Share

BABY BLUES
BABY BLUES
Author: Widia Dealova

1. Lebih Baik Jadi Janda

"Zara, ini Haura nangis. Kayaknya haus. Agak cepat di kamar mandinya, ya," teriak Ibu dari arah dapur.

Aku yang tengah menunaikan hajat mendengkus kesal. Bagaimana tidak? Baru saja kususui Hanum, kini Haura sudah meraung-raung lagi. Tak bisakah aku sedikit mengistirahatkan tubuh? Satu atau dua jam saja. Bagaimana pun aku butuh waktu istirahat. Terlebih, puting sebelah kananku lecet karena belum keluar ASI sedikit pun.

"Zara, cepat, dong!" 

Sekali lagi, suara Ibu melengking mengetuk gendang telinga. Ingin rasanya kusumpal kedua telingaku agar tangisan kedua bayi itu tak terus menerorku.

Haura dan Hanum, anak kembar yang baru saja kulahirkan tiga hari yang lalu. Tangisan mereka silih berganti memenuhi pendengaran. Mengganggu waktu tidurku di malam hari dan mengusik ketenanganku ketika siang. Bahkan saat aku di kamar mandi seperti ini, mereka masih saja mengganggu. Tapi, aku tak bisa kabur dari tanggung jawab ini. Menyadari, statusku saat ini sudah berubah menjadi seorang ibu.

"Zara! Ngapain, sih? Lama banget," protes Ibu, suaranya kini terdengar sangat dekat.

Ibu mematung depan pintu kamar mandi. Suara Ibu memanggil-manggil namaku, bersahutan dengan tangis si kecil Haura.

Segera kunyalakan keran air, membasuh kedua tangan dan kaki yang belum sempat terkena kotoran apapun. Baju kurapikan. Kubuka pintu kamar mandi.

Belum sempat berkata-kata, Ibu sudah mendahului lagi.

"Ini dulu, kasihan Hanum. Susuin dulu biar tidur," suruhnya sembari menyodorkan tubuh mungil yang wajahnya menunjukkan ekspresi sedih.

Aku menghela napas kasar. Mulas di perutku tiba-tiba hilang begitu saja saat mendengar tangisan Haura. Kutatap wajah tak berdosa itu. Lucu dan lugu sekali. Kalau bukan karena rasa sayang yang teramat besar, tak mungkin kuacuhkan rasa sakit di beberapa bagian tubuhku.

Sembari berjalan limbung, tiba-tiba saja wajahku merengut. Merasakan perih lagi di luka bekas jahitan kemarin. Suara mengaduh keluar dari bibirku. Entah berapa kali aku menangis dalam sehari. Sudah tak terhitung mengaduh dan sempat enggan menyusui bayi kembarku. Melihatku belum jua memberikan ASI pada Haura, Ibu gusar kembali.

"Zara! Gimana sih jadi ibu. Kamu tuh, ya, gak sayang sama anak-anak kamu? Kalau gak mau punya anak, jangan hamil. Atau kalau gak sayang mereka, biarkan Haura dan Hanum, Ibu bawa aja," celoteh ibu dari suamiku itu.

Mendengar ocehannya, aku jadi tersinggung. Dia pikir, aku tak sayang dengan kedua anakku? Lalu, ngapain aku periksa tiap bulan saat hamil? Bertaruh nyawa saat mereka lahir dan membelikan mereka baju-baju bagus untuk dipakai. Bahkan, kukorbankan tubuhku menjadi tak terurus. Banyak stretch mark yang terukir di perut serta puting payudaraku yang berdarah sejak kemarin.

Aku hanya kelelahan. Kesal sekali dengan tingkah Haura dan Hanum yang seolah-olah tak memberikan jeda waktu istirahat untuk ibunya. Tak ada satu orang pun yang bisa diminta bantuan. Semuanya kukerjakan sendiri. 

Ibu hanya menjenguk cucunya pagi buta seperti ini. Zuhur ia sudah kembali lagi ke rumah dengan alasan takut hujan. Kalaupun menjenguk cucu, ia tak membantu sama sekali pekerjaan rumah. Ya, lagipun aku tak berharap ingin dibantu ibu mertua. Minimal saja, jangan menambah beban di pikiranku dengan ocehan-ocehan saat ia datang ke sini.

"Bu, aku tuh semalam begadang. Jadi, aku sama sekali belum tidur. Ke kamar mandi aja ditahan, lho, Bu. Ini baru bisa karena ada Ibu ke sini."

Ya, kuakui nemang kehadiran Ibu sedikit mempermudah aktivitasku dalam hal membersihkan diri dan mencuci popok si kembar. Selebihnya, Ibu hanya menjaga Haura dan Hanum sepanjang pagi. Begitupun, aku sangat bersyukur.

"Lha, emang gitu jadi ibu, Zara. Kok kayak keberatan gitu ngurus Haura dan Hanum?" Ibu menajamkan kedua matanya ke arahku. "Kamu itu belum siap jadi ibu!"

Aku tak menggubris perkataannya. Kini, Haura sudah berada di pangkuan. Aku melangkah sangat pelan menuju kamar tidur. Bekas jahitan saat melahirkan masih sangat terasa nyeri. Jalan pun, harusnya dipapah. Bukan dibiarkan seperti ini.

Si kecil Hanum terlihat pulas dalam tidurnya. Di sampingnya, ayah dari anak-anakku juga lelap sekali memejamkan mata. Hhhhh. Aku menghela napas kesal.

Mas Haidar bisa dengan enaknya beristirahat semalaman tanpa terganggu. Bahkan, lengkingan suara tangis dari anak-anaknya semalam, tak sedikit pun mengganggu waktu tidurnya.

Aku segera memberi hak perut Haura. Menyambung hidup bayi kecilku lewat tetesan ASI yang keluar, meski masih terasa perih saat dihisap.

"Zara, kamu belum bangunkan Haidar? Ini sudah jam enam, lho. Bisa-bisa dia telat. Ibu bangunkan aja, ya." Ibu masuk ke kamar yang pintunya tak kututup. 

Ia menghampiri anaknya untuk membangunkan. Tak lama kemudian, kedua mata Haidar terbuka. Mengerjap-ngerjap sebentar, lalu pandangannya melayang menuju jam yang tergantung di dinding.

"Ya ampun, aku belum salat subuh!" Mas Haidar menoleh ke arahku. "Zara, kenapa gak bangunkan aku salat, sih?"

Kesal di hatiku belum sirna karena ucapan ibu. Kini, Mas Haidar malah menambah kekesalan lain dengan menyalahkanku karena kehilangan waktu subuhnya. Entah kenapa, setelah melahirkan aku jadi sensitif sekali. Disenggol dikit, bisa langsung bertanduk kepalaku. Namun, aku selalu menahan amarah itu. Jangan sampai api dalam jiwaku meledak.

"Maaf, Mas. Aku semalam begadang. Jadi tadi waktu adzan subuh ketiduran. Eh bangun lagi karena ada suara Ibu mengetuk pintu," sahutku lemah, sedikit berbisik agar Hanum yang terlelap tak bangun.

Lelaki itu segera bangkit, menyambar handuk yang tergantung di paku dan melesat ke kamar mandi.

"Haura, sakit! Pelan-pelan, dong," omelku pada Haura, yang tiba-tiba menangis saat lekatan bibirnya kulepas.

Ibu menggeleng-geleng kepala melihat tingkahku. Ia kemudian duduk di samping Hanum.

"Kamu makannya apa, Zara? Kenapa ASI-nya seret banget?" Ibu mulai mengajakku berbicara. Melupakan perdebatan kami tadi. Nada bicaranya pun kembali lembut.

"Ya, sama kayak Ibu. Nasi."

"Daun katuk dari Ibu sudah diolah dan dimakan?"

Sesaat aku terdiam. Teringat tempo hari Ibu membawakan sekantung kresek daun hijau itu. Katanya, daun katuk bagus untuk meningkatkan produksi ASI. Bodohnya, aku lupa untuk mengolahnya. Kulihat kantung kresek itu masih tergeletak di atas nakas.

Ibu mengikuti arah bola mataku bergerak. Ia segera meraih sebuah benda yang sedari tadi kulihat.

"Tuh, kan. Kamu, mah, kebiasaan. Mau ASI banyak gimana? Dikasih saran gak dilakuin," omelnya, membuka ikatan kresek yang di dalamnya penuh daun katuk.

"Aku lupa, Bu. Maaf, ya. Nanti siang aku olah." Merasa bersalah menimpa perasaanku. Takut jika Ibu tak merasa dihargai oleh menantu satu-satunya ini. 

"Zara, jadi ibu itu harus cekatan. Gak boleh banyak ngeluh. Ibu juga pernah melahirkan. Ibu tahu, kok , rasanya gimana. Tapi, Ibu gak terlalu ngenges kayak kamu, lho. Apa-apa, ngeluh. Dikit-dikit, mengaduh."

Terkadang, ibu membandingkan kehidupan rumah tangganya dulu dengan rumah tangga anaknya sekarang. Jelas sangat berbeda. Ibu dari suamiku itu, saat lahiran banyak tangan membantu. Sementara aku? Dibiarkan begitu saja oleh mereka yang katanya keluarga.

Nasib.. nasib.

Kalau saja rumah orangtuaku dekat, mereka pasti sudah membantu di sini. Sayangnya, karena terhalang jarak dan kebetulan papa sedang demam parah, mereka belum juga menengok ke sini dari awal lahiran.

Tinggal di kampung suami, meskipun ada beberapa keluarga yang rumahnya tak terlalu jauh. Mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing. Hanya sekali saja mereka menengok, saat aku kembali ke rumah pulang dari bidan.

Perempuan itu beranjak dari duduknya. Menjinjing sekresek daun katuk ke arah dapur. Mungkin, ia mau membuatkan sayur untukku. Syukurlah. Meskipun malu, tapi mau gimana lagi? Aku sangat butuh bantuan.

Mas Haidar kembali ke kamar untuk berganti baju. Aku masih duduk terlentang sembari mengais Haura.

"Mas, aku belum sarapan," laporku, memelas pada Mas Haidar.

"Mas, aku lapar. Apa boleh minta bantuan?" Kuulangi pertanyaanku pada Mas Haidar yang sedang mengenakan kemeja.

"Apa, Zara?"

Sedikit kecewa, karena raut wajah Mas Haidar menunjukkan rasa tak suka. Apalagi, saat dia langsung menyebutku dengan panggilan nama. Biasanya, ia memanggilku dengan sebutan "Cinta".

"Bisa tolong belikan aku bubur? Aku lapar banget. Semalaman ASI-ku disedot. Aku begadang dan gak sempat bikin sarapan. Sekalian sama kamu dan ibu juga belikan sarapan, ya?"

Tak menjawab, Mas Haidar menuntaskan ganti bajunya. Ia lalu menyambar tas selempang dan mengambil dompet di dalamnya.

"Maaf, ya, Zara. Bukan Mas gak mau belikan. Tapi, lihatlah jam. Sudah hampir pukul tujuh. Nanti Mas kesiangan kalau beli sarapan dulu. Ini uang untuk beli sarapan, pesan online saja," ucapnya seraya menyodorkan selembar uang warna merah muda.

Meski sempat terdiam, akhirnya kuterima juga selembar uang itu.

"Nanti saja pulangnya kubelikan sesuatu. Kamu mau apa?" Kali ini, ia tampak melempar senyum tipisnya.

"Bakso aja, Mas. Kalau gak, mie ayam," sahutku bersemangat.

Belum sempat Mas Haidar mengiyakan, suara bantahan dari arah pintu terdengar cemas.

"Aduh, Zara. Kamu ini ibu menyusui dan ibu nifas. Pantas aja ASI-nya gak keluar, wong makanannya kayak gitu," protes Ibu dengan logat Jawanya yang kental.

Kalau sudah berhadapan dengan Ibu, bakalan rumit ceritanya. Pendapatnya tak bisa disangkal oleh siapapun.

"Zara, Ibu ini sayang sama kamu, sama cucu-cucu Ibu. Jadi, nurutlah kalau ibu ngasih tahu. Dulu, waktu ibu lahiran, tiap hari makannya nasi, tempe sama sayur bening aja. Gak berani makan makanan kayak gitu." Ia beralih pada Mas Haidar. "Jangan belikan, Haidar. Kamu mau anak-anak kamu nantinya sakit perut?"

Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban. Lagi, aku mengalah. Biar nanti kupesan online lagi saja. Kata bidan yang menanganiku, ibu baru melahirkan itu bukan orang sakit. Jadi, selagi makanan yang diinginkan tak berbahaya, makan saja. Apalagi, ibu menyusui itu harus tenang pikiran dan tidak boleh stress. Jika segala makanan dilarang, bisa-bisa suasana hatiku tambah buruk.

Meski begitu, di depan Ibu aku pura-pura menurut. Malas berdebat dengan wanita beda generasi itu. Tambah lagi, Ibu adalah mertuaku. Bagaimana pun, aku harus tetap menghormatinya.

Usai merapikan penampilan, Mas Haidar akhirnya berpamitan untuk berangkat kerja. Tentunya, setelah sebelumnya menyapa Hanum yang sedang pulas dan Haura yang masih menempel menyedot ASI.

"Ini sayur daun katuknya, makan dulu! Ibu ambilkan nasinya, ya?"

Ibu memang baik, hanya saja seluruh keinginannya harus dituruti. Kalau gak sesuai, siap-siap saja perang dialog dengannya. Dan sepertinya sebentar lagi memang akan terjadi. Aku harus bersiap menutup telinga.

"Bu.."

Ibu berhenti saat kupanggil lirih.

"Aku belum masak nasi."

Benar saja, gelagatnya sudah siap menyerangku dengan seribu argumennya sendiri.

Aku mengambil earphone yang masih tersambung ke gawaiku. Menyelipkan kedua benda itu di telingaku yang tertutup jilbab. Segera kuputar musik pada volume yang paling tinggi.

Terlihat ibu mertuaku itu tengah mangap-mangap, entah sedang bicara apa.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status