Maafkan aku, Bu. Bukan maksud hati ini tidak menghargai nasihat Ibu. Tapi aku tak mau pikiranku tambah berat. Maka, kupilih saja menutup telinga untuk menghempaskan semua ocehanmu.
Aku membatin sendiri. Terlihat Ibu bolak-balik ke dapur dan kamar mandi untuk menanak nasi. Ini pertama kalinya beliau mengerjakan hal itu di rumahku. Aku paham, yang dia khawatirkan bukanlah aku, tetapi kedua cucunya.Ibu kembali ke kamar setelah selesai menyambung colokan penanak nasi ke stopkontak. Ia duduk terlentang di atas kasur lantai, di samping si kecil Hanum. Meluruskan kakinya, yang mungkin mulai terasa pegal karena rematiknya kambuh."Maaf, ya, Bu. Aku jadi merepotkan. Ibu kalau pegel, biar aku panggil tukang pijit aja." Aku mulai melepas earphone yang sedari tadi bertaut di kedua telingaku.Musik kumatikan. Bersamaan dengan itu, akhirnya Haura melepas rekatan bibirnya. Segera kuletakan tubuh mungil Haura berdampingan dengan saudara kembarnya. Bersyukur sekali, aku bisa bernapas lega. Kurencakan untuk segera tidur karena semalaman benar-benar tak mendapat jatah istirahat. Hanya terlelap sekejap, menjelang subuh lalu terbangun kembali karena kedatangan Ibu.Sepertinya Ibu tak keberatan. Tebukti, ia menjawabnya dengan santai."Gak apa-apa, Zara. Yang penting, ke depannya jangan lengah. Ingat kata Ibu, harus cekatan."Meski ucapan itu masih mengandung kalimat ocehan, setidaknya nada bicaranya sudah sangat melembut. Sisi lain di dalam hatiku bertanya, cekatan seperti apa yang Ibu maksud? Padahal waktuku sudah benar-benar terkuras oleh kedua buah hatiku."Kamu itu sudah bukan perawan. Sudah gak bisa leyeh-leyeh kayak dulu." Ibu menghentikan ucapan saat mulutnya menguap begitu saja. "Ibu tidur dulu bentar, ya. Nanti, kalau Hanum dan Haura bangun, Ibu juga bangun. Mau ajak mereka berjemur di luar," katanya bersemangat.Aku mengangguk setuju. Belum sempat Ibu terlelap, suara notifikasi dari alat komunikasi berdering. Nomor tak dikenal. Aku segera menggeser ikon hijau di layarnya yang menyala.Terdengar salam dan sapa dari seberang telepon. Ternyata, dari kurir yang mengantarkan pesanan sarapanku. Aku melirik Ibu. Gawat, nih! Tadi, aku lupa bilang kalau aku sedang pesan sarapan. Bisa-bisa Ibu meradang kembali karena usahanya menanak nasi merasa tak ada gunanya."Siapa, Zara?" Sudah kuduga Ibu akan bertanya. Secara, Ibu termasuk manusia yang selalu ingin tahu urusan anak dan menantunya."Kurir, Bu," jawabku ragu, takut Ibu kecewa."Kok pagi-pagi banget? Emang pesan apa?" Terlihat heran, Ibu menautkan kedua alisnya."Ketupat tahu buat aku dan Ibu."Kali ini Ibu membulatkan matanya sempurna. Sepertinya, gemas dengan sikapku yang memang banyak sekali lupa. Percayalah, aku bukan sedang mengerjai Ibu. Tapi, otakku yang sudah mulai lambat untuk berpikir."Kenapa gak bilang kamu sudah pesan makanan, Zara? Tahu gitu, Ibu gak usah masak nasi." Perempuan yang usianya hampir menginjak lima puluh itu kembali berceloteh.Dengan susah payah, kubangunkan tubuh. Meraih tralis jendela sebagai pegangan. Sangat lamban sekali kuayunkan kaki menuju pintu di ruang tamu. Bertransaksi dengan sang kurir, lalu kembali ke kamar.Ibu masih terlihat sangat sebal. Kuajak ia untuk sarapan bersama, tetapi ia menolak dengan gelengan. Lama-lama, ia terpejam dan aku menikmati waktu makanku tanpa gangguan.*****Belum sampai sepuluh menit Ibu larut dalam tidur, ponselnya berdering. Hal itu memaksa ia segera bangun dan mengangkat telepon masuk.Aku yang tengah menghabiskan sisa makanan yang tinggal beberapa suap, mendengar Ibu berbicara entah dengan siapa. Mungkin, Ibu tak sadar di sisinya ada si kembar yang tengah tertidur, jadi volume suaranya tak tanggung-tanggung."Gimana, Bu Marni?""Harus saya? Wakilkan aja sama Bu Marni.""Waduh, ya sudah. Saya ke sana sekarang."Terdengar Ibu berbicara dengan seseorang bernama Bu Marni di seberang telepon sana. Suaranya yang besar membuat Haura dan Hanum menggeliat secara bersamaan. Aku menghela napas saat akhirnya dua bayi mungilku saling bersahutan dalam tangis.Satu buah ketupat yang tersisa kumakan dengan rakus. Bungkus nasi yang bersih tanpa bekas bumbu kuremas lalu dilempar ke tempat sampah. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya. Baru saja berencana hendak menunaikan hak tubuh untuk istirahat, kini suara Ibu malah mengacaukan semuanya."Aduh.. Maaf Haura, Hanum. Gara-gara Nenek kalian jadi bangun, ya. Nenek lupa lagi di rumah kalian," celoteh Ibu mengambil salah satu dari mereka, lalu ditimbang olehnya.Kuteguk air dalam gelas sampai tandas. Memalingkan muka saat wajah Ibu menoleh ke arahku."Udah makannya, Zara? Cepet gendong, dong, kasihan," titah Ibu sembari berdesis untuk menenangkan bayiku. "Ibu pulang sekarang, ya, Zara. Ada urusan mendadak dari desa."Berjalan sempoyongan menghampiri Hanum yang masih menangis, kugendong ia dengan pelan. Saat sedikit berjongkok, ngilu di bekas jahitan membuatku mengaduh kembali. Kalau sudah seperti ini, timbul dalam hati kecilku, penyesalan karena melahirkan dalam usia muda.Sebelum pergi, Ibu menenangkan Haura sampai tertidur. Mertuaku itu memang aktif sebagai aktivis desa di kampungnya. Dia menjabat sebagai ketua PKK di desanya.Ibu berpamitan sembari menjinjing ketupat tahu yang kupesan untuknya. Sempat meminta maaf karena tak jadi mengajak Haura dan Hanum untuk berjemur."Beberapa hari ke depan akan ada kesibukan di desa. Jadi, kemungkinan Ibu gak akan ke sini. Jangan lupa jagain cucu-cucu Ibu, ya. Jangan sampai mereka kenapa-kenapa. Kamu juga, jangan banyak tidur siang. Gak baik buat ibu melahirkan. Ingat kata Ibu, harus cekatan! Jangan banyak ngeluh."Ibu berbalik badan. Ada yang lupa sepertinya."Oh, ya. Jangan coba-coba pesan bakso, mie ayam atau nasi padang. Nurut aja, jangan banyak tanya kenapa!"Pesan Ibu sebelum pergi hanya terbalas anggukan dariku. Banyak perbedaan yang mencolok perihal mitos ibu baru melahirkan. Aku selalu mengiyakan di depannya, tetapi di belakang tentu tidak kulakukan.Bagaimana mungkin ibu nifas tak boleh tidur siang? Sementara saat malam benar-benar terjaga mengurusi si kembar. Yang ada, nanti malah sakit karena kurangnya waktu istirahat. Ibu melahirkan gak boleh makan makanan berlemak lah, gak boleh keluar rumah, lah. Masih banyak lagi mitos yang tak kumengerti secara akal sehat.Akhirnya, Ibu melenggang menuju rumahnya yang hanya berbeda desa saja denganku. Aku masih menimbang Hanum, yang mulai tertidur kembali.Kepergian Ibu membuatku mampu bernapas lega. Rasanya, telingaku dingin kalau tak mendengar ceriwisnya. Kesempatan bagus!Aku membuka aplikasi hijau di gawaiku, lalu memesan beberapa makanan yang Ibu larang untuk aku makan. Bukan maksud menantang, hanya saja ucapan bidan dan dokter sangat jauh berbeda dengan Ibu."Makanlah apapun yang buat mood Anda bagus. Selagi tidak berlebihan dan nutrisi utama tidak terganggu, ibu baru melahirkan itu harus berbahagia," kata bidan yang menanganiku tiga hari yang lalu.Ting.Pemberitahuan dari aplikasi pesan online.Semangkuk bakso, salad buah dan siomay tahu ikan tenggiri tenggiri siap diantarkan ke alamat pemesan.Aku menyeringai. Akan kuhabiskan ketiga makanan itu dalam satu waktu!Bersambung...Tiba-tiba saja perutku mulas kembali saat hendak membuka kemasan bakso. Akhirnya, tamu tak diundang itu datang lagi. Terpaksa, kuseret kakiku ke kamar mandi dengan malas. Kututup kegiatan di kamar mandi, sekalian membersihkan diri. Mumpung dua makhluk kecilku tertidur pulas.Selesai berganti baju, kulihat tumpukan popok di atas ember. Ya, ampun. Ternyata, pekerjaanku sungguh masih banyak. Sementara, kinerjaku saat ini benar-benar lelet. Kukira, semua ibu duamelahirkan akan merasakan hal sama denganku. Terlebih, hanya baru tiga hari proses lahiran itu.Nanti, akan kuminta Mas Haidar membelikan mesin cuci agar aku tak kesulitan. Saat ini, biarlah kukerjakan cucian dengan manual. Terpaksa, saat tubuhku audah bersih dan wangi, kucuci popok, bedongan dan baju si kembar, lalu dijemur di halaman belakang.Tiba saatnya, aku akan menikmati camilanku. Begitu bersemangat saat aku melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah. Duduk terlentang di ruang tamu, aku memindahka
Samar terdengar suara langkah kaki bersahutan dengan langkah tergesa. Entah ini mimpi atau bukan, untuk membuka mata rasanya berat sekali. Saat sebuah jarum menusuk lenganku, akhirnya aku tersadar. Kuedarkan pandang menuju sekeliling.Dimana aku? Perlahan, kuingat kembali apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kompor yang menyala. Api yang membara. Menciptakan kepulan asap mengudara di dapur. Lalu, Haura dan Hanum yang kuletakkan di atas kasur. Dimana mereka? Seorang bidan dan dua asistennya tengah sibuk menempelkan alat-alat ke tubuhku. Saat ingatanku telah pulih, refleks tubuhku berusaha untuk terangkat. Namun, sayangnya, rasa sakit di bekas jahitan itu merambat. Kepalaku seperti ditimpa batu besar dan dijatuhkan berkali-kali."Mbak Zara, tenang, ya. Kami akan obati luka jahitan bekas lahiran kemarin dengan mengulang proses menjahitnya. Sobeknya lumayan besar." Bu bidan mencoba menahanku yabg terus memaksa bangkit dari ranjang periksa.Setelah kurasakan sa
"Aku menyesal menjadi ibu, Mas."Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh."Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia ya
Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur. Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen k
"Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih ba
Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Membayangkan mereka akan tidur lelap setelah ini dan aku akan melakukan hal sama. Aku menguap lebar, tanpa bisa kututup dengan telapak tangan. Kulirik jam yang menggantung di dinding.Pukul sebelas.Akhirnya, sesuai harapan, kedua anakku tidur lelap dan melepaskan lekatan bibir mereka dari tubuhku. Kuletakkan satu-persatu perlahan. Menahan luka jahitan yang akan terasa perih jika bergerak agak jongkok, saat meletakkan bayi.Kurentangkan kaki sembari meregangkan seluruh otot yang mengeras. Pegal sekali! Andai saja punya robot pemijit tubuh, aku akan menjadi orang pertama yang membeli.Saat kelopak mata mulai menutup dan kesadaran hendak b
Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-pu
Perih di bekas luka jahit tiba-tiba menggerogoti kulit. Semakin pecah tangisanku, luka itu semakin menggigit. "Aaarrrghhhh!"Badanku luruh di lantai saat itu juga. Punggungku yang lemas bersandar pada pintu. Berkali, kuketuk keras pintu oleh kepala bagian belakang. Biar saja mati saat ini juga, ketimbang harus mereguk sendiri derita.Semakin kencang gamparan kepalaku di pintu. Tiba-tiba kepalaku mulai berputar. Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membunuh kedua bayiku untuk mengakhiri derita ini?Ayah, Ibu. Cepatlah datang ke sini. Aku butuh kalian. Aku membatin dalam isakan yang terus berkumandang. Haura dan Hanum tak jua berhenti menangis.Habis tenaga, rasanya aku pasrah. Kuletakkan Haura dan Hanum di lantai. Tak peduli dingin dan angin yang menyelinap dari celah pintu. Mereka terus meraung entah mau apa.Kupejamkan mata. Merenungi kehidupan yang terasa menyiksa. Salah apa aku, Tuhan? Sehingga Engkau menghuku