalah pribadi. Sejak gugatan cerai yang dilayangkan Indah, situasi Panca dan Mayang tidak terlalu baik. Mayang menyambut bahagia keputusan Indah, sedangkan Panca merasa harga dirinya diinjak-injak sebagai seorang suami dan laki-laki.Gerimis dari sore belum juga berhenti sampai Panca tiba di rumah malam hari.“Kebiasaan selalu lupa nyalain lampu luar,” sungut Panca saat mendorong pagar dan berjalan menuju pintu samping yang berbatasan langsung dengan carport. “Mayang ….” Panca mengetuk pintu.Dari dalam rumah Panca mendengar langkah kaki mendekat kemudian anak kunci yang dip
Hati Pak Hadi memang tidak pernah tenang sejak belakangan Indah selalu mengatakan dirinya baik-baik saja. Layaknya orang tua mana pun yang menyayangi sang anak, Pak Hadi selalu bisa merasakan kalau putri tunggalnya itu sedang merisaukan sesuatu. Salah satu hal yang bisa ditebak Pak Hadi adalah keuangan Indah yang belum stabil.Pagi di hari yang sama dengan kedatangan Panca, Pak Hadi tengah membuka-buka laporan keuangan milik perusahaan kecilnya yang bergerak sebagai penyedia bahan pokok beberapa restoran. Perusahaan itu dirintis hampir sepuluh tahun dan selama itu juga segala keuangan perusahaan dipegang Bu Lina, ibu tiri Indah.“Ma, Papa mau lihat laporan keuangan CV. Mama simpan di mana? Nama foldernya.” Pak Hadi sedang membuka laptop dan satu folder berisi semua hal yang berkaitan dengan CV miliknya.“Memangnya mau cari apa? Nanti aja Mama yang bantu carikan. Mama juga suka lupa nama foldernya yang mana.” Bu Lina menjawab dari meja makan. Mereka baru selesai sarapan dan pagi itu ia
“Bapak nggak bisa ikut saya ke Bandung. Saya bukan mau main-main. Papa saya terserang stroke, Bapak dengar sendiri. Saya izin pulang ke Bandung untuk dua hari aja. Potong cuti. Bisa, kan?” Indah memandang Arsya dengan tatapan penuh harap. Arsya menyandari mejanya sambil menggaruk dagu. “Kamu bicara soal cuti? Kamu yakin yang saya permasalahkan itu cuti?” Indah berdiri. “Mumpung masih sore, boleh saya permisi pulang? Saya mau kejar kereta jam delapan malam. Biar lebih cepat sampai, Pak.” Arsya menghela napas panjang kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Sepasang mata Indah mengingatkannya pada seekor anak anjing yang dibuang ke tepi jalan. Ia iba. “Boleh. Silakan pulang sekarang,” kata Arsya. “Makasih, Pak. Saya permisi.” Indah membungkuk kecil untuk terima kasihnya pada Arsya. Keluar tergesa dari ruang Arsya karena memperhitungkan waktu yang akan ia habiskan untuk perjalanan dan membereskan bawaan. Ditambah lagi dengan, “Kayaknya harus pergi berdua aja dengan Alif. En