Di rumah minimalis bergaya Eropa itu, Kesuma duduk di sofa ruang tengah dengan segelas teh yang sudah lama tak disentuh. Matanya tajam menatap Winda yang mondar-mandir sambil menggigit kuku, wajahnya penuh cemas. Jam dinding berdetak lambat seolah menegaskan kegelisahan yang menyelimuti ruangan.
"Bagaimana kalau Aster ternyata anak orang kaya? Apa dia nggak akan nuntut aku balik? Gimana kalau dia ternyata marah sama apa yang aku perbuat?" ucap Winda setengah berbisik, namun cukup keras untuk didengar suaminya.Kesuma mengangkat satu alis, menaruh cangkir teh ke atas meja, lalu menyandarkan tubuhnya.“Dari dulu aku heran, kenapa kamu bisa segelisah ini soal Aster? Bukannya kamu dulu yakin semua yang kamu lakukan itu demi kebaikan?"Winda berhenti melangkah, tubuhnya menegang. “Itu dulu. Sekarang semuanya berubah. Galih ngelamar dia di depan wartawan. Kalau dia benar-benar anak konglomerat, bisa-bisa semua aib aku diungkap ke medSore itu, langit mendung menggantung di atas rumah keluarga Galih. Angin semilir meniup tirai ruang tamu yang setengah terbuka. Jason baru saja pulang dari latihan basket di sekolah. Ia mengganti bajunya dan turun ke ruang tengah saat suara lembut namun berat memanggilnya.“Jason,” panggil Winda, ibunda Galih, nenek dari pihak ayah yang selama ini tinggal terpisah dan jarang menunjukkan dirinya setelah Galih melamar Aster.Jason berhenti sejenak, sedikit terkejut. “Nenek?”Winda duduk di kursi rotan dengan selimut tipis menutupi lututnya. Wajahnya tampak letih, namun matanya menatap Jason dengan intens. Di sampingnya, secangkir teh masih mengepul.“Boleh Nenek ngobrol sebentar?”Jason mengangguk. Ia berjalan pelan dan duduk di sofa di seberangnya. “Boleh. Kenapa, Nek?”Winda menarik napas dalam-dalam. Tangannya meremas-remas ujung selimut, seolah sedang menenangkan kegugupan dalam dirinya.“
Di ruang keluarga yang hangat dan penuh cahaya sore, Jason duduk santai sambil memainkan ponselnya. Galih dan Aster duduk di sofa, memperhatikan dengan senyum geli ketika Jason tiba-tiba bicara penuh percaya diri."Konsep pernikahan kalian udah aku bicarain sama event organizer. Jadi, kalian tinggal nyiapin diri aja," kata Jason sambil menyerahkan selembar cetakan konsep acara dari map di tangannya.Aster menatap cetakan itu dengan mata berbinar. Detailnya rapi dan penuh sentuhan personal. Nuansa oldies klasik yang romantis, sesuai dengan impian sederhana yang sempat ia ceritakan pada Jason dulu."Wah, Bunda seneng banget sih karena ini konsepnya bagus banget. Makasih ya, Sayang. Kamu jadi orang yang paling sibuk di pernikahan ini." Aster menatap Jason penuh haru.Jason tersenyum bangga. “Biar Papa sama Bunda tinggal bahagia aja. Sisanya, aku yang atur!”Galih merangkul bahu anaknya sambil mengecup puncak kepala J
Ruang Event Organizer itu dipenuhi papan moodboard, katalog bunga, dan kain-kain berwarna pastel yang menggantung di sudut ruangan. Aroma kopi bercampur wangi kertas baru menyambut setiap tamu yang datang. Jason, dengan langkah mantap dan raut wajah antusias, membuka pintu kaca dan melangkah masuk.Ia mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans, terlihat sedikit berbeda dari anak-anak seusianya yang biasanya tidak terlalu peduli urusan penampilan.Terlebih lagi urusan pernikahan. Namun, hari itu, Jason datang dengan misi besar, untuk membantu mempersiapkan hari istimewa Papa dan Bunda barunya.Oliv, sang perencana acara yang sudah terbiasa dengan klien dewasa yang rewel dan perfeksionis, sedikit terkejut ketika melihat bocah laki-laki itu datang sendiri."Jason? Kamu sendiri aja?" tanya Oliv sambil tersenyum menyambutnya."Iya, Kak Oliv. Aku mau bantu Papa sama Bunda Aster buat prewedding-nya. Soalnya mereka lagi s
Di rumah minimalis bergaya Eropa itu, Kesuma duduk di sofa ruang tengah dengan segelas teh yang sudah lama tak disentuh. Matanya tajam menatap Winda yang mondar-mandir sambil menggigit kuku, wajahnya penuh cemas. Jam dinding berdetak lambat seolah menegaskan kegelisahan yang menyelimuti ruangan."Bagaimana kalau Aster ternyata anak orang kaya? Apa dia nggak akan nuntut aku balik? Gimana kalau dia ternyata marah sama apa yang aku perbuat?" ucap Winda setengah berbisik, namun cukup keras untuk didengar suaminya.Kesuma mengangkat satu alis, menaruh cangkir teh ke atas meja, lalu menyandarkan tubuhnya.“Dari dulu aku heran, kenapa kamu bisa segelisah ini soal Aster? Bukannya kamu dulu yakin semua yang kamu lakukan itu demi kebaikan?"Winda berhenti melangkah, tubuhnya menegang. “Itu dulu. Sekarang semuanya berubah. Galih ngelamar dia di depan wartawan. Kalau dia benar-benar anak konglomerat, bisa-bisa semua aib aku diungkap ke med
Suasana di ruang Divisi Kreatif terasa lebih cerah dari biasanya. Seakan-akan kabar pertunangan Aster dan Galih menjadi matahari kecil yang menyinari meja-meja kerja yang biasanya sibuk dan serius.Aster datang ke ruangan itu dengan tumpukan dokumen untuk Rein. Namun, sebelum ia sempat membuka suara, Salma sudah menyambutnya dengan senyum lebar."Selamat ya, Aster!" seru Salma sambil menepuk ringan lengannya. "Kamu beruntung banget bisa naklukin ice prince dari Kutub Utara!"Tawa kecil terdengar dari beberapa sudut ruangan. Julukan itu memang sudah melekat pada Galih sejak lama. Galih yang dingin, fokus, dan nyaris tak tersentuh. Tapi kini, semua orang tahu hatinya telah mencair untuk satu nama.Aster tersenyum malu-malu, lalu menyerahkan dokumen ke meja Rein. "Makasih, Kak Salma. Mungkin karena Tuhan tahu kalau aku butuh seseorang kayak dia."Rein menerima dokumen itu sambil mengangguk pelan. Tatapannya seperti seorang atasan yang diam-diam merasa lega melihat bawahannya bahagia."Se
Langkah Winda terhenti di pelataran depan Dreams Studio Ltd. Kilatan kamera, kerumunan wartawan yang bersorak, dan mikrofon yang mengarah ke pintu masuk membuat dadanya sesak.Matanya menyapu pemandangan yang kacau tapi terorganisir itu. Spanduk digital dengan tulisan “Konferensi Pers Dreams Studio: Klarifikasi & Lamaran Galih Pramudya” terpampang jelas di layar raksasa."Apa ini?" gumamnya, suara hatinya tercekat di tenggorokan.Kilasan kekhawatiran langsung merambat dalam benaknya. "Kenapa banyak wartawan? Mereka konferensi pers?"Matanya membelalak saat menyadari bahwa semua kamera bisa saja menyorot dirinya. Dia sebagai mantan petinggi yang pernah berdiri membela Katrina, yang kini terbongkar sebagai dalang sabotase."Bisa hancur reputasi aku kalau wartawan tahu aku sempat memihak Katrina…" bisiknya panik.Napas Winda memburu. Detak jantungnya terdengar jelas di telinganya, bersaing dengan riuh suara para pewarta. Langkahnya mulai mundur, tubuhnya ragu di ambang pintu.“Sebaiknya