Share

2. Bahagia Tanpa Mertua

Maafkan aku, Bu. Bukan maksud hati ini tidak menghargai nasihat Ibu. Tapi aku tak mau pikiranku tambah berat. Maka, kupilih saja menutup telinga untuk menghempaskan semua ocehanmu.

Aku membatin sendiri. Terlihat Ibu bolak-balik ke dapur dan kamar mandi untuk menanak nasi. Ini pertama kalinya beliau mengerjakan hal itu di rumahku. Aku paham, yang dia khawatirkan bukanlah aku, tetapi kedua cucunya.

Ibu kembali ke kamar setelah selesai menyambung colokan penanak nasi ke stopkontak. Ia duduk terlentang di atas kasur lantai, di samping si kecil Hanum. Meluruskan kakinya, yang mungkin mulai terasa pegal karena rematiknya kambuh.

"Maaf, ya, Bu. Aku jadi merepotkan. Ibu kalau pegel, biar aku panggil tukang pijit aja." Aku mulai melepas earphone yang sedari tadi bertaut di kedua telingaku.

Musik kumatikan. Bersamaan dengan itu, akhirnya Haura melepas rekatan bibirnya. Segera kuletakan tubuh mungil Haura berdampingan dengan saudara kembarnya. Bersyukur sekali, aku bisa bernapas lega. Kurencakan untuk segera tidur karena semalaman benar-benar tak mendapat jatah istirahat. Hanya terlelap sekejap, menjelang subuh lalu terbangun kembali karena kedatangan Ibu.

Sepertinya Ibu tak keberatan. Tebukti, ia menjawabnya dengan santai.

"Gak apa-apa, Zara. Yang penting, ke depannya jangan lengah. Ingat kata Ibu, harus cekatan."

Meski ucapan itu masih mengandung kalimat ocehan, setidaknya nada bicaranya sudah sangat melembut. Sisi lain di dalam hatiku bertanya, cekatan seperti apa yang Ibu maksud? Padahal waktuku sudah benar-benar terkuras oleh kedua buah hatiku.

"Kamu itu sudah bukan perawan. Sudah gak bisa leyeh-leyeh kayak dulu." Ibu menghentikan ucapan saat mulutnya menguap begitu saja. "Ibu tidur dulu bentar, ya. Nanti, kalau Hanum dan Haura bangun, Ibu juga bangun. Mau ajak mereka berjemur di luar," katanya bersemangat.

Aku mengangguk setuju. Belum sempat Ibu terlelap, suara notifikasi dari alat komunikasi berdering. Nomor tak dikenal. Aku segera menggeser ikon hijau di layarnya yang menyala.

Terdengar salam dan sapa dari seberang telepon. Ternyata, dari kurir yang mengantarkan pesanan sarapanku. Aku melirik Ibu. Gawat, nih! Tadi, aku lupa bilang kalau aku sedang pesan sarapan. Bisa-bisa Ibu meradang kembali karena usahanya menanak nasi merasa tak ada gunanya.

"Siapa, Zara?" Sudah kuduga Ibu akan bertanya. Secara, Ibu termasuk manusia yang selalu ingin tahu urusan anak dan menantunya.

"Kurir, Bu," jawabku ragu, takut Ibu kecewa.

"Kok pagi-pagi banget? Emang pesan apa?" Terlihat heran, Ibu menautkan kedua alisnya.

"Ketupat tahu buat aku dan Ibu."

Kali ini Ibu membulatkan matanya sempurna. Sepertinya, gemas dengan sikapku yang memang banyak sekali lupa. Percayalah, aku bukan sedang mengerjai Ibu. Tapi, otakku yang sudah mulai lambat untuk berpikir.

"Kenapa gak bilang kamu sudah pesan makanan, Zara? Tahu gitu, Ibu gak usah masak nasi." Perempuan yang usianya hampir menginjak lima puluh itu kembali berceloteh.

Dengan susah payah, kubangunkan tubuh. Meraih tralis jendela sebagai pegangan. Sangat lamban sekali kuayunkan kaki menuju pintu di ruang tamu. Bertransaksi dengan sang kurir, lalu kembali ke kamar.

Ibu masih terlihat sangat sebal. Kuajak ia untuk sarapan bersama, tetapi ia menolak dengan gelengan. Lama-lama, ia terpejam dan aku menikmati waktu makanku tanpa gangguan.

*****

Belum sampai sepuluh menit Ibu larut dalam tidur, ponselnya berdering. Hal itu memaksa ia segera bangun dan mengangkat telepon masuk.

Aku yang tengah menghabiskan sisa makanan yang tinggal beberapa suap, mendengar Ibu berbicara entah dengan siapa. Mungkin, Ibu tak sadar di sisinya ada si kembar yang tengah tertidur, jadi volume suaranya tak tanggung-tanggung.

"Gimana, Bu Marni?"

"Harus saya? Wakilkan aja sama Bu Marni."

"Waduh, ya sudah. Saya ke sana sekarang."

Terdengar Ibu berbicara dengan seseorang bernama Bu Marni di seberang telepon sana. Suaranya yang besar membuat Haura dan Hanum menggeliat secara bersamaan. Aku menghela napas saat akhirnya dua bayi mungilku saling bersahutan dalam tangis.

Satu buah ketupat yang tersisa kumakan dengan rakus. Bungkus nasi yang bersih tanpa bekas bumbu kuremas lalu dilempar ke tempat sampah. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya. Baru saja berencana hendak menunaikan hak tubuh untuk istirahat, kini suara Ibu malah mengacaukan semuanya.

"Aduh.. Maaf Haura, Hanum. Gara-gara Nenek kalian jadi bangun, ya. Nenek lupa lagi di rumah kalian," celoteh Ibu mengambil salah satu dari mereka, lalu ditimbang olehnya.

Kuteguk air dalam gelas sampai tandas. Memalingkan muka saat wajah Ibu menoleh ke arahku.

"Udah makannya, Zara? Cepet gendong, dong, kasihan," titah Ibu sembari berdesis untuk menenangkan bayiku. "Ibu pulang sekarang, ya, Zara. Ada urusan mendadak dari desa."

Berjalan sempoyongan menghampiri Hanum yang masih menangis, kugendong ia dengan pelan. Saat sedikit berjongkok, ngilu di bekas jahitan membuatku mengaduh kembali. Kalau sudah seperti ini, timbul dalam hati kecilku, penyesalan karena melahirkan dalam usia muda.

Sebelum pergi, Ibu menenangkan Haura sampai tertidur. Mertuaku itu memang aktif sebagai aktivis desa di kampungnya. Dia menjabat sebagai ketua PKK di desanya.

Ibu berpamitan sembari menjinjing ketupat tahu yang kupesan untuknya. Sempat meminta maaf karena tak jadi mengajak Haura dan Hanum untuk berjemur.

"Beberapa hari ke depan akan ada kesibukan di desa. Jadi, kemungkinan Ibu gak akan ke sini. Jangan lupa jagain cucu-cucu Ibu, ya. Jangan sampai mereka kenapa-kenapa. Kamu juga, jangan banyak tidur siang. Gak baik buat ibu melahirkan. Ingat kata Ibu, harus cekatan! Jangan banyak ngeluh."

Ibu berbalik badan. Ada yang lupa sepertinya.

"Oh, ya. Jangan coba-coba pesan bakso, mie ayam atau nasi padang. Nurut aja, jangan banyak tanya kenapa!"

Pesan Ibu sebelum pergi hanya terbalas anggukan dariku. Banyak perbedaan yang mencolok perihal mitos ibu baru melahirkan. Aku selalu mengiyakan di depannya, tetapi di belakang tentu tidak kulakukan.

Bagaimana mungkin ibu nifas tak boleh tidur siang? Sementara saat malam benar-benar terjaga mengurusi si kembar. Yang ada, nanti malah sakit karena kurangnya waktu istirahat. Ibu melahirkan gak boleh makan makanan berlemak lah, gak boleh keluar rumah, lah. Masih banyak lagi mitos yang tak kumengerti secara akal sehat.

Akhirnya, Ibu melenggang menuju rumahnya yang hanya berbeda desa saja denganku. Aku masih menimbang Hanum, yang mulai tertidur kembali.

Kepergian Ibu membuatku mampu bernapas lega. Rasanya, telingaku dingin kalau tak mendengar ceriwisnya. Kesempatan bagus!

Aku membuka aplikasi hijau di gawaiku, lalu memesan beberapa makanan yang Ibu larang untuk aku makan. Bukan maksud menantang, hanya saja ucapan bidan dan dokter sangat jauh berbeda dengan Ibu.

"Makanlah apapun yang buat mood Anda bagus. Selagi tidak berlebihan dan nutrisi utama tidak terganggu, ibu baru melahirkan itu harus berbahagia," kata bidan yang menanganiku tiga hari yang lalu.

Ting.

Pemberitahuan dari aplikasi pesan online.

Semangkuk bakso, salad buah dan siomay tahu ikan tenggiri tenggiri siap diantarkan ke alamat pemesan.

Aku menyeringai. Akan kuhabiskan ketiga makanan itu dalam satu waktu!

Bersambung...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status